Dishub

Kendaraan Listrik, Keberpihakan pada Lingkungan

Gesekan ban pesawat begitu kentara menyentuh daratan. Rona mentari siang nan indah menyambut kedatangan kami di Bandara Juanda Surabaya, Selasa 4 Juli 2019. Dari bandara perjalanan kami lanjutkan dengan mobil. Pepohonan rindang menutupi jalanan hitam di tengah kota. Hingga sampai di pagar setengah bundaran bertulis “Institut Teknologi Sepuluh November”. Di sinilah tujuan kami kali ini. Daya tarik inovasi yang diciptakan mengundang hasrat ingin tahu. Yah, mobil listrik yang telah digaungkan ke seantero negeri. Sang roda empat yang ramah lingkungan. Motor penggerak yang telah mengalungkan sepuluh hak paten. Pada hari itu Transit berkesempatan diskusi di Gedung Riset Mobil Listrik Institut Teknologi Sepuluh November (ITS). Kami disambut oleh manager Reseach and Development (R&D), Dr. Dimas Anton Asfani, S.T., M.T., dan tim mobil listrik lainnya. Dalam sebuah ruangan persegi bercat putih, susunan kursi bermodel L diatur rapi memenuhi ruangan. Meja hanya ditempatkan pada barisan depan serta filling cabinet yang berjejer menghimpit dinding. Perbincangan mengalir secara alami dan hangat diselimuti canda tawa. “Mungkin sebelum kita mengobrol lebih lanjut, ada baiknya saya perkenalkan tim terlebih dulu, kan, kalau tak kenal maka kita kenalan,” Dr. Dimas Anton Asfani membuka pembicaraan. Suara tawa menyeruak ke seantero ruang tersebut. “Langsung saja, saya sendiri Anton, Dosen Teknik Elektro yang mendampingi tim ini juga. Di sini juga hadir tim teknis mobil listrik kita, Mas Uta, Mbak Santi, dan Mas Ari yang setiap harinya bergelut dengan barang-barang ini,” ujar Dosen Teknik Elektro tersebut. Pada awal diskusi tersebut, Deddy Lesmana, Kepala Bidang Pengembangan Sistem dan Multimoda menyampaikan bahwa tujuan utama kunjungan ini untuk menjajaki kerja sama antara Pemerintah Aceh dan Institut Teknologi Sepuluh November. Terkait mekanisme dan prosedur kesepahaman ini sangat membutuhkan arahan dari tim mobil listrik ITS. Kerja sama ini didasari terhadap kebutuhan pengembangan feeder angkutan massal Ibukota Provinsi Aceh. Pengembangan ini mengarah kepada penggunaan bus listrik. Tahap awal operasinal feeder ini direncanakan di kawasan kampus Darussalam (Unsyiah dan UIN Ar-Raniry–red). Rencana ini juga bercermin pada inovasi ITS dalam menggarap bus listrik sebagai transportasi kampus serta mendukung gagasan Eco-City. Lebih lanjut, Renny Anggeraeni Robin, Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan Teknologi menerangkan dibutuhkan pembelajaran juga dalam tahapan pengadaan bus listrik ini. Dimana kerjasama ini juga merupakan kegiatan jangka panjang. Merujuk kembali juga Unsyiah sudah pernah bekerja sama dengan ITS sebelumnya. Menanggapi hal tersebut, Dr. Dimas Anton Asfani menerangkan secara umum, MoU yang dilakukan langsung berada di bawah naungan ITS dan Pemerintah Aceh. “Mungkin sedikit belajar dari pengalaman, mengingat MoU ini jangka panjang. Sedikit kendala dalam pengaplikasian prototipe yang memakan waktu relatif lama. Sehingga, kebutuhan konsumen belum dapat diproduksi sesegera mungkin (dalam waktu cepat-red),” ujarnya. Mengenai hal teknis lainnya, Yoga Uta Nugraha, Ketua Engineer Tim ITS yang merancang sistem penggerak ini menjelaskan, pengembangan yang dilakukan langsung di worskhop (Gedung Riset Mobil Listrik –red) lebih fokus terhadap komponen penggerak seperti dinamo, baterai, pengatur kecepatan, daya listrik, dan mengatur sistem keseluruhannya. “Perwujudan prototipenya ada sepeda motor, mobil, dan bus. Kami (timnya-red) juga telah bekerja sama dengan PT. INKA, salah satu perusahaan pengadaan gerbong kereta api. Di sini kami sebagai penyuplai motor penggerak listrik serta mengatur kecepatan motor tersebut,” ujar mahasiswa yang akrab disapa Uta ini dengan mata yang berbinar. Untuk kapasitas bus, prototipe yang ada dengan model Low Deck Bus seperti kendaraan listrik bandara dengan kapasitas 30-50 penumpang dengan posisi berdiri.(Misqul Syakirah) Sekilas tentang Bus Listrik Dalam kesempatan tersebut, Ketua Engineer Tim ITS, Yoga Uta Nugraha, menjelaskan panjang lebar tentang keunggulan bus bertenaga listrik. “Kebutuhan baterai seberapa jauh jarak yang akan ditempuh juga dapat disetting di sini. Mau jarak 200 km kita dapat mengaturnya, tetapi ini tergantung kepada seberapa besar ruang space baterai yang tersedia. Jika satu meter persegi, kita bisa hitung berapa jarak yang dapat ditempuh dengan baterai yang ada,” tukas Uta dengan optimisme terbias dari senyumnya yang lebar. Pengaturan interface seperti notifikasi daya baterai dan kecepatan maksimum ini telah dikembangkan melalui koneksi internet atau smartphone secara online. Jadi, kita dapat mengetahui berapa jarak yang ditempuh dengan sisa daya baterai yang ada. Uta menjelaskan, perakitan bus menelan biaya sekitar 1,5-2 miliar dan waktu perakitan kurang lebih satu tahun setelah seluruh komponen tersedia. Secara keseluruhan, perakitan komponen bus dan pengaturan sistem dilakukan oleh tim di workshop. Namun, cell baterai masih harus diimpor dari Cina dikarenakan spesifikasi baterai yang dibutuhkan dan harga jual produk dalam negeri masih kalah saing daripada produksi Cina. Harapan besar kedepan, Indonesia mampu memproduksi komponen baterai sesuai kebutuhan dan berdaya saing tinggi di pasar internasional. Hal ini membuktikan bahwa total biaya kepemilikan kendaraan listrik setara, bahkan lebih murah dibandingkan dengan kompetitornya. Meski harga awal relatif lebih mahal, namun karena biaya energi dan maintenance yang sangat murah, membuat biaya total kepemilikan kendaraan listrik menjadi rendah. Kesuksesan Surabaya menggagas Eco City melalui kendaraan listrik (bus listrik –red) patut diapresiasikan dan diterapkan. Banyak kabupaten/kota yang melirik penggunaan kendaraan listrik ini. Pemerintah Bali mulai menggunakan kendaraan listrik khusus area terbatas (area wisata –red) bekerja sama juga dengan tim ITS. Kendaraan yang digunakan seperti kendaraan bandara bermodel mobil golf dengan konstruksi terbuka. Surabaya, Bandung, dan Jakarta juga telah melayangkan kerjasama pengadaan kendaraan listrik. Namun, karena keterbatasan waktu perakitan kendaraan tersebut menjadi terlambat dari perencanaan awal. Ayuning Fitri Desanti, salah satu tim engineer menambahkan, kendala terbesar yang dihadapi tim juga dari terbatasnya ruang workshop. Permintaan yang kian meningkat, membatasi gerak dalam produksi kendaraan tersebut. Harapan besar juga, Indonesia dapat menggunakan kendaraan listrik produksi anak bangsa. Bukan hanya semata untuk keuntungan pribadi, tapi untuk menyelamatkan Indonesia dari impor BBM sekaligus menyelamatkan devisa negara. (Misqul Syakirah) Tulisan versi digital dapat diakses pada laman ini

Masyarakat Butuh Feeder Trans Koetaradja

Tasya Rahmayanti, dara cantik kelahiran Aceh Utara, 28 Februari 1998 ini adalah mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris, UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Dalam menjalani aktifitasnya sehari-hari sebagai mahasiswi, gadis yang tinggal di Punge Jurong, Banda Aceh ini rutin menggunakan Bus Trans Koetaradja. Meskipun lokasi halte yang lumayan jauh dari rumah, tidak menyurutkan minat Tasya untuk menggunakan Trans Koetaradja. Tasya mengaku sering naik bus Trans Koetaradja di halte depan Masjid Raya Baiturrahman. Sering kali diantar oleh orang tua, bahkan terkadang dia memilih untuk berjalan kaki. “Seringnya diantar sama mama ke halte, terkadang jalan kaki juga,” ungkap Tasya. Lokasi halte yang jauh dari tempat tinggal membuat sebagian masyarakat kesulitan naik Trans Koetaradja, termasuk Tasya. Gadis yang hobi membaca komik ini mengharapkan adanya Feeder agar memudahkan masyarakat yang ingin menggunakan Trans Koetaradja. “Saya rasa masyarakat butuh Feeder. Sehingga tidak perlu bergantung pada kendaraan yang ada di rumah atau pun berjalan kaki ke halte,” harap Tasya. Feeder adalah kendaraan pengumpul atau pengumpan yang dapat menjangkau kawasan perumahan dan pemukiman warga lalu mengantar penumpang ke halte-halte terdekat. Berbicara tentang Feeder, Tasya menyarankan agar Pemerintah Aceh memanfaatkan minibus Labi-labi yang telah ada. Selain telah menjadi angkutan ikonik di Banda Aceh, pemanfaatan Labi-labi lebih hemat anggaran dan dapat memberdayakan sopir labi-labi yang saat ini penghasilan mereka semakin menipis. “Saya pikir ada baiknya Pemerintah memanfaatkan Labi-labi yang telah ada. Selama TransK beroperasi, banyak para pengguna Labi-labi beralih ke TransK karena gratis dan terbilang lebih nyaman digunakan,” jelasnya. Tasya berharap jika Feeder Trans Koetaradja sudah beroperasi, tidak malah membuat kondisi lalu lintas semakin ribet lalu membuat masyarakat enggan naik Trans Koetaradja. Mahasiswi yang pernah menjadi peserta OSN Provinsi Aceh Tahun 2015 ini juga berharap operasional Feeder Trans Koetaradja nantinya berjadwal. Sehingga memudahkan masyarakat yang ingin menuju halte terdekat tanpa harus menunggu lama. Apalagi mayoritas pengguna Trans Koetaradja adalah pelajar dan mahasiswa, yang butuh sampai ke tujuan tepat waktu. (Amsal) Versi cetak online dapat diakses pada laman ini https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/ Simak video keseharian bus Trans Koetaradja :

Mengapa Trans Koetaradja Gratis?

Pasca penandatanganan MoU Helsinki Tahun 2005, situasi Aceh mulai kondusif dan perputaran roda perekonomian masyarakat pun berangsur membaik. Banda Aceh, sebagai penyandang status ibukota provinsi, mulai dilirik sebagai peluang bagi pelaku ekonomi baik dari provinsi Aceh maupun dari daerah lainnya. Hal ini menyebabkan pertumbuhan jumlah penduduk Kota Banda Aceh meningkat pesat. Diperkirakan pada tahun 2025 ada lebih dari 500 ribu jiwa yang berdomisili di Banda Aceh dan sekitarnya. Pertumbuhan penduduk ini juga berbanding lurus dengan pertumbuhan kendaraan bermotor yang berkisar antara 12 – 13 % per tahunnya. Dengan perkiraan kepadatan penduduk sebesar 8.148 Jiwa/Km­2 pada tahun 2025, tanpa transportasi massal yang memadai maka dapat dipastikan lalu lintas Banda Aceh akan semakin padat dan semrawut, ditambah lagi dengan fakta bahwa setelah tsunami 2004 Banda Aceh tidak lagi memiliki moda transportasi bus untuk melayani penumpang. Sebagai langkah awal penyelesaian masalah diatas, Pemerintah Aceh menjalin kesepakatan dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Republik Indonesia untuk menyelenggarakan angkutan masal perkotaan bertipe BRT (Bus Rapid Transit) di Banda Aceh. Dimana Kementerian Perhubungan RI memberikan dukungan berupa penyediaan bus dan Pemerintah Aceh menyediakan prasarana serta biaya operasionalnya. Angkutan massal perkotaan Trans Koetaradja yang masih digratiskan oleh Pemerintah Aceh, selain sebagai solusi tranportasi perkotaan juga diharapkan mampu meningkatkan antusiasme masyarakat untuk beralih dari penggunaan kendaraan pribadi ke angkutan umum. Ketika berbicara peningkatan jumlah kendaraan bermotor maka tidak dapat terlepas dari masalah peningkatan polusi udara yang ditimbulkan. Pada tahun 2018, Trans Koetaradja berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 34.579 TCO2e atau mencapai 270% dari tahun sebelumnya. Dinas Perhubungan Aceh juga tengah menjajaki kerjasama dengan Institut Teknik Surabaya untuk pengadaan bus bertenaga listrik sebagai bus feeder Trans Koetaradja untuk melayani rute-rute alternatif yang belum terlayani. Kedua hal ini sejalan dengan komitmen Indonesia yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Republik Indonesia pada bulan November 2016 tentang upaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Nasional dengan target penurunan unconditional sebesar 29% pada tahun 2030. Trans Koetaradja yang mulai beroperasi tahun 2016 tergolong angkutan massal perkotaan yang masih “hijau”. Trans Koetaradja dituntut untuk terus berbenah dan berinovasi demi meningkatkan pelayanannya. Kerjasama dengan berbagai pihak pun terus dijalin seperti kerjasama dengan Program Studi Teknik Elektro Unsyiah untuk penyediaan sistem e-ticketing pada bus Trans Koetaradja. Saat ini, Trans Koetaradja memang merupakan angkutan massal perintis perkotaan, namun subsidi yang diberikan Pemerintah Aceh ini akan menjadi sebuah investasi besar dibidang angkutan yang diyakini mampu menjawab berbagai problematika transportasi perkotaan di masa yang akan datang. (Arrad) Versi cetak digital dapat diakses pada laman ini

Mengenang Stasiun Koeta-Radja

Muslim (50) berdiri sejenak di pagar depan Masjid Raya Baiturrahman. Matanya menatap lekat ke arah halaman Supermarket Barata. Di sana, teronggok sebuah lokomotif tua, bukti nyata angkutan kereta pernah berjaya. Ingatannya mengulang ke suasana 40 tahun lalu. Pada masa itu, sekitar tahun 1970-an, Muslim kecil sempat merasakan kenangan indah, bermain di antara gerbong kereta. Kala itu adalah masa penghujung era kejayaan kereta api Banda Aceh. Stasiun kereta itu berada persis di kompleks bangunan Barata dan taman Kodim 0101/BS saat ini. Setiap pulang sekolah, Muslim yang lahir dan besar di Kampung Baru, Banda Aceh, menyempatkan diri bermain bersama teman kecilnya di stasiun Kutaraja. Berlari-lari di sela-sela rel dan sembunyi di antara gerbong kereta yang parkir merupakan kenikmatan tersendiri buat Muslim dan teman-teman kecilnya yang tinggal di sekitar kawasan stasiun kereta Kutaraja saat itu. Sejarah mencatat, Perkeretaapian Provinsi  Aceh resmi didirikan tahun 1884 ditandai dengan terbentangnya jalur rel dari pelabuhan Uleelheue di ujung barat Banda Aceh,  hingga Kota Medan, Sumatra Utara. Rute sepanjang 486 kilometer itu berjaya hampir seratus tahun. Stasiun Koeta-Radja ini adalah stasiun kereta api kelas besar tipe A yang berada di Kampung Baru, Baiturrahman, Banda Aceh, berdekatan dengan Masjid Raya Baiturrahman. Setelah kemerdekaan, stasiun ini termasuk dalam Wilayah Aset Divre I Sumatra Utara dan Aceh serta merupakan stasiun kereta api terbesar di Aceh. Pada tahun 1976, PJKA resmi menghentikan pengoperasian perkeretaapian Provinsi Aceh. Banyak hal yang menyebabkan perkeretapian Aceh menghilang. Konflik bersenjata membuat pertumbuhan ekonomi melamban. Akibatnya, pihak Perusahaan Jawatan Kereta Api Aceh, mengalami kerugian parah sehingga jawatan ini menghentikan pengoperasian kereta di Aceh. Kini kawasan yang tadinya merupakan Stasiun Kereta Api Kutaraja telah berubah. Bangunan stasiun sudah hilang berganti menjadi taman kota dan perluasan halaman Masjid Raya Baiturahman Banda Aceh. Satu-satunya yang menjadi tanda bahwa di sana pernah ada stasiun kereta adalah dibangun monumen kereta api. Sebuah lokomotif tua BB84 dan gerbong dipajang  sebagai monumen perkeretaapian Aceh, di bekas area yang tadinya merupakan bangunan stasiun. Pada tahun 2010, Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, kembali menghidupkan perkeretaapian Provinsi Aceh. Kali ini dimulai dari wilayah tengah Aceh, yaitu Lhokseumawe hingga Bireuen. Jalur rel sepanjang 11,3 kilometer telah dibangun. Meski dianggap nanggung dan belum memenuhi keperluan transportasi Aceh, tapi layanan kereta api ini masih terus  beroperasi. Jajaran Dinas Perhubungan Aceh bekerja keras untuk menghidupkan kembali perkeretaapian Provinsi Aceh. Setelah jalur tengah  Lhokseumawe-Bireuen sepanjang 11,3 km, selanjutnya akan dibangun bertahap jalur baru yang akan membentang menghubungkan Kota Banda Aceh hingga Kota Medan di Sumatera Utara. Pada 2019 ini ada lanjutan penambahan operasional Krueng Mane-Kuta Blang sepanjang 10,6 km. Selanjutnya Krueng Geukueh-Paloh sepanjang 8 km. Hingga saat ini masih dilakukan kajian tentang perlintasan jalan nasional dalam rencana pembangunan. Diharapkan, dukungan dari semua pihak akan mempercepat jalur-jalur ini tersambung hingga ke banda Aceh. Sehingga Muslim bisa mengulang kembali kenangan indah, bermain-main bersama teman-temannya, di stasiun kereta api Kutaraja.(Syahisa)

