Dishub

Nova Iriansyah: Tidak Ada Lompatan Tanpa Langkah-langkah Kecil

Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, Nova Iriansyah mengalungi selempang bermotif kerawang Gayo kepada Nakhoda kapal KM. Express Bahari 5F serta seremoni lepas tali sebagai simbol peresmian armada baru kapal cepat pelayaran Ulee Lheue – Balohan. Acara ini diselenggarakan di Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue, Banda Aceh (23/12). Dalam acara ini Plt. Gubernur Aceh juga melakukan ramah tamah dengan awak dan penumpang kapal sekaligus menyaksikan pelayaran perdana ke Pelabuhan Penyeberangan Balohan, Sabang. “Pemerintah terus mendorong keterlibatan private sector dalam peningkatan pelayanan transportasi, peremajaan armada penyeberangan ini diharapkan agar kita bersama-sama mendukung pariwisata Aceh, tingkat pelayanan juga menjadi perhatian kita bersama,” ujar Nova. Peremajaan armada ini dilakukan dengan konfigurasi konstruksi lambung kapal berbahan aluminium sehingga dapat meningkatkan keselamatan dan kenyamanan bagi pengguna jasa penyeberangan dengan harapan minat wisatawan semakin meningkat dan nyaman berlayar ke pulau dengan seribu pesona ini, Pulau Weh, Sabang. Setelah melepas pelayaran perdana KM. Express Bahari 5F di Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue, Plt. Gubernur Aceh Nova Iriansyah resmikan Pusat Kendali Trans Koetaradja di Terminal Tipe A Batoh, Banda Aceh. Acara peresmian ini turut dihadiri oleh Walikota Banda Aceh, Ketua Komisi IV DPR Aceh, Dirlantas Polda Aceh, dan sejumlah pejabat terkait di lingkup Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kota Banda Aceh. Pelaksana Tugas Gubernur Aceh, Nova Iriansyah dalam sambutannya mengatakan, Pemerintah Aceh harus mampu berkolaborasi, baik dengan sektor swasta maupun antar pemerintah dengan kerjasama yang mutualistik. “Sesuai perintah Presiden, semua stakeholder harus kolaboratif. Hari ini perintah itu sedang kita aktualisasikan secara konkrit dalam langkah-langkah kecil pada peresmian pelayaran perdana kapal cepat dan pusat kendali Trans Koetaradja,” ujar Nova. Nova menambahkan, hari ini kita meresmikan tempat yang luar biasa. Sebuah inovasi dalam sektor angkutan perkotaan khususnya pelayanan angkutan Trans Koetaradja dengan sistem kendali teknologi terkini. “Yang lebih membanggakan hari ini juga ada kerjasama dengan Universitas Syiah Kuala dalam hal mengangkat sophistikasi pengelolaan layanan angkutan Trans Koetaradja,” ungkap Nova. Walikota Banda Aceh, Aminullah Usman dalam sambutannya mengapresiasi dan menyampaikan ucapan terima kasih karena telah mendukung program smart city yang sudah dicanangkan. Diharapkan pengembangan fasilitas ini mampu mendukung peningkatan jumlah wisatawan ke ibukota provinsi Aceh. Kepala Dinas Perhubungan Aceh Junaidi dalam laporannya menyebutkan, pada tahun 2019 Dinas Perhubungan melakukan beberapa kegiatan pembangunan yang difokuskan pada 2 tujuan utama, yaitu peningkatan pengawasan operasional berbasis informasi teknologi dan peningkatan kapasitas pelayanan. Untuk peningkatan pengawasan operasional, Dishub Aceh membangun pusat kendali Trans Koetaradja yang berbasis digital. Pusat kendali ini dilengkapi video wall yang terhubung dengan NVR (Network Video Recorder), People Counting Camera, Digital Signage, dan CCTV yang terpasang pada setiap bus dan halte. Dishub Aceh juga melakukan peluncuran aplikasi ETA (Estimate Time Arrival) Trans Koetaradja berbasis android. Melalui aplikasi ini, pengguna Trans Koetaradja dapat mengetahui waktu kedatangan bus dan jarak halte terdekat. “Aplikasi ini dapat memudahkan masyarakat pengguna Trans Koetaradja, dan sudah dapat diunduh di Google Play melalui handphone. Aplikasi masih membutuhkan penyempurnaan, masukan dari semua pihak terutama pengguna Trans Koetaradja sangat diharapkan,” ujar Junaidi. Sedangkan untuk peningkatan kapasitas pelayanan Trans Koetaradja Junaidi mengatakan, Dishub Aceh melakukan pengadaan 12 unit armada baru berukuran sedang yang akan dioperasikan pada koridor 3 (Pusat Kota – Mata Ie) dan koridor 5 (Pusat Kota – Ulee Kareng – Blang Bintang). Penambahan armada ini untuk memperkecil headway (jarak antar bus) agar pelanggan Trans Koetaradja tidak harus menunggu terlalu lama. Seluruh kegiatan sudah terlaksana dengan baik dan akan segera dioperasikan dalam rangka memberikan pelayanan angkutan massal yang prima kepada seluruh masyarakat. “Pengadaan yang bersumber dari APBA Tahun 2019 ini bisa dirasakan langsung dampaknya oleh masyarakat,” ungkap Junaidi dengan semangat. Kehadiran Pusat Kendali Trans Koetaradja sebagai era baru dalam pelayanan angkutan massal perkotaan. Untuk penyempurnaannya terus dilakukan kerjasama antara Pemerintah Aceh melalui Dinas Perhubungan dengan Universitas Syiah Kuala di Bidang Pendidikan, Penelitian, Pengembangan Informasi dan Teknologi serta Pengembangan Sumber Daya Manusia. Dinas Perhubungan Aceh bersama Jurusan Teknik Elektro dan Komputer Universitas Syiah Kuala telah selesai melakukan riset bersama tentang sistem prototipe pembayaran e-ticketing pada Bus Trans Koetaradja. Prototipe ini akan dilakukan proses pendaftaran hak kekayaan intelektual sebelum diproduksi dan dipasang dalam semua bus Trans Koetaradja. “Pelayanan publik terus kita tingkatkan di seluruh Aceh, setiap hari terus ada perbaikan-perbaikan. Pembenahan yang kita lakukan saat ini adalah langkah-langkah kecil karena tidak ada lompatan tanpa langkah-langkah kecil,” tutup Nova. (AM)

