Dishub

Akses Transportasi Umum ke Kawasan Perumahan

Oleh Djoko Setijowarno* Penyediaan akses transportasi umum ke kawasan perumahan akan mengurangi biaya transportasi bagi masyarakat. Dengan anggaran sebesar Rp 1,2 triliun , kita dapat memberikan subsidi angkutan umum selama setahun penuh untuk 20 kota kecil dan sedang di Indonesia. Dalam siaran pers yang dikeluarkan Biro Komunikasi Dan Informasi Publik Kementerian Perhubungan (29/09/2025), Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi menyampaikan komitmen Kementerian Perhubungan untuk mendorong tersedianya akses transportasi umum massal menuju kawasan perumahan. Saat ini, banyak kawasan perumahan tidak memiliki fasilitas transportasi umum yang memadai untuk menuju tempat kerja. Hal ini membuat perumahan menjadi kurang layak huni karena tidak didukung oleh akses layanan transportasi umum. Mayoritas melakukan perjalanan dimulai dari tempat tinggal. Indonesia tengah menghadapi krisis transportasi umum, lebih dari 95% kawasan perumahan tidak memiliki akses. Padahal, idealnya, warga bisa menjangkau halte atau stasiun hanya dengan berjalan kaki maksimal 500 meter. Kualitas layanan angkutan publik yang menurun memicu naiknya biaya transportasi, yang pada akhirnya membebani pengeluaran masyarakat. Menurut Survei Biaya Hidup (SBH) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, biaya transportasi di Indonesia rata-rata menyumbang 12,46% dari total biaya hidup rumah tangga. Angka ini melebihi standar ideal Bank Dunia yang merekomendasikan porsi pengeluaran transportasi tidak lebih dari 10%. Sebelum tahun 1990-an, kebijakan pemerintah mengharuskan pembangunan perumahan diimbangi dengan adanya layanan transportasi umum seperti angkutan kota atau bus Damri. Namun, seiring berjalannya waktu, layanan angkutan ini semakin berkurang, bahkan banyak yang sudah hilang, meskipun kawasan perumahan tersebut masih tetap ada. Untuk mengatasi masalah ini, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman perlu direvisi. Saat ini, undang-undang tersebut belum mewajibkan fasilitas transportasi umum sebagai bagian dari sarana umum. Oleh karena itu, penting untuk memasukkan kewajiban pembangunan perumahan yang disertai dengan penyediaan akses transportasi umum. Kolaborasi antar kementerian Penyediaan akses transportasi umum ke kawasan permukiman tidak harus sepenuhnya ditanggung oleh Kementerian Perhubungan. Sebaliknya, Kementerian Perhubungan dapat bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri agar pemerintah daerah bisa menyiapkan anggaran khusus. Saat ini, sudah ada tiga pemerintah daerah yang memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang pendanaan angkutan umum, yaitu Kota Pekanbaru, Kota Semarang, dan Kota Batam. Peraturan Daerah Kota Pekanbaru No. 2 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Angkutan Umum Massal, pasal 12 menyebutkan bahwa Pemerintah Kota Pekanbaru berkewajiban memberikan pembiayaan untuk angkutan umum massal maksimal 5% dari APBD, disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. Pendanaan ini merupakan bentuk subsidi atau Public Service Obligation (PSO), dan dapat juga berasal dari sumber lain. Peraturan Daerah Kota Semarang No. 11 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Perhubungan, pasal 140 mengatur bahwa Pemerintah Kota Semarang dapat memberikan subsidi angkutan untuk trayek tertentu. Subsidi ini berlaku untuk angkutan umum maupun angkutan massal, seperti Bus Rapid Transit (BRT) dan kereta api. Alokasi subsidi paling sedikit 5% dari APBD dan didasarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Peraturan Daerah Kota Batam No. 1 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Angkutan Massal Berbasis Jalan, pasal 24 menyatakan bahwa Pemerintah Kota Batam wajib menyediakan pendanaan untuk sistem BRT dan prasarananya, dengan alokasi minimal 10% dari total Opsen Pajak Kendaraan Bermotor. Pendanaan ini bertujuan untuk subsidi angkutan umum massal atau Public Service Obligation (PSO) dan peningkatan layanan BRT setiap tahunnya, serta dapat bersumber dari pendanaan lain sesuai ketentuan yang berlaku. Sementara itu, berdasarkan Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, disebutkan bahwa hasil dari penerimaan pajak kendaraan bermotor (PKB) dan opsen PKB harus dialokasikan setidaknya 10% untuk pembangunan moda dan sarana transportasi umum Menuntut keseriusan pemerintah pusat Pertanyaan tentang komitmen pemerintah pusat terhadap pemerataan transportasi umum di daerah sering muncul. Dengan total 514 pemerintah daerah yang tersebar di 38 provinsi, sudah seharusnya Kementerian Perhubungan meningkatkan anggaran tahunan untuk pembenahan angkutan umum. ______________ Pemerintah menargetkan pembenahan angkutan umum di 20 kota melalui RPJMN 2025-2029. Namun, program ini menghadapi tantangan serius karena anggaran stimulan skema buy the service (BTS) terus menyusut, yang membuat keberhasilan program dipertanyakan. Anggaran yang dialokasikan untuk skema ini menunjukkan tren penurunan signifikan. Setelah mencapai puncaknya di angka Rp 582,98 miliar pada 2023, alokasi anggaran justru terus menurun. Berikut adalah rinciannya tahun 2020 sebesar Rp 51,83 miliar (5 kota, 19 koridor), tahun 2021 (Rp 312,25 miliar, 5 kota, 26 koridor), tahun 2022 (Rp 552,91 miliar, 10 kota, 51 koridor), tahun 2023 (Rp 582,98 miliar, 10 kota, 48 koridor), tahun 2024 (Rp 437,89 miliar, 11 kota, 46 koridor), tahun 2025 (Rp 177,49 miliar, 6 kota, 16 koridor), dan 2026 (Rp 82,6 miliar direncanakan, hanya untuk 5 kota). Pada 2026, anggaran sebesar Rp 82,6 miliar hanya akan dialokasikan untuk lima kota, yaitu Kabupaten Banyumas, Kota Manado, Kota Bekasi, Kota Depok, dan Kota Balikpapan. Keterbatasan ini memunculkan pertanyaan tentang komitmen pemerintah terhadap pemerataan perbaikan transportasi umum di seluruh Indonesia, terutama mengingat target awal yang lebih ambisius. Meskipun sering menghadapi kendala anggaran, saat ini 38 pemerintah daerah telah berinisiatif mengalokasikan APBD mereka untuk membiayai operasional angkutan umum. Upaya ini dilakukan oleh 12 provinsi, 16 kota, dan 10 kabupaten . Bahkan, dua pemerintah daerah telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang secara khusus mengatur alokasi 5% dari APBD untuk subsidi angkutan umum. Sebelas pemerintah provinsi, di antaranya Trans Koetaradja di Aceh, Trans Siginjai di Jambi, dan Trans Jakarta di Daerah Khusus Jakarta. Angkutan umum serupa juga beroperasi di Jawa Barat (Metro Jabar Trans), Jawa Tengah (Trans Jateng), Daerah Istimewa Yogyakarta (Trans Jogja), Jawa Timur (Trans Jatim), Banten (Trans Banten). Sementara itu, ada juga Trans Metro Dewata di Bali, Trans Banjarbakula di Kalimantan Selatan, Trans Sulsel di Sulawesi Selatan, dan Trans NKRI di Gorontalo. Sebanyak 16 kota, seperti Trans Binjai di Kota Binjai, Trans Metro Deli di Kota Medan, dan Trans Padang di Kota Padang. Di pulau lain, ada juga Trans Metro Pekanbaru di Kota Pekanbaru, Trans Batam di Kota Batam, serta Trans Musi Jaya di Kota Palembang. Di Jawa, layanan serupa tersedia di Kota Bogor (Trans Pakuan), Kota Tangerang (Trans Tangerang dan Si Banteng), Kota Bandung (Trans Metro Bandung), Kota Semarang (Trans Semarang), Kota Surakarta (Trans Batik Solo Trans), dan Kota Surabaya (Suroboyo Bus dan Trans Semanggi Surabaya). Sementara di Kalimantan dan Sulawesi, layanan ini hadir di Kota Banjarmasin (Trans Banjarmasin), Kota Banjarbaru (Angkutan Juara), Kota

