Dishub

Dilema Akselerasi Pelayanan Terhadang Karang

Aceh sebagai salah satu dari sekian banyak kota di pesisir Indonesia yang memiliki banyak potensi wisata alam berupa pantai yang mulai diketahui oleh banyak orang. Namun yang belum diketahui juga lebih banyak. Sebut saja pantai di daerah Seurapong dan Lamteng, di Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar.Pemerintah Aceh melalui Dinas Perhubungan Aceh telah menyediakan KMP. Papuyu sebagai sarana bagi masyarakat melintasi Lamteng dan Seurapong. Fasilitas keselamatan, life jacket, liferaft, ringbuoy, sirine, dan alat navigasi lainnya jelas telah tersedia didalamnya. Dengan frekuensi pelayaran antara empat sampai dengan enam kali dalam seminggu dan tarif angkutan tiga puluh dua ribu rupiah untuk setiap orangnya tentu cukup terjangkau. Namun dengan baiknya sarana yang telah disediakan, mengapa okupansi rute Ulee Lheue-Lamteng dan Seurapong Belum Maksimal? Banyak faktor yang mempengaruhi kurangnya pergerakan masyarakat ke wilayah Lamteng dan Seurapong. Kurangnya pergerakan artinya kurang pula tingkat okupansi dari moda transportasi yang telah disediakan. Okupansi atau tingkat keterisian dari suatu moda transportasi dipengaruhi oleh banyak hal. Kenyamanan dan keamanan pada sarana yang disediakan, tarif, ketepatan waktu serta jenis ragam moda transportasi yang ditawarkan. Tidak hanya dari moda saja, keindahan lokasi yang dituju dan sarana dan prasarana di lokasi tujuan juga menjadi hal utama mendongkrak tingkat okupansi moda transportasi. Untuk sarana pemerintah telah berupaya semampunya, hanya saja pelayaran tidak dapat dilakukan dua kali dalam sehari seperti halnya pelayaran rute Ulee Lheue-Balohan yang bahkan bisa dilakukan berulang kali dalam sehari. Tentu ada ‘udang dibalik bakwan’, ada sebab dan alasannya. Terumbu karang pada lokasi masuk kapal menuju dermaga Lamteng dan Seurapong menjadi sebabnya. Jalur masuk kapal menjadi terbatas menyebabkan manuver kapal sulit dan rentan bertabrakan dengan banyaknya karang yang ada di sekitarnya. Belum lagi kondisi angin, cuaca, pasang surut air laut yang sangat mempengaruhi kemampuan kapal untuk berlayar. Nah ketika tabrakan terjadi baling-baling kapal dapat rusak. Jangan sampai karena ‘nila setitik rusak susu sebelanga’. Demi memaksakan dilakukan pelayaran mampu merusak aset sarana yang telah disediakan pemerintah. Dari pihak masyarakat sampai hari ini juga masih belum menganggap isu keamanan dalam pelayaran menjadi poin penting. Banyak masyarakat yang masih menggunakan kapal tradisional milik nelayan untuk melakukan pelayaran. Pariwisata menjadi sebab lainnya. Apakah jika mampu dilakukan pelayaran berulang akan ada keinginan masyarakat untuk bertandang? Bagaimana dengan kesiapan destinasi wisata Lamteng dan Seurapong? Bagaimana pula dengan kesiapan sarana dan prasarana yang menunjang pada daerah setempat?Tentu perlu pembenahan, peningkatan kualitas sarana prasarana yang mampu meningkatkan keinginan masyarakat untuk melakukan pergerakan. Berpola dengan melakukan pergerakan tidak hanya sekali namun berulang kali. Banyak dukungan yang dapat dilakukan pemerintah setempat. Penyediaan listrik dan air bersih yang memadai tentu sangat mendasar. Begitu pula jaringan internet yang masih sangat terbatas, padahal jelas kondisi saat ini, internet telah berubah menjadi kebutuhan vital layaknya listrik, air dan makanan. Terlebih jika yang menjadi target adalah kalangan milenial dan generasi Z. Milenial, Gen Z dan teknologi dapat disebut sahabat karib yang tidak bisa dipisahkan dan saling terikat satu sama lain. Dukungan lainnya dapat pula dengan memperkenalkan destinasi wisata setempat. Dengan berbasis media daring semua kalangan kini dapat memperoleh informasi tanpa harus mengeluarkan banyak modal. Penggunakan latar pemandangan objek wisata setempat dan kata-kata persuasif, tentu mampu mendatangkan wisatawan untuk membuktikan sendiri keindahan yang terdapat pada foto yang ditampilkan. Terlepas dari segala keterbatasan yang timbul, memang okupansi dari pelayaran rute Ulee Lheue-Lamteng dan Seurapong tidak sebaik rute Ulee Lheue-Balohan atau rute lintasan Singkil. Namun dari pergerakan 10 tahun terakhir jelas peningkatannya. Pada tahun 2013 jumlah penumpang Ulee Lheue – Lamteng sebanyak 330 orang, tahun 2017 total penumpang meningkat menjadi 2.936 orang dan di tahun 2022 yang lalu mencapai 5.142 orang dengan rata-rata tingkat okupansi mencapai 20% setiap bulannya. Semoga tingkat okupansi ke depannya semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya dukungan dan keterlibatan dari semua pihak.(Rahmi C. Nazir) Bacaan Aceh TRANSit lainnya dapat di baca di:https://dishub.acehprov.go.id/aceh-transit-press/