BANDARA ACEH SEBAGAI PINTU GERBANG UNTUK “MEMPERCEPAT” PERTUMBUHAN EKONOMI

Arah pengembangan transportasi udara berdasarkan Tataran Transportasi Wilayah Aceh yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 102 Tahun 2014 mengisyaratkan peningkatan pelayanan dan memperbaiki tatanan pelayanan angkutan antarmoda dan kesinambungan transportasi dengan menerapkan konsep Transit Oriented Development (TOD) serta meningkatkan pelayanan angkutan udara perintis. Letak geografis Aceh yang berada diantara jajaran panjang perbukitan dan kepulauan yang tersebar mengisyaratkan pada kebutuhan transportasi yang cepat, nyaman dan handal. Di samping itu juga, Aceh memiliki 12 (dua belas) bandar udara termasuk Bandara Point A, bandara khusus milik exxonmobil oil company. Bandar udara dalam wilayah Aceh pernah melayani 10 (sepuluh) rute perintis pada Tahun 2018, akan tetapi berdasarkan kajian evaluasi Kementerian Perhubungan, saat ini hanya melayani 5 (lima) rute perintis, dengan jumlah rute saat ini terdapat bandar udara yang sama sekali tidak dilayani oleh penerbangan. Pada kawasan yang jarak tempuh sangat jauh dari pusat-pusat kegiatan dan pemerintahan tentu akan mengalami kesulitan untuk menjangkau atau diakses untuk dapat meningkatkan kunjungan wisatawan. Hal ini juga menunjukkan bahwa bandar udara yang ada tidak dapat diharapkan sebagai infrastruktur pengembangan ekonomi wilayah apalagi untuk kepentingan mitigasi bencana. Frekuensi layanan bandara saat ini tentu belumlah optimal. Penerbangan sekali dalam seminggu atau bahkan sama sekali tidak ada menjadi perbincangan. Faktanya, jika masyarakat hendak menggunakan moda udara ke tempat tujuan pada hari Senin maka mereka harus kembali ke tujuan asal pada hari Senin Minggu berikutnya. Ini juga merupakan polemik bagi layanan penerbangan, bahwa memilih moda transportasi udara bahkan lebih tidak efisien dibandingkan pelayanan moda transportasi lainnya. Pemerintah Kabupaten Kota yang memiliki bandara terus melakukan perlawanan terhadap kondisi di atas. Penghapusan rute dan pengurangan frekuensi yang telah dilakukan belum memberikan alternatif yang tepat dalam menyediakan kenyamanan pelayanan transportasi yang cepat dan handal. Pemerintah Kabupaten Simeulue memberikan usulan program angkutan udara perintis Tahun 2021 yang dikirimkan oleh Bupati Simeulue untuk meminta penambahan rute penerbangan perintis dan frekuensi penerbangan Sinabang. Kondisi daerah Simeulue yang terisolir dan tidak mudah dijangkau oleh transportasi darat serta daerah rawan bencana sangat membutuhkan penerbangan perintis. Kondisi-kondisi ekstrem seperti gelombang tinggi dan badai yang dialami oleh daerah pulau ini mengakibat terhentinya pelayanan transportasi. Dampak ini menuntut masyarakat harus bermalam di area pelabuhan dengan kondisi ala kadar. Angin laut yang menerpa tubuh lelah masyarakat dan menggeruguti tulang seakan lumrah berjalan alami. Namun di sisi lain, ada hal yang mendesak dari terhentinya pelayanan. Harga barang di daratan kepulauan kian melonjak, pasokan kebutuhan pokok pun kian menipis. Masyarakat kembali memikul kesengsaraan yang bertubi-tubi. Apakah hal ini patut dibiarkan menerus? Kabupaten Simeulue juga sering diguncang gempa dengan potensi tsunami yang besar juga mendorong daerah ini terus mempersiapkan diri terhadap mitigasi bencana. Sebagai salah satu upaya tersebut dengan membuka gerbang akses logistik, medis dan tanggap darurat secara cepat, tepat dan handal. Keberadaan Bandara Syekh Hamzah Fansuri, Aceh Singkil dalam tahun ini juga tidak dilayani rute penerbangan perintis. Padahal, Pemerintah Aceh terus mendorong berkembangnya wisata alam Rawa Singkil dan pesona alam Pulau Banyak. Sehingga, wisatawan yang hendak berwisata ke kawasan Singkil dan Pulau Banyak mengurungkan niatnya karena waktu dan jarak tempuh dengan rentang yang jauh akan menekan efisiensi biaya yang telah direncanakan untuk perjalanan. Di sisi lain, Aceh Tenggara memiliki bandara yang dibangun oleh Uni Eropa ini juga belumlah optimal. Faktanya, masyarakat hanya dapat melakukan satu kali penerbangan seminggu dan harus menunggu jadwal kepulangan pada minggu berikutnya. “Ini merupakan kendala terbesar bagi kami yang memiliki urusan mendesak di Ibukota Provinsi tidak bisa serta merta terbang ke Banda Aceh, kalau pun naik jalur darat itu butuh waktu yang lama dan jauh, energi pun telah terkuras,” ujar salah satu masyarakat dalam rapat koordinasi kebijakan bidang transportasi. Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 11 Tahun 2010 Tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional pasal 4 mencantumkan peran bandar udara sebagai pintu gerbang pertumbuhan ekonomi daerah, pendorong dan penunjang kegiatan industri, pembuka isolasi daerah, tempat kegiatan alih moda transportasi, pengembangan daerah perbatasan, penanganan bencana dan memperkokoh konektivitas daerah. Dalam hal ini, Pemerintah Aceh terus berupaya dalam mengembangkan bandara sesuai amanat agar peran dan fungsinya lebih optimal dalam memenuhi kebutuhan masyarakat transportasi dan mewujudkan pelayanan transportasi yang adil untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah. Kondisi infrastruktur bandara juga terus ditingkatkan agar laik operasional dan lancarnya pelayanan penerbangan. Pada saat ini, kondisi eksisting bandara yang masih melayani penerbangan perintis dan komersil sebanyak 7 (tujuh) dari 11 (sebelas) bandara umum, yaitu Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda (Aceh Besar), Malikussaleh (Aceh Utara), Patiambang (Gayo Lues), Cut Nyak Dhien (Nagan Raya), Kuala Batu (Aceh Barat Daya), Alas Leuser (Aceh Tenggara), dan Lasikin (Simeulue). Sementara 5 (lima) bandara lainnya sedang “tertidur” sejenak dan harus segera dibangunkan kembali. Lima bandara tersebut yaitu Bandara Syekh Hamzah Fansuri (Aceh Singkil), T. Cut Ali (Aceh Selatan), Rembele (Bener Meriah) dan Point A (Lhokseumawe). Karakteristik medan transportasi darat Aceh yang berliku dan dikelilingi perbukitan serta posisi pusat kegiatan yang memiliki jarak sangat jauh dari pusat-pusat kegiatan, menyumbang minat masyarakat akan pesawat terbang. Potensi wisata yang tersebar ke seantero wilayah Aceh juga membutuhkan alat transportasi yang cepat untuk menjangkaunya. Jika kata mereka “Jangan sampai banyak menghabiskan waktu di jalan daripada menikmati wisata itu sendiri”, para wisatawan tentu memilih jadwal perjalanan yang paling menyenangkan dengan biaya yang paling rendah. Berdasarkan kalkulasi awam, jika turis dari negeri jiran berlibur ke Aceh selama seminggu dengan waktu terbang selama 45 menit dari Kuala Lumpur – Blang Bintang, dan ingin menikmati nikmatnya kopi dan panorama alamnya yang indah di Takengon, Aceh Tengah dari Banda Aceh via darat, membutuhkan waktu tempuh selama 6 jam 41 menit dengan jarak tempuh sepanjang 309 KM dengan kondisi lalu lintas yang normal. Kondisi jalur eksisting melewati perbukitan dengan lembah yang relatif dalam sepanjang garis jalan. Potensi banjir dan longsor pada saat cuaca ekstrem juga kerap terjadi di kawasan tersebut hingga menutup akses antar Kecamatan. Potensi bencana tersebut hampir terjadi setiap tahun, dan tentu akan menguras banyak waktu dan tenaga dalam perjalanan, sehingga meyurutkan niat wisatawan untuk menikmati pesona Aceh. Hal ini juga terus mendorong Aceh untuk mempersiapkan diri terhadap aksesibilitas kebencanaan, layanan logistik, aktivitas ekspor impor, layanan ibadah masyarakat, kesehatan dan faktor kebutuhan layanan lainnya secara cepat dan handal. Sebagai alternatif upaya tersebut dapat dilakukan dengan “mempercepat” konektivitas