Sebulan Dipasang, Puluhan Tiang Rambu di Lintas Krueng Raya-Laweung Hilang Dicuri

Banda Aceh – Puluhan rambu lalu lintas yang dipasang oleh Dinas Perhubungan Aceh di sepanjang jalan lintas Krueng Raya – Laweung hilang dari tempatnya, tepatnya di kawasan perbukitan Lamreh, dekat Pantai Pasir Putih, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar. Padahal, sebagian besar rambu lalu lintas tersebut baru saja dipasang sekitar sebulan yang lalu. Hilangnya puluhan rambu itu berisiko terhadap keselamatan para pengendara yang melintasi kawasan tersebut, khususnya pada malam hari. Karena lintas Krueng Raya – Laweung memiliki kondisi geografis pergunungan dengan sisi jalan berupa jurang yang cukup dalam. Berdasarkan pantauan Tim Dishub Aceh pada Sabtu (4/10) yang lalu, terdapat 24 tiang rambu chevron (marka dengan pola garis-garis serong) hilang yang terpotong pada pangkal, sehingga hanya menyisakan beton pondasinya. Rambu ini berfungsi memberi ilusi visual bagi pengendara untuk mengurangi kecepatan kendaraan, terutama di area rawan kecelakaan atau persimpangan jalan. Jenis rambu ini sangat berguna pada malam hari, sebab sorotan lampu kendaraan akan membuat plang rambu itu bercahaya dan memberi peringatan kepada pengguna jalan mengenai kondisi jalan yang berbahaya. Kepala Dinas Perhubungan Aceh, Teuku Faisal menyampaikan, rambu-rambu lalu lintas di Lokasi tersebut baru saja dipasang karena merupakan kawasan rawan terhadap kecelakaan lalu lintas. “Kami menyayangkan hilangnya rambu-rambu yang baru saja dipasang di lokasi tersebut. Apalagi lintasan Krueng Raya – Laweung itu rawan kecelakaan lalu lintas. Akibat ulah orang yang tidak bertanggung jawab yang mencuri rambu tersebut, dikhawatirkan bisa mengakibatkan kecelakaan kembali berulang yang merugikan pengguna jalan,” ujar Teuku Faisal. Selain di Kabupaten Aceh Besar, kehilangan fasilitas keselamatan jalan yang dipasang oleh Dinas Perhubungan Aceh juga terjadi di Kabupaten Aceh Tenggara. Berdasarkan laporan, terdapat 6 unit alat penerangan jalan (APJ) yang hilang pada ruas jalan Muara Situlen – Lawe Deski. Akibatnya, jalan yang seharusnya mendapat penerangan kini kembali gelap gulita. Terkait kejadian ini, Kadishub Aceh menyatakan bahwa Dishub Aceh sudah melakukan koordinasi dengan pihak kepolisan untuk mencegah kejadian serupa tidak terjadi kembali di masa yang akan datang. Kadishub juga berharap fasilitas yang dibangun melalui dana APBA ini dapat dijaga bersama. Ia meminta bantuan masyarakat yang mengetahui tindakan pencurian atau perusakan fasilitas transportasi untuk melapor ke Dishub Aceh.(AB) Baca Berita Lainnya: Saatnya Berpihak pada Transportasi Publik Gerbang Laut Menuju Simelue Wagub Aceh Sapa Sopir Truk di Puncak Geurutee, Beri Jajan Makan Siang

Kok Bisa? Trans Koetaradja yang Gratis Ini Jadi Andalan Dina Sejak SMP

Trans Koetaradja – Dina, salah satu dari banyaknya pengguna setia bus Trans Koetaradja membagikan ceritanya mengapa ia  setia menggunakan angkutan massal ini di saat banyaknya angkutan umum lainnya. Menurutnya bus Trans Koetaradja menjadi salah satu alternatif terbaik untuk saat ini. Karena jika menaiki angkutan umum, berbayar. Sementara Trans Koetarajda masih gratis sejak tahun 2016 hingga sekarang. Dina sendiri sudah mulai menggunakan bus Trans Koetaradja sejak duduk di bangku SMP. Mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP USK ini awalnya hanya coba-coba. Lalu ia pun akhirnya mulai jatuh cinta untuk terus menggunakan bus Trans Koetaradja sampai saat ini. Lalu apa aja sih? Perubahan yang dirasakan oleh Dina dari awal menggunakan bus Trans Koetaradja hingga sekarang? Menurutnya  sejak pertama kali mencoba menggunakan bus Trans Koetaradja saat SMP hingga sekarang, banyak sekali perubahan yang ia rasakan. Mulai dari segi fasilitas seperti kursi prioritas, tong sampah di dalam bus, hingga layanan bus  Trans Campus di Kopelma Darussalam, belum lagi inovasi baru seperti  TOB (Tap on Bus). “Juga, adanya aplikasi Trans Koetaradja bikin lebih mudah untuk melacak waktu kedatangan bus, itu keren sih,” ujar Dina. Ia berharap ke depannya Trans Koetaradja terus meningkatkan layanan dan menghadirkan inovasi-inovasi baru yang semakin memudahkan masyarakat dalam beraktivitas sehari-hari. Bagi Raja – sebutan pengguna Trans Koetarajada – yang punya cerita seru seperti Dina, kamu bisa tulisan ceritamua di link ini bit.ly/AkudanTransK.(MG/TR) Baca Tulisan Lainnya: Saatnya Berpihak pada Transportasi Publik Gerbang Laut Menuju Simelue Wagub Aceh Sapa Sopir Truk di Puncak Geurutee, Beri Jajan Makan Siang

Saatnya Berpihak pada Transportasi Publik

Sejarah membuktikan tak satu pun negara maju yang kotanya tidak didukung sistem transportasi publik yang memadai. Oleh Djoko Setijowarno* 25 Sep 2025 11:00 WIB Transportasi yang terjangkau dapat menjamin setiap orang bisa menikmati peluang, kebebasan, dan kebahagiaan. Itu kalau pemerintahnya becus dan peduli. (Litman, 2025) Selama kampanye pilpres, Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming berjanji memberikan subsidi angkutan umum. Namun, janji tersebut hingga kini belum benar-benar terwujud. Padahal, pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk menyediakan transportasi publik yang aman, nyaman, dan terjangkau sebagaimana diamanatkan Pasal 138 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009. Akibat kurangnya perhatian ini, dampaknya terasa langsung oleh masyarakat. Banyak dari mereka lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Macet parah, polusi udara, dan sederet akibat buruk lain terus mengakrabi publik. Ketidakberpihakan pemerintah pada pembangunan angkutan umum tampak nyata pada postur APBN 2026 yang menunjukkan turunnya anggaran untuk Kementerian Perhubungan. Penurunan ini akan memengaruhi layanan transportasi publik, terutama di sektor darat. Yang paling terdampak adalah program Buy the Service (BTS) untuk transportasi perkotaan dan Bus Perintis untuk Area 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Penurunan kualitas layanan angkutan publik dapat memicu kenaikan biaya transportasi, yang pada akhirnya akan menambah beban pengeluaran masyarakat. Berdasarkan Survei Biaya Hidup (SBH) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, biaya transportasi di Indonesia memiliki porsi yang signifikan dalam pengeluaran rumah tangga, yaitu rata-rata 12,46 persen dari total biaya hidup. Angka ini lebih tinggi dari standar ideal Bank Dunia yang merekomendasikan porsi pengeluaran transportasi tidak lebih dari 10 persen. Data tersebut menunjukkan bahwa beban biaya transportasi tetap tinggi, terutama di kota-kota besar di Indonesia. Biaya tersebut mencakup tidak hanya transportasi publik, tetapi juga pengeluaran untuk transportasi pribadi, seperti bahan bakar. Tingginya biaya ini disebabkan berbagai faktor, termasuk belum terintegrasinya sistem transportasi publik secara menyeluruh, serta biaya tambahan, seperti ojek online dan parkir yang signifikan dalam perjalanan sehari-hari, yang dikenal sebagai masalah first mile-last mile . Pemerintah sebenarnya telah menargetkan pembenahan angkutan umum di 20 kota dalam RPJMN 2025-2029. Namun, pemenuhan program ini diragukan. Setelah mencapai puncaknya di angka Rp 582,98 miliar pada tahun 2023, alokasi anggaran terus menurun hingga direncanakan hanya Rp 82,6 miliar di tahun 2026. Tahun depan, anggaran itu untuk stimulus transportasi umum. Akan tetapi, hanya menyasar lima kota, yakni Kabupaten Banyumas, Kota Manado, Kota Bekasi, Kota Depok, dan Kota Balikpapan. Komitmen pusat terhadap pemerataan perbaikan transportasi umum di daerah pun dipertanyakan. Indonesia memiliki 514 pemerintah daerah di 38 provinsi, terdiri dari 416 kabupaten dan 98 kota, sudah seharusnya Kementerian Perhubungan menindaklanjuti dengan meningkatkan anggaran pembenahan angkutan umum setiap tahunnya. Dari sisi pemda, meskipun sering terkendala masalah anggaran, saat ini sudah ada 35 pemda berinisiatif mengalokasikan APBD mereka untuk membiayai operasional layanan angkutan umum. Upaya ini telah dilakukan antara lain oleh 11 pemerintah provinsi, 15 kota, dan 9 kabupaten. Kemudian, ada dua pemda memiliki perda yang mengatur alokasi 5 persen dari APBD untuk subsidi angkutan umum. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 mencanangkan 20 kota sebagai target pengembangan, tetapi hanya empat di antaranya yang merupakan kota baru, yakni Manado, Pontianak, Malang, dan Bandar Lampung. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, mampukah kita mencapai visi Indonesia Maju 2045 jika langkah yang diambil lambat? Keinginan besar untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 bisa jadi hanya akan menjadi wacana belaka jika kita tidak berani mengambil tindakan nyata dan radikal. Sejarah membuktikan, tak satu pun negara maju yang kotanya tidak didukung sistem transportasi publik yang memadai. Layanan angkutan umum yang layak bukan sekadar fasilitas, melainkan tulang punggung perekonomian dan kualitas hidup masyarakat. Pembenahan transportasi umum di Jakarta sejak 2004 sudah membuktikan itu. Dalam kurun 20 tahun sudah menampakkan hasilnya. Sistem transportasi umum di Jakarta menempati peringkat ke-17 dari 50 kota dunia berdasarkan survei internasional yang dirilis Time Out, melampaui Kuala Lumpur dan Bangkok (Kompas.id, 9/9/2025). Tahun 2045 masih 20 tahun lagi. Belajar dari Jakarta, berarti masih tersedia cukup waktu membangun jaringan layanan angkutan umum di daerah secara memadai. Tentunya pembenahannya harus dimulai saat ini juga dan harus gencar didukung anggaran memadai. Bagi daerah yang sudah mandiri dengan APBD, Ditjen Hubdat dapat menganggarkan bantuan sejumlah bus yang dibutuhkan. Bantuan itu sudah mengurangi 9-12 persen perhitungan biaya operasi kendaraan (BOK). Perlu bantuan pusat Kemampuan fiskal di sejumlah daerah memang tak sebesar Jakarta. Namun, penyelenggaraan angkutan umum di daerah tergantung dari kemauan politik (political will) kepala daerah. Selain itu, pemerintah pusat juga harus memberikan stimulan awal atau bantuan dana alokasi khusus (DAK) angkutan umum bagi daerah yang sudah secara mandiri menyelenggarakan angkutan umum. DAK harus diberikan agar pemenuhan kebutuhan angkutan umum di daerah tercukup. Lalu, pemerintah pusat dapat mengalihkan sebagian anggaran subsidi BBM untuk penyelenggaraan angkutan umum di daerah. Insentif kendaraan listrik prioritaskan untuk angkutan umum. Anggaran program angkutan umum harus ditetapkan sebagai mandatory dalam usulan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, seperti halnya pendidikan dan kesehatan. Saatnya kita mengubah keinginan menjadi kenyataan, wacana menjadi aksi. Mari bersama-sama pastikan, setiap kota di Indonesia memiliki layanan transportasi publik yang prima.(*) *Djoko Setijowarno , Akademisi Unika Soegijapranata, Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI)

Wagub Aceh Sapa Sopir Truk di Puncak Geurutee, Beri Jajan Makan Siang

Aceh Jaya – Wakil Gubernur Aceh, H. Fadhlullah, SE., menunjukkan sikap humanisnya saat melakukan perjalanan dengan sepeda motor bersama Kapolda Aceh, Marzuki Ali Basyah, di kawasan Gunung Geurutee, Kabupaten Aceh Jaya, Sabtu, 4/10. Dalam kesempatan itu, Fadhlullah menyapa supir truk berpelat luar Aceh yaitu truk dengan plat BK (Sumatera Utara) dan BA (Sumatera Barat), yang sedang melintas di jalur tersebut. Karena jalanan macet, kedua sopir memperlambat laju kendaraan. Wagub pun beranjak dari tempat duduknya di salah satu pondok pinggir jalan untuk menyapa mereka. “Sudah makan, belum?” tanyanya sambil tersenyum. Ia lalu memberikan uang jajan sebagai bekal makan siang. “Ini untuk makan siang ya,” ujar Fadhlullah. Tak hanya itu, Wagub juga memastikan kondisi keamanan berkendara bagi sopir truk luar daerah selama berada di Aceh. “Aman kan di Aceh, gak ada yang stop untuk ganti pelat kan?” tanyanya. Kedua sopir menjawab dengan senyum sumringah, “Aman pak!” Aksi sederhana itu menuai simpati karena memperlihatkan wajah ramah dan bersahabat Pemerintah Aceh kepada para pendatang yang melintasi wilayahnya. Meski begitu, Pemerintah Aceh tetap mengingatkan pentingnya penggunaan plat kendaraan Aceh (BL) bagi masyarakat maupun perusahaan yang berdomisili dan beroperasi di Aceh. Sebelumnya Kepala Dinas Perhubungan Aceh, Teuku Faisal, menegaskan bahwa kebijakan ini lebih menekankan pada imbauan, sosialisasi dan edukasi. “Pemerintah Aceh memberikan imbauan dengan mengedepankan pendekatan persuasif. Namun imbauan ini tidak bersifat mengikat,” kata Faisal pada Senin, (29/9) pekan lalu. “Yang kita dorong adalah kesadaran bersama bahwa dengan pajak kendaraan dibayar di Aceh, pembangunan jalan dan fasilitas publik bisa lebih baik,” lanjut Teuku Faisal. Senada, beberapa waktu lalu Kepala BPKA Reza Saputra menyebut jika pajak kendaraan bermotor adalah sumber penting untuk membiayai pembangunan jalan dan transportasi publik di Aceh. “Orang Aceh yang sayang Aceh ayo bayar pajak kendaraan untuk Aceh. Dengan begitu, manfaatnya kembali ke kita sendiri,” ujarnya. Ia menyebutkan bahwa sejak tahun 2025 ini, pemungutan pajak alat berat akan diberlakukan sesuai amanat UU dan Qanun Aceh, sehingga seluruh sektor bisa berkontribusi bagi pembangunan daerah. (HZ) Baca Berita Lainnya: Docking Kapal Sangat Penting, Mengapa? Dishub Aceh Lakukan Evaluasi Terhadap Perizinan Angkutan Umum AKDP di Aceh Stop Turunkan Motor di Halte Trans Koetaradja, Ganggu Operasional Bus!

Dishub Aceh Lakukan Evaluasi Terhadap Perizinan Angkutan Umum AKDP di Aceh

BANDA ACEH – Dinas Perhubungan (Dishub) Aceh menyelenggarakan kegiatan sosialisasi dan edukasi mengenai regulasi perizinan dan operasional angkutan umum antar kota dalam provinsi (AKDP) Aceh di Hotel Ayani Banda Aceh, Kamis, 2 Oktober 2025. Kegiatan bertajuk evaluasi kepatuhan perusahaan angkutan AKDP terhadap regulasi perizinan dan operasional angkutan itu mengundang seluruh pimpinan dan perwakilan perusahaan angkutan AKDP serta para pimpinan stakeholder transportasi dan mitra kerja perhubungan di Aceh. Kepala Dinas Perhubungan Aceh Teuku Faisal dalam sambutannya menyebutkan, kegiatan ini merupakan forum penting dalam rangka meningkatkan tata kelola angkutan umum AKDP, khususnya menyangkut kepatuhan terhadap regulasi perizinan dan operasional. “Kepatuhan terhadap regulasi bukan hanya kewajiban administratif, melainkan bagian dari upaya untuk menjamin keselamatan, keamanan, dan kenyamanan pelayanan kepada masyarakat,” sebutnya. Realita di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak perusahaan angkutan umum AKDP yang belum menjalankan kewajibannya. Mulai dari kurangnya kelengkapan administrasi, baik SK penyelenggaraan dan kartu pengawasan, penyimpangan trayek, penggunaan kendaraan yang tidak laik jalan, pengoperasian kendaraan yang tidak terdata dalam SK penyelengaraan angkutan, hingga perizinan yang belum diperbaharui sesuai ketentuan. “Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara Pemerintah, operator angkutan, dan stakeholder lainnya guna menciptakan sistem transportasi yang tertib, efisien, dan berkelanjutan,” ungkap Teuku Faisal. Dishub Aceh, lanjut Teuku Faisal, telah melakukan sejumlah upaya penertiban bersama stakeholder, baik Ditlantas Polda Aceh, BPTD Kelas II Aceh, PT Jasa Raharja, DPMPTSP Aceh, dan Organda Aceh melalui inspeksi penyelenggaraan angkutan umum AKDP setiap tahunnya. “Hasil inspeksi serta evaluasi angkutan AKDP nantinya akan kita publish melalui media cetak dan elektronik, termasuk media sosial agar masyarakat memperoleh informasi yang transparan mengenai layanan angkutan AKDP sehingga mereka bisa memilih angkutan yang aman bagi keselamatan jiwa mereka,” ujarnya. Di samping memastikan perusahaan angkutan memenuhi standar pelayanan minimal (SPM), inspeksi angkutan juga memeriksa kondisi fisik armada angkutan, baik administratif maupun teknis, guna memastikan sistem keselamatan pada kendaraan telah diterapkan dengan baik. Berdasarkan data perizinan angkutan umum AKDP, terdapat 110 perusahaan angkutan AKDP yang terdaftar pada tahun 2025 di Dinas Perhubungan Aceh. Sebanyak 35 perusahaan di antaranya dengan status Izin Penyelenggaraan dan Kartu Pengawasan (KPS) yang masih berlaku, 26 perusahaan dengan Izin Penyelenggaraan masih berlaku tapi KPS sudah habis masa berlaku, sedangkan 23 perusahaan memiliki izin penyelenggaraan dan KPS yang sudah habis masa berlaku terdapat juga 23 Perusahaan masih berstatus CV dan belum mengubah status perusahaan ke PT, dan 3 Perusahaan masih proses izin baru. Kadishub Aceh berharap melalui sosialisasi ini dapat terbangun komitmen bersama untuk melakukan evaluasi, pembinaan, dan pengawasan secara konsisten serta menyusun langkah-langkah strategis untuk meningkatkan kepatuhan angkutan AKDP terhadap regulasi yang berlaku. Pada kesempatan yang sama, Kepala Seksi Sarana dan Angkutan Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Renny Anggeraeni Robin memaparkan hasil evaluasi tingkat kepatuhan perizinan angkutan umum di Aceh. Berdasarkan paparan tersebut, tercatat ada sebanyak 646 kendaraan angkutan AKDP atau sebesar 33,25% dari 1.943 kendaraan yang terdata pada tahun 2025, memiliki Izin Penyelenggaraan dan KPS yang telah habis masa berlaku Sedangkan kendaraan yang memiliki Izin Penyelenggaraan dan KPS masih berlaku sebanyak 841 unit kendaraan. Sementara 456 kendaraan lainnya memiliki Izin Penyelenggaraan masih berlaku tetapi KPS-nya telah habis masa berlaku. Renny juga mengajak seluruh pimpinan perusahaan angkutan umum untuk meningkatkan tata kelola perusahaan dan operasional angkutan sehingga masyarakat selaku pengguna jasa dapat terjamin keselamatannya. Acara sosialisasi ini dilanjutkan dengan pemaparan materi yang disampaikan oleh perwakilan Ditlantas Polda Aceh, DPMPTSP Aceh, dan PT Jasa Raharja Aceh.(AB) Baca Berita Lainnya: Docking Kapal Sangat Penting, Mengapa? APILL Berbasis ATCS Hadir di Simpang BPKP Banda Aceh Masyarakat Antusias Sambut Rute Baru Feeder Trans Koetaradja Simpang Mesra – Kajhu

APILL Berbasis ATCS Hadir di Simpang BPKP Banda Aceh

Banda Aceh – Pemerintah Aceh melalui Dinas Perhubungan terus meningkatkan kualitas pelayanan lalu lintas demi kenyamanan masyarakat. Salah satu langkah yang dilakukan adalah memastikan lampu lalu lintas berfungsi dengan baik. Sebelumnya, pengendara di Simpang BPKP Kota Banda Aceh kerap menghadapi kendala akibat lampu lalu lintas yang sering tidak berfungsi. Kondisi ini berdampak pada ketidaklancaran arus kendaraan. Menanggapi permasalahan tersebut, Dinas Perhubungan Aceh membangun Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APILL) modern berbasis Area Traffic Control System (ATCS) di Simpang BPKP. Pembangunan ini dilakukan setelah evaluasi menyeluruh terhadap perangkat lama, sekaligus menindaklanjuti laporan serta keluhan masyarakat terkait permasalahan lalu lintas di kawasan tersebut. APILL yang kini terpasang dilengkapi dengan kamera pemantau yang terhubung langsung ke Control Center Room Dinas Perhubungan Kota Banda Aceh. Dengan sistem ini, pengaturan waktu sinyal lampu dapat disesuaikan secara dinamis mengikuti kondisi lalu lintas secara real time. Sistem ini diharapkan mampu mengurai kepadatan kendaraan, sekaligus meminimalisir potensi kemacetan. Sebanyak empat unit tiang APILL kini terpasang di setiap ruas jalan, yakni Jalan T. Iskandar 1, Jalan T. Iskandar 2, Jalan P. Nyak Makam, dan Jalan Prof. Ali Hasjmy.(AP) Baca Berita Lainnya: Masyarakat Antusias Sambut Rute Baru Feeder Trans Koetaradja Simpang Mesra – Kajhu ASN Dishub Aceh Gotong Royong Peringati World Cleanup Day 2025 Dishub Aceh Gandeng Komunitas Vespa Bersihkan Rambu Jalan

Masyarakat Antusias Sambut Rute Baru Feeder Trans Koetaradja Simpang Mesra – Kajhu

Banda Aceh – Layanan Feeder Trans Koetaradja kembali menambah rute baru untuk mempermudah mobilitas Masyarakat. Kali ini, rute Simpang Mesra- Kajhu resmi beroperasi dan sudah dapat digunakan oleh penumpang sejak 16 September 2025. Kehadiran bus ini menjadi salah satu upaya Pemerintah Aceh melalui Dinas Perhubungan (Dishub) Aceh untuk memperluas akses transportasi publik yang aman, nyaman, dan terjangkau bagi masyarakat. Rute dengan panjang 6,7 km dengan 22 titik halte ini di sambut antusias oleh warga, terutama masyarakat di kawasan Simpang Mesra – Kajhu. Adanya jalur ini, mobilitas masyarakat menuju pusat kota maupun kawasan pesisir menjadi lebih mudah tanpa harus bergantung pada transportasi pribadi atau ojek daring. Salah satu penumpang, Annis Zulfiah, mahasiswi UIN Ar-Raniry di Banda Aceh, mengaku sangat terbantu dengan adanya layanan rute baru ini, Selasa, 30 September 2025. “Dengan adanya rute terbaru ini sangat membantu untuk saya yang belum memiliki motor pribadi. Akses dari Kajhu ke Simpang Mesra lebih mudah, sebelum adanya rute terbaru ini saya biasanya naik ojek,“ katanya. Senada dengan Annis, Andi warga Labuy, Aceh Besar merasa dimudahkan juga dengan adanya rute terbaru Trans Koetaradja Simpang Mesra ke Kajhu. “Ini tentunya memudahkan kami dalam bepergian. Alhamdulillah bus ini juga masih gratis,” katanya. Seperti diketahui, operasional bus yang telah ada sejak tahun 2016 ini didukung oleh dua unit bus pada hari Senin dan Jumat. Sementara terdapat satu unit bus pada hari Sabtu. Dalam sehari, bus beroperasi sebanyak 3 rit dengan jadwal operasional mulai pukul 06.50 WIB – 17.30 WIB. Penumpang dapat melakukan transit di halte utama Trans Koetaradja untuk melanjutkan perjalanan ke rute koridor lain.(MG) Baca Berita Lainnya: ASN Dishub Aceh Gotong Royong Peringati World Cleanup Day 2025 Dishub Aceh Gandeng Komunitas Vespa Bersihkan Rambu Jalan Lanjutkan Semangat Harhubnas, Dishub Aceh Gelar Aksi Bersih-Bersih di Ulee Lheue

ASN Dishub Aceh Gotong Royong Peringati World Cleanup Day 2025

Banda Aceh – Aparatur Sipil Negara (ASN) Dinas Perhubungan Aceh melaksanakan gotong royong membersihkan lingkungan kantor, Jumat 26/9 pagi. Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari edaran Sekretariat Daerah Aceh dalam rangka memperingati World Cleanup Day (WCD) Aceh Tahun 2025. Sekretaris Dishub Aceh, Teuku Rizki Fadhil mengatakan gotong royong ini menjadi bagian dari komitmen ASN Dishub untuk menjaga kebersihan dan kenyamanan lingkungan kerja. “Kami menindaklanjuti arahan Bapak Sekda Aceh, dan pagi ini seluruh ASN Dishub bersama-sama membersihkan halaman kantor dan ruang kerja. Ini juga menjadi momentum untuk memperkuat rasa kebersamaan di lingkungan Dishub,” ujarnya. Kegiatan gotong royong berlangsung sejak pukul 07.45 pagi , dengan melibatkan seluruh pegawai Dishub Aceh. Para ASN terlihat antusias membersihkan area halaman, jalanan di depan kantor, hingga ruangan kantor. Selain gotong royong, ASN Dishub Aceh juga menggelar kegiatan doa bersama, kegiatan yang rutin dilaksanakan setiap Jumat pagi. World Cleanup Day (WCD) diperingati setiap tahunnya pada tanggal 20 September. Memperingati kegiatan itu, Dishub Aceh sendiri sudah melakukan aksi sosial yaitu membersihkan rambu-rambu jalan di sepanjang ruas jalan di lintas barat Aceh. Kegiatan itu dilakukan bersama puluhan anggota komunitas vespa Banda Aceh Minggu, 22/09. Di hari Jumat (20/09), ASN Dishub juga telah melakukan aksi bersih-bersih di Lingkungan Masjid Baiturrahim Ulee Lheue, fasilitas publik Trans Koetaradja, hingga Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue.(HZ) Baca Berita Lainnya: Dishub Aceh Gandeng Komunitas Vespa Bersihkan Rambu Jalan Lanjutkan Semangat Harhubnas, Dishub Aceh Gelar Aksi Bersih-Bersih di Ulee Lheue Dishub Aceh Gelar Aksi Simpatik, Bagikan Helm SNI untuk Tingkatkan Keselamatan Berkendara

Labi-Labi Modern: Upaya Mengintegrasikan Kearifan Lokal dalam Inovasi Transportasi Massal di Aceh

*Oleh Syahrina Magfirah, Juara 3 Lomba Menulis Transportasi Aceh 2025 “Sebuah bangsa yang kehilangan transportasi publiknya, sesungguhnya kehilangan denyut sosialnya”[1]— demikian kutipan dari seorang sosiolog mobilitas, John Urry, yang rasanya sangat relevan dengan situasi Banda Aceh saat ini. Ada sebuah kenangan yang barangkali mulai memudar dari wajah Banda Aceh. Dulu, Terminal Keudah selalu riuh. Suara klakson bersahutan, penumpang bergegas naik, dan sopir labi-labi bersiul memanggil penumpang. Pada masa itu transportasi umum di Banda Aceh dan Aceh besar kebanyakannya di layani oleh labi-labi. Transportasi massal ini populer digunakan oleh pelajar, mahasiswa, hingga masyarakat biasa. Labi-labi digunakan untuk semua tujuan perjalanan baik sekolah, kuliah, belanja, berpergian ke kota, mengangkut hasil panen, dan sebagainya. waktu itu pendapatan masyarakat belum setinggi sekarang, pengguna motor dan mobil juga belum sebanyak saat ini. Di dalam labi-labi, semua lapisan masyarakat bertemu. Ibu-ibu dari pasar dengan keranjang rotan berisi sayur, mahasiswa dengan ransel penuh buku, hingga anak-anak kecil yang tertawa riang sambil duduk di pangkuan orang tuanya. Tak ada sekat sosial di sana, semua duduk sejajar, saling menyapa, saling berbagi cerita. Labi-labi adalah ruang sosial bergerak, tempat interaksi, dan tempat bersilaturahmi. Sayangnya, fenomena yang terjadi di Banda Aceh saat ini membawa fakta bahwa labi-labi kerap ditinggalkan dan geliat kendaraan pribadi terus meroket. Kini jalanan kota dipadati lautan kendaraan bermotor dan mobil pribadi bahkan di permukiman kecil sekalipun. Pilihan masyarakat untuk beralih ke kendaraan pribadi sejatinya cukup rasional. Fenomena ini sesungguhnya berangkat dari opini masyarakat dengan alibinya penumpang labi-labi kerap mengeluh karena suasana di dalam labi-labi terasa panas dan sempit, serta penumpang harus menunggu terlalu lama karena perjalanan terasa lambat akibat sering berhenti menunggu penumpang tambahan. Kenyataan di lapangan memang menunjukkan bahwa labi-labi gagal memperbaiki layanannya. Dari seribu lebih armada yang dulu beroperasi di awal 2000-an, kini hanya tersisa sekitar 352 unit, dan yang benar-benar aktif di jalan bahkan kurang dari 80.[2] Rute yang dulunya menjangkau 17 koridor utama kini menyusut menjadi tujuh atau delapan. Bahkan pada jam sibuk, okupansi rata-rata hanya enam hingga tujuh orang, jauh di bawah kapasitas ideal. Sementara itu, jalan-jalan Banda Aceh kini sesak oleh motor dan mobil pribadi, yang jumlahnya melonjak 10–12 persen setiap tahun. Kehadiran bus Trans Koetaradja yang gratis sejak beberapa tahun terakhir juga semakin memperparah kondisi labi-labi. Layanan Trans Koetaradja relatif lebih nyaman dan teratur, sehingga banyak diminati masyarakat. Hal ini tentu berdampak sangat signifikan terhadap penghasilan para sopir labi-labi yang kini terpaksa mangkal di sudut-sudut kota karena di terminal tidak ada yang datang. Kehadiran transportasi modern ini memang patut diapresiasi, tetapi di sisi lain kehadirannya membuat labi-labi semakin terpinggirkan. Dishub Aceh sebenarnya memiliki kesempatan emas untuk menciptakan ekosistem transportasi yang saling melengkapi, bukan saling mematikan.  Karena labi-labi adalah bagian dari sejarah transportasi Aceh yang tidak boleh hilang begitu saja. Justru dengan hadirnya Trans Koetaradja, seharusnya ada peluang untuk mengintegrasikan labi-labi sebagai feeder atau penyambung ke area-area yang belum terjangkau oleh bus besar. Banyak media lokal yang menyebutkan bahwa labi-labi kini hanya tinggal kenangan. Pertanyaannya, apakah kita rela melepas begitu saja ikon yang menjadi memori kolektif bagi kebanyakan orang Aceh? karena di balik kemerosotan itu, sebenarnya ada sesuatu yang tak boleh dilupakan. Labi-labi bukan hanya soal moda transportasi, melainkan bagian dari identitas Aceh. Nama “labi-labi” diambil dari kura-kura, hewan yang berjalan perlahan namun pasti, seakan mencerminkan ritme hidup masyarakat Aceh yang tenang dan bersahaja. Desainnya yang sederhana dengan kursi berhadap-hadapan membentuk ruang interaksi sosial. Penumpang bisa saling mengenal, berbagi informasi, bahkan mempererat silaturahmi. Dalam sudut pandang antropologis, labi-labi adalah ruang sosial bergerak yang mencerminkan nilai gotong royong dan keterbukaan masyarakat Aceh. Jika moda ini benar-benar punah, maka hilang pula salah satu simbol budaya transportasi Aceh. Sebelum menyerah dengan keadaan ini, mari kita melirik kota-kota lain di Indonesia yang menghadapi persoalan serupa. Jakarta, misalnya yang punya program Jak Lingko yang mengintegrasikan mikrotrans dengan Trans Jakarta, MRT, LRT, hingga KRL. Sistem tarifnya dibuat sederhana: maksimal sepuluh ribu rupiah untuk tiga jam perjalanan. Sopir mikrotrans tidak lagi bergantung pada setoran, melainkan digaji operator. Hasilnya, angkot kembali hidup, lebih tertib, dan menjadi feeder bagi moda besar. Pemerintah pusat juga mengembangkan program Teman Bus di sejumlah kota seperti Palembang, Solo, Denpasar, hingga Medan. Prinsipnya sama: operator dibayar berdasarkan jarak tempuh, bukan jumlah penumpang. Dengan begitu, tidak ada lagi ngetem, dan layanan menjadi lebih baik. Yogyakarta juga punya Trans Jogja, yang meski sederhana, tetap menjaga eksistensi angkutan kota dengan sistem bus dan feeder. Disisi lain Surabaya menghadirkan Suroboyo Bus dengan inovasi sosial: tiket dibayar menggunakan sampah plastik. Konsep ini bukan hanya menyelamatkan transportasi publik, tetapi juga menjadi edukasi lingkungan bagi masyarakat. Semarang juga mereformasi angkot menjadi feeder Trans Semarang, di mana sopirnya menerima gaji tetap. Semua contoh ini menunjukkan bahwa angkutan kota tradisional bisa diselamatkan, asal dikelola dengan manajemen modern, tarif terintegrasi, dan didukung pemerintah. Aceh juga memiliki peluang emas untuk menghadirkan inovasi transportasi yang tidak kalah menarik dari kota-kota lain di Indonesia. Jika Bandung bangga dengan Bandros dan Solo memiliki Werkudara, mengapa Aceh tidak melahirkan “Labi-Labi Modern” yang menjadi kebanggaan tersendiri? Visi ini bukan sekadar mimpi, tetapi blueprint  yang dapat diwujudkan melalui leadership Dishub Aceh. Konsep integrasinya sangat strategis: labi-labi modern beroperasi sebagai feeder system yang memperkuat, bukan mengancam eksistensi Trans Koetaradja. Sistem tarif terintegrasi memungkinkan penumpang menggunakan satu kartu atau aplikasi untuk semua moda transportasi dari Trans Koetaradja ke labi-labi, bahkan ojek online. Revolusi terbesar terletak pada transformasi sistem operasional: sopir tidak lagi bergantung pada setoran harian yang tidak pasti, melainkan menerima gaji tetap melalui skema buy the service yang memberikan kepastian ekonomi dan meningkatkan kualitas pelayanan. Dari sisi teknologi, labi-labi modern dapat menjadi showcase smart transportation Aceh. Armada listrik berdesain compact dan aerodinamis, dihiasi motif khas Aceh seperti pucok rebung, rencong, atau songket yang dipadukan dengan material modern. Internet of Things (IoT) memungkinkan real-time monitoring kondisi kendaraan, sementara artificial intelligence mengoptimalkan rute berdasarkan pola lalu lintas dan kepadatan penumpang. Sistem pembayaran blockchain juga dapat memastikan transparansi dan akuntabilitas keuangan yang dapat diaudit publik. Yang tidak kalah revolusioner adalah pengembangan command center transportasi terintegrasi oleh Dishub. Dashboard digital menampilkan real-time data seluruh armada labi-labi, tingkat okupansi, kondisi lalu lintas, dan prediksi demand. Penumpang dapat