Jalur Evakuasi Warga

Aceh mungkin satu-satunya provinsi di Indonesia yang tidak melakukan perayaan pergantian tahun dengan meriah seperti di daerah lain. Keadaan ini berlaku semenjak tahun 2004 lalu. Setiap akhir tahun, masyarakat Aceh selalu memperingati masa-masa berkabung, yaitu peringatan bencana dahsyat gempa dan tsunami yang menggulung daerah ini 15 tahun silam, tepatnya tanggal 26 Desember 2004. Bencana itu merenggut 130 ribu nyawa rakyat Aceh, Nias Sumatera Utara, dan beberapa negara lainnya. Kala itu, banyak warga Aceh di perantauan berusaha pulang ke bumi kelahiran guna mencari dan membantu keluarga yang tertimpa bencana. Saya adalah salah satu dari orang-orang itu. Saya sempat menghabiskan waktu dua hari dari Jakarta agar bisa mendarat di bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, karena bandara sibuk melayani lalu lalang dan antrean armada udara asing yang membawa bantuan ke Aceh setelah bencana. Akhirnya saya bisa mendrat dan tiba dengan selamat di bumi Serambi Mekkah ini. Bencana besar ini menimbulkan kerusakan parah semua sendi kehidupan, termasuk sarana perhubungan. Transportasi di Kota Banda Aceh lumpuh total. Kendaraan umum seperti taksi dan angkot yang biasanya siap melayani penumpang dari bandara menuju kota tidak terlihat beroperasi. Akibanya, banyak penumpang terpaksa menumpang kenderaan pribadi masyarakat setempat, agar bisa mencapai kota Banda Aceh yang berjarak sekitar 20 kilometer dari bandara. Saat saya tiba di Banda Aceh dua hari setelah tsunami, kota ini benar-benar porak poranda. Sebagian besar jalanan masih dipenuhi puing bangunan, mayat korban tsunami juga masih bergelimpangan. Bangkai kenderaan bermotor dan perahu nelayan masih berhimpitan di antara puing, bahkan ada yang masih nyangkut di atas reruntuhan bangunan dan pohon. Praktis setelah bencana hampir semua angkutan kota banyak yang tidak beroperasi lagi. Seperti angkutan umum labi labi yang tadinya merajai berbagai jurusan dalam kota, mulai menghilang, sejak saat itu dan hingga sekarang. Sarana pelabuhan penyeberangan utama Uleelheu juga luluh lantak disapu gelombang. Sehingga pendistribusian bantuan untuk daerah lain yang hanya bisa dijangkau oleh kapal, terpaksa dilakukan melalui pelabuhan darurat sementara yang berlokasi di bawah jembatan Uleelheu. Pelabuhan darurat ini menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal nelayan maupun kapal-kapal asing. Dahsyatnya tsunami yang melanda Aceh kala itu, dipicu gempa besar dengan magnitudo 9,0 yang disebabkan oleh interaksi lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Gempa ini berpusat di dasar laut pada kedalaman 10 Km. Seiring berjalannya waktu setelah 15 tahun bencana gempa dan tsunami melanda Aceh, kini suasana kota dan masyarakat sedikit membaik, bahkan banyak masyarakat umumnya sudah melupakan kejadian dahsyat tersebut. Belajar dari kejadian yang menelan banyak korban itu, kini di setiap ruas jalan di kawasan pemukiman di pesisir provinsi Aceh telah dipasang rambu-rambu penunjuk jalur evakuasi masyarakat. Rambu-rambu ini sebagai penunjuk arah untuk memudahkan masyarakat menuju ke tempat yang lebih aman ketika bencana berulang. Beberapa tempat yang banyak orang seperti sekolah-sekolah di Kota Banda Aceh juga sering melaksanakan program siaga bencana. Seperti di SMA Negeri 1 Banda Aceh, melakukan simulasi penanganan bencana serta evakuasi manusia secara berkala. Simulasi ini dilakukan pihak sekolah bekerja sama dengan Badan Penanganan Bencana Aceh (BPBA). “Terkadang juga kami lakukan secara mandiri dengan menggunakan dana BOS,” ujar Khairurrazi, Kepsek SMA1 saat ditemui tim Transit di kantornya beberapa waktu lalu. Khairurrazi mengatakan, sekolah perlu menerapkan kurikulum materi khusus kebencanaan untuk memudahkan evakuasi ketika bencana terjadi. Khairurrazi juga menyarankan perlunya perhatian dan kajian jalur khusus evakuasi, karena di beberapa titik terdapat arah putar balik yang terlalu jauh, sehingga menyulitkan jalur evakuasi. Semua kerisauan sang kepsek tentang rambu-rambu jalan di kota Banda Aceh yang perlu dikaji lagi, dijawab oleh Deddy Lesmana Kabid LLAJ Dishub Aceh. Deddy mengatakan, semua rambu-rambu di jalan dibuat guna keselamatan pengguna jalan di saat kondisi aman. Namun dalam kondisi darurat bencana tentu semua aturan rambu itu tidak berlaku lagi dan bisa dilanggar. “Tentunya tetap harus berhati-hati. Jangan sampai ingin melakukan penyelamatan malah terjadi musibah kecelakaan,” terang Deddy lagi.(Rizal Syahisa) Versi cetak digital dapat diakses dilaman: