Dishub

Penyelengaraan Angkutan Udara Perintis Aceh

Kementerian Perhubungan menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan tentang Penetapan Kriteria dan Penyelenggaraan Kegiatan Angkutan Udara Perintis. Ini dilakukan guna mewujudkan angkutan udara perintis yang dapat menghubungkan daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah yang belum terlayani oleh moda transportasi lain, serta mendorong pertumbuhan dan pengembangan wilayah guna mewujudkan stabilitas, pertahanan, dan keamanan negara. Penyelenggaraan angkutan perintis merupakan wujud kehadiran negara terhadap masyarakat sesuai dengan Nawa Cita pertama, dan merupakan bagian dari fokus kerja Kementerian Perhubungan dalam rangka meningkatkan keselamatan, kapasitas sarana, dan kualitas pelayanan transportasi di Indonesia. Peraturan yang telah diundangkan mulai tanggal 27 Januari 2016, merupakan pembaruan dari Surat Keputusan Dirjen Perhubungan Udara Tahun 2010 Nomor SKEP/21/I/2010, yang mengatur beberapa hal meliputi: jenis kegiatan angkutan udara perintis, kriteria rute perintis, penyelenggaraan angkutan udara perintis, pelaksanaan angkutan udara perintis, evaluasi rute perintis, serta kewajiban penyelenggara angkutan perintis. Angkutan udara perintis terdiri atas: Angkutan udara perintis penumpang dan angkutan udara perintis kargo. Angkutan Udara Perintis Bandara Alas Leuser Kutacane Terhitung sejak 1 Januari 2019, Unit Pelayanan Bandar Udara (UPBU) Rembele telah membawahi Bandara Malikussaleh Lhokseumawe. Sebelumnya UPBU Rembele juga telah membawahi 2 bandara lainnya seperti Senubung Gayo Lues dan Alas Leuser Aceh Tenggara. Sedangkan pengoperasian Satuan Pelayanan (Satpel) ketiga bandara tersebut berada di bawah Unit Penyelenggara Bandar Udara (UPBU) Rembele, Bener Meriah. Sejak April lalu maskapai penerbangan Susi Air telah melayani penerbangan perintis untuk rute Banda Aceh-Kutacane (Aceh Tenggara) maupun sebaliknya. Namun frekuansi penerbangan tersebut hanya satu kali dalam seminggu, yakni hanya pada hari Rabu. Penerbangan yang dimulai sejak tanggal 22 April lalu dapat ditempuh dengan jarak tempuh sekitar 1 jam 20 menit. Sangat singkat bila dibandingkan dengan waktu tempuh menggunakan jalan darat. Pesawat yang digunakan untuk penerbangan ini adalah jenis Cessna 208B Grand Caravan dengan kapasitas 11-12 penumpang, termasuk balita. Mantan kepala Bandara UPBU Rembele Yan Budianto dalam sebuah kesempatan mengatakan, minat masyarakat yang menggunakan moda angkutan udara sangat tinggi dari Kutacane ke Banda Aceh sangat tinggi. Mengingat jarak tempuh jalur darat ke Banda Aceh sangat jauh dan melelahkan jika menggunakan jalur darat. Menurutnya, pihaknya sudah melobi pihak Kementerian Perhubungan Udara untuk meminta penambahan jadwal penerbangan, tapi belum dikabulkan. Dilla, salah seorang mahasiswa asal Aceh Tenggara yang menempuh studi di Banda Aceh mengatakan, dirinya sering menggunakan jasa penerbangan perintis ini. Ia berharap jadwal penerbangan rute Kutacane-Banda Aceh perlu ditambah, dari satu kali menjadi tiga kali dalam seminggu, sehingga bisa lebih efektif. Sebelumnya, Bandara Alas Leuser Kutacane ini telah diserahkan ke Kementerian Perhubungan dikarenakan Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara tidak mampu mengelolanya. Rute perintis ini disubsidi melalui APBN karena pengelolaan Bandara Alas Leuser Kutacane telah diambil alih oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sejak akhir 2017 lalu. Bandara ini memiliki luas lahan lebih dari 30 hektare dengan panjang Runway 1.620 meter serta lebar rata-rata 23 sampai 27 meter. Sebelumnya, saat masih di bawah pengelolaan Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara, Bandara Alas Leuser telah melayani penerbangan perintis untuk dua rute, yakni Banda-Aceh-Kutacane pergi-pulang dan Kutacane-Medan pergi dan pulang. Jadwal masing-masing dua kali dalam seminggu. Angkutan Udara Perintis Bandara Lasikin Sinabang Operasional Bandar Udara yang beralamat di Desa Lasikin, Kecamatan Simeuleu Timur Kabupaten Simeuleu berjalan dengan baik. Bandara ini didarati oleh dua angkutan udara perintis, yaitu Perintis Aceh dengan operator Susi Air dan Perintis Sumatera Utara dengan operator Aviastar. Penerbangan angkutan udara perintis Aceh memiliki frekuensi penerbangan sebanyak dua kali dalam seminggu, Selasa dan Jum’at. Rute penerbangan Susi Air ini dari Sinabang-Nagan Raya, Nagan Raya-Banda Aceh dan sebaliknya.  Sedangkan, frekuensi penerbangan Aviastar sekali dalam seminggu dengan rute penerbangan Gunung Sitoli – Sinabang dan Sinabang – Gunung Sitoli. Bona Tulus Fransiskus Simamora, Kepala Unit Penyelenggara Bandar Udara Lasikin menyebutkan, penerbangan yang dikelola Pemerintah Aceh memiliki performa yang bagus. Rute penerbangan pun memiliki nilai komersil yang tinggi. Hal ini menilik pada eksotisnya Simeulue yang mampu menjaring wisatawan melakukan aktifitas wisata di pulau penuh pesona ini. Sebagai Informasi, jumlah penumpang dalam sekali penerbangan memenuhi slot paling sedikit 8 packs dari target sebanyak 12 packs. Hal ini menunjukkan perkembangan yang sangat bagus. Bona Tulus mengatakan, potensi ini dapat mendorong kebijakan pemerintah untuk menghapus perintis, dalam artian penerbangan ini dapat dikomersilkan layaknya bandar udara umum lainnya. Dikarenakan, penerbangan ke Medan telah berjalan lancar dan di sini perlu penyesuaian penerbangan ke Banda Aceh. “Pertanyaan yang menjadi perimbangan saat ini adakah operator yang mau?” kata Bona. Menurutnya, keputusan ini kembali kepada kebijakan pemerintah dalam menentukan kegiatan bandara ini ke depan. “Kita menjadi pendukung dalam mendorong kebijakan terhadap operasional bandara dan perkembangan daerah yang semakin baik. Saat ini juga, angkutan udara perintis ini menjadi denyut jantung transportasi dan mitigasi bencana ke pulau terpencil, terluar dan tertinggal,” ujarnya. Ia menambahkan, masyarakat juga berharap adanya penambahan frekuensi penerbangan, meskipun beberapa masyarakat terkendala pada biaya. Namun sejauh ini, masyarakat masih menerima kebijakan harga yang diberikan oleh pemerintah. Selanjutnya, perlu dilakukan kajian lebih detail terkait harga penerbangan yang perlu dibayar. Memang, jika dibandingkan dengan harga transportasi darat memiliki selisih angka antara keduanya. Namun, angkutan udara perintis menawarkan transportasi yang praktis dan cepat. Sehingga, pada saat hari besar seperti lebaran dapat melepas rindu dengan kampung halaman yang lebih cepat.(Dewi)   Versi cetak online dapat diakses pada laman ini  

Sabuk Nusantara 110, Si Penakluk Badai Samudera

Keberadaan kapal perintis ini masih semu di kalangan masyarakat. Cuaca ektstrem menjadi tantangan bagi pengelola. Lalu, bagaimana KM Sabuk Nusantara 110 mengatasi persoalan ini? Berikut wawancara reporter ACEH TRANSit Misqul Syakirah, dengan Pejabat Pembuat Komitmen Subsidi Angkutan Laut Perintis R2 Pangkalan Calang Satker Peningkatan Lalu Lintas Angkutan Laut Pusat, Azwana Amru Harahap, S.E., M.M., Kamis, 29 Agustus 2019. Berikut petikannya. Bisa diceritakan, sejak kapan KMP Sabuk Nusantara 110 resmi beroperasi pada lintasan perintis di Aceh? KMP Sabuk Nusantara 110 resmi beroperasi pada lintasan perintis di Aceh sejak tanggal 28 Mei 2018. Awalnya melayani trayek R2 dengan rute Pelabuhan Calang – Sabang – Malahayati – Sabang – Lhokseumawe – Sabang – Calang – Sinabang – Tapak Tuan – Sinabang – Calang. Bagaimana respon masyarakat terhadap pelayanan pada awal beroperasi? Masyarakat cukup antusias, terutama masyarakat Aceh wilayah barat, khususnya Simeulue. Di samping itu, fasilitas dan pelayanan kapal cukup baik. Hal ini dapat dilihat peningkatan jumlah pengguna jasa kapal. Pencapaian jumlah penumpang terhitung  Mei-Desember 2018, mencapai 12.816 orang  dari Pelabuhan Calang ke Pelabuhan Sinabang (PP). Apa kendala dan hambatan yang dihadapi sehingga rute awal dievaluasi menjadi rute baru (Calang – Sinabang – Meulaboh – Sinabang – Tapaktuan – Sinabang – Calang)? Evaluasi ini dilakukan karena tidak ada penumpang dari wilayah timur yang menggunakan jasa kapal perintis. Selama ± 8 bulan juga tidak adanya aktifitas naik dan turun penumpang maupun barang. Hal ini karena fasilitas transportasi darat di wilayah timur semakin baik, sehingga penumpang lebih memilih transportasi darat. Khusus, trayek Sabang ke Pelabuhan Malahayati, masyarakat mengeluhkan belum  tersedia moda transportasi darat yang mengakses ke/dari Pelabuhan Malahayati menuju pusat kegiatan. Bagaimana dengan load factor baik barang maupun penumpang akhir-akhir ini? Cuaca ekstrem berpengaruh besar terhadap penurunan grafik load factor barang dan penumpang. Terhitung akhir Juli-akhir Agustus 2019, Kapal SN 110 hanya bersandar di Pelabuhan Sinabang dan tidak dapat melakukan aktifitas pelayaran. Rata-rata load factor penumpang sebesar 28,65% dan barang  (didominasi kendaraan penumpang) mencapai 41,48% di setiap ruas pelabuhan singgah dari Voyage 1 s.d. 13. Dengan akumulasi jumlah penumpang sampai dengan voyage 18 mencapai 15.506 orang dan 2.537 unit kenderaan pada Tahun 2019.Load factor ini diprediksikan akan meningkat jika cuaca kondusif. Rencana pengembangan rute angkutan laut perintis di Aceh khususnya homebase Calang? Mungkin, trayek akan mengalami sedikit perubahan pada Tahun 2020. Saya berencana ingin menambah trayek sampai ke Singkil, yang memiliki potensi permintaan cukup besar. Akan tetapi, hal ini juga tergantung dari kajian trayek yang akan dilakukan bersama dengan Dinas Perhubungan Provinsi Aceh. Lalu, apa kendala yang dihadapi oleh nakhoda kapal? Pelabuhan Meulaboh merupakan pelabuhan yang rentan resiko saat disinggahi kapal. Dikarenakan tidak memiliki fender atau dafra dan arus laut yang lumayan kencang.  Menyebabkan kerusakan lambung kapal dan tabrakan tubuh kapal ke dermaga. Hal ini telah disampaikan secara lisan ke syahbandar Meulaboh. Apa saran dan masukan terhadap pengembangan pelabuhan laut di Aceh? Khususnya yang disinggahi oleh Kapal Perintis SN 110, dapat meningkatkan pelayanan pengguna jasa, baik dari segi fasilitas maupun SOP mengenai naik dan turunnya penumpang. Saya berharap sosialisasi tentang keberadaan kapal perintis ini dapat diketahui oleh seluruh masyarakat Aceh sehingga dapat termanfaatkan dengan baik dan sesuai fungsinya serta kita dapat menjaga dan memelihara bersama kapal perintis SN 110. Karena peruntukan kapal ini bagi kemudahan dan keamanan transportasi masyarakat.(*) Versi online dapat diakses pada laman ini https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Malahayati, Feeder Tol Laut untuk Peningkatan Iklim Usaha

Temperatur usaha di Aceh mutlak dilakukan pengaturan dan manajemen yang optimal untuk menjaring investor ke Aceh. Pada sambutan acara Ground Breaking di KIA Ladong pada hari Sabtu (31/08) Plt. Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, menyampaikan bahwa jawaban dari tantangan dan tuntutan kebijakan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dengan salah satu langkah yang dilakukan, membangun Pusat Logistik Berikat (PLB) di Kawasan Industri Aceh (KIA) Ladong, Kabupaten Aceh Besar sebagai upaya pengembangan iklim usaha di Aceh. Upaya mengoptimalkan tol laut Aceh dengan menjadikan Pelabuhan Malahayati sebagai pusat bongkar muat kontainer. Ini merupakan peluang yang harus diambil oleh Aceh dalam mengembangkan potensinya. Potensi pengembangan transportasi ke depannya akan melibatkan kompleksitas moda transportasi. Perusahaan dalam aktivitas ekspor dan impor akan terlibat dengan konsep transportasi yang bersifat multimoda. Multimoda ini memiliki makna penting dalam perpindahan suatu barang dari produsen ke konsumen. Perpindahan barang ini memiliki pola multimoda transportasi. Ada anggapan semisal “saya tidak mau tahu, yang penting barang saya sampai” kedepannya perlu menjadi perhatian khusus bagi rekanan dan pengelola maupun pelaksana transportasi. Demi keamanan, kenyamanan dan kemudahan dalam meningkatkan aktivitas ekspor dan impor, sinergisitas antar pihak perlu diperkuat. Harmonisasi fungsi dan peranan akan menjadi satu peta pemikiran yang menaikkan grafik ekonomi wilayah. Menurutnya, Kehadiran PLB ini nantinya akan sangat bermanfaat bagi aktivitas usaha di Aceh. Dengan adanya pusat logistik ini, perusahaan manufaktur di dalam negeri tidak perlu lagi impor bahan baku, barang modal, atau bahan penolong, karena semua tersedia di sini. Yang menariknya lagi, di pusat logistik ini tidak ada pembatasan supply barang. Dengan kapasitasnya yang besar, berbagai jenis barang bisa disimpan di sini dengan masa simpan bisa mencapai 3 tahun atau lebih. Begitu juga untuk komoditi ekspor, ruang penyimpanannya cukup besar, sehingga eksportir tidak perlu tergesa-gesa mengirim barang. Dengan semua peran itu, dapat dipastikan bahwa kehadiran Pusat Logistik ini akan sangat penting untuk mendukung pergerakan ekonomi di daerah kita. Sinergisitas Pelabuhan dengan KIA Pelabuhan sangat berkaitan erat atau ketergantungan dengan Kawasan Industri. Apabila tidak ada PLB Ladong maka kami (Pelindo I Cabang Malahayati–red) perlu mengambil inisiatif melalui pendekatan pada customer atau stakeholders secara door to door. Di samping itu juga, dengan adanya KIA Ladong ini kami mengharapkan ketersediaan fasilitas fiskal seperti ketersediaan lahan penyimpanan logistik (gudang–red) dan fasilitas lapangan pendukung lainnya. “Jadi, dalam hal ini pelabuhan berperan sebagai pintu masuk atau keluarnya barang produksi sekaligus sarana transportasi. Sinergisitas antara pelabuhan dan KIA berpola lingkaran bersifat Simbiosis Mutualisme (timbal balik–red)” ungkap Sam Arifin Wiwi, General Manager Pelindo I Cabang Malahayati. Menurutnya, Selama ini, yang menjadi kendala yaitu muatan yang tidak mencukupi, buruh terlalu mahal, dan kapal yang tidak bisa sandar saat malam. Hal ini, akan menyebabkan bengkaknya biaya barang. Sehingga, investor menarik diri kembali untuk berinvestasi ke Aceh. Harapan besar, pengembangan kawasan industri mampu menampung logistik dan bahan baku lainnya sebagai tempat penyimpanan. Komoditi yang diproduksi seluruh Aceh juga dapat masuk ke gudang yang telah dipersiapkan di kawasan industri. Nantinya, pengisian kontainer secara langsung tanpa melalui tengkulak. Sehingga akan menekan biaya. Tanggung Jawab Memajukan Aceh Pengembangan fasilitas transportasi dan pengembangan Pusat Logistik Berikat semestinya bersifat holistik (secara menyeluruh–red) tidaklah parsial. Jika berbicara industri, salah satu tugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) adalah memberikan asistensi untuk industri. Ada empat tugas pokok bea cukai yaitu revenue collector (memungut penerimaan negara), community protector (Pengawasan lalu lintas barang dalam rangka melindungi masyarakat dari barang-barang terlarang dan berbahaya), trade fasilitator (memfasilitasi perdagangan luar negeri yang didalamnya terdapat fasilitas fiskal), dan industrial assistance (asistensi industri). Dalam hal ini, Safuadi, Kepala Kanwil Bea Cukai Aceh mengatakan, bagi industri yang akan atau sedang berkembang membutuhkan dukungan pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan. Di sinilah peran bea cukai sebagai industrial assistance memegang peranan penting dalam pemberian fasilitas fiskal berupa Pusat Logistik Berikat, Kawasan Berikat, Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) dan lain-lain. Artinya, bagi orang/pelaku usaha yang telah mendapatkan fasilitas kepabeanan (PLB, KB, maupun KITE dan lain-lain), dapat melakukan pemasukan barang impor dengan mendapatkan fasilitas pembebasan/penangguhan bea masuk, PPN, PPnBM, PPh (Pajak Dalam Rangka Impor). Atas hasil pengolahan barang impor tersebut terutama untuk tujuan ekspor. Menurutnya, PLB merupakan salah satu fasilitas kepabeanan  yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha/industri. Pelaku usaha yang telah mendapatkan izin sebagai PLB dapat menimbun barang impor di PLB selama 3 tahun tanpa harus membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor. Barang-barang yang ditimbun di PLB dapat dipakai untuk  mendukung kegiatan industri dalam negeri atau untuk tujuan ekspor. Hal ini dapat mendorong/memberikan kepastian kepada investor yang akan mengembangkan usaha di Aceh. Selama ini, yang dicari oleh pengusaha yaitu kemudahan di bidang fiskal dan kemudahan transportasi. Dengan adanya kemudahan dalam bentuk pembebasan / penangguhan bea masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) serta transportasi yang mudah dan murah dapat meningkatkan daya saing pengusaha sehingga akan menarik para investor untuk menanamkan investasinya di Aceh Pelabuhan Malahayati merupakan salah satu komponen utama dalam menyukseskan Kawasan Industri Aceh Ladong. Tanpa adanya fasilitas pelabuhan yang baik, sebuah pusat industri tidak akan berkembang secara optimal. Jika transportasi darat, laut dan udara tidak terintegrasi dengan baik maka bisa dipastikan distribusi barang/produk tidak berjalan. Semua produk ujungnya bertujuan pada pemasaran. Ladong tanpa Malahayati bagai tangan bertepuk sebelah, tiada hasil. Kita harus bersiap terhadap revolusi industri yang semakin berkembang. Pelabuhan juga harus siap dengan kondisi industri yang berlari sangat cepat ke depan. Pemerintah, mitra dan masyarakat bersama-sama mengambil perhatian khusus terhadap ketertinggalan kita yang sangat jauh dengan daerah lainnya. Sebagai informasi, perusahaan yang telah melibatkan diri di KIA Ladong sebanyak 5 perusahaan. Ini merupakan angka yang sangat miris dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia yang telah mencapai ribuan investor. “Kita perlu mengambil tanggung jawab ini untuk mendorong Aceh agar dapat berlari lebih cepat, dan kita mesti menggunakan filosofi lari estafet. Kita tidak dapat lagi jika hanya dengan berlari kecil, kita perlu mengekspos kelebihan potensi melalui fasilitas dan sarana yang memudahkan aktivitas industri agar semakin berkembang,” harapnya. (Syakirah) Versi cetak online silakan diakses di laman ini https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Pejalan Kaki

Ketika banyak kepentingan bercampur aduk dan prioritas terlupakan, maka perilaku akan kembali pada kendali “hukum rimba”. Kecenderungan ini terbias pada hakikat kebenaran bahwa “seluruh ruang milik rakyat”. Padahal, negara bertugas untuk memenuhi kebutuhan ruang bagi rakyatnya. Pemanfaatan Ruang sedapat mungkin harus mampu menampung dan mengaspirasikan hak-hak rakyat. Sekaligus, ruang yang diperuntukkan berasas pada kesepahaman dari hakikat membangun karakter bangsa yang epik. Setidaknya, bukan sebatas “Ruang Terbuka Hijau”. Namun, ada apresiasi terhadap ruang komunikasi yang perlu diperhatikan, menciptakan wadah aspirasi pemahaman dan jawaban dari kebingungan masyarakat pada ketersediaan ruang publik untuk keberlangsungan peradaban. Lirik lagu “sepanjang jalan kenangan” kadang kala merasuk jauh hingga ke relung hati. Rasa rindu pada sudut kota, jalanan atau sekaligus rintik hujan menjadi saksi dan memori kisah itu. Gontaian langkah kaki meiramakan satu semangat yang akan diceritakan pada generasi mendatang. Kisah tentang gemerlapnya kota atau teduhnya pedesaan menjadi background nostalgia masa lampau. Banyak kisah lain yang menggambarkan keteduhan jalanan utama kota ini. Layaknya, jalan setapak tanpa rumput membentuk garis tanpa ilusi. Semua terus berubah, hilir mudik kendaraan serta riuhnya penjaja dagangan kian bersahutan. mereka tersingkir jauh ke pinggiran. Semburan asap dari knalpot yang menyeruak bak letusan gunung api mengusir kenangan indah. Perjalanan ini menjadi pengantar cerita cucunya kelak. Dialah, si pejalan kaki, Kemanakah ia? Rentakah ia bersama masa dan budaya? Atau tersingkirkah ia dari kota ini? Pejalan kaki, moda transportasi pertama yang dipelajari oleh umat manusia. seremoni “turun tanah” sebagai awal seseorang diajarkan untuk berjalan sepertinya telah menjadi sesuatu yang sinis. Teori masih mengakui bahwa seseorang yang bepergian dengan berjalan kaki dalam perjalanannya atau paling tidak sebagian dari perjalanannya, disebut juga pejalan kaki. Misalnya, ia sedang berlari, jogging, hiking atau bahkan ketika duduk dan terbaring di jalan. Semua manusia pada hakikatnya adalah pejalan kaki. Aktivitas pergerakan dari rumah ke kantor atau ke suatu tempat tujuan lainnya. Bahkan, mungkin berjalan kaki dalam satu atau beberapa bagian dari perjalanan seperti menuju ke dan dari halte bis. Ironisnya, pejalan kaki kian tersingkirkan dari peradaban transportasi. Anggapan kere atau dari kasta yang rendah merekat erat di bahu mereka, sehingga tidak ada perhatian yang dilakukan untuk memfasilitasi pejalan kaki. Kondisi ini menjadi kritis ketika mengetahui bahwa lebih dari seperlima kematian akibat kecelakaan lalu lintas jalan di seluruh dunia yang mencapai 1,24 juta orang per tahun adalah pejalan kaki (Pedestrian Safety: a road safety manual for decision-makers and practitioners, WHO). Faktor resiko penyebab kecelakaan pejalan kaki dalam melakukan aktivitas transportasi penting untuk dilakukan “intervensi”. Tindakan ini merupakan suatu bentuk perlindungan bagi kenyamanan dan keselamatan pejalan kaki. Para praktisi keselamatan jalan di seluruh dunia, khususnya di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah diharapkan dapat membantu implementasi tindakan-tindakan khusus dalam mencegah kecelakaan lalu lintas jalan, meminimalkan cedera serta mengevaluasi dampak. Apakah Intervensi untuk mencegah kecelakaan pejalan kaki menjadi bagian dari subsidi untuk menjaga ruang gerak bagi rakyat. Namun, mendukung pengembangan kapasitas nasional dan kerjasama internasional untuk perlindungan pejalan kaki harus menjadi agenda. ada sudut pandang segelintir pemikiran, “Subsidi ini bebannya negara”. Atau kita akan mengutip bayaran kepada pejalan kaki. Tak belari jauh dari intervensi, subsidi, negara, masyarakat dan seluruh unsur yang berpijak di atas tanah ini memiliki peranan penting dalam setiap denyut nadi negara ini. Mengambil peran dalam porsinya, dengan dalih insentif atau disinsentif. Pendapat umum bahwa subsidi seperti mutiara di laut dalam yang hanya tersentuh oleh mereka yang punya koneksi menembus dalamnya palung. Pelayanan seadanya, infrastruktur seadanya. Toh, tak perlu bersusah payah, untung ruginya tidak terkait dengan kualitas pelayanan. Ruang pergerakan selama ini dilirik sekilas oleh penyedia transportasi khususnya perintis. Faktanya, prinsip utama transportasi terabaikan. Pelayanan transportasi bersifat lebih kaku dan searah. Jadwal dan upaya pelayanan bergulir sebagaimana maunya bukan sebagaimana mestinya. Ala kadar, tanpa berbuat baik pun mereka tak akan “menggulung tikar”. kelihatannya, masyarakat tak mengeluh dengan itu. Yah, nyaman saja, asal mereka sampai ke tujuan walaupun dengan segala keterbatasan yang ada. Subsidi pada hakikatnya merupakan instrumen fiskal yang bertujuan untuk memastikan terlaksananya peran negara dalam aktivitas ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata. Seperti halnya, subsidi pada sektor angkutan umum diperuntukkan agar masyarakat dapat mengakses wilayah dengan aman, cepat, dan nyaman sebagai ideologi dasar transportasi. Sekarang, sejauh mana subsidi telah menyentuh persoalan ekonomi rakyat menjadi lebih berdaya dan tidak sedang “membelah bambu”. Subsidi menjadi surga bagi segelintir dan neraka bagi sebagian lainnya. Ironis, ya, sangat disayangkan! Subsidi tertopang hanya pada sebelah tongkat. Terpingkal-pingkal dan tertatih-tatih beranjak kepada “si tuan punya badan”. Implementasi subsidi transportasi juga merupakan wujud peruntukan dalam membuka ruang publik atau ruang pergerakan masyarakat. Keterbukaan ruang ini sebagai wadah masyarakat dalam mengaspirasikan kehendaknya. Kita tidak dapat menghentikan perkembangan moda transportasi yang semakin canggih. Tetap saja, berjalan kaki adalah fitrahnya manusia. Sejauh mana hak pejalan kaki akan tetap dihargai? Pemerintah perlu instrospeksi agar memiliki sikap yang tegas untuk memberi prioritas kepada pejalan kaki termasuk memberi rasa aman terhadap terjadinya kecelakaan dan keberpihakan pada polusi lingkungan. Junaidi, S.T., M.T. Tulisan versi cetak online dapat diakses pada laman ini https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Hari Perhubungan Nasional Tempo Doeloe

Setiap Tanggal 17 September insan Perhubungan di seluruh Indonesia memperingati Hari Perhubungan Nasional atau biasa disingkat dengan Harhubnas. Tahukah Anda tentang Harhubnas? Pada awalnya, setiap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor Perhubungan memiliki hari jadi atau hari bakti masing-masing yang waktunya relatif berdekatan. Hal ini seringkali menyebabkan tidak efisien dari segi waktu dan biaya. Hingga pada Tahun 1971, pemerintah menyatukan hari jadi atau hari bakti BUMN yang terkait dengan sektor perhubungan. Sejak itulah, Harhubnas diperingati setiap tanggal 17 September. Peringatan Harhubnas memiliki 3 tujuan utama yaitu: Meningkatkan rasa kebersamaan dan jiwa korsa warga Perhubungan serta dengan mitra kerja jasa Perhubungan; Meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab untuk selalu ikut membudayakan peningkatan pelayanan yang lebih baik; Meningkatkan penghayatan dan pengamalan 5 citra manusia Perhubungan. Singkatnya, Harhubnas merupakan sarana bagi insan perhubungan instropeksi diri. Dua manfaat terciptanya apresiasi positif insan perhubungan dimaknai sebagai momentum terhadap kinerja dalam meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat. Sejarah Dinas Perhubungan Aceh Kanwil Departemen Perhubungan Propinsi Daerah Istimewa Aceh pertama kali dipimpin oleh Drs Soefrien Sjoekoer. Tugas pokok dan fungsi dari Kanwil Departemen Perhubungan Propinsi DI Aceh meliputi pembinaan, pengaturan, perencanaan dan pengawasan sub sektor perhubungan darat, laut dan udara serta pengelolaan Bandar Udara dan Pelabuhan Laut. Saat Otonomi Daerah diberlakukan pada Tahun 2000, Kanwil Departemen Perhubungan Propinsi DI Aceh yang tunduk kepada Menteri Perhubungan, berubah namanya menjadi Dinas Perhubungan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan tunduk kepada Gubernur. Di Aceh, Peringatan Hari Perhubungan dari masa ke masa sangatlah beragam dan bervariasi. Pada masa Kanwil Departeman, upacara peringatan Harhubnas dilaksanakan di berbagai tempat, seperti di Bandara Sultan Iskandar Muda (dahulu Bandara Blang Bintang) dan di Pelabuhan Malahayati. Sedangkan acara puncaknya digelar di Malahayati untuk meningkatkan kebersamaan antara keluarga basar Kanwil Departeman pada masa itu. Serba serbi Harhubnas juga dimeriahkan dengan adanya perlombaan-perlombaan di cabang olahraga seperti badminton, volley, dan catur yang diikuti oleh seluruh pegawai. Selain itu juga dilaksanakan jalan santai bersama keluarga besar Kanwil Departemen. “Dahulu upacara Harhubnas diadakan di bandara Blang Bintang, karena dahulu penerbangan hanya ada satu kali dalam seminggu, jadi tidak menganggu aktivitas di bandara tersebut,” ungkap Auli Amri, pegawai eks Kanwil Departemen Perhubungan Aceh. Salah satu pensiunan dari eks Kanwil juga mengatakan kalau upacara Harhubnas dahulu hanya dihadiri oleh pegawai Kanwil Perhubungan saja. “Untuk mempererat tali silahturahmi, para pensiunan baiknya diikutsertakan dalam acara meriahnya Hari Perhubungan,” ujarnya berharap. Harhubnas juga harus menjadi momentum segenap insan Perhubungan untuk terus berkarya dan bekerja bersama membangun bangsa. Hal yang perlu jadi refleksi dalam peringatan Harhubnas adalah pentingnya konsistensi pada spektrum keselamatan (safety) dan pelayanan (service and hospitality). Melalui peringatan Harhubnas, kita harapkan kebersamaan dari waktu ke waktu bisa terjalin antara seluruh jajaran perhubungan untuk memperbaiki kinerja dalam menciptakan pelayanan transportasi sesuai yang diharapkan. (DW)

Krueng Aceh, Histori dan Potensi

Bakhtiar sedang memperbaiki boat miliknya. Di tepi Krueng (sungai) Aceh di kawasan Lambhuk Banda Aceh, Bakhtiar dan beberapa rekannya sedang bersiap menuju lautan. Beberapa temannya sibuk membantu Bakhtiar memastikan boat siap berlayar. Hari itu, Kamis (4/7/2019) aliran sungai Krueng Aceh nampak tenang. Cerahnya cuaca menambah keyakinan Bakhtiar menyalurkan hobinya memancing ikan dengan kapal. Hobi ini telah lama digelutinya, di sela rehat dari pekerjaan harian. Kedatangan ACEH TRANSit bukan tanpa maksud, melainkan sebagai wujud menyerap aspirasi warga, terkait wacana dan upaya pemerintah menjadikan Krueng Aceh sebagai angkutan sungai. Selama ini, setiap Sabtu pagi Bakhtiar berlayar dari Krueng Aceh, tepatnya dari Gampong Lambhuk menuju laut lepas. Ia kembali keesokannya (hari Minggu). Pun demikian, di hari-hari lain, bila cuaca mendukung, Bakhtiar tetap berlayar memancing ikan. Hobi positifnya ini patut diapresiasi. Bakhtiar dan teman-temannya menyambut baik Saat ACEH TRANSit menanyakan pendapat mereka jika Krueng Aceh ini dijadikan sebagai angkutan sungai di bawah pengelolaan pemerintah. Mereka tambah bersemangat jika tidak hanya sebagai angkutan barang dan orang, tapi angkutan sungai itu juga menjadi destinasi wisata baru di Kuta Raja. “Kami mendukung, saya siap membeli boat fiber yang lebih besar lagi untuk mendukung pariwisata. Ya, kami berharap juga diberdayakan pemerintah,” ujar warga Lambhuk ini. Pria yang kesehariannya berprofesi sebagai pengusaha ini, berharap dibangunnya dermaga tempat bersandar kapal. Misalnya di tempat-tempat strategis, sekaligus menjadi tempat transit pengguna angkutan sungai. “Cocoknya dibangun dekat dengan masjid Keuchik Leumik, di Pango, dan Peunanyong.” Posisi dibangunnya dermaga ini, kata Bakhtiar sesuai dengan kebutuhan. Dekat masjid memudahkan warga yang ingin beribadah. Jika di Pango, membantu warga yang ingin belanja ke pasar Peunayong ataupun ke pasar Lambaro. Sementara itu, dermaga di Peunayong dapat dibangun berdekatan dengan pusat jajanan dan kuliner di kawasan tersebut. Dalam kesempatan itu, Bakhtiar menyampaikan kendala yang dia hadapi selama ini, yaitu kapalnya sering terhalang tumpukan sampah di bawah jembatan Beurawe. Ketinggian jembatan juga mempengaruhi, sebab itu kapal disesuaikan dengan ketinggian jembatan. Jadinya, bila tiba air pasang, mereka tidak bisa melewati bawah jembatan. “Di bawah jembatan itu harus dibersihkan, agar tidak merusak fiber kapal. Selain itu, kebersihan pinggiran sungai perlu diperhatikan,” sebutnya sambil menunjuk ke arah jembatan. Sejalan dengan wacana pemerintah, Bakhtiar optimis jika nantinya sudah bersih, destinasi pariwisata ini terjaga dengan baik. Pun demikian, kata Bakhtiar, warga harus selalu diberi pemahaman untuk ikut andil berpartisipasi menjaga kebersihan sungai. Tentu dengan tidak menjadikan sungai sebagai tempat sampah. Bakhtiar menyarankan agar batas wilayah jalur angkutan sungai turut pula diperhatikan. Belakangan, katanya, yang layak dilewati kapal hanya sampai jembatan Pango. Setelahnya, hingga ke Lambaro banyak kayu yang berserakan. Dia menyebut sudah pernah melakukan survei ke kawasan itu. Bakhtiar menyarankan agar pemerintah tetap berkoordinasi dengan pawang laot setempat. Apalagi, bila angkutan sungai ini tidak hanya menyasar angkutan barang, namun merambah pula angkutan orang. Misalnya untuk jalur lintasan Pango hingga Peunayong. “Sebaiknya berdiskusi juga dengan pawang laot. Artinya kita minta izin. Sekaligus silaturahmi agar lintas sektor terus harmonis,” pungkas Bakhtiar menyudahi pembicaraan menjelang siang itu. Tahun lalu (11/02/2018), akun instagram resmi @dishub_aceh pernah menampung opini warga net terkait transportasi sungai di ibukota Provinsi Aceh. Beragam komentar warga net rata-rata menyambut positif wacana ini. Beberapa respon ini seperti diungkapkan pengikut setia akun Instagram @dishub_aceh. “Boleh min, tapi juga diperhatikan kebersihan airnya baik dari sampah ataupun kejernihannya. Kalau saya gak salah sudah ada teknologi penjernih air.” (@erlangga.dwi.pamungkas) “Setuju. Bagus yang penting sesuai dengan rencana dan buktikan saja untuk membangun Kota Banda Aceh agar lebih banyak peminatnya untuk pariwisata.” (@ameliyadarma) “Untuk wisata ini bagus dikembangkan, bisa nanti ikutin kota besar Indonesia lainnya semisal buat pasa rapung di Lambhuk atau Pango dan lain-lain. Namun untuk konektvitas antar daerah lebih mudah dengan jalan raya.” (@ahmadi_znd) Mengutip laman bandaacehtourism.com, sungai kebanggaaan warga ibukota ini memiliki panjang 145 kilometer terbentang dari hulu Krueng Aceh di Jantho, Aceh Besar. Muaranya hingga ke pesisir kota Banda Aceh, tepatnya di Gampong Jawa. Beberapa sungai lainnya di Banda Aceh dan Aceh Besar bermuara ke sungai ini, seperti Krueng Seulimum, Krueng Jreue, Krueng Keumireu, Krueng Inong, Krueng Leungpaga, dan Krueng Daroy. Pada masa Kerajaan Aceh Darussalam, Krueng Aceh sebagai salah satu sungai tersibuk. Hal ini dilihat dari jalur masuk dan keluar kapal-kapal dagang dari berbagai belahan dunia. Dari sungai inilah berbagai rempah-rempah Aceh dibawa keluar untuk diperdagangkan di ranah internasional. Tak heran bila sungai yang membelah Kota Banda Aceh ini memiliki arti khusus bagi masyarakat Aceh. Muhammad, warga Lambhuk kepada ACEH TRANSit Selasa (2/7/2019) menyebut, posisi Krueng Aceh di kawasan Lambhuk dan Beurawe tidaklah lurus seperti sekarang. Awalnya meliuk-liuk khasnya sebuah sungai. Atas inisiatif pemerintah pusat dan daerah di masa itu, dibuatlah alur sungai menjadi lebih rapi. Tentu, ini menjadi bonus saat Krueng Aceh nantinya menjadi angkutan sungai. Sambutan positif Bakhtiar dan rekan-rekannya ditambah opini warganet, menjadi semangat pemerintah untuk segera mengelola angkutan sungai. Optimisme bersama ini sudah sangat baik untuk terus dibangun. Agar kedepannya konektivitas dan sinergisitas pemerintah dengan warga selalu berjalan dengan baik. Artinya, ikhtiar ini perlu dukungan semua pihak demi visi Aceh Seumeugot berjalan seperti yang diharapkan.(Muarrief) Versi cetak online silakan diakses di laman ini https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

DAMRI, MELAYANI HINGGA PELOSOK

Udara sejuk pagi masih begitu terasa. Rona mentari pagi mulai menerangi kompleks terminal Keudah Banda Aceh. Tak lama menunggu di terimal, bus yang saya tunggu pun datang. Pagi itu, Selasa (5/8/2019) saya ingin menjajal pengalaman naik bus Damri menuju Peukan Biluy, Aceh Besar. Rute tersebut adalah salah satu rute angkutan jalan perintis di Provinsi Aceh Tahun 2019 yang operasionalnya dilaksanakan oleh Perum Damri Cabang Banda Aceh. Bus Damri berukuran sedang ini tiba sesuai jadwal yang saya terima dari karyawan Damri, yaitu pukul 06.30 WIB. Saya bergegas naik dan menjumpai sopir bus untuk menyampaikan tujuan, yaitu ingin menikmati pengalaman menggunakan bus Damri ke Peukan Biluy. Tak ada penumpang lain yang naik. Tapi sang sopir, Iskandar yang akrab disapa Bang Is mulai melajukan bus dengan santai. Ia berangkat sesuai jadwal. Saya langsung merasa nyaman dan menikmati suasana di dalam bus. Selain busnya nyaman, sikap ramah awak bus pun membuat suasana semakin akrab. Begitu bus melewati Simbun Sibreh hingga Simpang Surabaya, pemandangan pagi hari khas ibu kota menarik perhatian saya. Jalan raya dipenuhi kendaraan para abdi negara, mahasiswa, dan pelajar yang berduyun-duyun menuju tempat aktivitas masing-masing. Terbayang dalam benak saya, kondisi lalu lintas akan lebih baik jika mereka menggunakan bus seperti yang saya tumpangi. Selama perjalanan saya sengaja sesekali bertanya dan berbincang dengan Bang Is, pria kelahiran Aceh Besar. Mulai dari jadwal keberangkatan, rute, dan kondisi selama angkutan perintis ini beroperasi. Ia menjelaskan, bus Damri perintis yang disopirinya beroperasi setiap hari, pukul 06.30 WIB dan pukul 10.00 WIB (PP) dengan rute Terminal Keudah – Peukan Biluy. “Selama ini memang minat masyarakat untuk menggunakan bus Damri masih minim. Masih banyak masyarakat yang belum tahu. Padahal bus Damri ini sangat nyaman jika ibu-ibu mau ke Pasar Aceh atau anak-anak ke sekolah, karena dilengkapi AC,” jelas Bang Is penuh semangat. Sejauh pantauan saya, penjelasan tersebut memang benar adanya. Hanya saya seorang diri penumpang di bus berkapasitas 26 orang itu. Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 30 menit, bus tiba di tujuan, yaitu di Desa Lamkrak. Bang Is langsung memutar haluan bus dan parkir sejenak. Setelah menunggu sekitar 10 menit, Bang Is mulai melajukan busnya, kembali ke Terminal Keudah. Saya tidak turun, karena memang ingin menjajal pengalaman naik bus Damri perintis ini. Ketika melewati jalan Peukan Biluy – Lampeunurut yang sedang dalam tahap pengerjaan karena kondisi jalan rusak, saya masih merasa nyaman berada di dalam bus. Saya terhindar dari debu yang menjadi keluhan setiap pengendara bila ada pengerjaan jalan. Ada satu hal yang membuat saya merasa pelayanan yang disubsidi oleh Pemerintah ini sangat tersia-siakan. Saya melihat banyak pelajar yang diantar oleh orang tua ke sekolah. Sebenarnya mereka dapat memanfaatkan fasilitas bus Damri ini. Apalagi rutenya melewati beberapa sekolah, sebut saja seperti MIN Cot Gue Aceh Besar, MTSN Cot Gue Aceh Besar, MAN Cot Gue Aceh Besar, dan SMA Negeri 1 Darul Imarah Aceh Besar . What the individual resembles on a phony id. Also, what they feel like when they have genuine phony id card with multi dimensional image. Fostering an ideal phony character, for your own entertainment or business needs to require the right experts to purchase counterfeit id cards and make excellent unique plans with unique multi dimensional images and security highlights and standardized tags to make your new best fake id visit now Apalagi bus mulai beroperasi sebelum jam sekolah dimulai. Selain aman dan nyaman bagi anak-anak, pembiasaan naik angkutan umum sejak dini kepada anak-anak sudah seharusnya dilakukan. Ibu-ibu juga sangat terbantu jika ingin ke Pasar Aceh, karena penumpang dapat naik dan turun di mana saja. Jika ingin pergi ke tempat lain di luar rute yang dilayani, penumpang dapat turun di halte Trans Koetaradja, lalu melanjutkan perjalanan ke tempat yang dituju menggunakan bus Trans Koetaradja. Tidak cuma itu, ongkosnya pun sangat murah. Hanya dengan membayar Rp. 2.000 saja, saya dapat menikmati perjalanan menggunakan bus Damri sepanjang rute yang dilalui. Sudah nyaman, aman, awak busnya ramah, dan yang paling penting murah. Ayo naik bus Damri perintis. Tentang Angkutan Jalan Perintis Kementerian Perhubungan RI melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Darat telah menetapkan 370 jaringan trayek angkutan jalan perintis pada Tahun 2019 yang beroperasi di seluruh Indonesia. Angkutan Jalan Perintis adalah angkutan yang melayani daerah terpencil, terdalam, terisolir, dan tertinggal, dimana di daerah tersebut belum tersedia sarana angkutan yang memadai dengan tarif yang terjangkau. Perum Damri yang ditunjuk selaku operator angkutan jalan perintis menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam rangka menyediakan angkutan kepada seluruh masyarakat pedalaman. (AM)

KMP. ACEH HEBAT, NAMA KAPAL BARU PEMERINTAH ACEH

Pelaksana Tugas Gubernur Aceh, Ir. Nova Iriansyah, MT., tabalkan “Aceh Hebat” sebagai nama ketiga kapal ferry Ro-Ro milik Pemerintah Aceh, Senin 21 Oktober 2019. Penabalan nama tersebut dilaksanakan saat menghadiri acara peletakan lunas (keel laying) pembangunan 3 kapal ro-ro yang dipusatkan di salah satu galangan kapal,  PT. Adiluhung Saranasegara Indonesia, Madura, Jawa Timur. Acara peletakan lunas (keel laying) untuk ketiga kapal ro-ro pesanan Pemerintah Aceh ini dilaksanakan secara terpadu yang dipusatkan di Bangkalan, Madura. Keel laying merupakan tahapan awal dari pembangunan kapal yang dianggap sebagai hari kelahiran kapal baru. Saat memberi sambutan Nova menyampaikan, pembangunan 3 unit kapal ro-ro untuk meningkatkan konektivitas antar kepulauan yang merupakan program prioritas Pemerintah Aceh. “Dari 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh, 18 Kabupaten/kota di antaranya berbatasan langsung dengan laut,” kata Nova. Dikatakan Nova, pembangunan keel laying ini menandakan pembangunan kapal-kapal ini segera diintensfikan. Nova juga menambahkan, peningkatan konektivitas antar kepulauan selaras dengan program Presiden Joko Widodo dalam mengoptimalkan sektor kemaritiman Indonesia. “Optimalisasi sumber daya Aceh di sektor kelautan mutlak harus ditingkatkan sebagai bagian dari pembangunan bangsa,” jelasnya. Usai memberi sambutan, Nova menandatangani plakat keel laying dan menabalkan nama pada ketiga kapal ro-ro sebagai tanda keel laying, yaitu; ACEH HEBAT 1 untuk kapal berkapasitas 1.300 GT; ACEH HEBAT 2 untuk kapal berkapasitas 1.100 GT; dan ACEH HEBAT 3 untuk kapal 600 GT. Nama yang diberikan ini adalah tagline dan manifestasi dari visi misi Pemerintah Aceh 2017-2022. “Harapan kami, penabalan nama ini dapat memacu semangat kami untuk benar-benar mewujudkan visi misi Aceh Hebat,” ungkap Nova dengan semangat. Kepala Dinas Perhubungan Aceh Junaidi, ST, MT., dalam laporannya menjelaskan bahwa anggaran pembangunan ketiga kapal ro-ro bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) Tahun 2019 dan 2020. “Pembangunan ketiga kapal ini diharapkan dapat diselesaikan tepat waktu pada akhir tahun 2020 sesuai kontrak yang telah disepakati,” tegas Junaidi. Acara ini turut dihadiri Direktur Transportasi SDP, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan RI, Ir. Sri Hardianto, S.T., MM.Tr, Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, Irdam, SH, MH., serta para pimpinan perusahaan pelaksana pembangunan Kapal dan pengawasannya. Adapun rincian pembangunan 3 unit kapal ro-ro milik Pemerintah Aceh diantaranya; Kapal ro-ro tipe 1.300 GT untuk lintasan Pantai Barat – Simeulue berkapasitas 250 penumpang dan 33 unit kendaraan campuran, dilaksanakan oleh PT. Multi Ocean Shipyard di Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau. Kapal Ro-ro tipe 1.100 GT untuk lintasan Ulee Lheue – Balohan berkapasitas 252 penumpang dan 26 unit kendaraan campuran, dilaksanakan oleh PT. Adiluhung Saranasegara Indonesia di Bangkalan, Madura. Kapal Ro-ro tipe 600 GT untuk lintasan Singkil – Pulau Banyak berkapasitas 212 penumpang dan 21 unit kendaraan campuran, dilaksanakan oleh PT. Citra Bahari Shipyard di Tegal, Jawa Tengah.