ACEH BUTUH PESAWAT YANG SESUAI UNTUK PERCEPATAN KONEKTIVITAS ANTAR WILAYAH

Upaya-upaya Pemerintah Aceh untuk terus mengejar target pada program prioritas terus dilakukan. Pada Senin, 1 Juli 2019 yang lalu, Plt. Gubernur Aceh Ir. Nova Iriansyah, MT., melakukan kunjungan kerja ke PT. Dirgantara Indonesia (PTDI) di Bandung, Jawa Barat. Kunjungan kerja tersebut merupakan tindak lanjut dari penandatanganan Memorandum of Standing (MoU) yang telah dilaksanakan oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf di Singapura pada Tanggal 07 Februari Tahun 2018. MoU tersebut bertujuan untuk mensinergikan dan mengoptimalkan rencana pengadaan pesawat dan pembangunan assembly line pesawat terbang N219 di Provinsi Aceh. Kunjungan Plt. Gubernur Aceh ke PTDI lebih menekankan pada evaluasi terhadap MoU yang sudah ada dan membahas kemungkinan kesepakatan realistis yang bisa dicapai dalam RPJMA 2017 – 2022 sehingga capaian MoU dapat diukur dengan baik. Pertemuan Pemerintah Aceh dan PTDI juga membahas penyempurnaan studi tentang penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM) dan operasional Pesawat N219 untuk mendukung konektivitas antar wilayah dan pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi kesenjangan wilayah. Pengembangan transportasi udara Aceh seharusnya berpedoman pada tata ruang Aceh yang mengarahkan Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM) berperan sebagai hub bandara-bandara yang ada di Aceh. Konsep arah pengembangan ini belum terealisasi secara optimal. Kondisi eksisting perintis saat ini juga belum signifikan dengan pengembangan konsep ini. Beberapa penerbangan ini masih mengarah ke hub bandara wilayah barat, Kualanamu, Sumatera Utara. Angkutan udara semestinya mempersingkat waktu dan jarak, akan tetapi saat ini untuk beberapa daerah membutuhkan biaya yang lebih besar dari seharusnya untuk dapat menjangkau Ibukota Provinsi. Tindak lanjut Pemerintah Aceh dengan PTDI juga mendorong implementasi konsep pengembangan Tata Ruang Aceh dalam meningkatkan peran Bandara SIM sebagai hub bandara Aceh. Dalam hal ini untuk mendorong transportasi udara secara komersial juga butuh waktu yang lama dan jika pihak ketiga yang mengurus juga belum tentu memberikan keuntungan yang banyak. Akan tetapi, masyarakat sangat membutuhkan moda transportasi ini. Sehingga, Pemerintah perlu mengintervensi kebutuhan sarana transportasi udara (pesawat terbang –red) untuk mengungkit peran prasarana (Bandara –red) yang telah ada di Aceh agar kembali terbangun dari “mati suri” selama ini. Sebagai karya anak bangsa, N219 merupakan pesawat komuter berbasis regulasi CASR/FAR 23 yang memiliki daya angkut sebanyak 19 penumpang dan secara umum memiliki daya angkut, serta flight & field performance yang lebih unggul dikelasnya. Pesawat ini dibangun oleh PT. Dirgantara Indonesia bersama LAPAN (Lembaga Penerbangan & Antariksa Nasional) dan direncanakan dapat menyelesaikan tahap sertifikasi pada akhir tahun 2019. Pesawat N219 dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan transportasi udara nasional di wilayah perintis. Memiliki kabin terluas di kelasnya dan dapat dimodifikasi untuk berbagai macam kebutuhan, seperti angkutan penumpang, angkutan barang maupun evakuasi medis saat terjadi bencana. N219 memiliki kecepatan maksimum mencapai 210 knot dan kecepatan terendahnya mencapai 59 knot, sehingga dapat terbang di wilayah bertebing dan berbukit sesuai karakteristik beberapa Bandara yang ada di Aceh. N219 juga memiliki kemampuan mendarat pada runway yang relatif pendek atau short take off – landing sehingga tidak membutuhkan landasan panjang dan mudah dioperasikan di daerah terpencil. N219 juga dilengkapi dengan Terrain Awareness and Warning System, yaitu alat yang bisa mendeteksi wilayah perbukitan. Sistem pesawat akan memberikan tanda dan visualisasi secara dimensi sehingga pilot tahu secara langsung kondisi perbukitan yang akan dilaluinya. Sesuai dengan kondisi Aceh saat ini yang memiliki 12 bandara yang belum beroperasi secara maksimal, bahkan beberapa bandara hanya melayani penerbangan perintis seminggu sekali. Pengadaan pesawat N219 merupakan salah satu upaya untuk mengoptimalkan bandara-bandara di Aceh tersebut. Aceh yang terpisah dengan perbukitan dan lautan, akan dapat terkoneksi dengan pesawat udara yang sesuai dengan topografi wilayah Aceh. Saat ini konektivitas antar wilayah merupakan salah satu tantangan terbesar dalam hal mengembangkan sektor kepariwisataan di Provinsi Aceh. Sejalan dengan hal tersebut, penambahan frekuensi penerbangan dari dan ke bandara-bandara di Aceh diperlukan untuk mendukung pertumbuhan kunjungan wisata. Data kunjungan wisatawan mancanegara dan domestik pada tahun 2014 hingga 2018 menunjukkan tren kunjungan yang terus meningkat. Adanya kerjasama IMT-GT (Sabang-Phuket-Langkawi) dalam bidang pariwisata dan kegiatan kepariwisataan lainnya, mendorong tumbuhnya industri pariwisata di Provinsi Aceh. Selain faktor pariwisata, Aceh yang dikenal sebagai daerah rawan bencana juga sangat memerlukan konektivitas wilayah melalui angkutan udara. Bencana Tsunami 2004 membuktikan peran bandara-bandara di Aceh sebagai pusat mitigasi bencana saat itu. Maka dukungan angkutan udara yang modern dan sesuai dengan topografi wilayah Aceh patut diwujudkan. Kabin pesawat N219 yang dapat dimodifikasi untuk evakuasi medis, mampu mengangkut sebanyak 9 pasien dalam sekali penerbangan. Sejalan dengan program prioritas Dinas Perhubungan Aceh untuk menjadikan Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda sebagai “Center of Umroh”, pesawat N219 dapat memudahkan masyarakat Aceh untuk melaksanakan ibadah umrah. Data yang diperoleh dari PT. Angkasa Pura II Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda menunjukkan, jumlah keberangkatan jama’ah umrah dari bandara tersebut pada tahun 2017 sampai dengan 2019 mencapai 29.550 jama’ah. Keberangkatan umrah dari Bandara SIM pada tahun 2019 mengalami lonjakan yang sangat tinggi yaitu sebesar 15.831 jama’ah. Hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan animo masyarakat Aceh untuk memulai perjalanan ibadah umrah terpusat di bandara SIM dan terhubung dengan bandara-bandara lain dalam wilayah Aceh dan beroperasi secara simultan. Tentu dengan adanya pesawat N219 yang melayani penerbangan di wilayah Aceh, masyarakat yang saat ini jika ingin melaksanakan umrah harus menempuh perjalanan darat dari daerah ke Banda Aceh atau bahkan melakukan perjalanan ibadah melalui bandara di luar Aceh. Dengan adanya konektivitas angkutan udara, masyarakat dapat lebih “fokus” dalam mempersiapkan ibadah ke tanah suci. Pesawat N219 juga diharapkan dapat menjadi solusi distribusi logistik yang terintegrasi, efektif dan efisien, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pesawat N219 juga dikembangkan untuk mendukung program jembatan udara seperti regulasi Presiden nomor 70 tahun 2017 mengenai “Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Untuk Angkutan Barang Dari Dan Ke Daerah Tertinggal, Terpencil, Terluar, Dan Perbatasan”. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2017, komoditas perikanan yang dikirim dari pelabuhan Sinabang, Singkil, dan Tapaktuan menuju pelabuhan Belawan mencapai 60.203 Ton. Dengan rincian dari Sinabang sebanyak 14.653 Ton, Singkil sebanyak 11.550 Ton, dan Tapaktuan sebesar 34.000 Ton. Pengiriman ikan melalui perjalanan darat dari pelabuhan-pelabuhan tersebut menuju pelabuhan Belawan membutuhkan waktu minimal 10 jam, bahkan dari Sinabang mencapai 21 jam. Bila dibandingkan dengan perjalanan udara, komoditas perikanan dari Sinabang, Singkil, dan Tapaktuan masing-masing dapat diangkut dalam waktu kurang dari 1 jam, sehingga kesegaran ikan masih terjaga dan nilai ekspornya

