Dishub

BANDARA ACEH SEBAGAI PINTU GERBANG UNTUK “MEMPERCEPAT” PERTUMBUHAN EKONOMI

Arah pengembangan transportasi udara berdasarkan Tataran Transportasi Wilayah Aceh yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 102 Tahun 2014 mengisyaratkan peningkatan pelayanan dan memperbaiki tatanan pelayanan angkutan antarmoda dan kesinambungan transportasi dengan menerapkan konsep Transit Oriented Development (TOD) serta meningkatkan pelayanan angkutan udara perintis. Letak geografis Aceh yang berada diantara jajaran panjang perbukitan dan kepulauan yang tersebar mengisyaratkan pada kebutuhan transportasi yang cepat, nyaman dan handal. Di samping itu juga, Aceh memiliki 12 (dua belas) bandar udara termasuk Bandara Point A, bandara khusus milik exxonmobil oil company. Bandar udara dalam wilayah Aceh pernah melayani 10 (sepuluh) rute perintis pada Tahun 2018, akan tetapi berdasarkan kajian evaluasi Kementerian Perhubungan, saat ini hanya melayani 5 (lima) rute perintis, dengan jumlah rute saat ini terdapat bandar udara yang sama sekali tidak dilayani oleh penerbangan. Pada kawasan yang jarak tempuh sangat jauh dari pusat-pusat kegiatan dan pemerintahan tentu akan mengalami kesulitan untuk menjangkau atau diakses untuk dapat meningkatkan kunjungan wisatawan. Hal ini juga menunjukkan bahwa bandar udara yang ada tidak dapat diharapkan sebagai infrastruktur pengembangan ekonomi wilayah apalagi untuk kepentingan mitigasi bencana. Frekuensi layanan bandara saat ini tentu belumlah optimal. Penerbangan sekali dalam seminggu atau bahkan sama sekali tidak ada menjadi perbincangan. Faktanya, jika masyarakat hendak menggunakan moda udara ke tempat tujuan pada hari Senin maka mereka harus kembali ke tujuan asal pada hari Senin Minggu berikutnya. Ini juga merupakan polemik bagi layanan penerbangan, bahwa memilih moda transportasi udara bahkan lebih tidak efisien dibandingkan pelayanan moda transportasi lainnya. Pemerintah Kabupaten Kota yang memiliki bandara terus melakukan perlawanan terhadap kondisi di atas. Penghapusan rute dan pengurangan frekuensi yang telah dilakukan belum memberikan alternatif yang tepat dalam menyediakan kenyamanan pelayanan transportasi yang cepat dan handal. Pemerintah Kabupaten Simeulue memberikan usulan program angkutan udara perintis Tahun 2021 yang dikirimkan oleh Bupati Simeulue untuk meminta penambahan rute penerbangan perintis dan frekuensi penerbangan Sinabang. Kondisi daerah Simeulue yang terisolir dan tidak mudah dijangkau oleh transportasi darat serta daerah rawan bencana sangat membutuhkan penerbangan perintis. Kondisi-kondisi ekstrem seperti gelombang tinggi dan badai yang dialami oleh daerah pulau ini mengakibat terhentinya pelayanan transportasi. Dampak ini menuntut masyarakat harus bermalam di area pelabuhan dengan kondisi ala kadar. Angin laut yang menerpa tubuh lelah masyarakat dan menggeruguti tulang seakan lumrah berjalan alami. Namun di sisi lain, ada hal yang mendesak dari terhentinya pelayanan. Harga barang di daratan kepulauan kian melonjak, pasokan kebutuhan pokok pun kian menipis. Masyarakat kembali memikul kesengsaraan yang bertubi-tubi. Apakah hal ini patut dibiarkan menerus? Kabupaten Simeulue juga sering diguncang gempa dengan potensi tsunami yang besar juga mendorong daerah ini terus mempersiapkan diri terhadap mitigasi bencana. Sebagai salah satu upaya tersebut dengan membuka gerbang akses logistik, medis dan tanggap darurat secara cepat, tepat dan handal. Keberadaan Bandara Syekh Hamzah Fansuri, Aceh Singkil dalam tahun ini juga tidak dilayani rute penerbangan perintis. Padahal, Pemerintah Aceh terus mendorong berkembangnya wisata alam Rawa Singkil dan pesona alam Pulau Banyak. Sehingga, wisatawan yang hendak berwisata ke kawasan Singkil dan Pulau Banyak mengurungkan niatnya karena waktu dan jarak tempuh dengan rentang yang jauh akan menekan efisiensi biaya yang telah direncanakan untuk perjalanan. Di sisi lain, Aceh Tenggara memiliki bandara yang dibangun oleh Uni Eropa ini juga belumlah optimal. Faktanya, masyarakat hanya dapat melakukan satu kali penerbangan seminggu dan harus menunggu jadwal kepulangan pada minggu berikutnya. “Ini merupakan kendala terbesar bagi kami yang memiliki urusan mendesak di Ibukota Provinsi tidak bisa serta merta terbang ke Banda Aceh, kalau pun naik jalur darat itu butuh waktu yang lama dan jauh, energi pun telah terkuras,” ujar salah satu masyarakat dalam rapat koordinasi kebijakan bidang transportasi. Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 11 Tahun 2010 Tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional pasal 4 mencantumkan peran bandar udara sebagai pintu gerbang pertumbuhan ekonomi daerah, pendorong dan penunjang kegiatan industri, pembuka isolasi daerah, tempat kegiatan alih moda transportasi, pengembangan daerah perbatasan, penanganan bencana dan memperkokoh konektivitas daerah. Dalam hal ini, Pemerintah Aceh terus berupaya dalam mengembangkan bandara sesuai amanat agar peran dan fungsinya lebih optimal dalam memenuhi kebutuhan masyarakat transportasi dan mewujudkan pelayanan transportasi yang adil untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah. Kondisi infrastruktur bandara juga terus ditingkatkan agar laik operasional dan lancarnya pelayanan penerbangan. Pada saat ini, kondisi eksisting bandara yang masih melayani penerbangan perintis dan komersil sebanyak 7 (tujuh) dari 11 (sebelas) bandara umum, yaitu Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda (Aceh Besar), Malikussaleh (Aceh Utara), Patiambang (Gayo Lues), Cut Nyak Dhien (Nagan Raya), Kuala Batu (Aceh Barat Daya), Alas Leuser (Aceh Tenggara), dan Lasikin (Simeulue). Sementara 5 (lima) bandara lainnya sedang “tertidur” sejenak dan harus segera dibangunkan kembali. Lima bandara tersebut yaitu Bandara Syekh Hamzah Fansuri (Aceh Singkil), T. Cut Ali (Aceh Selatan), Rembele (Bener Meriah) dan Point A (Lhokseumawe). Karakteristik medan transportasi darat Aceh yang berliku dan dikelilingi perbukitan serta posisi pusat kegiatan yang memiliki jarak sangat jauh dari pusat-pusat kegiatan, menyumbang minat masyarakat akan pesawat terbang. Potensi wisata yang tersebar ke seantero wilayah Aceh juga membutuhkan alat transportasi yang cepat untuk menjangkaunya. Jika kata mereka “Jangan sampai banyak menghabiskan waktu di jalan daripada menikmati wisata itu sendiri”, para wisatawan tentu memilih jadwal perjalanan yang paling menyenangkan dengan biaya yang paling rendah. Berdasarkan kalkulasi awam, jika turis dari negeri jiran berlibur ke Aceh selama seminggu dengan waktu terbang selama 45 menit dari Kuala Lumpur – Blang Bintang, dan ingin menikmati nikmatnya kopi dan panorama alamnya yang indah di Takengon, Aceh Tengah dari Banda Aceh via darat, membutuhkan waktu tempuh selama 6 jam 41 menit dengan jarak tempuh sepanjang 309 KM dengan kondisi lalu lintas yang normal. Kondisi jalur eksisting melewati perbukitan dengan lembah yang relatif dalam sepanjang garis jalan. Potensi banjir dan longsor pada saat cuaca ekstrem juga kerap terjadi di kawasan tersebut hingga menutup akses antar Kecamatan. Potensi bencana tersebut hampir terjadi setiap tahun, dan tentu akan menguras banyak waktu dan tenaga dalam perjalanan, sehingga meyurutkan niat wisatawan untuk menikmati pesona Aceh. Hal ini juga terus mendorong Aceh untuk mempersiapkan diri terhadap aksesibilitas kebencanaan, layanan logistik, aktivitas ekspor impor, layanan ibadah masyarakat, kesehatan dan faktor kebutuhan layanan lainnya secara cepat dan handal. Sebagai alternatif upaya tersebut dapat dilakukan dengan “mempercepat” konektivitas

BUSINESS FORUM, UNTUK PENINGKATAN KONEKTIVITAS DISTRIBUSI LOGISTIK ACEH

Dorong peran sinergis Pelabuhan Malahayati dalam peningkatan konektivitas distribusi logistik di Aceh, PT. Pelindo I Cabang Malahayati bekerja sama dengan Dinas Perhubungan Aceh selenggarakan acara Business Forum, Rabu, 06 November 2019. Business Forum yang diadakan di Hotel Kyriad Muraya Banda Aceh ini mengangkat tema “Peningkatan Kegiatan Bongkar Muat di Pelabuhan Malahayati Sebagai Konektivitas Logistik di Aceh.” Acara yang pembiayaannya didukung oleh PT. Pelindo 1 Cabang Malahayati ini mengundang berbagai stakeholder yang terkait langsung dengan kegiatan dan kelancaran distribusi logistik di Aceh, seperti unsur Pemerintah, asosiasi dan dunia usaha. Hadir mewakili Plt. Gubernur Aceh, Kepala Dinas Perhubungan Aceh Junaidi, S.T., M.T., menyampaikan, Business Forum merupakan ruang bagi semua stakeholder untuk menyampaikan gagasan dalam rangka mengoptimalkan peran Pelabuhan Malahayati. “Keberadaan pelabuhan ini sangat dibutuhkan untuk mendukung aktivitas bisnis yang akan hadir di Kawasan Industri Aceh (KIA) Ladong,” papar Junaidi, membacakan pidato Plt. Gubernur Aceh, Nova Iriansyah. Dalam amanat pidato ini disebutkan, kehadiran sebuah kawasan industri harus dilengkapi dengan keberadaan pelabuhan laut sebagai pintu masuk untuk kegiatan ekspor impor. “Kawasan industri itu juga harus dilengkapi dengan pusat logistik serta jaringan transportasi multimoda agar aksesibilitas barang lebih mudah,” ungkap Junaidi. Business Forum diisi oleh beberapa pemateri diantaranya; Kepala Dinas Perhubungan Aceh Junaidi, ST., MT., dengan materi tentang Infrastruktur dan Konektivitas Logistik Pada Kawasan Industri Aceh, Direktur Utama PT. Pembangunan Aceh (PEMA) Zubir Sahim, dengan materi tentang Peluang Investasi Aceh, Perwakilan PT. Trans Continent, dengan materi tentang Dampak Industrialisasi dan Kawasan Industri Aceh Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Aceh, dan General Manager PT. Pelindo I Cabang Malahayati Sam Arifin Wiwi, dengan materi tentang Bongkar Muat Di Pelabuhan Malahayati Sebagai Konektivitas di Provinsi Aceh. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengevaluasi kinerja Pelabuhan Malahayati dalam mendukung program Tol Laut (T1) untuk mendorong KIA Ladong, mempersiapkan SDM bagi pelaku usaha dan penyedia jasa logistik, meningkatkan daya saing pengusaha, serta mengnyinergikan pelaksanaan kelogistikan untuk peningkatan pelayanan di bidang perhubungan. (AM)

