Dishub

Dishub Aceh Lakukan Evaluasi Terhadap Perizinan Angkutan Umum AKDP di Aceh

BANDA ACEH – Dinas Perhubungan (Dishub) Aceh menyelenggarakan kegiatan sosialisasi dan edukasi mengenai regulasi perizinan dan operasional angkutan umum antar kota dalam provinsi (AKDP) Aceh di Hotel Ayani Banda Aceh, Kamis, 2 Oktober 2025. Kegiatan bertajuk evaluasi kepatuhan perusahaan angkutan AKDP terhadap regulasi perizinan dan operasional angkutan itu mengundang seluruh pimpinan dan perwakilan perusahaan angkutan AKDP serta para pimpinan stakeholder transportasi dan mitra kerja perhubungan di Aceh. Kepala Dinas Perhubungan Aceh Teuku Faisal dalam sambutannya menyebutkan, kegiatan ini merupakan forum penting dalam rangka meningkatkan tata kelola angkutan umum AKDP, khususnya menyangkut kepatuhan terhadap regulasi perizinan dan operasional. “Kepatuhan terhadap regulasi bukan hanya kewajiban administratif, melainkan bagian dari upaya untuk menjamin keselamatan, keamanan, dan kenyamanan pelayanan kepada masyarakat,” sebutnya. Realita di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak perusahaan angkutan umum AKDP yang belum menjalankan kewajibannya. Mulai dari kurangnya kelengkapan administrasi, baik SK penyelenggaraan dan kartu pengawasan, penyimpangan trayek, penggunaan kendaraan yang tidak laik jalan, pengoperasian kendaraan yang tidak terdata dalam SK penyelengaraan angkutan, hingga perizinan yang belum diperbaharui sesuai ketentuan. “Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara Pemerintah, operator angkutan, dan stakeholder lainnya guna menciptakan sistem transportasi yang tertib, efisien, dan berkelanjutan,” ungkap Teuku Faisal. Dishub Aceh, lanjut Teuku Faisal, telah melakukan sejumlah upaya penertiban bersama stakeholder, baik Ditlantas Polda Aceh, BPTD Kelas II Aceh, PT Jasa Raharja, DPMPTSP Aceh, dan Organda Aceh melalui inspeksi penyelenggaraan angkutan umum AKDP setiap tahunnya. “Hasil inspeksi serta evaluasi angkutan AKDP nantinya akan kita publish melalui media cetak dan elektronik, termasuk media sosial agar masyarakat memperoleh informasi yang transparan mengenai layanan angkutan AKDP sehingga mereka bisa memilih angkutan yang aman bagi keselamatan jiwa mereka,” ujarnya. Di samping memastikan perusahaan angkutan memenuhi standar pelayanan minimal (SPM), inspeksi angkutan juga memeriksa kondisi fisik armada angkutan, baik administratif maupun teknis, guna memastikan sistem keselamatan pada kendaraan telah diterapkan dengan baik. Berdasarkan data perizinan angkutan umum AKDP, terdapat 110 perusahaan angkutan AKDP yang terdaftar pada tahun 2025 di Dinas Perhubungan Aceh. Sebanyak 35 perusahaan di antaranya dengan status Izin Penyelenggaraan dan Kartu Pengawasan (KPS) yang masih berlaku, 26 perusahaan dengan Izin Penyelenggaraan masih berlaku tapi KPS sudah habis masa berlaku, sedangkan 23 perusahaan memiliki izin penyelenggaraan dan KPS yang sudah habis masa berlaku terdapat juga 23 Perusahaan masih berstatus CV dan belum mengubah status perusahaan ke PT, dan 3 Perusahaan masih proses izin baru. Kadishub Aceh berharap melalui sosialisasi ini dapat terbangun komitmen bersama untuk melakukan evaluasi, pembinaan, dan pengawasan secara konsisten serta menyusun langkah-langkah strategis untuk meningkatkan kepatuhan angkutan AKDP terhadap regulasi yang berlaku. Pada kesempatan yang sama, Kepala Seksi Sarana dan Angkutan Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Renny Anggeraeni Robin memaparkan hasil evaluasi tingkat kepatuhan perizinan angkutan umum di Aceh. Berdasarkan paparan tersebut, tercatat ada sebanyak 646 kendaraan angkutan AKDP atau sebesar 33,25% dari 1.943 kendaraan yang terdata pada tahun 2025, memiliki Izin Penyelenggaraan dan KPS yang telah habis masa berlaku Sedangkan kendaraan yang memiliki Izin Penyelenggaraan dan KPS masih berlaku sebanyak 841 unit kendaraan. Sementara 456 kendaraan lainnya memiliki Izin Penyelenggaraan masih berlaku tetapi KPS-nya telah habis masa berlaku. Renny juga mengajak seluruh pimpinan perusahaan angkutan umum untuk meningkatkan tata kelola perusahaan dan operasional angkutan sehingga masyarakat selaku pengguna jasa dapat terjamin keselamatannya. Acara sosialisasi ini dilanjutkan dengan pemaparan materi yang disampaikan oleh perwakilan Ditlantas Polda Aceh, DPMPTSP Aceh, dan PT Jasa Raharja Aceh.(AB) Baca Berita Lainnya: Docking Kapal Sangat Penting, Mengapa? APILL Berbasis ATCS Hadir di Simpang BPKP Banda Aceh Masyarakat Antusias Sambut Rute Baru Feeder Trans Koetaradja Simpang Mesra – Kajhu

Stop Turunkan Motor di Halte Trans Koetaradja, Ganggu Operasional Bus!

Banda Aceh – Dinas Perhubungan Aceh menegaskan larangan penggunaan halte Trans Koetaradja untuk kegiatan yang tidak sesuai peruntukannya, seperti menurunkan sepeda motor dari kendaraan atau memarkir mobil secara sembarangan. Tindakan tersebut dinilai dapat merusak fasilitas umum sekaligus mengganggu kelancaran operasional bus yang setiap hari melayani masyarakat. Dalam imbauan resminya, Dishub Aceh melalui UPTD Angkutan Massal Perkotaan Trans Kutaraja menjelaskan bahwa halte Trans Koetaradja dibangun khusus untuk kenyamanan penumpang. Fasilitas ini seharusnya difungsikan sebagai titik naik dan turun bus, bukan untuk bongkar muat barang maupun kendaraan. Apabila halte digunakan secara tidak semestinya hingga mengalami kerusakan, dampaknya bukan hanya dirasakan oleh penumpang, tetapi juga akan menghambat pelayanan transportasi publik yang disubsidi pemerintah. Masyarakat juga diingatkan agar tidak memarkir kendaraan sembarangan di sekitar halte, trotoar, maupun bahu jalan. Perilaku tersebut termasuk pelanggaran lalu lintas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 287 ayat 3. Berdasarkan aturan tersebut, pelanggar dapat dikenakan sanksi berupa denda hingga Rp250.000 atau kurungan maksimal satu bulan. Dengan adanya aturan ini, Dishub berharap masyarakat semakin sadar untuk tidak melakukan pelanggaran yang merugikan kepentingan umum. Halte Trans Koetaradja perlu dijaga agar tetap aman, nyaman, dan lancar digunakan oleh penumpang. Sosialisasi yang dilakukan ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya menjaga fasilitas publik. Halte yang tertib akan mendukung kelancaran perjalanan bus, membuat waktu tempuh lebih efisien, serta meningkatkan kualitas pelayanan kepada penumpang. Dengan begitu, masyarakat tidak hanya mendapatkan layanan transportasi yang nyaman, tetapi juga berkontribusi dalam mewujudkan lingkungan kota yang lebih tertib dan aman.(MG) Cek Infografisnya Klik di Sini  

APILL Berbasis ATCS Hadir di Simpang BPKP Banda Aceh

Banda Aceh – Pemerintah Aceh melalui Dinas Perhubungan terus meningkatkan kualitas pelayanan lalu lintas demi kenyamanan masyarakat. Salah satu langkah yang dilakukan adalah memastikan lampu lalu lintas berfungsi dengan baik. Sebelumnya, pengendara di Simpang BPKP Kota Banda Aceh kerap menghadapi kendala akibat lampu lalu lintas yang sering tidak berfungsi. Kondisi ini berdampak pada ketidaklancaran arus kendaraan. Menanggapi permasalahan tersebut, Dinas Perhubungan Aceh membangun Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APILL) modern berbasis Area Traffic Control System (ATCS) di Simpang BPKP. Pembangunan ini dilakukan setelah evaluasi menyeluruh terhadap perangkat lama, sekaligus menindaklanjuti laporan serta keluhan masyarakat terkait permasalahan lalu lintas di kawasan tersebut. APILL yang kini terpasang dilengkapi dengan kamera pemantau yang terhubung langsung ke Control Center Room Dinas Perhubungan Kota Banda Aceh. Dengan sistem ini, pengaturan waktu sinyal lampu dapat disesuaikan secara dinamis mengikuti kondisi lalu lintas secara real time. Sistem ini diharapkan mampu mengurai kepadatan kendaraan, sekaligus meminimalisir potensi kemacetan. Sebanyak empat unit tiang APILL kini terpasang di setiap ruas jalan, yakni Jalan T. Iskandar 1, Jalan T. Iskandar 2, Jalan P. Nyak Makam, dan Jalan Prof. Ali Hasjmy.(AP) Baca Berita Lainnya: Masyarakat Antusias Sambut Rute Baru Feeder Trans Koetaradja Simpang Mesra – Kajhu ASN Dishub Aceh Gotong Royong Peringati World Cleanup Day 2025 Dishub Aceh Gandeng Komunitas Vespa Bersihkan Rambu Jalan

Masyarakat Antusias Sambut Rute Baru Feeder Trans Koetaradja Simpang Mesra – Kajhu

Banda Aceh – Layanan Feeder Trans Koetaradja kembali menambah rute baru untuk mempermudah mobilitas Masyarakat. Kali ini, rute Simpang Mesra- Kajhu resmi beroperasi dan sudah dapat digunakan oleh penumpang sejak 16 September 2025. Kehadiran bus ini menjadi salah satu upaya Pemerintah Aceh melalui Dinas Perhubungan (Dishub) Aceh untuk memperluas akses transportasi publik yang aman, nyaman, dan terjangkau bagi masyarakat. Rute dengan panjang 6,7 km dengan 22 titik halte ini di sambut antusias oleh warga, terutama masyarakat di kawasan Simpang Mesra – Kajhu. Adanya jalur ini, mobilitas masyarakat menuju pusat kota maupun kawasan pesisir menjadi lebih mudah tanpa harus bergantung pada transportasi pribadi atau ojek daring. Salah satu penumpang, Annis Zulfiah, mahasiswi UIN Ar-Raniry di Banda Aceh, mengaku sangat terbantu dengan adanya layanan rute baru ini, Selasa, 30 September 2025. “Dengan adanya rute terbaru ini sangat membantu untuk saya yang belum memiliki motor pribadi. Akses dari Kajhu ke Simpang Mesra lebih mudah, sebelum adanya rute terbaru ini saya biasanya naik ojek,“ katanya. Senada dengan Annis, Andi warga Labuy, Aceh Besar merasa dimudahkan juga dengan adanya rute terbaru Trans Koetaradja Simpang Mesra ke Kajhu. “Ini tentunya memudahkan kami dalam bepergian. Alhamdulillah bus ini juga masih gratis,” katanya. Seperti diketahui, operasional bus yang telah ada sejak tahun 2016 ini didukung oleh dua unit bus pada hari Senin dan Jumat. Sementara terdapat satu unit bus pada hari Sabtu. Dalam sehari, bus beroperasi sebanyak 3 rit dengan jadwal operasional mulai pukul 06.50 WIB – 17.30 WIB. Penumpang dapat melakukan transit di halte utama Trans Koetaradja untuk melanjutkan perjalanan ke rute koridor lain.(MG) Baca Berita Lainnya: ASN Dishub Aceh Gotong Royong Peringati World Cleanup Day 2025 Dishub Aceh Gandeng Komunitas Vespa Bersihkan Rambu Jalan Lanjutkan Semangat Harhubnas, Dishub Aceh Gelar Aksi Bersih-Bersih di Ulee Lheue

ASN Dishub Aceh Gotong Royong Peringati World Cleanup Day 2025

Banda Aceh – Aparatur Sipil Negara (ASN) Dinas Perhubungan Aceh melaksanakan gotong royong membersihkan lingkungan kantor, Jumat 26/9 pagi. Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari edaran Sekretariat Daerah Aceh dalam rangka memperingati World Cleanup Day (WCD) Aceh Tahun 2025. Sekretaris Dishub Aceh, Teuku Rizki Fadhil mengatakan gotong royong ini menjadi bagian dari komitmen ASN Dishub untuk menjaga kebersihan dan kenyamanan lingkungan kerja. “Kami menindaklanjuti arahan Bapak Sekda Aceh, dan pagi ini seluruh ASN Dishub bersama-sama membersihkan halaman kantor dan ruang kerja. Ini juga menjadi momentum untuk memperkuat rasa kebersamaan di lingkungan Dishub,” ujarnya. Kegiatan gotong royong berlangsung sejak pukul 07.45 pagi , dengan melibatkan seluruh pegawai Dishub Aceh. Para ASN terlihat antusias membersihkan area halaman, jalanan di depan kantor, hingga ruangan kantor. Selain gotong royong, ASN Dishub Aceh juga menggelar kegiatan doa bersama, kegiatan yang rutin dilaksanakan setiap Jumat pagi. World Cleanup Day (WCD) diperingati setiap tahunnya pada tanggal 20 September. Memperingati kegiatan itu, Dishub Aceh sendiri sudah melakukan aksi sosial yaitu membersihkan rambu-rambu jalan di sepanjang ruas jalan di lintas barat Aceh. Kegiatan itu dilakukan bersama puluhan anggota komunitas vespa Banda Aceh Minggu, 22/09. Di hari Jumat (20/09), ASN Dishub juga telah melakukan aksi bersih-bersih di Lingkungan Masjid Baiturrahim Ulee Lheue, fasilitas publik Trans Koetaradja, hingga Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue.(HZ) Baca Berita Lainnya: Dishub Aceh Gandeng Komunitas Vespa Bersihkan Rambu Jalan Lanjutkan Semangat Harhubnas, Dishub Aceh Gelar Aksi Bersih-Bersih di Ulee Lheue Dishub Aceh Gelar Aksi Simpatik, Bagikan Helm SNI untuk Tingkatkan Keselamatan Berkendara

Labi-Labi Modern: Upaya Mengintegrasikan Kearifan Lokal dalam Inovasi Transportasi Massal di Aceh