PEKAN KESELAMATAN JALAN ACEH TAHUN 2019

Dinas Perhubungan Aceh selenggarakan Acara Puncak Pekan Keselamatan Jalan Aceh Tahun 2019 di Lapangan Blang Padang Banda Aceh, Minggu, 1 Desember 2019. Rangkaian kegiatan dalam rangka Pekan Keselamatan telah dimulai sejak 25 November 2019. Kepala Dinas Perhubungan Aceh Junaidi, ST., MT., dalam sambutannya menyampaikan, dari sekian banyak korban kecelakaan lalu lintas didominasi oleh anak muda, pelajar dan mahasiswa. “Maka Pekan Keselamatan Jalan Aceh ini adalah salah satu upaya Dinas Perhubungan agar terjalin sinergisitas dari semua pihak dalam rangka mengurangi kecelakaan lalu lintas di jalan raya,” ungkap Junaidi. Acara ini mengajak para pengguna kendaraan agar lebih memperhatikan peralatan pendukung keselamatan dalam berkendara, serta membangkitkan kesadaran keselamatan dalam berkendara sejak dini yaitu salah satunya dengan menggandeng pelajar pelopor sebagai duta pemerintah. “Pemilihan Pelajar Pelopor merupakan upaya Dishub Aceh agar bisa menjadi wakil pemerintah dalam kampanye keselamatan berlalu lintas di jalan raya,” terang Junaidi. Kecelakaan lalu lintas merupakan pembunuh terbesar nomor dua di Indonesia dengan rata-rata jumlah orang meninggal setiap jam sekitar tiga sampai empat orang. Penyelenggaraan Pekan Keselamatan Jalan Aceh sebagai kegiatan rutin merupakan salah satu upaya Dinas Perhubungan Aceh untuk mengurangi angka kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Selain itu, juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pengendara tentang pentingnya keselamatan berkendara. Pada kegiatan puncak juga dilaksanakan penandatanganan Perjanjian Kerjasama (MoU) Keselamatan Berlalu Lintas antara Dinas Perhubungan Aceh dengan sejumlah sekolah di Banda Aceh dan Aceh Besar. Kerjasama ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran pelajar sekolah akan keselamatan berlalu lintas. Pekan Keselamatan Jalan Aceh Tahun 2019 memiliki sejumlah rangkaian kegiatan yang telah diadakan beberapa hari sebelumnya yaitu; lomba vlog, lomba mural & graffiti, safety riding, donor darah, senam jantung sehat, music performance, dan deklarasi keselamatan lalu lintas dan anti narkoba. (MG)   Simak videonya di bawah ini :

PROTOTIPE E-TICKETING TRANS KOETARADJA DIUJI COBA

Pelayanan kepada masyarakat di masa yang akan datang semakin menuntut pada sistem pelayanan yang berbasis teknologi seperti menerapkan sistem Smart city khususnya smart transportation. Oleh karena itu, upaya-upaya untuk mendorong peningkatan pelayanan di masa yang akan datang Pemerintah Aceh berupaya terus mempersiapkan diri untuk melayani masyarakat dengan teknologi IT secara cepat dan efisien. Upaya peningkatan ini dikemas dalam bingkai penelitian sebagai tindak lanjut MoU antara Pemerintah Aceh dengan Universitas Syiah Kuala dalam bidang Pendidikan, Penelitian, Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta Pengembangan Sumber Daya Manusia. Dalam hal ini, Dinas Perhubungan Aceh dengan Jurusan Teknik Elektro dan Komputer Universitas Syiah Kuala menindaklanjuti kerjasama tersebut dengan melakukan dua penelitian dalam tahun 2019 yaitu Prototype E-ticketing Trans Koetaradja dan A Lightweight Moving Vehicle Classification System Through Attention-Based Method and Deep Learning. Kadishub Aceh Junaidi, ST., MT., bersama Kepala BIdang Lalu Lintas Angkutan Jalan dan Kepala UPTD Trans Koetaradja meninjau uji coba hasil prototype e-ticketing Trans Koetaradja di Laboratorium Sistem Terdistribusi Jurusan Teknik Elektro dan Komputer Universitas Syiah Kuala, Senin, 25 November 2019. Sistem E-Ticketing ini dapat digunakan secara cashless (tanpa duit) dan juga dipersiapkan alternatif secara manual atau dapat menggunakan uang tunai. Tim peneliti Teknik Elektro menyebutkan, setelah usai uji prototipe ini akan dilakukan registrasi hak kekayaan intelektual dan diharapkan pada tahun depan dapat diproduksi di Aceh untuk dapat digunakan pada angkutan massal Trans Koetaradja. Sebelum diproduksi, pihak Tim peneliti juga menyampaikan masih membutuhkan penyempurnaan pada beberapa komponen termasuk design bentuk yang memudahkan pelanggan Trans Koetaradja nantinya. Penelitian “A Lightweight Moving Vehicle Classification System Through Attention-Based Method and Deep Learning” adalah pemanfaatan deteksi efektif kamera pengintai statis untuk mengklasifikasi jenis kendaraan bermotor pada suatu pias jalan sehingga dapat diketahui volume kendaraan dan klasifikasi yang melintasi, deteksi dapat bermanfaat untuk mengendalikan dan mengevaluasi serta pengawasan terpadu transportasi perkotaan di masa yang akan datang. Prof. Dr. Nasaruddin, S.T., M.Eng., selaku ketua tim penelitian menyampaikan bahwa kerjasama ini mendorong penelitian anak negeri untuk dapat diterapkan secara langsung dalam meningkatkan layanan fasilitas publik khususnya Trans Koetaradja. Penggunaan konsep “transportasi pintar” merupakan tujuan utama dalam penelitian ini, hasil penelitian diharapkan dapat segera diaplikasikan. (MS)

DISHUB BANDA ACEH TERAPKAN TRANSAKSI NON TUNAI DI PELABUHAN ULEE LHEUE

Mulai 1 Desember 2019, Dinas Perhubungan Kota Banda Aceh akan menerapkan sistem pembayaran non tunai di Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue, Banda Aceh. Penerapan transaksi non tunai bertujuan untuk mencegah pungli dan kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemerintah Kota Banda Aceh dari retribusi pelayanan pelabuhan. Transaksi non tunai di pelabuhan penyeberangan Ulee Lheue nantinya meliputi; jasa tanda masuk pelabuhan, jasa penitipan kendaraan, dan jasa penggunaan dermaga pelabuhan, termasuk jasa timbangan kendaraan. Kasubbag Keuangan Dishub Banda Aceh Mahdani yang dihubungi Aceh TRANSit menyebutkan, alat pembayaran yang digunakan untuk transaksi non tunai adalah kartu uang elektronik yang dikeluarkan perbankan seperti; Brizzi, e-money, Flazz, dan Tapcash. “Saat ini sedang dilakukan sistem integrasi test untuk ujicoba penggunaan kartu uang elektronik antara Dishub Banda Aceh dan PT. AINO selaku penyedia payment gateway dengan pihak bank,” ungkapnya. Mahdani menambahkan, masyarakat bisa mendapatkan kartu uang elektronik di kantor masing-masing bank, counter penjualan kartu/top up isi saldo di pintu gerbang masuk pelabuhan, serta agen penjualan lainnya. “Direncanakan pada tahun depan bisa menggunakan dompet digital dari Hp android yang berbasis QR code seperti Link aja, Dana, Ovo, Gopay dan lain-lain yang terintegrasi dalam satu barcode yaitu QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard),” jelasnya. Penerapan transaksi non tunai ini sesuai dengan Peraturan Walikota Banda Aceh No. 10 Tahun 2018 tentang pelaksanaan transaksi non tunai di lingkungan Pemerintah Kota Banda Aceh. Hal tersebut juga sejalan dengan instruksi Presiden No. 10 Tahun 2016 tentang aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi. “Penerapan transaksi non tunai di Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue juga untuk mewujudkan Banda Aceh Smart City dan mendukung Aceh Smart Province, serta ikut menyukseskan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT),” tutup Mahdani. (AM)

BUSINESS FORUM, UNTUK PENINGKATAN KONEKTIVITAS DISTRIBUSI LOGISTIK ACEH

Dorong peran sinergis Pelabuhan Malahayati dalam peningkatan konektivitas distribusi logistik di Aceh, PT. Pelindo I Cabang Malahayati bekerja sama dengan Dinas Perhubungan Aceh selenggarakan acara Business Forum, Rabu, 06 November 2019. Business Forum yang diadakan di Hotel Kyriad Muraya Banda Aceh ini mengangkat tema “Peningkatan Kegiatan Bongkar Muat di Pelabuhan Malahayati Sebagai Konektivitas Logistik di Aceh.” Acara yang pembiayaannya didukung oleh PT. Pelindo 1 Cabang Malahayati ini mengundang berbagai stakeholder yang terkait langsung dengan kegiatan dan kelancaran distribusi logistik di Aceh, seperti unsur Pemerintah, asosiasi dan dunia usaha. Hadir mewakili Plt. Gubernur Aceh, Kepala Dinas Perhubungan Aceh Junaidi, S.T., M.T., menyampaikan, Business Forum merupakan ruang bagi semua stakeholder untuk menyampaikan gagasan dalam rangka mengoptimalkan peran Pelabuhan Malahayati. “Keberadaan pelabuhan ini sangat dibutuhkan untuk mendukung aktivitas bisnis yang akan hadir di Kawasan Industri Aceh (KIA) Ladong,” papar Junaidi, membacakan pidato Plt. Gubernur Aceh, Nova Iriansyah. Dalam amanat pidato ini disebutkan, kehadiran sebuah kawasan industri harus dilengkapi dengan keberadaan pelabuhan laut sebagai pintu masuk untuk kegiatan ekspor impor. “Kawasan industri itu juga harus dilengkapi dengan pusat logistik serta jaringan transportasi multimoda agar aksesibilitas barang lebih mudah,” ungkap Junaidi. Business Forum diisi oleh beberapa pemateri diantaranya; Kepala Dinas Perhubungan Aceh Junaidi, ST., MT., dengan materi tentang Infrastruktur dan Konektivitas Logistik Pada Kawasan Industri Aceh, Direktur Utama PT. Pembangunan Aceh (PEMA) Zubir Sahim, dengan materi tentang Peluang Investasi Aceh, Perwakilan PT. Trans Continent, dengan materi tentang Dampak Industrialisasi dan Kawasan Industri Aceh Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Aceh, dan General Manager PT. Pelindo I Cabang Malahayati Sam Arifin Wiwi, dengan materi tentang Bongkar Muat Di Pelabuhan Malahayati Sebagai Konektivitas di Provinsi Aceh. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengevaluasi kinerja Pelabuhan Malahayati dalam mendukung program Tol Laut (T1) untuk mendorong KIA Ladong, mempersiapkan SDM bagi pelaku usaha dan penyedia jasa logistik, meningkatkan daya saing pengusaha, serta mengnyinergikan pelaksanaan kelogistikan untuk peningkatan pelayanan di bidang perhubungan. (AM)

DAMRI, MELAYANI HINGGA PELOSOK

Udara sejuk pagi masih begitu terasa. Rona mentari pagi mulai menerangi kompleks terminal Keudah Banda Aceh. Tak lama menunggu di terimal, bus yang saya tunggu pun datang. Pagi itu, Selasa (5/8/2019) saya ingin menjajal pengalaman naik bus Damri menuju Peukan Biluy, Aceh Besar. Rute tersebut adalah salah satu rute angkutan jalan perintis di Provinsi Aceh Tahun 2019 yang operasionalnya dilaksanakan oleh Perum Damri Cabang Banda Aceh. Bus Damri berukuran sedang ini tiba sesuai jadwal yang saya terima dari karyawan Damri, yaitu pukul 06.30 WIB. Saya bergegas naik dan menjumpai sopir bus untuk menyampaikan tujuan, yaitu ingin menikmati pengalaman menggunakan bus Damri ke Peukan Biluy. Tak ada penumpang lain yang naik. Tapi sang sopir, Iskandar yang akrab disapa Bang Is mulai melajukan bus dengan santai. Ia berangkat sesuai jadwal. Saya langsung merasa nyaman dan menikmati suasana di dalam bus. Selain busnya nyaman, sikap ramah awak bus pun membuat suasana semakin akrab. Begitu bus melewati Simbun Sibreh hingga Simpang Surabaya, pemandangan pagi hari khas ibu kota menarik perhatian saya. Jalan raya dipenuhi kendaraan para abdi negara, mahasiswa, dan pelajar yang berduyun-duyun menuju tempat aktivitas masing-masing. Terbayang dalam benak saya, kondisi lalu lintas akan lebih baik jika mereka menggunakan bus seperti yang saya tumpangi. Selama perjalanan saya sengaja sesekali bertanya dan berbincang dengan Bang Is, pria kelahiran Aceh Besar. Mulai dari jadwal keberangkatan, rute, dan kondisi selama angkutan perintis ini beroperasi. Ia menjelaskan, bus Damri perintis yang disopirinya beroperasi setiap hari, pukul 06.30 WIB dan pukul 10.00 WIB (PP) dengan rute Terminal Keudah – Peukan Biluy. “Selama ini memang minat masyarakat untuk menggunakan bus Damri masih minim. Masih banyak masyarakat yang belum tahu. Padahal bus Damri ini sangat nyaman jika ibu-ibu mau ke Pasar Aceh atau anak-anak ke sekolah, karena dilengkapi AC,” jelas Bang Is penuh semangat. Sejauh pantauan saya, penjelasan tersebut memang benar adanya. Hanya saya seorang diri penumpang di bus berkapasitas 26 orang itu. Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 30 menit, bus tiba di tujuan, yaitu di Desa Lamkrak. Bang Is langsung memutar haluan bus dan parkir sejenak. Setelah menunggu sekitar 10 menit, Bang Is mulai melajukan busnya, kembali ke Terminal Keudah. Saya tidak turun, karena memang ingin menjajal pengalaman naik bus Damri perintis ini. Ketika melewati jalan Peukan Biluy – Lampeunurut yang sedang dalam tahap pengerjaan karena kondisi jalan rusak, saya masih merasa nyaman berada di dalam bus. Saya terhindar dari debu yang menjadi keluhan setiap pengendara bila ada pengerjaan jalan. Ada satu hal yang membuat saya merasa pelayanan yang disubsidi oleh Pemerintah ini sangat tersia-siakan. Saya melihat banyak pelajar yang diantar oleh orang tua ke sekolah. Sebenarnya mereka dapat memanfaatkan fasilitas bus Damri ini. Apalagi rutenya melewati beberapa sekolah, sebut saja seperti MIN Cot Gue Aceh Besar, MTSN Cot Gue Aceh Besar, MAN Cot Gue Aceh Besar, dan SMA Negeri 1 Darul Imarah Aceh Besar . What the individual resembles on a phony id. Also, what they feel like when they have genuine phony id card with multi dimensional image. Fostering an ideal phony character, for your own entertainment or business needs to require the right experts to purchase counterfeit id cards and make excellent unique plans with unique multi dimensional images and security highlights and standardized tags to make your new best fake id visit now Apalagi bus mulai beroperasi sebelum jam sekolah dimulai. Selain aman dan nyaman bagi anak-anak, pembiasaan naik angkutan umum sejak dini kepada anak-anak sudah seharusnya dilakukan. Ibu-ibu juga sangat terbantu jika ingin ke Pasar Aceh, karena penumpang dapat naik dan turun di mana saja. Jika ingin pergi ke tempat lain di luar rute yang dilayani, penumpang dapat turun di halte Trans Koetaradja, lalu melanjutkan perjalanan ke tempat yang dituju menggunakan bus Trans Koetaradja. Tidak cuma itu, ongkosnya pun sangat murah. Hanya dengan membayar Rp. 2.000 saja, saya dapat menikmati perjalanan menggunakan bus Damri sepanjang rute yang dilalui. Sudah nyaman, aman, awak busnya ramah, dan yang paling penting murah. Ayo naik bus Damri perintis. Tentang Angkutan Jalan Perintis Kementerian Perhubungan RI melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Darat telah menetapkan 370 jaringan trayek angkutan jalan perintis pada Tahun 2019 yang beroperasi di seluruh Indonesia. Angkutan Jalan Perintis adalah angkutan yang melayani daerah terpencil, terdalam, terisolir, dan tertinggal, dimana di daerah tersebut belum tersedia sarana angkutan yang memadai dengan tarif yang terjangkau. Perum Damri yang ditunjuk selaku operator angkutan jalan perintis menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam rangka menyediakan angkutan kepada seluruh masyarakat pedalaman. (AM)

KMP. ACEH HEBAT, NAMA KAPAL BARU PEMERINTAH ACEH

Pelaksana Tugas Gubernur Aceh, Ir. Nova Iriansyah, MT., tabalkan “Aceh Hebat” sebagai nama ketiga kapal ferry Ro-Ro milik Pemerintah Aceh, Senin 21 Oktober 2019. Penabalan nama tersebut dilaksanakan saat menghadiri acara peletakan lunas (keel laying) pembangunan 3 kapal ro-ro yang dipusatkan di salah satu galangan kapal,  PT. Adiluhung Saranasegara Indonesia, Madura, Jawa Timur. Acara peletakan lunas (keel laying) untuk ketiga kapal ro-ro pesanan Pemerintah Aceh ini dilaksanakan secara terpadu yang dipusatkan di Bangkalan, Madura. Keel laying merupakan tahapan awal dari pembangunan kapal yang dianggap sebagai hari kelahiran kapal baru. Saat memberi sambutan Nova menyampaikan, pembangunan 3 unit kapal ro-ro untuk meningkatkan konektivitas antar kepulauan yang merupakan program prioritas Pemerintah Aceh. “Dari 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh, 18 Kabupaten/kota di antaranya berbatasan langsung dengan laut,” kata Nova. Dikatakan Nova, pembangunan keel laying ini menandakan pembangunan kapal-kapal ini segera diintensfikan. Nova juga menambahkan, peningkatan konektivitas antar kepulauan selaras dengan program Presiden Joko Widodo dalam mengoptimalkan sektor kemaritiman Indonesia. “Optimalisasi sumber daya Aceh di sektor kelautan mutlak harus ditingkatkan sebagai bagian dari pembangunan bangsa,” jelasnya. Usai memberi sambutan, Nova menandatangani plakat keel laying dan menabalkan nama pada ketiga kapal ro-ro sebagai tanda keel laying, yaitu; ACEH HEBAT 1 untuk kapal berkapasitas 1.300 GT; ACEH HEBAT 2 untuk kapal berkapasitas 1.100 GT; dan ACEH HEBAT 3 untuk kapal 600 GT. Nama yang diberikan ini adalah tagline dan manifestasi dari visi misi Pemerintah Aceh 2017-2022. “Harapan kami, penabalan nama ini dapat memacu semangat kami untuk benar-benar mewujudkan visi misi Aceh Hebat,” ungkap Nova dengan semangat. Kepala Dinas Perhubungan Aceh Junaidi, ST, MT., dalam laporannya menjelaskan bahwa anggaran pembangunan ketiga kapal ro-ro bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) Tahun 2019 dan 2020. “Pembangunan ketiga kapal ini diharapkan dapat diselesaikan tepat waktu pada akhir tahun 2020 sesuai kontrak yang telah disepakati,” tegas Junaidi. Acara ini turut dihadiri Direktur Transportasi SDP, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan RI, Ir. Sri Hardianto, S.T., MM.Tr, Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, Irdam, SH, MH., serta para pimpinan perusahaan pelaksana pembangunan Kapal dan pengawasannya. Adapun rincian pembangunan 3 unit kapal ro-ro milik Pemerintah Aceh diantaranya; Kapal ro-ro tipe 1.300 GT untuk lintasan Pantai Barat – Simeulue berkapasitas 250 penumpang dan 33 unit kendaraan campuran, dilaksanakan oleh PT. Multi Ocean Shipyard di Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau. Kapal Ro-ro tipe 1.100 GT untuk lintasan Ulee Lheue – Balohan berkapasitas 252 penumpang dan 26 unit kendaraan campuran, dilaksanakan oleh PT. Adiluhung Saranasegara Indonesia di Bangkalan, Madura. Kapal Ro-ro tipe 600 GT untuk lintasan Singkil – Pulau Banyak berkapasitas 212 penumpang dan 21 unit kendaraan campuran, dilaksanakan oleh PT. Citra Bahari Shipyard di Tegal, Jawa Tengah.

Data Rute Trayek dan Jumlah Angkutan Yang Beroperasi di Provinsi Aceh

Untuk meningkatkan pelayanan transportasi angkutan antar kota dalam provinsi (AKDP), Dinas Perhubungan Aceh menyediakan informasi rute trayek dan jumlah angkutan yang melayani pada terminal satu ke terminal lainnya. Scan QR Code di bawah ini untuk mengakses data AKDP di Provinsi Aceh.