Masa Depan Kereta Api Perintis Cut Meutia

Dalam rangka menunjang pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas pembangunan nasional, Kementerian Perhubungan RI melalui Direktorat Jenderal Perkeretaapian menyelenggarakan angkutan kereta api perintis di beberapa wilayah di Indonesia. Angkutan Kereta Api Perintis adalah penyelenggaraan perkeretaapian yang dioperasikan dalam waktu tertentu untuk melayani daerah baru atau daerah yang sudah ada jalur kereta api namun secara komersial belum menguntungkan. Di Provinsi Aceh, angkutan kereta api perintis telah beroperasi sejak tahun 2013. Ditandai dengan dilakukannya uji coba Kereta Api Perintis Aceh pada tanggal 1 Desember 2013. Meskipun sempat berhenti beroperasi pada Juli 2014, Kereta Api Perintis Aceh kembali aktif pada 3 November 2016 dan berganti nama menjadi Kereta Api Perintis Cut Meutia. Perintis Cut Meutia merupakan Kereta Rel Diesel Indonesia (KRDI) berjenis kereta rel diesel yang dibuat oleh PT Inka (Persero) yang hanya terdiri dari 2 kereta per set. Sehingga hanya dapat mengangkut sebanyak 192 penumpang dalam sekali beroperasi. KA. Perintis Cut Meutia dapat menempuh perjalanan selama 32 menit dari Stasiun Krueng Geukueh ke Stasiun Krueng Mane yang berjarak 11.5 KM. Hanya dengan membayar Rp. 1000 saja, masyarakat dapat menaiki KA. Perintis Cut Meutia dari Stasiun Krueng Geukueh hingga Stasiun Krueng Mane. Yang sangat membantu lagi adalah KA. Perintis Cut Meutia beroperasi setiap hari mulai pukul 08.00 WIB hingga sore. Tentu bagi masyarakat maupun pekerja yang setiap hari bepergian di daerah tersebut (Krueng Geukueh – Krueng Mane) sangat terbantu. Bagaimanapun juga lintasan tersebut masih relatif dekat sehingga belum mampu melayani daerah yang lebih luas. Saat ini baru 3 stasiun yang telah beroperasi dan melayani angkutan kereta api perintis di Aceh yaitu; Stasiun Krueng Geukueh, Stasiun Bungkaih, dan Stasiun Krueng Mane. Sementara itu terdapat 2 stasiun lainnya yaitu Stasiun Grugok dan Stasiun Kuta Blang yang sudah dibangun dan akan melayani angkutan kereta api perintis ke depan. Kedua stasiun tersebut sedang menunggu dilakukan pengujian jalur, bangunan dan serangkaian proses lainnya dari Pemerintah Pusat. Jika proses pengujian selesai dilakukan, maka angkutan kereta api perintis pada tahun depan dapat melayani dari Krueng Geukueh hingga ke Kuta Blang dengan total jarak 21.5 KM. Rencana Pengembangan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kereta Api Aceh Wilayah I, Abdul Kamal yang ditemui Aceh TRANSit menjelaskan bahwa jalur kereta api perintis ini dirancang untuk kereta komuter. Yaitu sistem transportasi berbasis kereta api yang menghubungkan daerah perkotaan dengan kawasan pinggiran kota atau dengan kawasan kepadatan penduduknya rendah. “Pembangunan jalur kereta api Aceh sejak awal memang direncanakan untuk komuter saja, menghubungkan Paloh Lhokseumawe sama Bireuen,” ujar Kamal. Kamal melanjutkan jika berbicara load factor dan operasional, tidak akan tercapai okupansi bila lintasan tidak mencapai Paloh – Bireuen. Untuk itu pihaknya terus berupaya agar lintasan tersebut segera beroperasi. Kamal memaparkan bahwa KA. Perintis Cut Meutia diharapkan telah beroperasi di lintasan Paloh – Kuta Blang dalam 2 tahun ke depan, sehingga total jarak yang ditempuh lebih kurang 30 KM. Untuk lintasan Krueng Geukueh – Paloh direncanakan dapat beroperasi pada tahun 2020 karena jalur tersebut menggunakan jalur lama. Selain itu, Kamal juga menyampaikan bahwa jalur kereta komuter ini akan terpadu dengan jalur Trans Sumatera. “Jalur kereta komuter nanti akan ketemu dengan jalur Trans Sumatera di Stasiun Kuta Blang, makanya stasiun Kuta Blang dibuat lebih besar dari stasiun lainnya,” papar Kamal. (Amsal)   Versi cetak online dapat diakses pada laman berikut:

Penyelengaraan Angkutan Udara Perintis Aceh

Kementerian Perhubungan menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan tentang Penetapan Kriteria dan Penyelenggaraan Kegiatan Angkutan Udara Perintis. Ini dilakukan guna mewujudkan angkutan udara perintis yang dapat menghubungkan daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah yang belum terlayani oleh moda transportasi lain, serta mendorong pertumbuhan dan pengembangan wilayah guna mewujudkan stabilitas, pertahanan, dan keamanan negara. Penyelenggaraan angkutan perintis merupakan wujud kehadiran negara terhadap masyarakat sesuai dengan Nawa Cita pertama, dan merupakan bagian dari fokus kerja Kementerian Perhubungan dalam rangka meningkatkan keselamatan, kapasitas sarana, dan kualitas pelayanan transportasi di Indonesia. Peraturan yang telah diundangkan mulai tanggal 27 Januari 2016, merupakan pembaruan dari Surat Keputusan Dirjen Perhubungan Udara Tahun 2010 Nomor SKEP/21/I/2010, yang mengatur beberapa hal meliputi: jenis kegiatan angkutan udara perintis, kriteria rute perintis, penyelenggaraan angkutan udara perintis, pelaksanaan angkutan udara perintis, evaluasi rute perintis, serta kewajiban penyelenggara angkutan perintis. Angkutan udara perintis terdiri atas: Angkutan udara perintis penumpang dan angkutan udara perintis kargo. Angkutan Udara Perintis Bandara Alas Leuser Kutacane Terhitung sejak 1 Januari 2019, Unit Pelayanan Bandar Udara (UPBU) Rembele telah membawahi Bandara Malikussaleh Lhokseumawe. Sebelumnya UPBU Rembele juga telah membawahi 2 bandara lainnya seperti Senubung Gayo Lues dan Alas Leuser Aceh Tenggara. Sedangkan pengoperasian Satuan Pelayanan (Satpel) ketiga bandara tersebut berada di bawah Unit Penyelenggara Bandar Udara (UPBU) Rembele, Bener Meriah. Sejak April lalu maskapai penerbangan Susi Air telah melayani penerbangan perintis untuk rute Banda Aceh-Kutacane (Aceh Tenggara) maupun sebaliknya. Namun frekuansi penerbangan tersebut hanya satu kali dalam seminggu, yakni hanya pada hari Rabu. Penerbangan yang dimulai sejak tanggal 22 April lalu dapat ditempuh dengan jarak tempuh sekitar 1 jam 20 menit. Sangat singkat bila dibandingkan dengan waktu tempuh menggunakan jalan darat. Pesawat yang digunakan untuk penerbangan ini adalah jenis Cessna 208B Grand Caravan dengan kapasitas 11-12 penumpang, termasuk balita. Mantan kepala Bandara UPBU Rembele Yan Budianto dalam sebuah kesempatan mengatakan, minat masyarakat yang menggunakan moda angkutan udara sangat tinggi dari Kutacane ke Banda Aceh sangat tinggi. Mengingat jarak tempuh jalur darat ke Banda Aceh sangat jauh dan melelahkan jika menggunakan jalur darat. Menurutnya, pihaknya sudah melobi pihak Kementerian Perhubungan Udara untuk meminta penambahan jadwal penerbangan, tapi belum dikabulkan. Dilla, salah seorang mahasiswa asal Aceh Tenggara yang menempuh studi di Banda Aceh mengatakan, dirinya sering menggunakan jasa penerbangan perintis ini. Ia berharap jadwal penerbangan rute Kutacane-Banda Aceh perlu ditambah, dari satu kali menjadi tiga kali dalam seminggu, sehingga bisa lebih efektif. Sebelumnya, Bandara Alas Leuser Kutacane ini telah diserahkan ke Kementerian Perhubungan dikarenakan Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara tidak mampu mengelolanya. Rute perintis ini disubsidi melalui APBN karena pengelolaan Bandara Alas Leuser Kutacane telah diambil alih oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sejak akhir 2017 lalu. Bandara ini memiliki luas lahan lebih dari 30 hektare dengan panjang Runway 1.620 meter serta lebar rata-rata 23 sampai 27 meter. Sebelumnya, saat masih di bawah pengelolaan Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara, Bandara Alas Leuser telah melayani penerbangan perintis untuk dua rute, yakni Banda-Aceh-Kutacane pergi-pulang dan Kutacane-Medan pergi dan pulang. Jadwal masing-masing dua kali dalam seminggu. Angkutan Udara Perintis Bandara Lasikin Sinabang Operasional Bandar Udara yang beralamat di Desa Lasikin, Kecamatan Simeuleu Timur Kabupaten Simeuleu berjalan dengan baik. Bandara ini didarati oleh dua angkutan udara perintis, yaitu Perintis Aceh dengan operator Susi Air dan Perintis Sumatera Utara dengan operator Aviastar. Penerbangan angkutan udara perintis Aceh memiliki frekuensi penerbangan sebanyak dua kali dalam seminggu, Selasa dan Jum’at. Rute penerbangan Susi Air ini dari Sinabang-Nagan Raya, Nagan Raya-Banda Aceh dan sebaliknya.  Sedangkan, frekuensi penerbangan Aviastar sekali dalam seminggu dengan rute penerbangan Gunung Sitoli – Sinabang dan Sinabang – Gunung Sitoli. Bona Tulus Fransiskus Simamora, Kepala Unit Penyelenggara Bandar Udara Lasikin menyebutkan, penerbangan yang dikelola Pemerintah Aceh memiliki performa yang bagus. Rute penerbangan pun memiliki nilai komersil yang tinggi. Hal ini menilik pada eksotisnya Simeulue yang mampu menjaring wisatawan melakukan aktifitas wisata di pulau penuh pesona ini. Sebagai Informasi, jumlah penumpang dalam sekali penerbangan memenuhi slot paling sedikit 8 packs dari target sebanyak 12 packs. Hal ini menunjukkan perkembangan yang sangat bagus. Bona Tulus mengatakan, potensi ini dapat mendorong kebijakan pemerintah untuk menghapus perintis, dalam artian penerbangan ini dapat dikomersilkan layaknya bandar udara umum lainnya. Dikarenakan, penerbangan ke Medan telah berjalan lancar dan di sini perlu penyesuaian penerbangan ke Banda Aceh. “Pertanyaan yang menjadi perimbangan saat ini adakah operator yang mau?” kata Bona. Menurutnya, keputusan ini kembali kepada kebijakan pemerintah dalam menentukan kegiatan bandara ini ke depan. “Kita menjadi pendukung dalam mendorong kebijakan terhadap operasional bandara dan perkembangan daerah yang semakin baik. Saat ini juga, angkutan udara perintis ini menjadi denyut jantung transportasi dan mitigasi bencana ke pulau terpencil, terluar dan tertinggal,” ujarnya. Ia menambahkan, masyarakat juga berharap adanya penambahan frekuensi penerbangan, meskipun beberapa masyarakat terkendala pada biaya. Namun sejauh ini, masyarakat masih menerima kebijakan harga yang diberikan oleh pemerintah. Selanjutnya, perlu dilakukan kajian lebih detail terkait harga penerbangan yang perlu dibayar. Memang, jika dibandingkan dengan harga transportasi darat memiliki selisih angka antara keduanya. Namun, angkutan udara perintis menawarkan transportasi yang praktis dan cepat. Sehingga, pada saat hari besar seperti lebaran dapat melepas rindu dengan kampung halaman yang lebih cepat.(Dewi)   Versi cetak online dapat diakses pada laman ini  

Sabuk Nusantara 110, Si Penakluk Badai Samudera

Keberadaan kapal perintis ini masih semu di kalangan masyarakat. Cuaca ektstrem menjadi tantangan bagi pengelola. Lalu, bagaimana KM Sabuk Nusantara 110 mengatasi persoalan ini? Berikut wawancara reporter ACEH TRANSit Misqul Syakirah, dengan Pejabat Pembuat Komitmen Subsidi Angkutan Laut Perintis R2 Pangkalan Calang Satker Peningkatan Lalu Lintas Angkutan Laut Pusat, Azwana Amru Harahap, S.E., M.M., Kamis, 29 Agustus 2019. Berikut petikannya. Bisa diceritakan, sejak kapan KMP Sabuk Nusantara 110 resmi beroperasi pada lintasan perintis di Aceh? KMP Sabuk Nusantara 110 resmi beroperasi pada lintasan perintis di Aceh sejak tanggal 28 Mei 2018. Awalnya melayani trayek R2 dengan rute Pelabuhan Calang – Sabang – Malahayati – Sabang – Lhokseumawe – Sabang – Calang – Sinabang – Tapak Tuan – Sinabang – Calang. Bagaimana respon masyarakat terhadap pelayanan pada awal beroperasi? Masyarakat cukup antusias, terutama masyarakat Aceh wilayah barat, khususnya Simeulue. Di samping itu, fasilitas dan pelayanan kapal cukup baik. Hal ini dapat dilihat peningkatan jumlah pengguna jasa kapal. Pencapaian jumlah penumpang terhitung  Mei-Desember 2018, mencapai 12.816 orang  dari Pelabuhan Calang ke Pelabuhan Sinabang (PP). Apa kendala dan hambatan yang dihadapi sehingga rute awal dievaluasi menjadi rute baru (Calang – Sinabang – Meulaboh – Sinabang – Tapaktuan – Sinabang – Calang)? Evaluasi ini dilakukan karena tidak ada penumpang dari wilayah timur yang menggunakan jasa kapal perintis. Selama ± 8 bulan juga tidak adanya aktifitas naik dan turun penumpang maupun barang. Hal ini karena fasilitas transportasi darat di wilayah timur semakin baik, sehingga penumpang lebih memilih transportasi darat. Khusus, trayek Sabang ke Pelabuhan Malahayati, masyarakat mengeluhkan belum  tersedia moda transportasi darat yang mengakses ke/dari Pelabuhan Malahayati menuju pusat kegiatan. Bagaimana dengan load factor baik barang maupun penumpang akhir-akhir ini? Cuaca ekstrem berpengaruh besar terhadap penurunan grafik load factor barang dan penumpang. Terhitung akhir Juli-akhir Agustus 2019, Kapal SN 110 hanya bersandar di Pelabuhan Sinabang dan tidak dapat melakukan aktifitas pelayaran. Rata-rata load factor penumpang sebesar 28,65% dan barang  (didominasi kendaraan penumpang) mencapai 41,48% di setiap ruas pelabuhan singgah dari Voyage 1 s.d. 13. Dengan akumulasi jumlah penumpang sampai dengan voyage 18 mencapai 15.506 orang dan 2.537 unit kenderaan pada Tahun 2019.Load factor ini diprediksikan akan meningkat jika cuaca kondusif. Rencana pengembangan rute angkutan laut perintis di Aceh khususnya homebase Calang? Mungkin, trayek akan mengalami sedikit perubahan pada Tahun 2020. Saya berencana ingin menambah trayek sampai ke Singkil, yang memiliki potensi permintaan cukup besar. Akan tetapi, hal ini juga tergantung dari kajian trayek yang akan dilakukan bersama dengan Dinas Perhubungan Provinsi Aceh. Lalu, apa kendala yang dihadapi oleh nakhoda kapal? Pelabuhan Meulaboh merupakan pelabuhan yang rentan resiko saat disinggahi kapal. Dikarenakan tidak memiliki fender atau dafra dan arus laut yang lumayan kencang.  Menyebabkan kerusakan lambung kapal dan tabrakan tubuh kapal ke dermaga. Hal ini telah disampaikan secara lisan ke syahbandar Meulaboh. Apa saran dan masukan terhadap pengembangan pelabuhan laut di Aceh? Khususnya yang disinggahi oleh Kapal Perintis SN 110, dapat meningkatkan pelayanan pengguna jasa, baik dari segi fasilitas maupun SOP mengenai naik dan turunnya penumpang. Saya berharap sosialisasi tentang keberadaan kapal perintis ini dapat diketahui oleh seluruh masyarakat Aceh sehingga dapat termanfaatkan dengan baik dan sesuai fungsinya serta kita dapat menjaga dan memelihara bersama kapal perintis SN 110. Karena peruntukan kapal ini bagi kemudahan dan keamanan transportasi masyarakat.(*) Versi online dapat diakses pada laman ini https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Malahayati, Feeder Tol Laut untuk Peningkatan Iklim Usaha

Temperatur usaha di Aceh mutlak dilakukan pengaturan dan manajemen yang optimal untuk menjaring investor ke Aceh. Pada sambutan acara Ground Breaking di KIA Ladong pada hari Sabtu (31/08) Plt. Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, menyampaikan bahwa jawaban dari tantangan dan tuntutan kebijakan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dengan salah satu langkah yang dilakukan, membangun Pusat Logistik Berikat (PLB) di Kawasan Industri Aceh (KIA) Ladong, Kabupaten Aceh Besar sebagai upaya pengembangan iklim usaha di Aceh. Upaya mengoptimalkan tol laut Aceh dengan menjadikan Pelabuhan Malahayati sebagai pusat bongkar muat kontainer. Ini merupakan peluang yang harus diambil oleh Aceh dalam mengembangkan potensinya. Potensi pengembangan transportasi ke depannya akan melibatkan kompleksitas moda transportasi. Perusahaan dalam aktivitas ekspor dan impor akan terlibat dengan konsep transportasi yang bersifat multimoda. Multimoda ini memiliki makna penting dalam perpindahan suatu barang dari produsen ke konsumen. Perpindahan barang ini memiliki pola multimoda transportasi. Ada anggapan semisal “saya tidak mau tahu, yang penting barang saya sampai” kedepannya perlu menjadi perhatian khusus bagi rekanan dan pengelola maupun pelaksana transportasi. Demi keamanan, kenyamanan dan kemudahan dalam meningkatkan aktivitas ekspor dan impor, sinergisitas antar pihak perlu diperkuat. Harmonisasi fungsi dan peranan akan menjadi satu peta pemikiran yang menaikkan grafik ekonomi wilayah. Menurutnya, Kehadiran PLB ini nantinya akan sangat bermanfaat bagi aktivitas usaha di Aceh. Dengan adanya pusat logistik ini, perusahaan manufaktur di dalam negeri tidak perlu lagi impor bahan baku, barang modal, atau bahan penolong, karena semua tersedia di sini. Yang menariknya lagi, di pusat logistik ini tidak ada pembatasan supply barang. Dengan kapasitasnya yang besar, berbagai jenis barang bisa disimpan di sini dengan masa simpan bisa mencapai 3 tahun atau lebih. Begitu juga untuk komoditi ekspor, ruang penyimpanannya cukup besar, sehingga eksportir tidak perlu tergesa-gesa mengirim barang. Dengan semua peran itu, dapat dipastikan bahwa kehadiran Pusat Logistik ini akan sangat penting untuk mendukung pergerakan ekonomi di daerah kita. Sinergisitas Pelabuhan dengan KIA Pelabuhan sangat berkaitan erat atau ketergantungan dengan Kawasan Industri. Apabila tidak ada PLB Ladong maka kami (Pelindo I Cabang Malahayati–red) perlu mengambil inisiatif melalui pendekatan pada customer atau stakeholders secara door to door. Di samping itu juga, dengan adanya KIA Ladong ini kami mengharapkan ketersediaan fasilitas fiskal seperti ketersediaan lahan penyimpanan logistik (gudang–red) dan fasilitas lapangan pendukung lainnya. “Jadi, dalam hal ini pelabuhan berperan sebagai pintu masuk atau keluarnya barang produksi sekaligus sarana transportasi. Sinergisitas antara pelabuhan dan KIA berpola lingkaran bersifat Simbiosis Mutualisme (timbal balik–red)” ungkap Sam Arifin Wiwi, General Manager Pelindo I Cabang Malahayati. Menurutnya, Selama ini, yang menjadi kendala yaitu muatan yang tidak mencukupi, buruh terlalu mahal, dan kapal yang tidak bisa sandar saat malam. Hal ini, akan menyebabkan bengkaknya biaya barang. Sehingga, investor menarik diri kembali untuk berinvestasi ke Aceh. Harapan besar, pengembangan kawasan industri mampu menampung logistik dan bahan baku lainnya sebagai tempat penyimpanan. Komoditi yang diproduksi seluruh Aceh juga dapat masuk ke gudang yang telah dipersiapkan di kawasan industri. Nantinya, pengisian kontainer secara langsung tanpa melalui tengkulak. Sehingga akan menekan biaya. Tanggung Jawab Memajukan Aceh Pengembangan fasilitas transportasi dan pengembangan Pusat Logistik Berikat semestinya bersifat holistik (secara menyeluruh–red) tidaklah parsial. Jika berbicara industri, salah satu tugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) adalah memberikan asistensi untuk industri. Ada empat tugas pokok bea cukai yaitu revenue collector (memungut penerimaan negara), community protector (Pengawasan lalu lintas barang dalam rangka melindungi masyarakat dari barang-barang terlarang dan berbahaya), trade fasilitator (memfasilitasi perdagangan luar negeri yang didalamnya terdapat fasilitas fiskal), dan industrial assistance (asistensi industri). Dalam hal ini, Safuadi, Kepala Kanwil Bea Cukai Aceh mengatakan, bagi industri yang akan atau sedang berkembang membutuhkan dukungan pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan. Di sinilah peran bea cukai sebagai industrial assistance memegang peranan penting dalam pemberian fasilitas fiskal berupa Pusat Logistik Berikat, Kawasan Berikat, Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) dan lain-lain. Artinya, bagi orang/pelaku usaha yang telah mendapatkan fasilitas kepabeanan (PLB, KB, maupun KITE dan lain-lain), dapat melakukan pemasukan barang impor dengan mendapatkan fasilitas pembebasan/penangguhan bea masuk, PPN, PPnBM, PPh (Pajak Dalam Rangka Impor). Atas hasil pengolahan barang impor tersebut terutama untuk tujuan ekspor. Menurutnya, PLB merupakan salah satu fasilitas kepabeanan  yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha/industri. Pelaku usaha yang telah mendapatkan izin sebagai PLB dapat menimbun barang impor di PLB selama 3 tahun tanpa harus membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor. Barang-barang yang ditimbun di PLB dapat dipakai untuk  mendukung kegiatan industri dalam negeri atau untuk tujuan ekspor. Hal ini dapat mendorong/memberikan kepastian kepada investor yang akan mengembangkan usaha di Aceh. Selama ini, yang dicari oleh pengusaha yaitu kemudahan di bidang fiskal dan kemudahan transportasi. Dengan adanya kemudahan dalam bentuk pembebasan / penangguhan bea masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) serta transportasi yang mudah dan murah dapat meningkatkan daya saing pengusaha sehingga akan menarik para investor untuk menanamkan investasinya di Aceh Pelabuhan Malahayati merupakan salah satu komponen utama dalam menyukseskan Kawasan Industri Aceh Ladong. Tanpa adanya fasilitas pelabuhan yang baik, sebuah pusat industri tidak akan berkembang secara optimal. Jika transportasi darat, laut dan udara tidak terintegrasi dengan baik maka bisa dipastikan distribusi barang/produk tidak berjalan. Semua produk ujungnya bertujuan pada pemasaran. Ladong tanpa Malahayati bagai tangan bertepuk sebelah, tiada hasil. Kita harus bersiap terhadap revolusi industri yang semakin berkembang. Pelabuhan juga harus siap dengan kondisi industri yang berlari sangat cepat ke depan. Pemerintah, mitra dan masyarakat bersama-sama mengambil perhatian khusus terhadap ketertinggalan kita yang sangat jauh dengan daerah lainnya. Sebagai informasi, perusahaan yang telah melibatkan diri di KIA Ladong sebanyak 5 perusahaan. Ini merupakan angka yang sangat miris dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia yang telah mencapai ribuan investor. “Kita perlu mengambil tanggung jawab ini untuk mendorong Aceh agar dapat berlari lebih cepat, dan kita mesti menggunakan filosofi lari estafet. Kita tidak dapat lagi jika hanya dengan berlari kecil, kita perlu mengekspos kelebihan potensi melalui fasilitas dan sarana yang memudahkan aktivitas industri agar semakin berkembang,” harapnya. (Syakirah) Versi cetak online silakan diakses di laman ini https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Pejalan Kaki