*Oleh Syahrina Magfirah, Juara 3 Lomba Menulis Transportasi Aceh 2025 “Sebuah bangsa yang kehilangan transportasi publiknya, sesungguhnya kehilangan denyut sosialnya”[1]— demikian kutipan dari seorang sosiolog mobilitas, John Urry, yang rasanya sangat relevan dengan situasi Banda Aceh saat ini. Ada sebuah kenangan yang barangkali mulai memudar dari wajah Banda Aceh. Dulu, Terminal Keudah selalu riuh. Suara klakson bersahutan, penumpang bergegas naik, dan sopir labi-labi bersiul memanggil penumpang. Pada masa itu transportasi umum di Banda Aceh dan Aceh besar kebanyakannya di layani oleh labi-labi. Transportasi massal ini populer digunakan oleh pelajar, mahasiswa, hingga masyarakat biasa. Labi-labi digunakan untuk semua tujuan perjalanan baik sekolah, kuliah, belanja, berpergian ke kota, mengangkut hasil panen, dan sebagainya. waktu itu pendapatan masyarakat belum setinggi sekarang, pengguna motor dan mobil juga belum sebanyak saat ini. Di dalam labi-labi, semua lapisan masyarakat bertemu. Ibu-ibu dari pasar dengan keranjang rotan berisi sayur, mahasiswa dengan ransel penuh buku, hingga anak-anak kecil yang tertawa riang sambil duduk di pangkuan orang tuanya. Tak ada sekat sosial di sana, semua duduk sejajar, saling menyapa, saling berbagi cerita. Labi-labi adalah ruang sosial bergerak, tempat interaksi, dan tempat bersilaturahmi. Sayangnya, fenomena yang terjadi di Banda Aceh saat ini membawa fakta bahwa labi-labi kerap ditinggalkan dan geliat kendaraan pribadi terus meroket. Kini jalanan kota dipadati lautan kendaraan bermotor dan mobil pribadi bahkan di permukiman kecil sekalipun. Pilihan masyarakat untuk beralih ke kendaraan pribadi sejatinya cukup rasional. Fenomena ini sesungguhnya berangkat dari opini masyarakat dengan alibinya penumpang labi-labi kerap mengeluh karena suasana di dalam labi-labi terasa panas dan sempit, serta penumpang harus menunggu terlalu lama karena perjalanan terasa lambat akibat sering berhenti menunggu penumpang tambahan. Kenyataan di lapangan memang menunjukkan bahwa labi-labi gagal memperbaiki layanannya. Dari seribu lebih armada yang dulu beroperasi di awal 2000-an, kini hanya tersisa sekitar 352 unit, dan yang benar-benar aktif di jalan bahkan kurang dari 80.[2] Rute yang dulunya menjangkau 17 koridor utama kini menyusut menjadi tujuh atau delapan. Bahkan pada jam sibuk, okupansi rata-rata hanya enam hingga tujuh orang, jauh di bawah kapasitas ideal. Sementara itu, jalan-jalan Banda Aceh kini sesak oleh motor dan mobil pribadi, yang jumlahnya melonjak 10–12 persen setiap tahun. Kehadiran bus Trans Koetaradja yang gratis sejak beberapa tahun terakhir juga semakin memperparah kondisi labi-labi. Layanan Trans Koetaradja relatif lebih nyaman dan teratur, sehingga banyak diminati masyarakat. Hal ini tentu berdampak sangat signifikan terhadap penghasilan para sopir labi-labi yang kini terpaksa mangkal di sudut-sudut kota karena di terminal tidak ada yang datang. Kehadiran transportasi modern ini memang patut diapresiasi, tetapi di sisi lain kehadirannya membuat labi-labi semakin terpinggirkan. Dishub Aceh sebenarnya memiliki kesempatan emas untuk menciptakan ekosistem transportasi yang saling melengkapi, bukan saling mematikan.  Karena labi-labi adalah bagian dari sejarah transportasi Aceh yang tidak boleh hilang begitu saja. Justru dengan hadirnya Trans Koetaradja, seharusnya ada peluang untuk mengintegrasikan labi-labi sebagai feeder atau penyambung ke area-area yang belum terjangkau oleh bus besar. Banyak media lokal yang menyebutkan bahwa labi-labi kini hanya tinggal kenangan. Pertanyaannya, apakah kita rela melepas begitu saja ikon yang menjadi memori kolektif bagi kebanyakan orang Aceh? karena di balik kemerosotan itu, sebenarnya ada sesuatu yang tak boleh dilupakan. Labi-labi bukan hanya soal moda transportasi, melainkan bagian dari identitas Aceh. Nama “labi-labi” diambil dari kura-kura, hewan yang berjalan perlahan namun pasti, seakan mencerminkan ritme hidup masyarakat Aceh yang tenang dan bersahaja. Desainnya yang sederhana dengan kursi berhadap-hadapan membentuk ruang interaksi sosial. Penumpang bisa saling mengenal, berbagi informasi, bahkan mempererat silaturahmi. Dalam sudut pandang antropologis, labi-labi adalah ruang sosial bergerak yang mencerminkan nilai gotong royong dan keterbukaan masyarakat Aceh. Jika moda ini benar-benar punah, maka hilang pula salah satu simbol budaya transportasi Aceh. Sebelum menyerah dengan keadaan ini, mari kita melirik kota-kota lain di Indonesia yang menghadapi persoalan serupa. Jakarta, misalnya yang punya program Jak Lingko yang mengintegrasikan mikrotrans dengan Trans Jakarta, MRT, LRT, hingga KRL. Sistem tarifnya dibuat sederhana: maksimal sepuluh ribu rupiah untuk tiga jam perjalanan. Sopir mikrotrans tidak lagi bergantung pada setoran, melainkan digaji operator. Hasilnya, angkot kembali hidup, lebih tertib, dan menjadi feeder bagi moda besar. Pemerintah pusat juga mengembangkan program Teman Bus di sejumlah kota seperti Palembang, Solo, Denpasar, hingga Medan. Prinsipnya sama: operator dibayar berdasarkan jarak tempuh, bukan jumlah penumpang. Dengan begitu, tidak ada lagi ngetem, dan layanan menjadi lebih baik. Yogyakarta juga punya Trans Jogja, yang meski sederhana, tetap menjaga eksistensi angkutan kota dengan sistem bus dan feeder. Disisi lain Surabaya menghadirkan Suroboyo Bus dengan inovasi sosial: tiket dibayar menggunakan sampah plastik. Konsep ini bukan hanya menyelamatkan transportasi publik, tetapi juga menjadi edukasi lingkungan bagi masyarakat. Semarang juga mereformasi angkot menjadi feeder Trans Semarang, di mana sopirnya menerima gaji tetap. Semua contoh ini menunjukkan bahwa angkutan kota tradisional bisa diselamatkan, asal dikelola dengan manajemen modern, tarif terintegrasi, dan didukung pemerintah. Aceh juga memiliki peluang emas untuk menghadirkan inovasi transportasi yang tidak kalah menarik dari kota-kota lain di Indonesia. Jika Bandung bangga dengan Bandros dan Solo memiliki Werkudara, mengapa Aceh tidak melahirkan “Labi-Labi Modern” yang menjadi kebanggaan tersendiri? Visi ini bukan sekadar mimpi, tetapi blueprint  yang dapat diwujudkan melalui leadership Dishub Aceh. Konsep integrasinya sangat strategis: labi-labi modern beroperasi sebagai feeder system yang memperkuat, bukan mengancam eksistensi Trans Koetaradja. Sistem tarif terintegrasi memungkinkan penumpang menggunakan satu kartu atau aplikasi untuk semua moda transportasi dari Trans Koetaradja ke labi-labi, bahkan ojek online. Revolusi terbesar terletak pada transformasi sistem operasional: sopir tidak lagi bergantung pada setoran harian yang tidak pasti, melainkan menerima gaji tetap melalui skema buy the service yang memberikan kepastian ekonomi dan meningkatkan kualitas pelayanan. Dari sisi teknologi, labi-labi modern dapat menjadi showcase smart transportation Aceh. Armada listrik berdesain compact dan aerodinamis, dihiasi motif khas Aceh seperti pucok rebung, rencong, atau songket yang dipadukan dengan material modern. Internet of Things (IoT) memungkinkan real-time monitoring kondisi kendaraan, sementara artificial intelligence mengoptimalkan rute berdasarkan pola lalu lintas dan kepadatan penumpang. Sistem pembayaran blockchain juga dapat memastikan transparansi dan akuntabilitas keuangan yang dapat diaudit publik. Yang tidak kalah revolusioner adalah pengembangan command center transportasi terintegrasi oleh Dishub. Dashboard digital menampilkan real-time data seluruh armada labi-labi, tingkat okupansi, kondisi lalu lintas, dan prediksi demand. Penumpang dapat

