Dishub

Layanan TransK Gratis Karena Dana Otsus, Harus Lanjut

Banda Aceh – Trans Koetaradja melayani perjalanan masyarakat di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar secara gratis dari tahun 2016 hingga sekarang (tahun 2025). TransK melayani seluruh lapisan masyarakat, baik penduduk asli maupun wisatawan, mulai dari pelajar, lansia, hingga difabel. Dan itu semua dibiayai melalui dana otsus (otonomi khusus) Aceh. Hal itu disampaikan oleh Kepala Dinas Perhubungan Aceh Teuku Faisal saat memaparkan penggunaan dana otsus Aceh pada Dinas Perhubungan Aceh di hadapan Tim Monitoring dan Evaluasi (Monev) Dana Otsus Aceh di Aula Multimoda pada Rabu, 22 Oktober 2025. Selama Trans Koetaradja hadir, lanjut Teuku Faisal, dampak dari segi ekonomi terhadap masyarakat sangat luar biasa. “Karena layanannya gratis, jadi biaya yang perlu mereka keluarkan untuk bermobilitas sehari-hari bisa dihemat untuk kebutuhan lainnya,” pungkasnya. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap layanan angkutan massal perkotaan ini juga semakin meningkat setiap tahunnya. Hal itu tercermin dari ramainya jumlah aduan disaat bus TransK tidak beroperasi. “Ada sebagian masyarakat yang butuh naik bus TransK untuk pergi bekerja. Ketika TransK berhenti, mereka mengaku harus kehilangan pekerjaannya karena tidak bisa berangkat kerja,” ujar Teuku Faisal kepada Tim Monev Otsus Aceh. Selain pada layanan angkutan massal, Teuku Faisal juga memaparkan penggunaan dana otsus di sejumlah layanan transportasi lainnya, seperti pembangunan 3 unit kapal penyeberangan KMP Aceh Hebat untuk menjamin kelancaran konektivitas di wilayah kepulauan, pengembangan pelabuhan penyeberangan, terminal tipe B Aceh, hingga pembangunan fasilitas keselamatan jalan di sepanjang ruas jalan provinsi Aceh. Pada kesempatan yang sama, Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan Dewan Pertimbangan Otonomi Khusus, Ditjen Otonomi Daerah, Kemendagri, Sumule Tumbo menyebutkan bahwa penggunaan dana otsus sejatinya harus pada layanan yang bersentuhan langsung dengan publik seperti layanan angkutan massal Trans Koetaradja. “Inilah tujuan kunjungan kita untuk melihat langsung efektivitas serta pemanfaatan dana otsus. Di sini kita melihat dana otsus sangat dibutuhkan untuk mendukung konektivitas dan mobilitas masyarakat Aceh,” sebut Sumule selaku Ketua Tim Monev Otsus Aceh. Pendapat yang sama juga diutarakan oleh Direktur Pembangunan Indonesia Barat, Kedeputian Pembangunan Kewilayahan Kementerian PPN/Bappenas, Jayadi terkait penggunaan dana otsus Aceh pada sektor transportasi publik. Menurutnya, layanan Trans Koetaradja yang diberikan secara gratis di Aceh menjadi contoh yang unik dan luar biasa dari penggunaan dana otsus dalam konteks transportasi publik. Jayadi menambahkan, kehadiran transportasi publik yang dibiayai oleh Pemerintah memberikan dampak multiplier effect yang sangat luas dan signifikan terhadap perekonomian dan sosial. “Cost terbesar dari penyediaan transportasi publik adalah merubah mindset masyarakat untuk mau beralih dari kendaraan pribadi ke angkutan publik,” sebutnya. Dirinya menilai apa yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh dengan penyediaan transportasi publik secara gratis merupakan langkah awal yang tepat untuk merubah kebiasaan masyarakat dalam melakukan mobilitas sehari-hari. Tim Monev Dana Otsus Aceh terdiri dari beberapa Kementerian dan Lembaga seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Bappenas, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Tim Sinergi dan Kolaborasi untuk Akselerasi Layanan Dasar (SKALA). Setelah mendengar pemaparan, Kadishub Aceh bersama Tim Monev Dana Otsus Aceh meninjau Depo Angkutan Massal Trans Koetaradja. Di sana, rombongan melihat bus-bus TransK yang dibeli menggunakan dana otsus, termasuk menjajal kenyamanan bus beserta fasilitasnya.(AB) Baca Berita Lainnya: Rute Baru Feeder Trans Koetaradja Tahun 2025 Jadwal Operasional Bus Trans Koetaradja Selama Bulan Ramadan 1446 H Menhub Dudy: Harga Tiket Pesawat Domestik Turun 13-14 Persen pada Masa Lebaran 2025

Bus Trans Koetaradja: Bukti Nyata Transportasi Publik Gratis itu Ada

Oleh Djoko Setijowarno Bus Trans Koetaradja adalah sebuah sistem transportasi umum di Banda Aceh dan Aceh Besar yang menjadi solusi modern untuk mobilitas perkotaan. Bus Trans Koetaradja tidak hanya dibangun untuk mengatasi kemacetan, tetapi juga untuk memberikan layanan transportasi yang aman, nyaman, dan terjangkau bagi masyarakat . Sejak kehadirannya, Trans Koetaradja telah menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitas harian banyak orang, terutama mahasiswa yang menjadikannya andalan untuk bepergian ke kampus atau ke pusat kota. Layanan gratis dan fasilitas yang nyaman, seperti pendingin udara, membuat Trans Koetaradja sangat populer dan selalu ramai penumpang. Meskipun sempat mengalami tantangan operasional dan revitalisasi, layanan ini terus berupaya memberikan yang terbaik untuk masyarakat, menjadikannya salah satu sistem transportasi publik yang sukses dan berkelanjutan di Indonesia. Perkembangan Bus Trans Koetaradja menunjukkan komitmen pemerintah untuk menjadikan layanan bus ini sebagai tulang punggung transportasi publik yang terintegrasi di Banda Aceh. Penambahan rute feeder sangat penting karena memungkinkan penumpang dari area yang lebih jauh untuk terhubung ke koridor utama dengan mudah. Program ini merupakan inisiasi pemerintah dengan tujuan utama untuk meningkatkan kualitas layanan transportasi publik di Aceh. Nama “Koetaradja” sendiri diambil dari nama lama Kota Banda Aceh, yakni Kutaraja, yang memberikan sentuhan lokal pada identitasnya. Informasi Dinas Perhubungan Provinsi Aceh (2025), menyebutkan 2 Mei 2016, bus Trans Koetaradja resmi beroperasi, saat itu hanya satu koridor, yaitu Pusat Kota (Masjid Raya Baiturrahman) – Darussalam (Pusat Perkuliahan), dengan jumlah bus sebanyak 25 unit hibah dari Kementerian Perhubungan. Seiring berjalan waktu, saat ini Trans Koetaradja sudah memiliki 59 unit bus, 25 bus ukuran besar dan 34 bus ukuran sedang yang melayani 6 koridor utama dan 5 rute feeder di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Koridor 1 (Pusat Kota – Daerussalam), koridor 2 (Pusat Kota – Blang Bintang via Lambaro), koridor 2B (Pusat Kota – Ulee Lheue), koridor 3A (Pusat Kota – Mata le via Setul, koridor 3B (Pusat kota – Mata le via lampaeuneurut), dan koridor 5 (Pusat kota – Blang Bintang via Ulee Kareng). Sementara feeder 1 (Trans Campus/Darussalam), feeder 2 (Pusat Kota – Lambaro), feeder 3 (Pusat Kota – Lampuuk), feeder 4 (Simpang Rima – Lambung), feeder 5 (BKKBN – Serambi Indonesia), feeder 6 (Keudah – Pasar Al Mahirah), feeder 7 (Darussalam – Pasar Lam Ateuk), feeder 8 (Pusat Kota – Lampaseh) dan yang paling terbaru adalah feeder 9 (Sp Mesra – Kajhu). Diskusi dengan Sekretaris Dinas Perhubungan Provinsi Aceh T. Rizki Fadhil, S.SiT, M.Si (23/09/2025), menyampaikan perdana tahun 2016 dioperasikan 10 unit bus besar untuk 1 rute, tahun 2017 untuk 3 rute (25 bus besar dan 5 bus sedang), tahun 2018 untuk 3 rute (25 bus besar dan 15 bus sedang), tahun 2019 untuk 5 rute (25 bus besar dan 27 bus sedang), tahun 2020 untuk 6 rute (25 bus besar dan 27 bus sedang), tahun 2021 untuk 6 rute (25 bus besar dan 27 bus sedang), tahun 2022 untuk 10 rute (6 koridor dan 4 feeder ) menggunakan 25 bus besar dan 27 bus sedang, tahun 2023 dan 2024 untuk 11 rute (6 koridor dan 6 feeder ) menggunakan 25 bus besar dan 34 bus sedang, tahun 2025 untuk 15 rute (6 koridor dan 9 feeder ) menggunakan 25 bus besar dan 34 bus sedang. Tempat perhentian Bus Trans Koetaradja berupa halte (permanen dan portable ) dan shelter. Tahun 2016 disediakan 16 halte permanen dan 24 halte portable , tahun 2017 (45 halte permanen dan 38 halte portable ), tahun 2018 (85 halte permanen dan 38 halte portable ), tahun 2019 (90 halte permanen dan 54 halte portable ), tahun 2020 (91 halte permanen dan 76 halte portable ), tahun 2021 (91 halte permanen dan 83 halte portable ), tahun 2022 (94 halte permanen, 83 halte portable dan 7 shelter), tahun 2023-2024 (94 halte permanen, 85 halte portable dan 10 shelter) dan tahun 2025 (94 halte permanen, 87 halte portable dan 10 shelter). Trans campus Tersedia juga layanan Trans Campus yang melayani dua kampus negeri, yaitu Universitas Syah Kuala dan Universitas Islam Negeri Ar-Raniry. Jumlah bus feeder di jalur ini sebanyak 2 unit bus, mulai dari asrama mahasiswa melewati semua fakulltas dan berakhir di dekat halte Mesjid Jamik yang juga merupakan pemberhentian bus Koridor utama 1. Bus feeder yang paling diminati khususnya mahasiswa baru ini memiliki kapasitas 16 tempat duduk dan 14 pegangan dengan panjang rute layanan sejauh 5,5 km. Dalam sehari ada 10 ritase, waktu layanan jam 07.30 – 17.05. Sekali ritase 35 menit, waktu tunggu 20 menit untuk kondisi on peak dan 35 menit untuk kondisi off peak. Dengan desain kaca lebar panoramic, bus ini juga dilengkapi dengan ramp untuk disabilitas di pintu belakang bus. Trans Meudiwana Setiap hari Minggu dioperasikan Trans Meudiwana. Trans Meudiwana merupakan layanan feeder Trans Koetaradja dikhususkan untuk melayani perjalanan masyarakat yang berpergian ke tempat-tempat wisata yang ada di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar, seperti Museum, situs sejarah, situs tsunami dan pantai. Program ini kolaborasi dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh menggunakan 2 armada bus ukuran sedang. Ada dua rute, yaitu Mesjid Raya – Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue dan Masjid Raya -Lampuuk. Rute Lampuuk merupakan rute favorit dimana masyarakat bisa menikmati keindahan pantai lampuuk secara gratis. Anggaran operasional Penyediaan anggaran melalui APBD merupakan wujud komitmen Pemerintah Aceh dalam memberikan pelayanan angkutan massal perkotaan yang berkelanjutan. Berdasarkan data dari Dinas Perhubungan Provinsi Aceh, alokasi anggaran tahun 2016 sebesar Rp 1,73 miliar, tahun 2017 (Rp 5,45 miliar), tahun 2018 (Rp 7,76 miliar), tahun 2019 (Rp 11,45 miliar), tahun 2020 (Rp 13,2 miliar), tahun 2021 (Rp 12,99 miliar), tahun 2022 (Rp 15,13 miliar), tahun 2023 (Rp 9,59 miliar), tahun 2024 (Rp 10,57 miliar), dan tahun 2025 (Rp 12,65 miliar). Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Prov. Aceh Tahun 2025 sebesar Rp 11 triliun, Anggaran Pendapatan dan Belanja Kota Banda Aceh (Rp 1,47 triliun), dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Aceh Besar (Rp 1,8 triliun). Menurut data dari Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) tahun 2024, kawasan perumahan yang harus dilayani di Kota Banda Aceh sebanyak 59 kawasan perumahan dan 113 kawasan perumahan di Kab. Aceh Besar. Sejumlah kawasan perumahan

Hingga September 2025, Trans Koetaradja Layani Lebih dari 600 Ribu Penumpang

Banda Aceh – Layanan angkutan massal perkotaan Trans Koetaradja terus menunjukkan tren positif. Pada tahun ini, yaitu per bulan Februari hingga September 2025, tercatat sebanyak 604.954 penumpang telah menggunakan layanan Bus Rapid Transit (BRT) andalan masyarakat Banda Aceh dan Aceh Besar tersebut. Kepala Dinas Perhubungan Aceh, Teuku Faisal, mengatakan bahwa jumlah pengguna Trans Koetaradja terus meningkat setiap bulannya. Dari seluruh koridor yang beroperasi, Koridor 1 (Pusat Kota – Darussalam) tercatat menjadi rute paling ramai, dengan total 246.743 penumpang. “Selama delapan bulan beroperasi, bulan September jumlah penumpang tertinggi, yaitu 125.390 orang. Ini menunjukkan bahwa Trans Koetaradja semakin diminati masyarakat untuk mendukung aktivitas sehari-hari,” ujar Teuku Faisal, Selasa, 14/10. Ia menambahkan, peningkatan ini juga didukung oleh peluncuran aplikasi Trans Koetaradja yang memudahkan pengguna dalam mengakses layanan transportasi publik tersebut. Aplikasi yang tersedia di Play Store dan App Store ini memungkinkan pengguna mengetahui jadwal bus secara realtime dan menemukan halte terdekat dengan mudah. “Sejak diluncurkan pada Mei lalu, aplikasi Trans Koetaradja sudah diunduh sebanyak 6.695 kali. Ini menjadi bukti bahwa masyarakat semakin akrab dengan layanan digital untuk mendukung mobilitas mereka,” kata Faisal. Kadishub Aceh menegaskan bahwa pihaknya akan terus menghadirkan inovasi baru untuk meningkatkan kenyamanan dan kemudahan pengguna Trans Koetaradja, yang hingga kini masih melayani penumpang secara gratis. Menurut Faisal, pengembangan transportasi publik menjadi bagian dari upaya Pemerintah Aceh mewujudkan mobilitas yang aman, nyaman, dan terjangkau bagi seluruh masyarakat. “Hal ini juga sejalan dengan arahan Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, agar masyarakat semakin dimudahkan dalam mendapatkan layanan transportasi yang berkualitas,” pungkasnya.(MR/HZ) Baca Berita Lainnya: Tim Penilai Komisi Informasi Aceh Akui Kualitas PPID Dishub Aceh Kok Bisa? Trans Koetaradja yang Gratis Ini Jadi Andalan Dina Sejak SMP Akses Transportasi Umum ke Kawasan Perumahan

Tim Penilai Komisi Informasi Aceh Akui Kualitas PPID Dishub Aceh

Banda Aceh – Keterbukaan informasi publik bukan hanya sekadar kata, tapi telah menjadi budaya bagi setiap ASN Dishub Aceh. Prinsip itu selalu dipegang sehingga kini menjadi “culture” yang terus terbawa dalam setiap program yang dijalankan oleh Dishub Aceh. Hal itu disampaikan oleh Kepala Dinas Perhubungan Aceh Teuku Faisal saat menerima kunjungan visitasi Tim Penilai Komisi Informasi Aceh (KIA) dalam rangka monitoring dan evaluasi (monev) Keterbukaan Informasi Publik Tahun 2025 di Aula Multimoda, Selasa, 14 Oktober 2025. Dalam kunjungan hari ini, Tim Penilai KIA melihat langsung penerapan keterbukaan informasi publik di Dishub Aceh, mulai dari tempat layanan informasi, ruang kerja PPID, serta mendengar pemaparan inovasi dan strategi pengelolaan keterbukaan informasi yang telah dijalankan oleh Dishub Aceh. Keterbukaan informasi publik, kata Teuku Faisal, bukan hanya kewajiban yang diamanahkan oleh undang-undang. Akan tetapi, keterbukaan informasi menjadi fondasi dalam membangun kepercayaan publik. Oleh sebab itu, lanjutnya, Dishub Aceh terus berupaya melahirkan inovasi dan strategi baru dalam penyebaran informasi sehingga masyarakat dapat mengakses informasi dengan mudah. Di samping itu, Dishub Aceh juga memperbanyak kanal-kanal penyerapan aspirasi (feedback) masyarakat selaku pengguna layanan, baik masukan, ide, hingga keluhan terhadap pelayanan yang diberikan. “Kita menyadari betul keterbukaan informasi serta kemudahan memperoleh informasi di sektor transportasi sangat penting, termasuk mengoptimalkan penggunaan media sosial yang kini menjadi arus utama penyebaran informasi,” ungkap Teuku Faisal. Pada kesempatan tersebut, Sekretaris Dinas Perhubungan Aceh memaparkan inovasi dan strategi keterbukaan informasi publik yang telah dilaksanakan oleh Dishub Aceh di hadapan Tim Penilai KIA. Selanjutnya, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab serta penyampaian saran dan masukan oleh Tim Penilai KIA. Kadishub Aceh menyambut baik sejumlah masukan yang diberikan untuk diterapkan pada pelayanan sektor transportasi Aceh di masa yang akan datang. “Ide dan masukan dari Tim Penilai hari ini akan dirumuskan lebih lanjut oleh Dishub Aceh untuk kemajuan transportasi Aceh,” sebutnya. Sementara itu, Ketua KIA Junaidi menyebutkan bahwa pihaknya menilai positif dengan pemaparan inovasi dan strategi pengelolaan keterbukaan informasi publik oleh Dishub Aceh. Junaidi menambahkan, strategi penyebaran informasi publik yang dilakukan oleh Dishub Aceh cukup beragam, khususnya pemanfaatan platform digital dan media sosial yang sangat optimal. “Kami juga melihat cukup banyak inovasi digital yang diciptakan, berupa layanan yang bersentuhan langsung dengan publik dan masyarakat bisa mengakses langsung secara realtime, seperti aplikasi Trans Koetaradja, data angkutan, jumlah trayek, serta informasi-informasi lainnya,” sebut Junaidi. Dishub Aceh, menurut Junaidi, bisa menjadi role model bagi SKPA ataupun badan publik lain di Aceh dalam hal kualitas layanan informasi publik lewat inovasi dan berbagai macam layanan yang diberikan, baik digital maupun non digital.(AB) Baca Berita Lainnya: Kok Bisa? Trans Koetaradja yang Gratis Ini Jadi Andalan Dina Sejak SMP Akses Transportasi Umum ke Kawasan Perumahan Sebulan Dipasang, Puluhan Tiang Rambu di Lintas Krueng Raya-Laweung Hilang Dicuri Simak Videonya di Sini:

Kok Bisa? Trans Koetaradja yang Gratis Ini Jadi Andalan Dina Sejak SMP

Trans Koetaradja – Dina, salah satu dari banyaknya pengguna setia bus Trans Koetaradja membagikan ceritanya mengapa ia  setia menggunakan angkutan massal ini di saat banyaknya angkutan umum lainnya. Menurutnya bus Trans Koetaradja menjadi salah satu alternatif terbaik untuk saat ini. Karena jika menaiki angkutan umum, berbayar. Sementara Trans Koetarajda masih gratis sejak tahun 2016 hingga sekarang. Dina sendiri sudah mulai menggunakan bus Trans Koetaradja sejak duduk di bangku SMP. Mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP USK ini awalnya hanya coba-coba. Lalu ia pun akhirnya mulai jatuh cinta untuk terus menggunakan bus Trans Koetaradja sampai saat ini. Lalu apa aja sih? Perubahan yang dirasakan oleh Dina dari awal menggunakan bus Trans Koetaradja hingga sekarang? Menurutnya  sejak pertama kali mencoba menggunakan bus Trans Koetaradja saat SMP hingga sekarang, banyak sekali perubahan yang ia rasakan. Mulai dari segi fasilitas seperti kursi prioritas, tong sampah di dalam bus, hingga layanan bus  Trans Campus di Kopelma Darussalam, belum lagi inovasi baru seperti  TOB (Tap on Bus). “Juga, adanya aplikasi Trans Koetaradja bikin lebih mudah untuk melacak waktu kedatangan bus, itu keren sih,” ujar Dina. Ia berharap ke depannya Trans Koetaradja terus meningkatkan layanan dan menghadirkan inovasi-inovasi baru yang semakin memudahkan masyarakat dalam beraktivitas sehari-hari. Bagi Raja – sebutan pengguna Trans Koetarajada – yang punya cerita seru seperti Dina, kamu bisa tulisan ceritamua di link ini bit.ly/AkudanTransK.(MG/TR) Baca Tulisan Lainnya: Saatnya Berpihak pada Transportasi Publik Gerbang Laut Menuju Simelue Wagub Aceh Sapa Sopir Truk di Puncak Geurutee, Beri Jajan Makan Siang

Stop Turunkan Motor di Halte Trans Koetaradja, Ganggu Operasional Bus!

Banda Aceh – Dinas Perhubungan Aceh menegaskan larangan penggunaan halte Trans Koetaradja untuk kegiatan yang tidak sesuai peruntukannya, seperti menurunkan sepeda motor dari kendaraan atau memarkir mobil secara sembarangan. Tindakan tersebut dinilai dapat merusak fasilitas umum sekaligus mengganggu kelancaran operasional bus yang setiap hari melayani masyarakat. Dalam imbauan resminya, Dishub Aceh melalui UPTD Angkutan Massal Perkotaan Trans Kutaraja menjelaskan bahwa halte Trans Koetaradja dibangun khusus untuk kenyamanan penumpang. Fasilitas ini seharusnya difungsikan sebagai titik naik dan turun bus, bukan untuk bongkar muat barang maupun kendaraan. Apabila halte digunakan secara tidak semestinya hingga mengalami kerusakan, dampaknya bukan hanya dirasakan oleh penumpang, tetapi juga akan menghambat pelayanan transportasi publik yang disubsidi pemerintah. Masyarakat juga diingatkan agar tidak memarkir kendaraan sembarangan di sekitar halte, trotoar, maupun bahu jalan. Perilaku tersebut termasuk pelanggaran lalu lintas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 287 ayat 3. Berdasarkan aturan tersebut, pelanggar dapat dikenakan sanksi berupa denda hingga Rp250.000 atau kurungan maksimal satu bulan. Dengan adanya aturan ini, Dishub berharap masyarakat semakin sadar untuk tidak melakukan pelanggaran yang merugikan kepentingan umum. Halte Trans Koetaradja perlu dijaga agar tetap aman, nyaman, dan lancar digunakan oleh penumpang. Sosialisasi yang dilakukan ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya menjaga fasilitas publik. Halte yang tertib akan mendukung kelancaran perjalanan bus, membuat waktu tempuh lebih efisien, serta meningkatkan kualitas pelayanan kepada penumpang. Dengan begitu, masyarakat tidak hanya mendapatkan layanan transportasi yang nyaman, tetapi juga berkontribusi dalam mewujudkan lingkungan kota yang lebih tertib dan aman.(MG) Cek Infografisnya Klik di Sini  

Masyarakat Antusias Sambut Rute Baru Feeder Trans Koetaradja Simpang Mesra – Kajhu

Banda Aceh – Layanan Feeder Trans Koetaradja kembali menambah rute baru untuk mempermudah mobilitas Masyarakat. Kali ini, rute Simpang Mesra- Kajhu resmi beroperasi dan sudah dapat digunakan oleh penumpang sejak 16 September 2025. Kehadiran bus ini menjadi salah satu upaya Pemerintah Aceh melalui Dinas Perhubungan (Dishub) Aceh untuk memperluas akses transportasi publik yang aman, nyaman, dan terjangkau bagi masyarakat. Rute dengan panjang 6,7 km dengan 22 titik halte ini di sambut antusias oleh warga, terutama masyarakat di kawasan Simpang Mesra – Kajhu. Adanya jalur ini, mobilitas masyarakat menuju pusat kota maupun kawasan pesisir menjadi lebih mudah tanpa harus bergantung pada transportasi pribadi atau ojek daring. Salah satu penumpang, Annis Zulfiah, mahasiswi UIN Ar-Raniry di Banda Aceh, mengaku sangat terbantu dengan adanya layanan rute baru ini, Selasa, 30 September 2025. “Dengan adanya rute terbaru ini sangat membantu untuk saya yang belum memiliki motor pribadi. Akses dari Kajhu ke Simpang Mesra lebih mudah, sebelum adanya rute terbaru ini saya biasanya naik ojek,“ katanya. Senada dengan Annis, Andi warga Labuy, Aceh Besar merasa dimudahkan juga dengan adanya rute terbaru Trans Koetaradja Simpang Mesra ke Kajhu. “Ini tentunya memudahkan kami dalam bepergian. Alhamdulillah bus ini juga masih gratis,” katanya. Seperti diketahui, operasional bus yang telah ada sejak tahun 2016 ini didukung oleh dua unit bus pada hari Senin dan Jumat. Sementara terdapat satu unit bus pada hari Sabtu. Dalam sehari, bus beroperasi sebanyak 3 rit dengan jadwal operasional mulai pukul 06.50 WIB – 17.30 WIB. Penumpang dapat melakukan transit di halte utama Trans Koetaradja untuk melanjutkan perjalanan ke rute koridor lain.(MG) Baca Berita Lainnya: ASN Dishub Aceh Gotong Royong Peringati World Cleanup Day 2025 Dishub Aceh Gandeng Komunitas Vespa Bersihkan Rambu Jalan Lanjutkan Semangat Harhubnas, Dishub Aceh Gelar Aksi Bersih-Bersih di Ulee Lheue

ASN Dishub Aceh Gotong Royong Peringati World Cleanup Day 2025

Banda Aceh – Aparatur Sipil Negara (ASN) Dinas Perhubungan Aceh melaksanakan gotong royong membersihkan lingkungan kantor, Jumat 26/9 pagi. Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari edaran Sekretariat Daerah Aceh dalam rangka memperingati World Cleanup Day (WCD) Aceh Tahun 2025. Sekretaris Dishub Aceh, Teuku Rizki Fadhil mengatakan gotong royong ini menjadi bagian dari komitmen ASN Dishub untuk menjaga kebersihan dan kenyamanan lingkungan kerja. “Kami menindaklanjuti arahan Bapak Sekda Aceh, dan pagi ini seluruh ASN Dishub bersama-sama membersihkan halaman kantor dan ruang kerja. Ini juga menjadi momentum untuk memperkuat rasa kebersamaan di lingkungan Dishub,” ujarnya. Kegiatan gotong royong berlangsung sejak pukul 07.45 pagi , dengan melibatkan seluruh pegawai Dishub Aceh. Para ASN terlihat antusias membersihkan area halaman, jalanan di depan kantor, hingga ruangan kantor. Selain gotong royong, ASN Dishub Aceh juga menggelar kegiatan doa bersama, kegiatan yang rutin dilaksanakan setiap Jumat pagi. World Cleanup Day (WCD) diperingati setiap tahunnya pada tanggal 20 September. Memperingati kegiatan itu, Dishub Aceh sendiri sudah melakukan aksi sosial yaitu membersihkan rambu-rambu jalan di sepanjang ruas jalan di lintas barat Aceh. Kegiatan itu dilakukan bersama puluhan anggota komunitas vespa Banda Aceh Minggu, 22/09. Di hari Jumat (20/09), ASN Dishub juga telah melakukan aksi bersih-bersih di Lingkungan Masjid Baiturrahim Ulee Lheue, fasilitas publik Trans Koetaradja, hingga Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue.(HZ) Baca Berita Lainnya: Dishub Aceh Gandeng Komunitas Vespa Bersihkan Rambu Jalan Lanjutkan Semangat Harhubnas, Dishub Aceh Gelar Aksi Bersih-Bersih di Ulee Lheue Dishub Aceh Gelar Aksi Simpatik, Bagikan Helm SNI untuk Tingkatkan Keselamatan Berkendara

Labi-Labi Modern: Upaya Mengintegrasikan Kearifan Lokal dalam Inovasi Transportasi Massal di Aceh

*Oleh Syahrina Magfirah, Juara 3 Lomba Menulis Transportasi Aceh 2025 “Sebuah bangsa yang kehilangan transportasi publiknya, sesungguhnya kehilangan denyut sosialnya”[1]— demikian kutipan dari seorang sosiolog mobilitas, John Urry, yang rasanya sangat relevan dengan situasi Banda Aceh saat ini. Ada sebuah kenangan yang barangkali mulai memudar dari wajah Banda Aceh. Dulu, Terminal Keudah selalu riuh. Suara klakson bersahutan, penumpang bergegas naik, dan sopir labi-labi bersiul memanggil penumpang. Pada masa itu transportasi umum di Banda Aceh dan Aceh besar kebanyakannya di layani oleh labi-labi. Transportasi massal ini populer digunakan oleh pelajar, mahasiswa, hingga masyarakat biasa. Labi-labi digunakan untuk semua tujuan perjalanan baik sekolah, kuliah, belanja, berpergian ke kota, mengangkut hasil panen, dan sebagainya. waktu itu pendapatan masyarakat belum setinggi sekarang, pengguna motor dan mobil juga belum sebanyak saat ini. Di dalam labi-labi, semua lapisan masyarakat bertemu. Ibu-ibu dari pasar dengan keranjang rotan berisi sayur, mahasiswa dengan ransel penuh buku, hingga anak-anak kecil yang tertawa riang sambil duduk di pangkuan orang tuanya. Tak ada sekat sosial di sana, semua duduk sejajar, saling menyapa, saling berbagi cerita. Labi-labi adalah ruang sosial bergerak, tempat interaksi, dan tempat bersilaturahmi. Sayangnya, fenomena yang terjadi di Banda Aceh saat ini membawa fakta bahwa labi-labi kerap ditinggalkan dan geliat kendaraan pribadi terus meroket. Kini jalanan kota dipadati lautan kendaraan bermotor dan mobil pribadi bahkan di permukiman kecil sekalipun. Pilihan masyarakat untuk beralih ke kendaraan pribadi sejatinya cukup rasional. Fenomena ini sesungguhnya berangkat dari opini masyarakat dengan alibinya penumpang labi-labi kerap mengeluh karena suasana di dalam labi-labi terasa panas dan sempit, serta penumpang harus menunggu terlalu lama karena perjalanan terasa lambat akibat sering berhenti menunggu penumpang tambahan. Kenyataan di lapangan memang menunjukkan bahwa labi-labi gagal memperbaiki layanannya. Dari seribu lebih armada yang dulu beroperasi di awal 2000-an, kini hanya tersisa sekitar 352 unit, dan yang benar-benar aktif di jalan bahkan kurang dari 80.[2] Rute yang dulunya menjangkau 17 koridor utama kini menyusut menjadi tujuh atau delapan. Bahkan pada jam sibuk, okupansi rata-rata hanya enam hingga tujuh orang, jauh di bawah kapasitas ideal. Sementara itu, jalan-jalan Banda Aceh kini sesak oleh motor dan mobil pribadi, yang jumlahnya melonjak 10–12 persen setiap tahun. Kehadiran bus Trans Koetaradja yang gratis sejak beberapa tahun terakhir juga semakin memperparah kondisi labi-labi. Layanan Trans Koetaradja relatif lebih nyaman dan teratur, sehingga banyak diminati masyarakat. Hal ini tentu berdampak sangat signifikan terhadap penghasilan para sopir labi-labi yang kini terpaksa mangkal di sudut-sudut kota karena di terminal tidak ada yang datang. Kehadiran transportasi modern ini memang patut diapresiasi, tetapi di sisi lain kehadirannya membuat labi-labi semakin terpinggirkan. Dishub Aceh sebenarnya memiliki kesempatan emas untuk menciptakan ekosistem transportasi yang saling melengkapi, bukan saling mematikan.  Karena labi-labi adalah bagian dari sejarah transportasi Aceh yang tidak boleh hilang begitu saja. Justru dengan hadirnya Trans Koetaradja, seharusnya ada peluang untuk mengintegrasikan labi-labi sebagai feeder atau penyambung ke area-area yang belum terjangkau oleh bus besar. Banyak media lokal yang menyebutkan bahwa labi-labi kini hanya tinggal kenangan. Pertanyaannya, apakah kita rela melepas begitu saja ikon yang menjadi memori kolektif bagi kebanyakan orang Aceh? karena di balik kemerosotan itu, sebenarnya ada sesuatu yang tak boleh dilupakan. Labi-labi bukan hanya soal moda transportasi, melainkan bagian dari identitas Aceh. Nama “labi-labi” diambil dari kura-kura, hewan yang berjalan perlahan namun pasti, seakan mencerminkan ritme hidup masyarakat Aceh yang tenang dan bersahaja. Desainnya yang sederhana dengan kursi berhadap-hadapan membentuk ruang interaksi sosial. Penumpang bisa saling mengenal, berbagi informasi, bahkan mempererat silaturahmi. Dalam sudut pandang antropologis, labi-labi adalah ruang sosial bergerak yang mencerminkan nilai gotong royong dan keterbukaan masyarakat Aceh. Jika moda ini benar-benar punah, maka hilang pula salah satu simbol budaya transportasi Aceh. Sebelum menyerah dengan keadaan ini, mari kita melirik kota-kota lain di Indonesia yang menghadapi persoalan serupa. Jakarta, misalnya yang punya program Jak Lingko yang mengintegrasikan mikrotrans dengan Trans Jakarta, MRT, LRT, hingga KRL. Sistem tarifnya dibuat sederhana: maksimal sepuluh ribu rupiah untuk tiga jam perjalanan. Sopir mikrotrans tidak lagi bergantung pada setoran, melainkan digaji operator. Hasilnya, angkot kembali hidup, lebih tertib, dan menjadi feeder bagi moda besar. Pemerintah pusat juga mengembangkan program Teman Bus di sejumlah kota seperti Palembang, Solo, Denpasar, hingga Medan. Prinsipnya sama: operator dibayar berdasarkan jarak tempuh, bukan jumlah penumpang. Dengan begitu, tidak ada lagi ngetem, dan layanan menjadi lebih baik. Yogyakarta juga punya Trans Jogja, yang meski sederhana, tetap menjaga eksistensi angkutan kota dengan sistem bus dan feeder. Disisi lain Surabaya menghadirkan Suroboyo Bus dengan inovasi sosial: tiket dibayar menggunakan sampah plastik. Konsep ini bukan hanya menyelamatkan transportasi publik, tetapi juga menjadi edukasi lingkungan bagi masyarakat. Semarang juga mereformasi angkot menjadi feeder Trans Semarang, di mana sopirnya menerima gaji tetap. Semua contoh ini menunjukkan bahwa angkutan kota tradisional bisa diselamatkan, asal dikelola dengan manajemen modern, tarif terintegrasi, dan didukung pemerintah. Aceh juga memiliki peluang emas untuk menghadirkan inovasi transportasi yang tidak kalah menarik dari kota-kota lain di Indonesia. Jika Bandung bangga dengan Bandros dan Solo memiliki Werkudara, mengapa Aceh tidak melahirkan “Labi-Labi Modern” yang menjadi kebanggaan tersendiri? Visi ini bukan sekadar mimpi, tetapi blueprint  yang dapat diwujudkan melalui leadership Dishub Aceh. Konsep integrasinya sangat strategis: labi-labi modern beroperasi sebagai feeder system yang memperkuat, bukan mengancam eksistensi Trans Koetaradja. Sistem tarif terintegrasi memungkinkan penumpang menggunakan satu kartu atau aplikasi untuk semua moda transportasi dari Trans Koetaradja ke labi-labi, bahkan ojek online. Revolusi terbesar terletak pada transformasi sistem operasional: sopir tidak lagi bergantung pada setoran harian yang tidak pasti, melainkan menerima gaji tetap melalui skema buy the service yang memberikan kepastian ekonomi dan meningkatkan kualitas pelayanan. Dari sisi teknologi, labi-labi modern dapat menjadi showcase smart transportation Aceh. Armada listrik berdesain compact dan aerodinamis, dihiasi motif khas Aceh seperti pucok rebung, rencong, atau songket yang dipadukan dengan material modern. Internet of Things (IoT) memungkinkan real-time monitoring kondisi kendaraan, sementara artificial intelligence mengoptimalkan rute berdasarkan pola lalu lintas dan kepadatan penumpang. Sistem pembayaran blockchain juga dapat memastikan transparansi dan akuntabilitas keuangan yang dapat diaudit publik. Yang tidak kalah revolusioner adalah pengembangan command center transportasi terintegrasi oleh Dishub. Dashboard digital menampilkan real-time data seluruh armada labi-labi, tingkat okupansi, kondisi lalu lintas, dan prediksi demand. Penumpang dapat

Persinggahan Hangat: Menghadirkan Budaya Aceh di Setiap Halte Trans Koetaradja

*Oleh Teuku Muhammad Hafidz Ramadhan, Juara 2 Lomba Menulis Transportasi Aceh 2025 Di jam-jam sibuk Banda Aceh, suara klakson dan deru knalpot sering kali jadi musik latar yang tak diinginkan. Jalan-jalan utama seperti Teuku Umar, Cut Meutia, hingga Simpang Lima kerap dipenuhi kendaraan pribadi yang saling berebut ruang. Padahal, di antara riuhnya lalu lintas itu, Trans Koetaradja sudah hadir sebagai pilihan transportasi massal yang nyaman dan terjangkau. Sepanjang tahun 2024, layanan ini mencatat total 956.084 penumpang, dengan rute Masjid Raya Baiturrahman–Darussalam menjadi yang paling ramai (401.056 penumpang), disusul Baiturrahman–Blang Bintang via Lambaro (163.895 penumpang). Angka ini menunjukkan potensi besar, tetapi sekaligus mengisyaratkan masih banyak ruang untuk mengajak masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi massal. Di Banda Aceh, kendaraan pribadi terutama sepeda motor sudah menjadi bagian dari gaya hidup sehari-hari. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh tahun 2023 menunjukkan jumlah sepeda motor yang terdaftar mencapai lebih dari 650 ribu unit, jumlah yang bahkan melampaui populasi dewasa di wilayah perkotaan. Fenomena ini tidak terjadi tanpa sebab. Pertama, ada faktor kenyamanan dan fleksibilitas yakni warga merasa dengan motor atau mobil, mereka bisa berangkat kapan saja tanpa terikat jadwal. Bagi pelajar dan mahasiswa di kawasan Darussalam, kendaraan pribadi dianggap solusi praktis untuk menyesuaikan jadwal kuliah yang sering berubah. Hal yang sama berlaku bagi pekerja kantoran yang kerap harus menghadiri rapat mendadak di lokasi berbeda. Kedua, persepsi terhadap transportasi massal masih cenderung negatif. Sebagian masyarakat menganggap menunggu bus sebagai pemborosan waktu, apalagi jika halte tidak nyaman atau fasilitasnya minim. Tidak jarang penumpang memilih berjalan kaki ke tujuan pendek ketimbang menunggu bus, atau langsung mengeluarkan motor untuk perjalanan yang hanya butuh 10 menit. Ketiga, ada aspek sosial yang tidak bisa diabaikan. Bagi sebagian orang, kendaraan pribadi bukan hanya alat transportasi, tetapi juga simbol status. Mobil atau motor tertentu menjadi bagian dari identitas diri, dan kebiasaan ini diperkuat oleh lingkungan sosial di mana hampir setiap keluarga memiliki setidaknya satu sepeda motor, sehingga pilihan untuk “tidak punya kendaraan pribadi” dianggap tidak praktis. Permasalahannya, jika dominasi kendaraan pribadi ini terus dibiarkan, Banda Aceh akan menghadapi tantangan serius. Ruas-ruas utama seperti Jalan Tgk. Daud Beureueh, Jalan Pocut Baren, dan kawasan Simpang Lima sudah mulai padat pada jam sibuk, membuat waktu tempuh antar titik semakin lama. Volume kendaraan yang tinggi juga memperburuk kualitas udara, terutama dari emisi sepeda motor dan mobil yang menumpuk di persimpangan. Situasi ini bukan hanya mengganggu kenyamanan berkendara, tetapi juga mengancam kesehatan warga, mengingat polusi udara dapat memicu masalah pernapasan dan menurunkan kualitas lingkungan. Akhirnya, semua faktor ini membentuk pola pikir yang sulit diubah seperti  “kendaraan pribadi adalah pilihan utama, sementara transportasi massal hanyalah alternatif cadangan” telah mengakar kuat di tengah masyarakat, meskipun dampak negatif dari kebiasaan ini sangat pantas untuk dipertimbangkan. Salah satu penyebabnya ada pada hal yang sering kita anggap sepele yaitu halte. Banyak halte Trans Koetaradja hari ini sekadar berdiri sebagai bangunan fungsional yang hanya cukup untuk menunggu bus, tetapi belum cukup untuk mengundang orang datang. Di sinilah letak peluangnya. Bayangkan jika setiap halte bukan hanya tempat menunggu, tetapi juga menjadi ruang singgah yang hangat, memancarkan identitas budaya Aceh, sekaligus memberi rasa nyaman dan bangga bagi siapa pun yang berhenti di sana. Konsep ini, yang saya sebut “Persinggahan Hangat”, bisa menjadi gerakan awal yang mengajak warga Banda Aceh meninggalkan kendaraan pribadi dan mulai menikmati perjalanan bersama Trans Koetaradja. Mengubah halte menjadi “Persinggahan Hangat” berarti memberi napas baru pada fasilitas publik yang selama ini cenderung fungsional. Banda Aceh memiliki modal budaya yang luar biasa untuk itu. Kearifan lokal dan nilai-nilai adat yang sudah mengakar bisa menjadi ruh dari setiap halte Trans Koetaradja, menjadikannya lebih dari sekadar titik naik-turun penumpang. Salah satunya adalah filosofi peumulia jamee (memuliakan tamu) yang begitu kental di Aceh. Dalam konteks halte, prinsip ini berarti memastikan setiap orang yang berhenti di sana merasa disambut, aman, dan dimudahkan. Penerapannya bisa sederhana, seperti papan informasi rute yang jelas, penunjuk arah yang ramah wisata, hingga layanan informasi yang bisa diakses oleh pendatang maupun warga lokal. Halte pun tidak lagi terkesan asing, tetapi menjadi pintu masuk yang ramah bagi siapa pun yang hendak bepergian. Identitas budaya Aceh juga dapat tercermin lewat arsitektur halte. Atap limas khas Aceh, ukiran pucuk rebung atau awan meucanek, serta warna-warna bumi yang hangat dapat menjadi bahasa visual yang menguatkan rasa memiliki masyarakat. Desain ini bukan hanya memperindah, tapi juga memberi sinyal bahwa halte adalah bagian dari wajah kota, sama pentingnya dengan bangunan bersejarah atau ruang publik lainnya. Selain itu, peran sosial meunasah sebagai tempat singgah, belajar, dan berbagi informasi bisa diadaptasi tanpa mengubah fungsi utamanya sebagai rumah ibadah. Halte dapat menyediakan pojok baca mini, layar interaktif berisi kisah dan sejarah kawasan sekitar, atau rak brosur kegiatan budaya. Waktu tunggu yang biasanya terasa membosankan bisa berubah menjadi pengalaman singkat yang bermanfaat. Penerapan konsep budaya ini juga bisa disesuaikan dengan karakter lokasi halte. Misalnya, halte di dekat masjid menampilkan ornamen Islami dan info jadwal shalat, halte dekat kampus memiliki pojok literasi pelajar dan informasi kegiatan akademik, sementara halte dekat objek wisata berfungsi sebagai pusat informasi turis lengkap dengan peta destinasi terdekat. Semua faktor ini menegaskan bahwa mengubah kebiasaan masyarakat Banda Aceh dari kendaraan pribadi ke transportasi massal tidak cukup hanya dengan menambah armada atau memperluas rute. Perlu ada pendekatan yang menyentuh sisi psikologis dan kultural warga, sehingga mereka merasa terhubung dengan layanan yang digunakan. Di sinilah kearifan lokal Aceh dapat berperan besar, salah satunya melalui penerapan filosofi peumulia jamee (memuliakan tamu). Dalam konteks budaya Aceh, tamu bukan sekadar orang yang datang berkunjung, tetapi sosok yang wajib disambut dengan keramahan, rasa hormat, dan pelayanan terbaik. Nilai ini dapat diadaptasi dalam layanan halte Trans Koetaradja dengan memastikan setiap penumpang, baik warga lokal maupun pendatang, merasa diterima sejak pertama kali menginjakkan kaki di halte. Papan informasi yang jelas, petunjuk rute dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris), serta kehadiran petugas atau relawan informasi di titik strategis dapat menjadi bentuk nyata dari peumulia jamee di ruang publik transportasi. Bayangkan wisatawan yang baru tiba di Banda Aceh dan berhenti di halte dekat Masjid Raya Baiturrahman. Dengan konsep peumulia jamee, halte tersebut tidak hanya menyediakan tempat duduk dan