Ketika banyak kepentingan bercampur aduk dan prioritas terlupakan, maka perilaku akan kembali pada kendali “hukum rimba”. Kecenderungan ini terbias pada hakikat kebenaran bahwa “seluruh ruang milik rakyat”. Padahal, negara bertugas untuk memenuhi kebutuhan ruang bagi rakyatnya. Pemanfaatan Ruang sedapat mungkin harus mampu menampung dan mengaspirasikan hak-hak rakyat. Sekaligus, ruang yang diperuntukkan berasas pada kesepahaman dari hakikat membangun karakter bangsa yang epik. Setidaknya, bukan sebatas “Ruang Terbuka Hijau”. Namun, ada apresiasi terhadap ruang komunikasi yang perlu diperhatikan, menciptakan wadah aspirasi pemahaman dan jawaban dari kebingungan masyarakat pada ketersediaan ruang publik untuk keberlangsungan peradaban. Lirik lagu “sepanjang jalan kenangan” kadang kala merasuk jauh hingga ke relung hati. Rasa rindu pada sudut kota, jalanan atau sekaligus rintik hujan menjadi saksi dan memori kisah itu. Gontaian langkah kaki meiramakan satu semangat yang akan diceritakan pada generasi mendatang. Kisah tentang gemerlapnya kota atau teduhnya pedesaan menjadi background nostalgia masa lampau. Banyak kisah lain yang menggambarkan keteduhan jalanan utama kota ini. Layaknya, jalan setapak tanpa rumput membentuk garis tanpa ilusi. Semua terus berubah, hilir mudik kendaraan serta riuhnya penjaja dagangan kian bersahutan. mereka tersingkir jauh ke pinggiran. Semburan asap dari knalpot yang menyeruak bak letusan gunung api mengusir kenangan indah. Perjalanan ini menjadi pengantar cerita cucunya kelak. Dialah, si pejalan kaki, Kemanakah ia? Rentakah ia bersama masa dan budaya? Atau tersingkirkah ia dari kota ini? Pejalan kaki, moda transportasi pertama yang dipelajari oleh umat manusia. seremoni “turun tanah” sebagai awal seseorang diajarkan untuk berjalan sepertinya telah menjadi sesuatu yang sinis. Teori masih mengakui bahwa seseorang yang bepergian dengan berjalan kaki dalam perjalanannya atau paling tidak sebagian dari perjalanannya, disebut juga pejalan kaki. Misalnya, ia sedang berlari, jogging, hiking atau bahkan ketika duduk dan terbaring di jalan. Semua manusia pada hakikatnya adalah pejalan kaki. Aktivitas pergerakan dari rumah ke kantor atau ke suatu tempat tujuan lainnya. Bahkan, mungkin berjalan kaki dalam satu atau beberapa bagian dari perjalanan seperti menuju ke dan dari halte bis. Ironisnya, pejalan kaki kian tersingkirkan dari peradaban transportasi. Anggapan kere atau dari kasta yang rendah merekat erat di bahu mereka, sehingga tidak ada perhatian yang dilakukan untuk memfasilitasi pejalan kaki. Kondisi ini menjadi kritis ketika mengetahui bahwa lebih dari seperlima kematian akibat kecelakaan lalu lintas jalan di seluruh dunia yang mencapai 1,24 juta orang per tahun adalah pejalan kaki (Pedestrian Safety: a road safety manual for decision-makers and practitioners, WHO). Faktor resiko penyebab kecelakaan pejalan kaki dalam melakukan aktivitas transportasi penting untuk dilakukan “intervensi”. Tindakan ini merupakan suatu bentuk perlindungan bagi kenyamanan dan keselamatan pejalan kaki. Para praktisi keselamatan jalan di seluruh dunia, khususnya di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah diharapkan dapat membantu implementasi tindakan-tindakan khusus dalam mencegah kecelakaan lalu lintas jalan, meminimalkan cedera serta mengevaluasi dampak. Apakah Intervensi untuk mencegah kecelakaan pejalan kaki menjadi bagian dari subsidi untuk menjaga ruang gerak bagi rakyat. Namun, mendukung pengembangan kapasitas nasional dan kerjasama internasional untuk perlindungan pejalan kaki harus menjadi agenda. ada sudut pandang segelintir pemikiran, “Subsidi ini bebannya negara”. Atau kita akan mengutip bayaran kepada pejalan kaki. Tak belari jauh dari intervensi, subsidi, negara, masyarakat dan seluruh unsur yang berpijak di atas tanah ini memiliki peranan penting dalam setiap denyut nadi negara ini. Mengambil peran dalam porsinya, dengan dalih insentif atau disinsentif. Pendapat umum bahwa subsidi seperti mutiara di laut dalam yang hanya tersentuh oleh mereka yang punya koneksi menembus dalamnya palung. Pelayanan seadanya, infrastruktur seadanya. Toh, tak perlu bersusah payah, untung ruginya tidak terkait dengan kualitas pelayanan. Ruang pergerakan selama ini dilirik sekilas oleh penyedia transportasi khususnya perintis. Faktanya, prinsip utama transportasi terabaikan. Pelayanan transportasi bersifat lebih kaku dan searah. Jadwal dan upaya pelayanan bergulir sebagaimana maunya bukan sebagaimana mestinya. Ala kadar, tanpa berbuat baik pun mereka tak akan “menggulung tikar”. kelihatannya, masyarakat tak mengeluh dengan itu. Yah, nyaman saja, asal mereka sampai ke tujuan walaupun dengan segala keterbatasan yang ada. Subsidi pada hakikatnya merupakan instrumen fiskal yang bertujuan untuk memastikan terlaksananya peran negara dalam aktivitas ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata. Seperti halnya, subsidi pada sektor angkutan umum diperuntukkan agar masyarakat dapat mengakses wilayah dengan aman, cepat, dan nyaman sebagai ideologi dasar transportasi. Sekarang, sejauh mana subsidi telah menyentuh persoalan ekonomi rakyat menjadi lebih berdaya dan tidak sedang “membelah bambu”. Subsidi menjadi surga bagi segelintir dan neraka bagi sebagian lainnya. Ironis, ya, sangat disayangkan! Subsidi tertopang hanya pada sebelah tongkat. Terpingkal-pingkal dan tertatih-tatih beranjak kepada “si tuan punya badan”. Implementasi subsidi transportasi juga merupakan wujud peruntukan dalam membuka ruang publik atau ruang pergerakan masyarakat. Keterbukaan ruang ini sebagai wadah masyarakat dalam mengaspirasikan kehendaknya. Kita tidak dapat menghentikan perkembangan moda transportasi yang semakin canggih. Tetap saja, berjalan kaki adalah fitrahnya manusia. Sejauh mana hak pejalan kaki akan tetap dihargai? Pemerintah perlu instrospeksi agar memiliki sikap yang tegas untuk memberi prioritas kepada pejalan kaki termasuk memberi rasa aman terhadap terjadinya kecelakaan dan keberpihakan pada polusi lingkungan. Junaidi, S.T., M.T. Tulisan versi cetak online dapat diakses pada laman ini https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Hari Perhubungan Nasional Tempo Doeloe

Setiap Tanggal 17 September insan Perhubungan di seluruh Indonesia memperingati Hari Perhubungan Nasional atau biasa disingkat dengan Harhubnas. Tahukah Anda tentang Harhubnas? Pada awalnya, setiap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor Perhubungan memiliki hari jadi atau hari bakti masing-masing yang waktunya relatif berdekatan. Hal ini seringkali menyebabkan tidak efisien dari segi waktu dan biaya. Hingga pada Tahun 1971, pemerintah menyatukan hari jadi atau hari bakti BUMN yang terkait dengan sektor perhubungan. Sejak itulah, Harhubnas diperingati setiap tanggal 17 September. Peringatan Harhubnas memiliki 3 tujuan utama yaitu: Meningkatkan rasa kebersamaan dan jiwa korsa warga Perhubungan serta dengan mitra kerja jasa Perhubungan; Meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab untuk selalu ikut membudayakan peningkatan pelayanan yang lebih baik; Meningkatkan penghayatan dan pengamalan 5 citra manusia Perhubungan. Singkatnya, Harhubnas merupakan sarana bagi insan perhubungan instropeksi diri. Dua manfaat terciptanya apresiasi positif insan perhubungan dimaknai sebagai momentum terhadap kinerja dalam meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat. Sejarah Dinas Perhubungan Aceh Kanwil Departemen Perhubungan Propinsi Daerah Istimewa Aceh pertama kali dipimpin oleh Drs Soefrien Sjoekoer. Tugas pokok dan fungsi dari Kanwil Departemen Perhubungan Propinsi DI Aceh meliputi pembinaan, pengaturan, perencanaan dan pengawasan sub sektor perhubungan darat, laut dan udara serta pengelolaan Bandar Udara dan Pelabuhan Laut. Saat Otonomi Daerah diberlakukan pada Tahun 2000, Kanwil Departemen Perhubungan Propinsi DI Aceh yang tunduk kepada Menteri Perhubungan, berubah namanya menjadi Dinas Perhubungan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan tunduk kepada Gubernur. Di Aceh, Peringatan Hari Perhubungan dari masa ke masa sangatlah beragam dan bervariasi. Pada masa Kanwil Departeman, upacara peringatan Harhubnas dilaksanakan di berbagai tempat, seperti di Bandara Sultan Iskandar Muda (dahulu Bandara Blang Bintang) dan di Pelabuhan Malahayati. Sedangkan acara puncaknya digelar di Malahayati untuk meningkatkan kebersamaan antara keluarga basar Kanwil Departeman pada masa itu. Serba serbi Harhubnas juga dimeriahkan dengan adanya perlombaan-perlombaan di cabang olahraga seperti badminton, volley, dan catur yang diikuti oleh seluruh pegawai. Selain itu juga dilaksanakan jalan santai bersama keluarga besar Kanwil Departemen. “Dahulu upacara Harhubnas diadakan di bandara Blang Bintang, karena dahulu penerbangan hanya ada satu kali dalam seminggu, jadi tidak menganggu aktivitas di bandara tersebut,” ungkap Auli Amri, pegawai eks Kanwil Departemen Perhubungan Aceh. Salah satu pensiunan dari eks Kanwil juga mengatakan kalau upacara Harhubnas dahulu hanya dihadiri oleh pegawai Kanwil Perhubungan saja. “Untuk mempererat tali silahturahmi, para pensiunan baiknya diikutsertakan dalam acara meriahnya Hari Perhubungan,” ujarnya berharap. Harhubnas juga harus menjadi momentum segenap insan Perhubungan untuk terus berkarya dan bekerja bersama membangun bangsa. Hal yang perlu jadi refleksi dalam peringatan Harhubnas adalah pentingnya konsistensi pada spektrum keselamatan (safety) dan pelayanan (service and hospitality). Melalui peringatan Harhubnas, kita harapkan kebersamaan dari waktu ke waktu bisa terjalin antara seluruh jajaran perhubungan untuk memperbaiki kinerja dalam menciptakan pelayanan transportasi sesuai yang diharapkan. (DW)