Dishub Aceh Gandeng Komunitas Vespa Bersihkan Rambu Jalan

Banda Aceh – Dinas Perhubungan Aceh menyelenggarakan aksi bersih-bersih rambu jalan bersama puluhan anggota komunitas vespa Banda Aceh pada Minggu, 21 September 2025. Aksi sosial yang berlangsung di sepanjang ruas jalan lintas barat Aceh ini merupakan rangkaian dari acara peringatan Hari Perhubungan Nasional (Harhubnas) tahun 2025 di Aceh sekaligus memperingati World Cleanup Day 2025 yang jatuh pada 20 September 2025. Kepala Dinas Perhubungan Aceh melalui Sekretaris Dinas Teuku Rizki Fadhil menyebutkan, kegiatan ini merupakan bentuk kolaborasi Dishub Aceh sebagai upaya untuk bersama-sama menjaga fasilitas keselamatan (faskes) jalan serta mengkampanyekan keselamatan berkendara. “Rambu-rambu yang sudah kotor dan tertutup oleh debu kita bersihkan sama-sama supaya tetap berfungsi dengan baik serta memberi rasa aman bagi pengendara,” ungkap Teuku Rizki. Dishub Aceh membekali para peserta dengan peralatan kebersihan seperti cairan pembersih, kain lap, sapu, dan beberapa barang lainnya untuk digunakan saat pembersihan berlangsung. Di samping pembersihan rambu, peserta aksi juga mengganti beberapa cermin cembung yang rusak dan tidak berfungsi lagi dengan yang baru. Teuku Rizki menyampaikan rasa terima kasih kepada seluruh anggota komunitas yang turut ambil bagian dalam kegiatan ini. “Terima kasih atas partisipasi kawan-kawan semua, semoga aksi kecil kita hari ini bisa bermanfaat bagi pengendara yang melintas,” sebutnya. Pada kesempatan yang sama, Mannan, salah satu perwakilan komunitas vespa, juga turut menyampaikan apresiasinya kepada Dishub Aceh yang telah melibatkan pihaknya dalam kegiatan ini. “Semoga ke depan kolaborasi bersama Dishub Aceh terus terjalin dengan baik serta anggota komunitas vespa yang terlibat semakin banyak,” sebutnya. Kegiatan bersih-bersih rambu bersama komunitas vespa Banda Aceh ini ditutup dengan pembagian doorprize bagi peserta yang berhasil menjawab pertanyaan seputar dunia perhubungan. Doorprize tersebut berasal dari dukungan sejumlah mitra kerja perhubungan dan perbankan di Aceh yang ikut serta memeriahkan peringatan Harhubnas tahun 2025.(AB) Baca Berita Lainnya: Lanjutkan Semangat Harhubnas, Dishub Aceh Gelar Aksi Bersih-Bersih di Ulee Lheue Puncak Perayaan Harhubnas di Aceh, Dishub Anugerahkan Penghargaan kepada Tokoh Transportasi dan Luncurkan Rute Baru Trans Koetaradja Respon Masukan Masyarakat, Dishub Aceh Operasikan Bus Trans Koetaradja ke Kajhu Aceh Besar

Persinggahan Hangat: Menghadirkan Budaya Aceh di Setiap Halte Trans Koetaradja

*Oleh Teuku Muhammad Hafidz Ramadhan, Juara 2 Lomba Menulis Transportasi Aceh 2025 Di jam-jam sibuk Banda Aceh, suara klakson dan deru knalpot sering kali jadi musik latar yang tak diinginkan. Jalan-jalan utama seperti Teuku Umar, Cut Meutia, hingga Simpang Lima kerap dipenuhi kendaraan pribadi yang saling berebut ruang. Padahal, di antara riuhnya lalu lintas itu, Trans Koetaradja sudah hadir sebagai pilihan transportasi massal yang nyaman dan terjangkau. Sepanjang tahun 2024, layanan ini mencatat total 956.084 penumpang, dengan rute Masjid Raya Baiturrahman–Darussalam menjadi yang paling ramai (401.056 penumpang), disusul Baiturrahman–Blang Bintang via Lambaro (163.895 penumpang). Angka ini menunjukkan potensi besar, tetapi sekaligus mengisyaratkan masih banyak ruang untuk mengajak masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi massal. Di Banda Aceh, kendaraan pribadi terutama sepeda motor sudah menjadi bagian dari gaya hidup sehari-hari. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh tahun 2023 menunjukkan jumlah sepeda motor yang terdaftar mencapai lebih dari 650 ribu unit, jumlah yang bahkan melampaui populasi dewasa di wilayah perkotaan. Fenomena ini tidak terjadi tanpa sebab. Pertama, ada faktor kenyamanan dan fleksibilitas yakni warga merasa dengan motor atau mobil, mereka bisa berangkat kapan saja tanpa terikat jadwal. Bagi pelajar dan mahasiswa di kawasan Darussalam, kendaraan pribadi dianggap solusi praktis untuk menyesuaikan jadwal kuliah yang sering berubah. Hal yang sama berlaku bagi pekerja kantoran yang kerap harus menghadiri rapat mendadak di lokasi berbeda. Kedua, persepsi terhadap transportasi massal masih cenderung negatif. Sebagian masyarakat menganggap menunggu bus sebagai pemborosan waktu, apalagi jika halte tidak nyaman atau fasilitasnya minim. Tidak jarang penumpang memilih berjalan kaki ke tujuan pendek ketimbang menunggu bus, atau langsung mengeluarkan motor untuk perjalanan yang hanya butuh 10 menit. Ketiga, ada aspek sosial yang tidak bisa diabaikan. Bagi sebagian orang, kendaraan pribadi bukan hanya alat transportasi, tetapi juga simbol status. Mobil atau motor tertentu menjadi bagian dari identitas diri, dan kebiasaan ini diperkuat oleh lingkungan sosial di mana hampir setiap keluarga memiliki setidaknya satu sepeda motor, sehingga pilihan untuk “tidak punya kendaraan pribadi” dianggap tidak praktis. Permasalahannya, jika dominasi kendaraan pribadi ini terus dibiarkan, Banda Aceh akan menghadapi tantangan serius. Ruas-ruas utama seperti Jalan Tgk. Daud Beureueh, Jalan Pocut Baren, dan kawasan Simpang Lima sudah mulai padat pada jam sibuk, membuat waktu tempuh antar titik semakin lama. Volume kendaraan yang tinggi juga memperburuk kualitas udara, terutama dari emisi sepeda motor dan mobil yang menumpuk di persimpangan. Situasi ini bukan hanya mengganggu kenyamanan berkendara, tetapi juga mengancam kesehatan warga, mengingat polusi udara dapat memicu masalah pernapasan dan menurunkan kualitas lingkungan. Akhirnya, semua faktor ini membentuk pola pikir yang sulit diubah seperti  “kendaraan pribadi adalah pilihan utama, sementara transportasi massal hanyalah alternatif cadangan” telah mengakar kuat di tengah masyarakat, meskipun dampak negatif dari kebiasaan ini sangat pantas untuk dipertimbangkan. Salah satu penyebabnya ada pada hal yang sering kita anggap sepele yaitu halte. Banyak halte Trans Koetaradja hari ini sekadar berdiri sebagai bangunan fungsional yang hanya cukup untuk menunggu bus, tetapi belum cukup untuk mengundang orang datang. Di sinilah letak peluangnya. Bayangkan jika setiap halte bukan hanya tempat menunggu, tetapi juga menjadi ruang singgah yang hangat, memancarkan identitas budaya Aceh, sekaligus memberi rasa nyaman dan bangga bagi siapa pun yang berhenti di sana. Konsep ini, yang saya sebut “Persinggahan Hangat”, bisa menjadi gerakan awal yang mengajak warga Banda Aceh meninggalkan kendaraan pribadi dan mulai menikmati perjalanan bersama Trans Koetaradja. Mengubah halte menjadi “Persinggahan Hangat” berarti memberi napas baru pada fasilitas publik yang selama ini cenderung fungsional. Banda Aceh memiliki modal budaya yang luar biasa untuk itu. Kearifan lokal dan nilai-nilai adat yang sudah mengakar bisa menjadi ruh dari setiap halte Trans Koetaradja, menjadikannya lebih dari sekadar titik naik-turun penumpang. Salah satunya adalah filosofi peumulia jamee (memuliakan tamu) yang begitu kental di Aceh. Dalam konteks halte, prinsip ini berarti memastikan setiap orang yang berhenti di sana merasa disambut, aman, dan dimudahkan. Penerapannya bisa sederhana, seperti papan informasi rute yang jelas, penunjuk arah yang ramah wisata, hingga layanan informasi yang bisa diakses oleh pendatang maupun warga lokal. Halte pun tidak lagi terkesan asing, tetapi menjadi pintu masuk yang ramah bagi siapa pun yang hendak bepergian. Identitas budaya Aceh juga dapat tercermin lewat arsitektur halte. Atap limas khas Aceh, ukiran pucuk rebung atau awan meucanek, serta warna-warna bumi yang hangat dapat menjadi bahasa visual yang menguatkan rasa memiliki masyarakat. Desain ini bukan hanya memperindah, tapi juga memberi sinyal bahwa halte adalah bagian dari wajah kota, sama pentingnya dengan bangunan bersejarah atau ruang publik lainnya. Selain itu, peran sosial meunasah sebagai tempat singgah, belajar, dan berbagi informasi bisa diadaptasi tanpa mengubah fungsi utamanya sebagai rumah ibadah. Halte dapat menyediakan pojok baca mini, layar interaktif berisi kisah dan sejarah kawasan sekitar, atau rak brosur kegiatan budaya. Waktu tunggu yang biasanya terasa membosankan bisa berubah menjadi pengalaman singkat yang bermanfaat. Penerapan konsep budaya ini juga bisa disesuaikan dengan karakter lokasi halte. Misalnya, halte di dekat masjid menampilkan ornamen Islami dan info jadwal shalat, halte dekat kampus memiliki pojok literasi pelajar dan informasi kegiatan akademik, sementara halte dekat objek wisata berfungsi sebagai pusat informasi turis lengkap dengan peta destinasi terdekat. Semua faktor ini menegaskan bahwa mengubah kebiasaan masyarakat Banda Aceh dari kendaraan pribadi ke transportasi massal tidak cukup hanya dengan menambah armada atau memperluas rute. Perlu ada pendekatan yang menyentuh sisi psikologis dan kultural warga, sehingga mereka merasa terhubung dengan layanan yang digunakan. Di sinilah kearifan lokal Aceh dapat berperan besar, salah satunya melalui penerapan filosofi peumulia jamee (memuliakan tamu). Dalam konteks budaya Aceh, tamu bukan sekadar orang yang datang berkunjung, tetapi sosok yang wajib disambut dengan keramahan, rasa hormat, dan pelayanan terbaik. Nilai ini dapat diadaptasi dalam layanan halte Trans Koetaradja dengan memastikan setiap penumpang, baik warga lokal maupun pendatang, merasa diterima sejak pertama kali menginjakkan kaki di halte. Papan informasi yang jelas, petunjuk rute dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris), serta kehadiran petugas atau relawan informasi di titik strategis dapat menjadi bentuk nyata dari peumulia jamee di ruang publik transportasi. Bayangkan wisatawan yang baru tiba di Banda Aceh dan berhenti di halte dekat Masjid Raya Baiturrahman. Dengan konsep peumulia jamee, halte tersebut tidak hanya menyediakan tempat duduk dan

Trans Koetaradja Inovasi Transportasi Massal Berbasis Budaya Aceh

*Oleh Muhammad Nabiya Lubis, Juara 1 Lomba Menulis Transportasi Aceh 2025 Transportasi massal ibaratkan urat nadi sebuah kota. Transportasi massal bukan hanya soal mobilitas, melainkan juga cerminan dari identitas, nilai, dan arah pembangunan masyarakat. Di Aceh, narasi ini hadir dalam bentuk Trans Koetaradja, suatu moda transportasi massal yang sejak 2016 hadir sebagai wajah baru sistem mobilitas perkotaan Banda Aceh dan Aceh Besar. Namun, di balik roda-rodanya yang berputar, terdapat peluang besar untuk menjadikannya tidak hanya sekadar angkutan massal, melainkan sarana literasi budaya yang mengintegrasikan kearifan lokal, nilai Islami, dan inovasi modern. Dua dekade silam, Banda Aceh adalah salah satu kota paling terdampak oleh bencana tsunami 2004. Kehancuran yang terjadi tidak hanya menyapu rumah dan bangunan, tetapi juga meruntuhkan sendi-sendi infrastruktur transportasi. Namun, pasca tragedi itu, Aceh bangkit. Dengan dana rekonstruksi lebih dari 6,7 miliar dolar AS atau setara dengan Rp107,2 trilliun (Asian Development Bank, 2005). Kini Banda Aceh telah berubah menjadi kota yang berkembang pesat, menjadi pusat pemerintahan, pendidikan, perdagangan, sekaligus destinasi wisata sejarah dan religi. Pertumbuhan pesat jumlah penduduk dan aktivitas ekonomi di kota ini menghadirkan tantangan baru, yakni kebutuhan akan sistem transportasi massal yang modern, inklusif, dan berkelanjutan. Dalam konteks inilah Trans Koetaradja hadir, bukan hanya sebagai alat transportasi, tetapi juga sebagai simbol transformasi pasca-bencana. Sejak mulai beroperasi pada Mei 2016, Trans Koetaradja telah menjadi alternatif transportasi yang vital bagi warga Banda Aceh dan Aceh Besar.  Dengan armada yang terdiri dari 59 unit bus, 6 koridor utama, 5 koridor feeder, serta 14 rute yang terhubung sebagai jalur operasionalnya (PPID Perhubungan, 2025). Setiap harinya Trans Koetaradja mengangkut ribuan penumpang menuju berbagai tujuan, mulai dari tempat kerja, sekolah, pasar, hingga kawasan rekreasi. Bedasarkan data yang dipublikasikan oleh Dinas Perhubungan Aceh melalui akun media sosial Instagram @dishub_aceh, pada Juli 2025, lebih dari 74 ribu orang telah memanfaatkan layanan Trans Koetaradja. Angka ini telah mencerminkan bagaimana Trans Koetaradja telah menjadi solusi utama dalam mobilisasi masyarakat, memberikan pilihan yang praktis dan efisien bagi penggunanya dalam menjalani rutinitas sehari-hari. Namun, Trans Koetaradja tidak boleh berhenti sebagai sekadar moda teknis. Transportasi massal ini memiliki potensi yang lebih besar dalam menjadi ruang literasi budaya, wahana pelestarian nilai lokal, sekaligus medium edukasi publik. Sebagai transportasi massal, Trans Koetaradja dapat berperan sebagai living classroom yang menyatukan mobilitas dengan kearifan lokal, yang memperkenalkan Aceh bukan hanya sebagai daerah dengan layanan transportasi massal gratis, melainkan sebagai pelopor inovasi transportasi massal yang berbasis budaya yang ada di Indonesia. Dengan cara menjadikan Trans Koetaradja sebagai ruang literasi budaya berjalan. Hal ini dapat di implementasikan melalui beberapa cara. Pertama, penamaan halte. Saat ini, halte Trans Koetaradja menggunakan nama lokasi geografis. Padahal, halte bisa menjadi ruang edukasi sejarah. Misalnya dengan penamaan ganda seperti, Halte Mata Ie/Hamzah Fansuri, dan Halte Seutui /Teuku Umar. Dengan demikian, setiap kali penumpang naik atau turun, mereka juga diajak mengingat kembali jejak sejarah tokoh-tokoh besar Aceh. Hal ini tidak hanya memperkuat literasi sejarah, tetapi juga menumbuhkan kebanggaan identitas kolektif. Kedua, musik tradisional sebagai hiburan di dalam bus. Alih-alih hanya musik nasional atau pop global, bus Trans Koetaradja dapat memutar lagu-lagu tradisional Aceh yang dikemas dengan modern, seperti yang dipopulerkan oleh artis lokal, seperti lagu Meusare-sare dan Ratoh yang dinyanyikan oleh Safira Amalia,  Krueng Daroy yang dibawakan oleh Rafly Kande, atau Tarek Pukat yang di improvisasi oleh Kaka Alfarisi. Lagu-lagu tradisional Aceh ini dapat dikemas dengan aransemen modern agar lebih menarik bagi kalangan muda, tanpa kehilangan nuansa asli Aceh. Musik lokal yang dipopulerkan oleh musisi muda Aceh dapat menjembatani generasi muda dengan akar budayanya, sekaligus memperkuat nuansa khas Aceh di ruang publik. Inovasi ini tidak hanya menciptakan suasana khas Aceh, tetapi juga berfungsi sebagai sarana pelestarian seni tradisional yang semakin tergerus oleh arus budaya global. Mengingat banyak moda transportasi massal di kota-kota lain yang lebih memilih musik nasional dan lagu-lagu dari artis luar daerah, hal ini berpotensi mengurangi identitas lokal dalam sistem transportasi. Dengan memasukkan musik Aceh, Trans Koetaradja dapat memperkenalkan budaya lokal kepada penumpang dan wisatawan, sekaligus menjaga kekayaan budaya Aceh agar tetap relevan di tengah modernitas. Ketiga, Promosi Wisata dan Kuliner melalui Poster atau Tayangan Digital di Dalam Bus. Setiap bus dapat berfungsi sebagai galeri bergerak yang menampilkan informasi singkat tentang destinasi wisata, sejarah, dan kuliner khas sesuai rute yang dilewati. Misalnya, bus yang melintasi rute Ulee Lheue bisa menampilkan potensi wisata pantai dan kuliner laut setempat, atau rute menuju Ulee Kareng yang dapat memperkenalkan Warung Kopi Solong yang berada di arah Ulee Kareng, atau bahkan rute Masjid Raya Baiturrahman yang dapat menampilkan Pasar Atjeh dan kuliner yang berada di sekitar kawasan Masjid Raya Baiturrahman seperti Mie Kocok Si Doel.  Setiap bus nantinya akan menampilkan objek wisata dan kuliner yang berbeda sesuai dengan rute operasional yang dilalui.  Dengan cara ini, wisatawan yang menumpang Trans Koetaradja tidak hanya mendapatkan panduan menuju tujuan mereka, tetapi juga pengalaman kultural yang lebih kaya. Selain itu, promosi ini berpotensi memajukan dan meningkatkan pendapatan bagi pelaku usaha wisata dan kuliner di sepanjang rute yang dilewati, sehingga transportasi massal dari Aceh mampu menciptakan dampak positif bagi ekonomi lokal. Keempat, Literasi Digital melalui Aplikasi Trans Koetaradja. Aplikasi Trans Koetaradja yang telah dikembangkan oleh Dinas Perhubungan Aceh adalah bentuk bagaimana penerapan Intelligent Transport System (ITS). Aplikasi ini dapat diperluas fungsinya, tidak hanya sebagai alat untuk melihat jadwal bus, tetapi juga sebagai sarana edukasi. Misalnya, fitur “Sejarah Halte” yang menyajikan kisah singkat tokoh-tokoh besar Aceh sesuai nama halte, lalu “Peta Wisata Interaktif” yang menunjukkan destinasi wisata sepanjang rute, serta “Pesan Budaya” yang menampilkan kutipan hikmah Islami dan kearifan lokal setiap kali pengguna membuka aplikasi. Dengan demikian, teknologi digital tidak hanya mempermudah akses informasi, tetapi juga mencerdaskan penumpang dan wisatawan, sekaligus memperkenalkan nilai-nilai budaya Aceh secara lebih luas. Namun, seluruh gagasan inovatif ini tentu tidak lepas dari tantangan yang dihadapi oleh sistem transportasi massal di Aceh. Jika melihat ke belakang, transportasi massal di Aceh sempat terhenti operasi karena masalah habisnya kontrak dengan penyedia armada dan keterlambatan pencairan dana operasional (Noviandi, 2025). Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi adalah mengenai pendanaan. Selama ini, seluruh biaya operasional Trans Koetaradja bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Pada tahun 2023, biaya