KEBERSAMAAN PEKERJA DI BANDARA SIM DALAM BALUTAN KEMENANGAN IDUL ADHA

Banda Aceh (10/08), PT. Angkasa Pura II Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) menyelenggarakan Shalat Ied di halaman parkir Bandara SIM. Penyelenggaraan Shalat Ied ini juga diiringi dengan penyembelihan hewan qurban sebanyak empat ekor sapi dan satu ekor kambing yang akan dibagikan kepada masyarakat sekitar. Awalnya, penyelenggaraan Shalat Ied ini telah direncanakan pada tahun sebelumnya. Namun, pada tahun ini Angkasa Pura II bersama stakeholder terlibat berkesempatan melakukan shalat hari raya bersama. Dalam perbincangan singkat Tim Aceh Transit dengan Bapak Yos Suwagiyono, General Manajer PT Angkasa Pura II menyampaikan bahwa, “penyelenggaraan Shalat Ied ini menyikapi permintaan teman-teman imigrasi, mereka mengeluh selama beberapa tahun, puasanya full tapi nggak pernah Shalat Ied,” ucapnya penuh semangat. “Maka, sampailah hal ini kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Lalu, mereka koordinasi dengan airlines dan pihak terkait. Kemudian, mereka menyurati saya dan disampaikan juga ke Bupati Aceh Besar,” lanjutnya dengan rona wajah yang cerah. Dalam hal ini, Bupati Aceh Besar menghimbau Bandara SIM agar dapat menunda sementara penerbangan saat hari pertama Idul Adha mulai pukul 00.00 – 12.00 WIB. Terlebih dulu, manajeman Bandara SIM berkoordinasi dengan Otoritas Bandara Wilayah II Medan dalam menyikapi surat edaran tersebut. Dalam hal ini, Otoritas Bandara Wilayah II Medan selaku regulator agar tidak bertentangan dengan regulasi yang telah ditetapkan. Setelah berkoodinasi, manajemen Bandara SIM menghentikan sementara penerbangan pada tanggal 11 Agustus 2019 dari pukul 07.25 – 11.00 WIB. Namun, penerbangan pertama pada hari tersebut (penerbangan pukul 06.00 WIB –red) tetap beroperasi seperti biasanya. Dalam kesempatan ini juga, Junaidi, Kepala Dinas Perhubungan Aceh, menyampaikan bahwa secara teknis pelaksanaan aktifitas transportasi pada Shalat Ied tidak mengganggu pelayanan bandara. Hanya saja, pergeseran jam pelayanan setelah prosesi Shalat Idul Adha dan penyembelihan Qurban. Prosesi ini dapat dijadikan sebagai ritual rutin dalam penyambutan hari raya sekaligus sebagai identitas pribadi Aceh sebagai daerah Syari’at Islam. “Kita perlu tunjukkan kepada mereka, bahwa Aceh gini loh. Syiar Islam menyeruak dari pintu gerbang pertama Aceh. Niat baik seperti ini perlu kita pertahankan dan juga kita permudah jalan bagi yang ingin melaksanaan Shalat Hari Raya (Shalat Ied –red),” Imbuh Pak Yos dalam perbincangan ini. Tambahnya, pada momen seperti ini, kita sebagai insan perhubungan bekerja lebih ekstra dari biasanya. Melayani masyarakat yang ingin segera berkumpul dengan keluarga pada hari penuh kemenangan. Beberapa jam inilah kita manfaatkan dan sisihkan waktu dalam menyambut hari kemenangan di atas sajadah dengan sujud penuh suka cita menghadap Ilahi dalam kebersamaan. Inilah rasa syukur yang mendalam pada Sang Kuasa. Komunitas pelayanan di Bandara SIM seperti Airnav, Airlines, beacukai beserta keluarga menyambut gembira penyelenggarakan Shalat Ied di Bandara SIM. Inilah harapan kebahagiaan, mereka dapat merasakan kesyahduan Shalat Ied di hari kemenangan bersama keluarga meskipun sedang dalam melaksanakan tugas. Tetes pilu tahun-tahun berlalu, mereka hanya mampu menyaksikan indahnya kalimat takbir melalui televisi yang tergantung di pojok bandara. Tahun ini, mereka dapat melafazkan kalimah takbir bersama-sama. Penuh kesyahduan suka cita, dan haru bahagia menyelimuti relung hati komunitas ini. Masyarakat juga menyambut antusias penyelenggaraan Shalat Ied ini. Momentum seperti ini perlu dipertahankan dan menjadi ciri khas Aceh sebagai Serambi Mekkah. Kemeriahan penyambutan Hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adha –red) sebagai rasa syukur kepada Allah SWT. Nantinya, momen seperti ini dapat mempererat ukhuwah islamiah dan silaturrahmi bagi kita semua. (MS)

