Setir dan Sepiring Sate: Estu Menantang Malam dari Takengon
Aceh TRANSit – Takengon, rokok menyala pelan di sela jari Estu Budianto, yang akrab dipanggil Wen. Ia duduk santai di warung kopi pinggir terminal, espresso arabika di hadapannya mengepulkan aroma yang akrab. Wajahnya masih segar, tak menua oleh waktu, meski sepuluh tahun sudah ia melewati jalan lintas provinsi sebagai sopir angkutan AKDP. Wen, memulai karier dari bawah. “Tahun 2014 saya cuma nyuci mobil di doorsmeer milik perusahaan angkutan di Banda Aceh. Gak lanjut kuliah,” tutur pria yang kini berusia 31 tahun itu dengan tenang. Dari situlah ia mulai kenal dunia persupiran, dan tak lama kemudian dipercaya menjadi sopir jemput. Dunia AKDP mengenal dua jenis sopir: sopir jemput dan sopir jalan. Sopir jemput menjemput penumpang dari rumah ke rumah, karena banyak yang kesulitan menjangkau terminal dan membutuhkan biaya tambahan. Perjalanan kariernya telah membawa ia ke kursi kemudi mobil Hiace lintas kota. Awalnya sopir cadangan, kini ia memegang rute tetap Banda Aceh – Takengon, Aceh Tengah. Rutinitas malam hari menjadi sahabat dan kantuk menjelang subuh adalah musuh utama. “Saya nikah tahun 2016, semua dari hasil nyopir,” katanya bangga. Anak sulungnya baru saja masuk SD. Dalam obrolan, Wen tak banyak mengeluh. “Cukup untuk makan, cukup untuk hidup dan gak punya utang,” tambahnya sambil tertawa. Dan inilah bagian yang membuat semua teman ngopi tergelak: “Gaji kami lebih besar dari gaji pokok PNS, gaji pokok tapi ya bang,” ujarnya sambil tertawa lepas yang semua mendengarkan kisahnya tahu arah ucapannya.Lalu ia menambahkan, “Kalau berhenti di warung makan saya selalu disuguhi makan sate dan ayam geprek sama pemilik warung. Ya begitulah, hidup di jalan kadang lebih gurih dari yang kerja di kantor.” Satir itu muncul begitu saja, tanpa maksud merendahkan. Justru disitulah letaknya: kerja keras di jalan bisa jadi tumpuan hidup, bukan sekadar peluh yang hilang di aspal. Tak berseragam, tak tercatat absensi, tapi tetap bisa pulang dengan sesuatu yang hangat—di piring dan di hati. Namun tentu, ada risiko. Ia pernah mengalami kecelakaan ringan, dan tantangan kabut dataran tinggi Takengon jadi cerita harian. Tapi Wen tak gentar. “Musibah bagian dari lalu lintas di jalan,” katanya. Kini, Wen mengangsur Hiace pribadi lewat skema kerja sama dengan perusahaan. “Memang awalnya berutang, tapi jelas arahnya. Kalau tua nanti, saya balik ke loket atau jadi supir jemput. Rezeki masih bisa dicari,” katanya yakin. Menutup cerita, Wen menyampaikan harapan, “Supir ini ujung tombak. Kami butuh pemerintah, bukan sekadar aturan, tapi juga bimbingan. Ajak kami bicara soal izin, soal tata kelola. Jangan tiba-tiba razia tanpa pemahaman,”pungkasnya. Dan seperti segelas kopi yang perlahan dingin di dataran tinggi, Wen tetap hangat dengan prinsip: ramah, disiplin, dan jujur. Bukan hanya setir yang ia pegang erat, tapi juga harapan bahwa jalanan tak hanya membawa lelah, tapi juga harga diri.(T.Fajar Hakim) Baca Selengkap Tulisan Aceh TRANSit lainnya klik di bawah ini: