Dishub

UCOK SIBREH, KISAH KORBAN SELAMAT TRAGEDI GURITA 1996

Liburan awal tahun pada Januari 1996 seharusnya merupakan hal yang menyenangkan bagi Muhibuddin Ibrahim yang biasa disapa Ucok Sibreh beserta rekannya bernama Indra sesama anak sekolah. Iya, saat itu Ucok dan rekannya Indra masih duduk di bangku kelas dua SMA 3 (usia 17-an). Hari itu Jum’at, 19 Januari 1996 mereka berencana mau ke Kota Sabang untuk suatu urusan sekalian jalan-jalan liburan menggunakan kapal penyeberangan KMP. Gurita.  Namun naas dalam perjalanan menuju Sabang kapal ferry  yang berkapasitas 210 orang namun pada hari itu penuh sesak sampai 387 penumpang itu mengalami musibah karam di perairan Sabang sekitar 6 mil laut mendekati Pelabuhan Penyeberangan Balohan Sabang pada pukul 20.30 malam. Ucok berkisah malam itu dia beserta rekannya sedang berada di buritan kapal melihat air yang menghantam bagian depan kapal semakin mendekati mereka. Temannya bernama Indra pun berinisiatif mengajak Ucok untuk melompat kelaut. Namun sayang rekannya ternyata belum bisa berenang sehingga hilang ditelan arus laut. Sedangkan Ucok tanpa disadarinya telah terlempar jauh dari kapal, Ucok pun berusaha berenang kesana sini menggapai apa yang bisa dipegang untuk mengapung, dan seperti mukjizat akhirnya Ucok berhasil mendapat pertolongan salah seorang ABK bernama Adi dan memberinya tempat pegangan pada pelampung kapal lifebuoy yang ada padanya. Setelah terkatung-katung selama kurang lebih 17 jam di laut dalam keadaan lapar haus dan letih, Ucok dan Adi pun ditemukan oleh kapal tanker Laju Perkasa 4 yang sedang lewat. Menurut ucok kejadian ini merupakan mukjizat dari Allah dia bisa selamat. Sebab dari 387 penumpang, cuma Ucok beserta 40 orang yang selamat. 54 orang dinyatakan meninggal dan 284 orang dinyatakan hilang. Setelah dievakuasi ke kapal penolong, Ucok dan Adi pun bersujud syukur kepada Allah SWT kerena telah diselamatkan dari maut lautan. “Alhamdulillah” ungkapnya berkali-kali dengan mata masih berkaca-kaca mengenang peristiwa itu. Ucok menyesalkan hingga saat ini tidak adanya perhatian pihak terkait terhadap korban. Padahal semua korban selamat membeli tiket resmi dan ada asuransinya. Selain itu, Ucok juga berharap adanya perhatian pelaku transportasi terhadap kelayakan kapal (laik layar) saat beroperasi. (RS)

DISHUB ACEH BERIKAN PENGHARGAAN WAHANA TATA NUGRAHA

Dinas Perhubungan Aceh berikan penghargaan Wahana Tata Nugraha kepada sejumlah Kabupaten/Kota sebagai bentuk apresiasi atas partisipasi dalam mengikuti Penilaian Kinerja Penyelenggaraan Sistem Transportasi Perkotaan Tahun 2019. Penyerahan penghargaan tersebut dilakukan di ruang rapat Bidang LLAJ Dinas Perhubungan Aceh, Senin, 20 Januari 2020. Wahana Tata Nugraha merupakan penghargaan yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada Provinsi, Kabupaten/Kota yang mampu menata transportasi dan fasilitas publik dengan baik. Beberapa daerah yang mengikuti kegiatan Wahana Tata Nugraha di antaranya; Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Tamiang, dan Kota Langsa. Selain menerima sertifikat atas partisipasi dalam mengikuti kegiatan ini, daerah tersebut juga menerima perlengkapan lapangan seperti water barrier, rambu hand stop, rompi lapangan, pin keselamatan, poster keselamatan lalu lintas, dan lain-lain. Kepala Seksi Lalu Lintas dan Keselamatan Jalan Bidang LLAJ Dishub Aceh, M. Hanung Kuncoro, S.SiT dalam sambutannya menyampaikan, Dishub Aceh mengapresiasi Kabupaten/Kota yang telah mengikuti kegiatan Wahana Tata Nugraha Tahun 2019. “Manfaat yang didapat oleh daerah sekurang-kurangnya adalah system transportasi dan fasilitas publik tertata dengan baik. Apalagi Pemerintah Kabupaten/Kota merupakan ujung tombak dalam merealisasikan kegiatan ini,” ujar Hanung. (MG)

KOLABORASI : Mempersiapkan Infrastruktur Transportasi 15 Tahun Lebih Cepat Untuk Sabang

Badan Pengusahaan Perdagangan Bebas dan Kawasan Bebas Sabang (BPKS), Pemerintah Kota Sabang dan Pemerintah Aceh melalui Dinas Perhubungan Aceh melakukan pertemuan membahas rencana pengelolaan Pelabuhan Penyeberangan Balohan Kota Sabang. Pertemuan ini dilakukan di Aula Rapat Dinas Perhubungan Aceh, Banda Aceh tanggal 16 Januari 2020. Di dalam pertemuan ini juga membahas rencana kerjasama dalam pengelolaan Pelabuhan Penyeberangan Balohan Kota Sabang, pelaksanaan revitalisasi dilaksanakan oleh BPKS yang diharapkan segera selesai pembangunannya. Setiap kegiatan perlu sebuah istilah “Cet Langet – bermimpi setinggi-tingginya -red”, yang berarti sebuah perencanaan ke depan yang dikonsepkan untuk target pencapaian yang harus diimplementasikan dan bersifat mutlak. Di dalam sebuah perencanaan tidak hanya menyebutkan tujuan dan target secara gamblang, namun kemungkinan hambatan atau deviasi pencapaian juga terprediksi saat proses pelaksanaan. Maka suatu perencanaan sangat diperlukan untuk manajemen program sebagai panduan pengambilan sikap dalam upaya pencapaian target yang diharapkan. Idealnya dari sebuah program pembangunan jaringan transportasi Aceh juga mengharuskan sebuah masterplan sehingga pelaksanaan kegiatan pengembangan dan pembangunan kedepannya dapat dilakukan secara terstruktur, menyeluruh dan tuntas, mulai dari perencanaan, konstruksi, operasi, pemeliharaan, dan pembiayaan. Begitu pula, arah pengembangan dan pembangunan fasilitas pelabuhan penyeberangan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan yang akan datang. Oleh karena itu, dalam merencanakan pembangunan transportasi sedini mungkin, Dishub Aceh melakukan studi 2015 untuk menyusun Rencana Induk Pelabuhan Penyeberangan (RIP) Balohan Kota Sabang. Hasil studi yang ditetapkan dalam RIP Balohan Kota Sabang menyebutkan bahwa jumlah penumpang pada tahun eksisting – Tahun 2015 –red mencapai 258.697 orang dan diprediksi pertumbuhan di Tahun 2035 mencapai 514.397 orang. Persentase pertumbuhan ini mencapai 50,29 persen khusus untuk penumpang Kapal Ferry Ro-Ro. Ini merupakan bom waktu apabila tidak tertangani pada saat ini. RIP ini direncanakan dalam rentang masa 2016 – 2035 yang berisi tentang jangka waktu perencanaan, rencana tapak dan rencana detail teknis, proyeksi arus pertumbuhan dan rencana kebutuhan penumpang dan/atau barang, perkiraan dampak penting dan penanganan dampak, dan hal terkait lainnya. Dalam mewujudkan target yang telah direncanakan dalam RIP maka perlu diupayakan dengan platform kolaborasi untuk “mempersiapkan infrastruktur lebih awal untuk kebutuhan pertumbuhan masa depan”. Dalam perjalanan yang berliku dan menanjak, dimulai dengan konsultasi Kementerian dan koordinasi Bappenas serta syarat investasi yang harus dipenuhi hingga pada akhirnya BPKS bersedia melakukan investasi. Namun hal ini tidak surut dari kendala dan rintangan dari kesulitan menganggarkan program kegiatan, persoalan lahan yang belum dikuasai dan aspek lainnya yang tak kalah menantang. Pembangunan dan pengembangan kawasan Pelabuhan Penyeberangan Balohan Kota Sabang dimulai pada Tahun 2018 dan kondisi pembangunan sekarang sudah mencapai 80 % dari alokasi anggaran yang disediakan. Hal ini juga merupakan suatu prestasi yang perlu diaksarakan dalam sebuah goresan pena yang menjadi pelajaran ke depan bagi kita. “Biasanya hampir semua rencana induk terlambat”, hari ini pembangunan Pelabuhan Penyeberangan Balohan Kota Sabang 15 tahun lebih cepat dari upaya “Cet Langet” pada Tahun 2015 lalu, artinya berdasarkan RIP, Pelabuhan Penyeberangan Balohan dijadwalkan penyelesesaian infrastrukturnya di Tahun 2035. Kebiasaan selama ini, kita terfokus pada satu arah angin dalam mempercepat pembangunan. Padahal, ada arah angin lain yang membawa lebih banyak keuntungan layaknya kolaborasi. Suatu ulasan mungkin perlu dipatenkan bahwa “dengan kolaborasi, percepatan bukan hal mustahil atau cet langet”. Jadi, saat ini revisi mesti dilakukan untuk mengakomodir percepatan dengan pelaksanaan ini menggunakan pendekatan demand follow supply. Dengan segala keterbatasan, kolaborasi yang sudah dilakukan perlu dijadikan model dalam penyediaan infrastruktur transportasi Aceh di masa yang akan datang. Walikota Sabang, Nazaruddin dalam sambutannya menyampaikan agar dapat segera memperoleh kesepakatan tentang format pengelolaan yang tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku, termasuk standar operasional dan prosedur yang diperlukan untuk pelayanan yang lebih baik. (MS)

Jalur Evakuasi Warga

Aceh mungkin satu-satunya provinsi di Indonesia yang tidak melakukan perayaan pergantian tahun dengan meriah seperti di daerah lain. Keadaan ini berlaku semenjak tahun 2004 lalu. Setiap akhir tahun, masyarakat Aceh selalu memperingati masa-masa berkabung, yaitu peringatan bencana dahsyat gempa dan tsunami yang menggulung daerah ini 15 tahun silam, tepatnya tanggal 26 Desember 2004. Bencana itu merenggut 130 ribu nyawa rakyat Aceh, Nias Sumatera Utara, dan beberapa negara lainnya. Kala itu, banyak warga Aceh di perantauan berusaha pulang ke bumi kelahiran guna mencari dan membantu keluarga yang tertimpa bencana. Saya adalah salah satu dari orang-orang itu. Saya sempat menghabiskan waktu dua hari dari Jakarta agar bisa mendarat di bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, karena bandara sibuk melayani lalu lalang dan antrean armada udara asing yang membawa bantuan ke Aceh setelah bencana. Akhirnya saya bisa mendrat dan tiba dengan selamat di bumi Serambi Mekkah ini. Bencana besar ini menimbulkan kerusakan parah semua sendi kehidupan, termasuk sarana perhubungan. Transportasi di Kota Banda Aceh lumpuh total. Kendaraan umum seperti taksi dan angkot yang biasanya siap melayani penumpang dari bandara menuju kota tidak terlihat beroperasi. Akibanya, banyak penumpang terpaksa menumpang kenderaan pribadi masyarakat setempat, agar bisa mencapai kota Banda Aceh yang berjarak sekitar 20 kilometer dari bandara. Saat saya tiba di Banda Aceh dua hari setelah tsunami, kota ini benar-benar porak poranda. Sebagian besar jalanan masih dipenuhi puing bangunan, mayat korban tsunami juga masih bergelimpangan. Bangkai kenderaan bermotor dan perahu nelayan masih berhimpitan di antara puing, bahkan ada yang masih nyangkut di atas reruntuhan bangunan dan pohon. Praktis setelah bencana hampir semua angkutan kota banyak yang tidak beroperasi lagi. Seperti angkutan umum labi labi yang tadinya merajai berbagai jurusan dalam kota, mulai menghilang, sejak saat itu dan hingga sekarang. Sarana pelabuhan penyeberangan utama Uleelheu juga luluh lantak disapu gelombang. Sehingga pendistribusian bantuan untuk daerah lain yang hanya bisa dijangkau oleh kapal, terpaksa dilakukan melalui pelabuhan darurat sementara yang berlokasi di bawah jembatan Uleelheu. Pelabuhan darurat ini menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal nelayan maupun kapal-kapal asing. Dahsyatnya tsunami yang melanda Aceh kala itu, dipicu gempa besar dengan magnitudo 9,0 yang disebabkan oleh interaksi lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Gempa ini berpusat di dasar laut pada kedalaman 10 Km. Seiring berjalannya waktu setelah 15 tahun bencana gempa dan tsunami melanda Aceh, kini suasana kota dan masyarakat sedikit membaik, bahkan banyak masyarakat umumnya sudah melupakan kejadian dahsyat tersebut. Belajar dari kejadian yang menelan banyak korban itu, kini di setiap ruas jalan di kawasan pemukiman di pesisir provinsi Aceh telah dipasang rambu-rambu penunjuk jalur evakuasi masyarakat. Rambu-rambu ini sebagai penunjuk arah untuk memudahkan masyarakat menuju ke tempat yang lebih aman ketika bencana berulang. Beberapa tempat yang banyak orang seperti sekolah-sekolah di Kota Banda Aceh juga sering melaksanakan program siaga bencana. Seperti di SMA Negeri 1 Banda Aceh, melakukan simulasi penanganan bencana serta evakuasi manusia secara berkala. Simulasi ini dilakukan pihak sekolah bekerja sama dengan Badan Penanganan Bencana Aceh (BPBA). “Terkadang juga kami lakukan secara mandiri dengan menggunakan dana BOS,” ujar Khairurrazi, Kepsek SMA1 saat ditemui tim Transit di kantornya beberapa waktu lalu. Khairurrazi mengatakan, sekolah perlu menerapkan kurikulum materi khusus kebencanaan untuk memudahkan evakuasi ketika bencana terjadi. Khairurrazi juga menyarankan perlunya perhatian dan kajian jalur khusus evakuasi, karena di beberapa titik terdapat arah putar balik yang terlalu jauh, sehingga menyulitkan jalur evakuasi. Semua kerisauan sang kepsek tentang rambu-rambu jalan di kota Banda Aceh yang perlu dikaji lagi, dijawab oleh Deddy Lesmana Kabid LLAJ Dishub Aceh. Deddy mengatakan, semua rambu-rambu di jalan dibuat guna keselamatan pengguna jalan di saat kondisi aman. Namun dalam kondisi darurat bencana tentu semua aturan rambu itu tidak berlaku lagi dan bisa dilanggar. “Tentunya tetap harus berhati-hati. Jangan sampai ingin melakukan penyelamatan malah terjadi musibah kecelakaan,” terang Deddy lagi.(Rizal Syahisa) Versi cetak digital dapat diakses dilaman:

Difabel Bukan Suatu Alasan untuk Tidak Mengabdi

Denting jarum jam terus mengalun, diiringi dengan deru suara mesin kendaraan yang lalu lalang seakan menambah riuhnya ibu kota Aceh. Dari kejauhan nampak seorang pria paruh baya yang dengan gigih dan susah payah terus berdiri di pinggir jalan di antara ramainya suasana. Namanya Husaini, pria paruh baya dengan kemampuan berbeda (difabel) yang sehari-harinya berprofesi sebagai juru parkir (jukir) rumah makan Nasi Uduk Kelapa Gading di Jalan T. Nyak Arief. Pria kelahiran Aceh Tamiang 54 tahun yang lalu ini menjalani pekerjaannya itu sejak tahun 2014. Dalam sebuah kesempatan, tim Aceh Transit berbincang dengannya seputar perjalanan hidupnya. Berikut kisahnya. Husaini menghabiskan masa kecil hingga remajanya di daerah kelahirannya Aceh Tamiang. Pada tahun 1985, Husaini memutuskan mengadu nasib di Banda Aceh, mengikuti langkah hidup saudaranya. Ketiadaan keahlian dan keterampilan khusus, membuat Husaini melakukan banyak pekerjaan serabutan diantaranya sebagai buruh bangunan hingga berjualan pisang goreng. Pada tahun 1996, Husaini mantap mengambil keputusan membina bahtera rumah tangga. Setahun kemudian Husaini dikaruniai anak pertama dan anak kedua pada awal tahun 2004. Kehidupannya bahagia kala itu. Hingga sebuah kenyataan pahit harus ia hadapi pada Desember 2004, kebahagiaan keluaga kecilnya itu harus sirna akibat bencana tsunami yang melanda Aceh dan beberapa negara lain di Samudera Hindia. Bencana itu merenggut istri dan seorang anaknya menyisakan ia dan anak bungsunya yang kemudian ia titipkan kepada sang ibunda di kampung halaman. Bangkit dan jatuh kembali Husaini tak mau terus larut dalam nestapa. Ia mulai menata hidupnya kembali. Berbagai jenis pekerjaan serabutan kembali ia jalani. Dua tahun setelah bencana, pada tahun 2006 Husaini memutuskan kembali membina bahtera rumah tangga. Jalan kehidupan yang tak selamanya mulus, membuatnya menghadapi keterpurukan untuk kesekian kalinya. Akhir 2008, ia mengalami sebuah kecelakaan tragis di daerah Kota Langkat yang membuatnya harus kehilangan salah satu anggota tubuhnya. Ya, dia harus menghadapi kenyataan bahwa salah satu bagian kakinya harus diamputasi. Perjuangan pemulihan pascaamputasi ternyata tak sejalan dengan yang diharapkan. Tepatnya pada 2009, sang istri merantau ke Malaysia, meninggalkannya seorang diri. Namun Husaini tetap bertekad, demi ibunda serta pendidikan anak semata wayangnya. Menjadi juru parkir Rezeki yang dikirimkan Tuhan memang tidak pernah salah orang. Tak jauh dari tempat tinggalnya, ada sebuah rumah makan yang mulai buka dan beroperasi tepatnya pada sekitar awal tahun 2014 dan belum ada juru parkir yang berjaga. Usahanya tidak sia-sia. Husaini segera mendaftar ke kantor Dinas Perhubungan Kota Banda Aceh untuk didata dan diberikan beberapa pelatihan singkat serta perlengkapan kerja. Husaini sempat ditanya oleh staf Dinas Perhubungan, “Apakah kamu sanggup untuk melakukan pekerjaan ini?” Husaini dengan mantap menjawab: “Insyaallah saya sanggup, tidak ada pekerjaan yang tidak dapat kita kerjakan selagi kita berusaha dengan giat.” Lalu kemudian ia diberikan perlengkapan kerja berupa 2 buah rompi kerja, satu paket karcis parkir, kartu identitas dan sebuah peluit. Perlengkapan yang ia dapatkan saat itu masih selalu ia gunakan hingga saat ini, kecuali kartu identitas yang ia simpan di rumahnya, karena alasan takut hilang apabila selalu dipakai. Sedangkan untuk karcis parkir sebanyak 400 lembar yang dibagikan, sampai saat ini belum pernah dihabiskan karena pelanggan banyak yang tidak meminta karcis tersebut. Selama 4 tahun, Husaini selalu siaga menjalankan tugas dari pukul 11 pagi hingga pukul 10 malam. Penghasilannya tiap hari tak menentu, pada saat rumah makan itu ramai pengunjung, ia dapat mendapatkan pemasukan hingga Rp 150.000,- namun pada saat sepi paling banyak ia hanya bisa membawa pulang Rp 50.000,-. Setiap harinya Husaini menyetor retribusi parkir kepada Dinas Perhubungan sebesar Rp 25.000 saat hari kerja, Rp 15.000 saat akhir pekan, serta Rp 20.000 saat hari libur nasional. Pada akhirnya, pengalaman hidup Husaini hingga saat ini patut jadi motivasi. Keterbatasan fisik tidak membuatnya menyerah untuk berusaha, tanpa harus menjadi peminta-minta. (Reza Ali Ma’sum)     Versi cetak digital dapat diakses dilaman:

Menjajal Transportasi ke Simpang Jernih

Siang itu, cuaca di Kuala Simpang sangat cerah bahkan cenderung panas, karena posisi matahari hampir sejajar dengan kepala. Cuaca ini sang mendukung bagi kami yang ingin melakukan perjalanan darat ke Kecamatan Simpang Jernih. Meski masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Timur, tapi Simpang Jernih lebih mudah dijangkau melalui Kuala Simpang yang merupakan ibukota Kabupaten Aceh Tamiang. Sebenarnya Simpang Jernih juga bisa dijangkau melalui Kecamatan Lokop Aceh Timur. Hanya saja, butuh waktu yang lebih lama dengan fasilitas transportasi jalan yang belum memadai. Karenanya, kami memilih perjalanan melalui Kuala Simpang. Ada dua alternatif untuk pergi ke Simpang Jernih melalui Kuala Simpang, yaitu dengan jalan darat dan angkutan sungai. Melalui darat, jalan yang dilalui agak sulit. Di beberapa titik kondisi jalan sudah teraspal, namun di bagian yang lain masih bertanah bahkan berlumpur di saat hujan. Jika kondisi cerah dan jalanan kering, perjalanan darat jauh lebih hemat daripada melalui jalur air, baik dari segi waktu ataupun biaya yang dikeluarkan. Pilihan kedua, menggunakan jasa sampan untuk lintasan antar desa atau ke kota Kuala Simpang, dan getek untuk penyeberangan antardesa. Transportasi air ini telah ada sejak lama. Tiap warga Simpang Jernih dan sekitarnya pada umumnya memiliki sampan. Setelah pembangunan menyentuh hingga daerah terpencil, kepemilikan sampan terus menurun, karena perlu biaya besar untuk membuat sampan, yaitu mencapai Rp 30 – 60 juta, tergantung besar kecilnya mesin yang digunakan. Lain halnya dengan akses transportasi darat, akses transportasi air sepenuhnya tergantung kepada alam. Permasalahan klasik yang belum ketemu solusinya yakni, jika terjadi hujan di gunung dan volume air sungai meningkat, maka sampan tidak dapat beroperasi demikian juga halnya getek. Ketika air sungai surut karena kemarau, sampan atau getek juga tidak dapat beropersional karena kandas. Tiba di Simpang Jernih Meski cuaca di Kuala Simpang sangat cerah, tapi ternyata kondisi perjalanan darat kami ke Simpang Jernih tetap saja sangat sulit. Kami melalui jalan berlubang berjalan tanpa penunjuk arah. Lumpur terlihat menggenangi di beberapa titik. Sesekali sopir harus memungsikan 4WD pada mobil double cabin Nissan Navara yang kami tumpangi. Setelah melalui perjalanan berat, akhirnya menjelang magrib kami tiba di desa tujuan Simpang Jernih. Keesokan harinya, pagi di Simpang Jernih disambut udara segar. Kabut masih menyelimuti saat anak-anak sekolah mulai masuk kelas. Udara tidak terlalu dingin pagi itu, karena semalaman ditemani  rintik hujan yang menyebabkan air sungai Simpang Jernih hingga Kuala Simpang tak jernih. Simpang Jenih menjadi pusat aktifitas untuk beberapa desa di sekitarnya, terutama pendidikan dan kesehatan. Di Simpang Jernih terdapat lembaga pendidikan jenjang SD, SMP, dan SMK Pertanian. Sementara bagi yang ingin mengenyam pendidikan SMA, harus merantau ke Kota Kuala Simpang atau Kota Langsa. Simpang Jernih sebagai ibukota kecamatan dengan nama yang sama, memiliki dermaga getek dan sampan. Jarak tempuh dari kecamatan ke dermaga lumayan jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. Namun ini biasa dilakukan anak sekolah dari Kampung Kera. Sementara bagi pelajar SMK dari Desa Melidi, HTI Ranto Naru, Ran­tau Pan­jang, Tampur Bor, dan Tampur Paloh, mereka menginap atau kos di Simpang Jernih. Angkutan sungai Jika ingin menjajal angkutan sungai, maka Anda bisa menumpang getek yang banyak tersedia di Kuala Simpang. Seperti getek yang kami temui dikemudikan oleh seorang anak muda dengan penumpang yang didominasi oleh ibu-ibu dan anak-anak. Biaya yang harus dikeluarkan untuk sekali perjalanan Kuala Simpang ke Simpang Jernih adalah Rp 50 ribu per orang dengan sebuah tas ransel. Tapi jika ada kotak atau barang belanjaan, dikenakan biaya lebih. Perjalanan dengan getek ini tergolong mahal dengan waktu tempuh yang lebih lama dibandingkan jalan darat. Dalam perjalanan Anda akan berjumpa dengan salah satu desa di Aceh Tamiang bernama Babo. Di sana terdapat sebuah dermaga sebagai persinggahan untuk para awak sampan untuk mengisi bahan bakar solar. Saat pengisian bahan bakar ini, para penumpang mengisi waktu dengan makan atau hanya sekedar istirahat. Getek Sisa Harapan Transportasi Rakyat Jumat 19 Juli 2019 pagi, getek yang biasa bertugas melayani penyeberangan Kampung Kera – Simpang Jernih parkir di pinggir sungai. Informasinya, getek ini sudah hampir sebulan tak aktif karena sedang perawatan. Selain itu juga karena saat itu air sedang tinggi dan deras, sehingga getek tidak dapat dioperasionalkan. Selama getek dalam perawatan, perannya digantikan oleh sampan yang dinahkodai oleh seorang bapak yang yang jika dari wajahnya telah lelah dengan sampannya. Sampan bapak ini ‘berlayar’ jika getek tidak beroperasi melayani anak-anak sekolah, para guru, bidan kampung dan masyarakat umum. Menjelang Jumat, para siswa kembali ke dermaga. Ada harapan di wajah mereka. Seperti anak-anak desa lainnya, mereka juga menyimpan cita-cita, tentang kesehatan, ekonomi, dan masa depan pendidikan mereka. Dalam perjalanan pulang kami masih diingatkan tentang jembatan, jalan aspal, dan transportasi yang lebih baik dari ini. (Teuku Fajar Hakim)   Simak Videonya di bawah ini :

BANDARA ACEH SEBAGAI PINTU GERBANG UNTUK “MEMPERCEPAT” PERTUMBUHAN EKONOMI

Arah pengembangan transportasi udara berdasarkan Tataran Transportasi Wilayah Aceh yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 102 Tahun 2014 mengisyaratkan peningkatan pelayanan dan memperbaiki tatanan pelayanan angkutan antarmoda dan kesinambungan transportasi dengan menerapkan konsep Transit Oriented Development (TOD) serta meningkatkan pelayanan angkutan udara perintis. Letak geografis Aceh yang berada diantara jajaran panjang perbukitan dan kepulauan yang tersebar mengisyaratkan pada kebutuhan transportasi yang cepat, nyaman dan handal. Di samping itu juga, Aceh memiliki 12 (dua belas) bandar udara termasuk Bandara Point A, bandara khusus milik exxonmobil oil company. Bandar udara dalam wilayah Aceh pernah melayani 10 (sepuluh) rute perintis pada Tahun 2018, akan tetapi berdasarkan kajian evaluasi Kementerian Perhubungan, saat ini hanya melayani 5 (lima) rute perintis, dengan jumlah rute saat ini terdapat bandar udara yang sama sekali tidak dilayani oleh penerbangan. Pada kawasan yang jarak tempuh sangat jauh dari pusat-pusat kegiatan dan pemerintahan tentu akan mengalami kesulitan untuk menjangkau atau diakses untuk dapat meningkatkan kunjungan wisatawan. Hal ini juga menunjukkan bahwa bandar udara yang ada tidak dapat diharapkan sebagai infrastruktur pengembangan ekonomi wilayah apalagi untuk kepentingan mitigasi bencana. Frekuensi layanan bandara saat ini tentu belumlah optimal. Penerbangan sekali dalam seminggu atau bahkan sama sekali tidak ada menjadi perbincangan. Faktanya, jika masyarakat hendak menggunakan moda udara ke tempat tujuan pada hari Senin maka mereka harus kembali ke tujuan asal pada hari Senin Minggu berikutnya. Ini juga merupakan polemik bagi layanan penerbangan, bahwa memilih moda transportasi udara bahkan lebih tidak efisien dibandingkan pelayanan moda transportasi lainnya. Pemerintah Kabupaten Kota yang memiliki bandara terus melakukan perlawanan terhadap kondisi di atas. Penghapusan rute dan pengurangan frekuensi yang telah dilakukan belum memberikan alternatif yang tepat dalam menyediakan kenyamanan pelayanan transportasi yang cepat dan handal. Pemerintah Kabupaten Simeulue memberikan usulan program angkutan udara perintis Tahun 2021 yang dikirimkan oleh Bupati Simeulue untuk meminta penambahan rute penerbangan perintis dan frekuensi penerbangan Sinabang. Kondisi daerah Simeulue yang terisolir dan tidak mudah dijangkau oleh transportasi darat serta daerah rawan bencana sangat membutuhkan penerbangan perintis. Kondisi-kondisi ekstrem seperti gelombang tinggi dan badai yang dialami oleh daerah pulau ini mengakibat terhentinya pelayanan transportasi. Dampak ini menuntut masyarakat harus bermalam di area pelabuhan dengan kondisi ala kadar. Angin laut yang menerpa tubuh lelah masyarakat dan menggeruguti tulang seakan lumrah berjalan alami. Namun di sisi lain, ada hal yang mendesak dari terhentinya pelayanan. Harga barang di daratan kepulauan kian melonjak, pasokan kebutuhan pokok pun kian menipis. Masyarakat kembali memikul kesengsaraan yang bertubi-tubi. Apakah hal ini patut dibiarkan menerus? Kabupaten Simeulue juga sering diguncang gempa dengan potensi tsunami yang besar juga mendorong daerah ini terus mempersiapkan diri terhadap mitigasi bencana. Sebagai salah satu upaya tersebut dengan membuka gerbang akses logistik, medis dan tanggap darurat secara cepat, tepat dan handal. Keberadaan Bandara Syekh Hamzah Fansuri, Aceh Singkil dalam tahun ini juga tidak dilayani rute penerbangan perintis. Padahal, Pemerintah Aceh terus mendorong berkembangnya wisata alam Rawa Singkil dan pesona alam Pulau Banyak. Sehingga, wisatawan yang hendak berwisata ke kawasan Singkil dan Pulau Banyak mengurungkan niatnya karena waktu dan jarak tempuh dengan rentang yang jauh akan menekan efisiensi biaya yang telah direncanakan untuk perjalanan. Di sisi lain, Aceh Tenggara memiliki bandara yang dibangun oleh Uni Eropa ini juga belumlah optimal. Faktanya, masyarakat hanya dapat melakukan satu kali penerbangan seminggu dan harus menunggu jadwal kepulangan pada minggu berikutnya. “Ini merupakan kendala terbesar bagi kami yang memiliki urusan mendesak di Ibukota Provinsi tidak bisa serta merta terbang ke Banda Aceh, kalau pun naik jalur darat itu butuh waktu yang lama dan jauh, energi pun telah terkuras,” ujar salah satu masyarakat dalam rapat koordinasi kebijakan bidang transportasi. Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 11 Tahun 2010 Tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional pasal 4 mencantumkan peran bandar udara sebagai pintu gerbang pertumbuhan ekonomi daerah, pendorong dan penunjang kegiatan industri, pembuka isolasi daerah, tempat kegiatan alih moda transportasi, pengembangan daerah perbatasan, penanganan bencana dan memperkokoh konektivitas daerah. Dalam hal ini, Pemerintah Aceh terus berupaya dalam mengembangkan bandara sesuai amanat agar peran dan fungsinya lebih optimal dalam memenuhi kebutuhan masyarakat transportasi dan mewujudkan pelayanan transportasi yang adil untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah. Kondisi infrastruktur bandara juga terus ditingkatkan agar laik operasional dan lancarnya pelayanan penerbangan. Pada saat ini, kondisi eksisting bandara yang masih melayani penerbangan perintis dan komersil sebanyak 7 (tujuh) dari 11 (sebelas) bandara umum, yaitu Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda (Aceh Besar), Malikussaleh (Aceh Utara), Patiambang (Gayo Lues), Cut Nyak Dhien (Nagan Raya), Kuala Batu (Aceh Barat Daya), Alas Leuser (Aceh Tenggara), dan Lasikin (Simeulue). Sementara 5 (lima) bandara lainnya sedang “tertidur” sejenak dan harus segera dibangunkan kembali. Lima bandara tersebut yaitu Bandara Syekh Hamzah Fansuri (Aceh Singkil), T. Cut Ali (Aceh Selatan), Rembele (Bener Meriah) dan Point A (Lhokseumawe). Karakteristik medan transportasi darat Aceh yang berliku dan dikelilingi perbukitan serta posisi pusat kegiatan yang memiliki jarak sangat jauh dari pusat-pusat kegiatan, menyumbang minat masyarakat akan pesawat terbang. Potensi wisata yang tersebar ke seantero wilayah Aceh juga membutuhkan alat transportasi yang cepat untuk menjangkaunya. Jika kata mereka “Jangan sampai banyak menghabiskan waktu di jalan daripada menikmati wisata itu sendiri”, para wisatawan tentu memilih jadwal perjalanan yang paling menyenangkan dengan biaya yang paling rendah. Berdasarkan kalkulasi awam, jika turis dari negeri jiran berlibur ke Aceh selama seminggu dengan waktu terbang selama 45 menit dari Kuala Lumpur – Blang Bintang, dan ingin menikmati nikmatnya kopi dan panorama alamnya yang indah di Takengon, Aceh Tengah dari Banda Aceh via darat, membutuhkan waktu tempuh selama 6 jam 41 menit dengan jarak tempuh sepanjang 309 KM dengan kondisi lalu lintas yang normal. Kondisi jalur eksisting melewati perbukitan dengan lembah yang relatif dalam sepanjang garis jalan. Potensi banjir dan longsor pada saat cuaca ekstrem juga kerap terjadi di kawasan tersebut hingga menutup akses antar Kecamatan. Potensi bencana tersebut hampir terjadi setiap tahun, dan tentu akan menguras banyak waktu dan tenaga dalam perjalanan, sehingga meyurutkan niat wisatawan untuk menikmati pesona Aceh. Hal ini juga terus mendorong Aceh untuk mempersiapkan diri terhadap aksesibilitas kebencanaan, layanan logistik, aktivitas ekspor impor, layanan ibadah masyarakat, kesehatan dan faktor kebutuhan layanan lainnya secara cepat dan handal. Sebagai alternatif upaya tersebut dapat dilakukan dengan “mempercepat” konektivitas

ACEH BUTUH PESAWAT YANG SESUAI UNTUK PERCEPATAN KONEKTIVITAS ANTAR WILAYAH

Upaya-upaya Pemerintah Aceh untuk terus mengejar target pada program prioritas terus dilakukan. Pada Senin, 1 Juli 2019 yang lalu, Plt. Gubernur Aceh Ir. Nova Iriansyah, MT., melakukan kunjungan kerja ke PT. Dirgantara Indonesia (PTDI) di Bandung, Jawa Barat. Kunjungan kerja tersebut merupakan tindak lanjut dari penandatanganan Memorandum of Standing (MoU) yang telah dilaksanakan oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf di Singapura pada Tanggal 07 Februari Tahun 2018. MoU tersebut bertujuan untuk mensinergikan dan mengoptimalkan rencana pengadaan pesawat dan pembangunan assembly line pesawat terbang N219 di Provinsi Aceh. Kunjungan Plt. Gubernur Aceh ke PTDI lebih menekankan pada evaluasi terhadap MoU yang sudah ada dan membahas kemungkinan kesepakatan realistis yang bisa dicapai dalam RPJMA 2017 – 2022 sehingga capaian MoU dapat diukur dengan baik. Pertemuan Pemerintah Aceh dan PTDI juga membahas penyempurnaan studi tentang penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM) dan operasional Pesawat N219 untuk mendukung konektivitas antar wilayah dan pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi kesenjangan wilayah. Pengembangan transportasi udara Aceh seharusnya berpedoman pada tata ruang Aceh yang mengarahkan Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM) berperan sebagai hub bandara-bandara yang ada di Aceh. Konsep arah pengembangan ini belum terealisasi secara optimal. Kondisi eksisting perintis saat ini juga belum signifikan dengan pengembangan konsep ini. Beberapa penerbangan ini masih mengarah ke hub bandara wilayah barat, Kualanamu, Sumatera Utara. Angkutan udara semestinya mempersingkat waktu dan jarak, akan tetapi saat ini untuk beberapa daerah membutuhkan biaya yang lebih besar dari seharusnya untuk dapat menjangkau Ibukota Provinsi. Tindak lanjut Pemerintah Aceh dengan PTDI juga mendorong implementasi konsep pengembangan Tata Ruang Aceh dalam meningkatkan peran Bandara SIM sebagai hub bandara Aceh. Dalam hal ini untuk mendorong transportasi udara secara komersial juga butuh waktu yang lama dan jika pihak ketiga yang mengurus juga belum tentu memberikan keuntungan yang banyak. Akan tetapi, masyarakat sangat membutuhkan moda transportasi ini. Sehingga, Pemerintah perlu mengintervensi kebutuhan sarana transportasi udara (pesawat terbang –red) untuk mengungkit peran prasarana (Bandara –red) yang telah ada di Aceh agar kembali terbangun dari “mati suri” selama ini. Sebagai karya anak bangsa, N219 merupakan pesawat komuter berbasis regulasi CASR/FAR 23 yang memiliki daya angkut sebanyak 19 penumpang dan secara umum memiliki daya angkut, serta flight & field performance yang lebih unggul dikelasnya. Pesawat ini dibangun oleh PT. Dirgantara Indonesia bersama LAPAN (Lembaga Penerbangan & Antariksa Nasional) dan direncanakan dapat menyelesaikan tahap sertifikasi pada akhir tahun 2019. Pesawat N219 dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan transportasi udara nasional di wilayah perintis. Memiliki kabin terluas di kelasnya dan dapat dimodifikasi untuk berbagai macam kebutuhan, seperti angkutan penumpang, angkutan barang maupun evakuasi medis saat terjadi bencana. N219 memiliki kecepatan maksimum mencapai 210 knot dan kecepatan terendahnya mencapai 59 knot, sehingga dapat terbang di wilayah bertebing dan berbukit sesuai karakteristik beberapa Bandara yang ada di Aceh. N219 juga memiliki kemampuan mendarat pada runway yang relatif pendek atau short take off – landing sehingga tidak membutuhkan landasan panjang dan mudah dioperasikan di daerah terpencil. N219 juga dilengkapi dengan Terrain Awareness and Warning System, yaitu alat yang bisa mendeteksi wilayah perbukitan. Sistem pesawat akan memberikan tanda dan visualisasi secara dimensi sehingga pilot tahu secara langsung kondisi perbukitan yang akan dilaluinya. Sesuai dengan kondisi Aceh saat ini yang memiliki 12 bandara yang belum beroperasi secara maksimal, bahkan beberapa bandara hanya melayani penerbangan perintis seminggu sekali. Pengadaan pesawat N219 merupakan salah satu upaya untuk mengoptimalkan bandara-bandara di Aceh tersebut. Aceh yang terpisah dengan perbukitan dan lautan, akan dapat terkoneksi dengan pesawat udara yang sesuai dengan topografi wilayah Aceh. Saat ini konektivitas antar wilayah merupakan salah satu tantangan terbesar dalam hal mengembangkan sektor kepariwisataan di Provinsi Aceh. Sejalan dengan hal tersebut, penambahan frekuensi penerbangan dari dan ke bandara-bandara di Aceh diperlukan untuk mendukung pertumbuhan kunjungan wisata. Data kunjungan wisatawan mancanegara dan domestik pada tahun 2014 hingga 2018 menunjukkan tren kunjungan yang terus meningkat. Adanya kerjasama IMT-GT (Sabang-Phuket-Langkawi) dalam bidang pariwisata dan kegiatan kepariwisataan lainnya, mendorong tumbuhnya industri pariwisata di Provinsi Aceh. Selain faktor pariwisata, Aceh yang dikenal sebagai daerah rawan bencana juga sangat memerlukan konektivitas wilayah melalui angkutan udara. Bencana Tsunami 2004 membuktikan peran bandara-bandara di Aceh sebagai pusat mitigasi bencana saat itu. Maka dukungan angkutan udara yang modern dan sesuai dengan topografi wilayah Aceh patut diwujudkan. Kabin pesawat N219 yang dapat dimodifikasi untuk evakuasi medis, mampu mengangkut sebanyak 9 pasien dalam sekali penerbangan. Sejalan dengan program prioritas Dinas Perhubungan Aceh untuk menjadikan Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda sebagai “Center of Umroh”, pesawat N219 dapat memudahkan masyarakat Aceh untuk melaksanakan ibadah umrah. Data yang diperoleh dari PT. Angkasa Pura II Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda menunjukkan, jumlah keberangkatan jama’ah umrah dari bandara tersebut pada tahun 2017 sampai dengan 2019 mencapai 29.550 jama’ah. Keberangkatan umrah dari Bandara SIM pada tahun 2019 mengalami lonjakan yang sangat tinggi yaitu sebesar 15.831 jama’ah. Hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan animo masyarakat Aceh untuk memulai perjalanan ibadah umrah terpusat di bandara SIM dan terhubung dengan bandara-bandara lain dalam wilayah Aceh dan beroperasi secara simultan. Tentu dengan adanya pesawat N219 yang melayani penerbangan di wilayah Aceh, masyarakat yang saat ini jika ingin melaksanakan umrah harus menempuh perjalanan darat dari daerah ke Banda Aceh atau bahkan melakukan perjalanan ibadah melalui bandara di luar Aceh. Dengan adanya konektivitas angkutan udara, masyarakat dapat lebih “fokus” dalam mempersiapkan ibadah ke tanah suci. Pesawat N219 juga diharapkan dapat menjadi solusi distribusi logistik yang terintegrasi, efektif dan efisien, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pesawat N219 juga dikembangkan untuk mendukung program jembatan udara seperti regulasi Presiden nomor 70 tahun 2017 mengenai “Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Untuk Angkutan Barang Dari Dan Ke Daerah Tertinggal, Terpencil, Terluar, Dan Perbatasan”. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2017, komoditas perikanan yang dikirim dari pelabuhan Sinabang, Singkil, dan Tapaktuan menuju pelabuhan Belawan mencapai 60.203 Ton. Dengan rincian dari Sinabang sebanyak 14.653 Ton, Singkil sebanyak 11.550 Ton, dan Tapaktuan sebesar 34.000 Ton. Pengiriman ikan melalui perjalanan darat dari pelabuhan-pelabuhan tersebut menuju pelabuhan Belawan membutuhkan waktu minimal 10 jam, bahkan dari Sinabang mencapai 21 jam. Bila dibandingkan dengan perjalanan udara, komoditas perikanan dari Sinabang, Singkil, dan Tapaktuan masing-masing dapat diangkut dalam waktu kurang dari 1 jam, sehingga kesegaran ikan masih terjaga dan nilai ekspornya

PEKAN KESELAMATAN JALAN ACEH TAHUN 2019

Dinas Perhubungan Aceh selenggarakan Acara Puncak Pekan Keselamatan Jalan Aceh Tahun 2019 di Lapangan Blang Padang Banda Aceh, Minggu, 1 Desember 2019. Rangkaian kegiatan dalam rangka Pekan Keselamatan telah dimulai sejak 25 November 2019. Kepala Dinas Perhubungan Aceh Junaidi, ST., MT., dalam sambutannya menyampaikan, dari sekian banyak korban kecelakaan lalu lintas didominasi oleh anak muda, pelajar dan mahasiswa. “Maka Pekan Keselamatan Jalan Aceh ini adalah salah satu upaya Dinas Perhubungan agar terjalin sinergisitas dari semua pihak dalam rangka mengurangi kecelakaan lalu lintas di jalan raya,” ungkap Junaidi. Acara ini mengajak para pengguna kendaraan agar lebih memperhatikan peralatan pendukung keselamatan dalam berkendara, serta membangkitkan kesadaran keselamatan dalam berkendara sejak dini yaitu salah satunya dengan menggandeng pelajar pelopor sebagai duta pemerintah. “Pemilihan Pelajar Pelopor merupakan upaya Dishub Aceh agar bisa menjadi wakil pemerintah dalam kampanye keselamatan berlalu lintas di jalan raya,” terang Junaidi. Kecelakaan lalu lintas merupakan pembunuh terbesar nomor dua di Indonesia dengan rata-rata jumlah orang meninggal setiap jam sekitar tiga sampai empat orang. Penyelenggaraan Pekan Keselamatan Jalan Aceh sebagai kegiatan rutin merupakan salah satu upaya Dinas Perhubungan Aceh untuk mengurangi angka kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Selain itu, juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pengendara tentang pentingnya keselamatan berkendara. Pada kegiatan puncak juga dilaksanakan penandatanganan Perjanjian Kerjasama (MoU) Keselamatan Berlalu Lintas antara Dinas Perhubungan Aceh dengan sejumlah sekolah di Banda Aceh dan Aceh Besar. Kerjasama ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran pelajar sekolah akan keselamatan berlalu lintas. Pekan Keselamatan Jalan Aceh Tahun 2019 memiliki sejumlah rangkaian kegiatan yang telah diadakan beberapa hari sebelumnya yaitu; lomba vlog, lomba mural & graffiti, safety riding, donor darah, senam jantung sehat, music performance, dan deklarasi keselamatan lalu lintas dan anti narkoba. (MG)   Simak videonya di bawah ini :

PROTOTIPE E-TICKETING TRANS KOETARADJA DIUJI COBA

Pelayanan kepada masyarakat di masa yang akan datang semakin menuntut pada sistem pelayanan yang berbasis teknologi seperti menerapkan sistem Smart city khususnya smart transportation. Oleh karena itu, upaya-upaya untuk mendorong peningkatan pelayanan di masa yang akan datang Pemerintah Aceh berupaya terus mempersiapkan diri untuk melayani masyarakat dengan teknologi IT secara cepat dan efisien. Upaya peningkatan ini dikemas dalam bingkai penelitian sebagai tindak lanjut MoU antara Pemerintah Aceh dengan Universitas Syiah Kuala dalam bidang Pendidikan, Penelitian, Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta Pengembangan Sumber Daya Manusia. Dalam hal ini, Dinas Perhubungan Aceh dengan Jurusan Teknik Elektro dan Komputer Universitas Syiah Kuala menindaklanjuti kerjasama tersebut dengan melakukan dua penelitian dalam tahun 2019 yaitu Prototype E-ticketing Trans Koetaradja dan A Lightweight Moving Vehicle Classification System Through Attention-Based Method and Deep Learning. Kadishub Aceh Junaidi, ST., MT., bersama Kepala BIdang Lalu Lintas Angkutan Jalan dan Kepala UPTD Trans Koetaradja meninjau uji coba hasil prototype e-ticketing Trans Koetaradja di Laboratorium Sistem Terdistribusi Jurusan Teknik Elektro dan Komputer Universitas Syiah Kuala, Senin, 25 November 2019. Sistem E-Ticketing ini dapat digunakan secara cashless (tanpa duit) dan juga dipersiapkan alternatif secara manual atau dapat menggunakan uang tunai. Tim peneliti Teknik Elektro menyebutkan, setelah usai uji prototipe ini akan dilakukan registrasi hak kekayaan intelektual dan diharapkan pada tahun depan dapat diproduksi di Aceh untuk dapat digunakan pada angkutan massal Trans Koetaradja. Sebelum diproduksi, pihak Tim peneliti juga menyampaikan masih membutuhkan penyempurnaan pada beberapa komponen termasuk design bentuk yang memudahkan pelanggan Trans Koetaradja nantinya. Penelitian “A Lightweight Moving Vehicle Classification System Through Attention-Based Method and Deep Learning” adalah pemanfaatan deteksi efektif kamera pengintai statis untuk mengklasifikasi jenis kendaraan bermotor pada suatu pias jalan sehingga dapat diketahui volume kendaraan dan klasifikasi yang melintasi, deteksi dapat bermanfaat untuk mengendalikan dan mengevaluasi serta pengawasan terpadu transportasi perkotaan di masa yang akan datang. Prof. Dr. Nasaruddin, S.T., M.Eng., selaku ketua tim penelitian menyampaikan bahwa kerjasama ini mendorong penelitian anak negeri untuk dapat diterapkan secara langsung dalam meningkatkan layanan fasilitas publik khususnya Trans Koetaradja. Penggunaan konsep “transportasi pintar” merupakan tujuan utama dalam penelitian ini, hasil penelitian diharapkan dapat segera diaplikasikan. (MS)