Lanjutkan Semangat Harhubnas, Dishub Aceh Gelar Aksi Bersih-Bersih di Ulee Lheue

Banda Aceh – Masih dalam semangat Hari Perhubungan Nasional (Harhubnas), Dinas Perhubungan Aceh menggelar aksi bersih-bersih di kawasan Ulee Lheue pada Jumat, 19 September 2025. Kegiatan ini melibatkan seluruh ASN Dishub Aceh yang turun langsung dengan mengenakan seragam olahraga dan membawa perlengkapan kebersihan. Para ASN memulai aksi bersih-bersih dari kawasan Masjid Baiturrahim hingga Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue. Mereka memunguti sampah plastik, kayu, ranting pohon yang menumpuk di sekitar masjid hingga pelabuhan. Dalam kesempatan tersebut, Kepala Dinas Perhubungan Aceh, T. Faisal, mengungkapkan bahwa aksi bersih-bersih ini sejalan dengan semangat Hari Perhubungan Nasional yang mengusung nilai kebersamaan dan bakti kepada masyarakat. “Kami berharap melalui aksi gotong royong ini, kawasan sekitar Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue dapat semakin bersih, indah, dan nyaman bagi masyarakat maupun pengunjung pelabuhan,” ujar Kadishub Aceh. Selain di Banda Aceh, kegiatan bersih-bersih ini juga dilaksanakan secara serentak di 9 Terminal Tipe B dan 6 Pelabuhan Penyeberangan di seluruh Aceh.(AP) Baca Berita Lainnya: Puncak Perayaan Harhubnas di Aceh, Dishub Anugerahkan Penghargaan kepada Tokoh Transportasi dan Luncurkan Rute Baru Trans Koetaradja Respon Masukan Masyarakat, Dishub Aceh Operasikan Bus Trans Koetaradja ke Kajhu Aceh Besar Dishub Aceh Gelar Aksi Simpatik, Bagikan Helm SNI untuk Tingkatkan Keselamatan Berkendara