DISHUB ACEH FASILITASI LAYANAN TRANSPORTASI RAKORNAS BPSDM SE-INDONESIA TAHUN 2019

Dalam rangka mendukung kelancaran Rakornas BPSDM se-Indonesia Tahun 2019 di Banda Aceh, Dinas Perhubungan Aceh sebagai penanggung jawab transportasi memfasilitasi 10 armada bus yang terdiri dari 4 bus besar (50 seat), 4 bus sedang (30 seat) dan 2 bus kecil (12 seat). Bus tersebut akan melayani 600 peserta dari 34 provinsi dan 514 Kabupaten/Kota selama mengikuti Rakornas di Banda Aceh pada tanggal 25 – 28 Juli 2019. Seluruh rangkaian kegiatan peserta mulai dari penjemputan kedatangan di bandara, lalu ke penginapan, mobilisasi peserta ke tempat acara, shalat jum’at di Mesjid Raya Baiturrahman, City Tour hingga pemulangan peserta kembali ke Bandara. Secara bersamaan, Dishub Aceh juga memfasilitasi pelayanan transportasi pada MTQ Nasional Mahasiswa Indonesia yang diselenggarakan pada tanggal 28 Juli sampai dengan 4 Agustus 2019 di kampus Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. “Layanan transportasi ini sangat dibutuhkan mengingat masih minimnya fasilitas transportasi wisata di Aceh, serta diharapkan dapat mendukung keberhasilan peningkatan wisata dan kegiatan nasional di Aceh,” ujar Kabid LLAJ Dishub Aceh, Nizarli, S.SiT, MT. (AM)

SINABANG KINI MENJADI SALAH SATU JALUR TOL LAUT

Tidak hanya di wilayah Indonesia Timur, kini program tol laut juga hadir untuk melayani masyarakat di wilayah Indonesia bagian barat. Hal tersebut dibuktikan dengan penyerahan satu unit kapal pendukung tol laut yaitu KM. Kendhaga Nusantara 2 dari Ditjen Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan RI kepada PT. ASDP Indonesia Ferry di Pelabuhan Teluk Bayur, Padang Sumatera Barat (Sabtu, 9/03/2019). KM. Kendhaga Nusantara 2 mulai beroperasi pada hari Senin (11/3) untuk melayani penyelenggaraan tol laut pada trayek T.2 dengan menyinggahi Pelabuhan Teluk Bayur – Sinabang – Gunung Sitoli – Mentawai (Sikakap) – Teluk Bayur. Kasubdit Angkutan Laut Dalam Negeri Ditjen Perhubungan Laut, Capt. Budi Mantoro mengatakan bahwa KM. Kendhaga Nusantara 2 akan menjadi sarana bagi masyarakat wilayah Sumatera Barat, Pulau Nias, dan sekitarnya yang dapat dimanfaatkan untuk pengiriman kebutuhan masyarakat, kebutuhan pokok penting, hasil produksi Usaha Kecil Menengah (UKM), hasil pertanian, perkebunan, perikanan, perindustrian dan juga pertambangan. KM. Kendhaga Nusantara 2 mampu menampung sebanyak 200 kontainer lebih dengan fasilitas bongkar muat lengkap. KM Kendhaga Nusantara 2 juga dirancang khusus untuk mengangkut barang kebutuhan pokok di daerah terpencil dan terluar di garis perbatasan yang dermaga pelabuhan minim fasilitas. Berdasarkan Perpres Nomor 70 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Untuk Angkutan Barang Dari Dan Ke Daerah Tertinggal, Terpencil, Terluar, dan Perbatasan, program tol laut tujuan utamanya adalah mensuplai dan menyediakan barang-barang kebutuhan pokok di daerah terpencil, tertinggal, terluar dan perbatasan. Kemudian tujuan keduanya yaitu menurunkan disparitas harga yang masih mahal di wilayah-wilayah tersebut. Kepala Seksi Muatan Kapal dan Kapal Nelayan Sub Direktorat Kepelabuhanan Kawasan Kementerian Perhubungan, Hasan Sadili yang juga hadir dalam acara penyerahan kapal KM. Kendhaga Nusantara 2 menyebutkan tarif angkutan barang di laut sangat murah. Jika dengan angkutan lainnya menghabiskan biaya sebesar Rp. 6 juta, dengan tol laut mungkin hanya sebesar Rp. 4 juta atau Rp. 3 juta. Tarif muatan berangkat dan muatan balik juga sudah tercantum dengan sangat jelas di dalam PM. Perhubungan Nomor 89 Tahun 2019. Selanjutnya, Pemerintah akan melakukan upaya peningkatan program-program konektivitas antarmoda sehingga tol laut tidak hanya dapat menjangkau dari port to port tetapi juga dapat menjangkau wilayah lebih dalam lagi (end to end) dengan melibatkan moda lain seperti moda darat, penyeberangan maupun udara. (AM)

DISHUB ACEH BERSIAP MENGHADAPI REVOLUSI INDUSTRI 4.0 DI BIDANG TRANSPORTASI

Di awal tahun 2019 ini Dinas Perhubungan Aceh kembali mengadakan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Kegiatan yang diadakan oleh Bidang LLAJ Dishub Aceh kali ini (Senin, 18/3) adalah Focus Group Discussion (FGD) Pemberdayaan Kelompok Masyarakat Angkutan Provinsi Aceh dengan Tema Pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Meningkatkan Akses Masyarakat Terhadap Pelayanan Angkutan Umum di Banda Aceh. Ketua Panitia, Ilham Akbar, S.SiT dalam laporannya mengatakan acara ini bertujuan untuk menghimpun permasalahan pelayanan angkutan umum di Provinsi Aceh baik dari Operator Angkutan, Aparatur Pemerintah, masyarakat, Lembaga Non-Pemerintah pemerhati dan pengawas pelayanan angkutan umum. Selanjutnya akan dilakukan evaluasi dan diskusi secara bersama-sama untuk mendapatkan gambaran solusi pemecahan permasalahan pada masa yang akan datang. Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) ini dijadwalkan pelaksanaannya selama setengah hari, dimulai pada jam 9.00 WIB pagi hari Senin, Tanggal 18 Maret 2019 dan berakhir pada jam 14.00 WIB di Hotel Kyriad Muraya Banda Aceh. Peserta yang mengikuti FGD sebanyak 60 Peserta yang berasal dari Pengusaha Angkutan, Aparatur Pemerintah, Mahasiswa, Akademisi dan Komunitas Aceh Bus Lover. Ada 3 topik yang dibahas dalam FGD ini yaitu tentang; Perkembangan Bisnis Transportasi dan Peningkatan Pelayanan Kepada Konsumen (disampaikan oleh Pemerhati Transportasi Nasional, Dr. Ir. Haris Muhammadun, A.TD, MM, IPM), Profil Aplikasi dan Peluang Kerjasama Penjualan Tiket Angkutan Umum Aceh Secara Online dengan Konten Lokal (disampaikan oleh Ketua Koperasi Tunas Baru Abadi – Roda 360), dan Kebijakan dan Dampak Pemanfaatan Teknologi Informasi Terhadap Perkembangan Dunia Bisnis Transportasi (disampaikan oleh Kepala Dinas Komunikasi, Informatika dan Persandian Aceh). Kepala Dinas Perhubungan Aceh yang diwakili Sekretaris Dishub Aceh, Teuku Faisal, ST. MT dalam sambutannya mengatakan bahwa Dishub Aceh harus dapat mengadopsi perkembangan teknologi saat ini untuk bidang transportasi, sehingga pemanfaatan teknologi informasi dapat meningkatkan pelayanan angkutan umum bagi masyarakat. Perkembangan teknologi digital seperti financial technology, internet of things, e-commerce dan lainnya harus dapat diadopsi dan dikembangkan dalam kegiatan pembangunan transportasi di Provinsi Aceh. Sesuai dengan keinginan Pemerintah Pusat yang telah meresmikan Roadmap Strategi Indonesia menghadapi Era Revolusi 4.0 yang mana seluruh aktifitas industrinya menggunakan teknologi digital. Oleh karena itu, seluruh pihak yang terkait dengan sektor transportasi perlu merapatkan barisan untuk menghadapi Era Revolusi Industri 4.0. Aktifitas transportasi dituntut untuk bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan teknologi yang serba cepat dan canggih. T. Faisal juga menambahkan bahwa Focus Group Discussion ini dapat dimanfaatkan sebagai upaya untuk check and balance terhadap pembangunan transportasi di Aceh. “Kami berharap FGD pada hari ini dapat menjadi wadah yang tepat bagi para pihak terkait untuk bersama-sama bertemu, berdiskusi dan bertukar informasi guna membahas permasalahan yang dihadapi dan solusi yang diperlukan berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi di bidang pelayanan transportasi,” ujar T. Faisal diakhir sambutannya. (AM)

Desain Baru Website Dishub

Desain baru website dishub provinsi Aceh.