Peunaso, Jembatan Baru ke Pulo Aceh

Pagi Senin, pukul delapan, udara masih segar. Dermaga penyeberangan kapal cepat pelabuhan Ulee Lheue mulai ramai dengan canda beberapa petugas medis. Mereka berbaur dengan masyarakat dan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bertugas di Pulo Breuh yang terletak di kawasan Pulo Aceh Kabupaten Aceh Besar. Pagi itu, 29 April 2019, Pemerintah Kabupaten Aceh Besar mulai meresmikan pengoperasian sarana transportasi laut antar pulau, yaitu kapal bernama Peunaso. Kapal berjenis speedboat dan berkapasitas 24 penumpang ini diharapkan bisa menghubungkan Banda Aceh dan beberapa kawasan di Pulo Aceh, dengan waktu yang lebih singkat. “Dari pelabuhan Ulee Lheue ke dermaga Lampuyang bisa ditempuh dengan waktu cuma tiga puluh menit dengan kecepatan jelajah 20 knot,” ujar Kapten Kapal Peunaso Rudi Suryanto yang bertugas hari itu. Gelak tawa dan canda penumpang, kebetulan semuanya petugas medis, memenuhi geladak kapal berkapasitas 24 orang. Hembusan angin dari pengatur udara (AC) membuat perjalanan semakin nyaman. Tidak terasa, dalam 30 menit kapal sudah berlabuh di dermaga Lampuyang di Pulo Aceh. Sesampai Pulo Breuh, para petugas medis yang bertugas di pulau itu langsung berbaur dengan masyarakat setempat, bercanda sambil ngopi di warung dekat dermaga. Mereka menunggu angkutan darat yang biasa membawa mereka ke tempat tugas di Puskesmas. Sayangnya, kecepatan waktu tempuh sarana laut saat ini, belum diimbangi fasilitas angkutan darat di Pulo Breuh. Satu-satunya kendaraan di pulau itu hanyalah ambulans milik Puskesmas tempat mereka mengabdi. Sambil menunggu jemputan ambulans tersebut, beberapa petugas medis yang mayoritas wanita, ada juga ibu-ibu yang sedang menyusui anaknya, mengisi waktu dengan sarapan dan canda tawa. Iseng saya bertanya, “Kalau tidak ada yang jemput bagaimana?” Mereka serempak menjawab “Yah, kami balik lagi ke Banda Aceh menggunakan kapal yang sama. Kami akrab dengan Kapten Rudi, kami ajak balik ke Ulee Lheue lagi,” ujar mereka serempak dalam riuh canda. Jika dihitung dari waktu, perjalanan yang ditempuh oleh pengguna jasa transportasi ini dimulai pada pukul 08.00 WIB dari Ulee Lheue. Mereka tiba di Lampuyang 08.30 WIB. Namun, baru bisa masuk kantor bertugas pukul 10.00 WIB. Sedangkan pukul 13.00 WIB, mereka sudah berkumpul lagi ke dermaga untuk berangkat pulang ke Banda Aceh pada pukul 14.00 WIB. Namun, untuk sementara ini, Kapal Peunaso, fasilitas penyeberangan milik Pemerintah Kabupaten Aceh Besar sebagai sarana konektivitas antarpulau ini, cuma beroperasi pada setiap hari Senin saja. Sementara pada hari lain, masih menggunakan perahu nelayan. Sehingga praktis aktifitas kegiatan perkantoran dan arus bolak balik petugas medis dan ASN yang bertugas di pulau itu cuma hari Senin saja. (Syahisa)   Tanggapan Kepala Dinas Perhubungan Aceh Besar, Azhari, S.E. Pengadaan speedboat Peunaso ditujukan untuk siapa? Peunaso adalah fasilitas pelayanan yang diberikan oleh Pemkab Aceh Besar untuk tenaga kesehatan dan pendidikan yang bertugas di Pulo Aceh. Karena tenaga kesehatan dan pendidikan di Pulo Aceh ini mereka ada yang pulang pergi. Kapan Peunaso beroperasi? Speedboat Peunaso berangkat setiap Senin pagi pada jam 07.30 WIB dari Pelabuhan Ulee Lheue dan pulang lagi ke Banda Aceh pada jam 15.00 WIB Apakah masyarakat biasa boleh menggunakan Peunaso? Apabila ada seat lebih di hari senin tersebut, masyarakat boleh ikut menggunakan speedboat Peunasoe dan gratis. Tapi prioritas seat tetap untuk ASN. Apakah Peunaso juga mengangkut barang? Tidak. Karena ini speedboat tentu kita sangat terbatas untuk barang. Jadi kita prioritas hanya untuk penumpang. Kalau barang mungkin masih bisa menggunakan boat masyarakat seperti biasa. Mengapa di hari lain tidak beroperasi dan dibuka untuk umum? Untuk saat ini kita belum bisa mengoperasikan untuk umum. Dikarenakan belum keluar Peraturan Bupati (Perbub). Apalagi ketika sudah dioperasikan untuk umum otomatis berbayar dan itu perlu mekanisme yang jelas karena sudah menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh Besar. Jadi apa rencana kedepan Dishub Aceh Besar untuk Peunaso? Rencananya kita akan operasikan Peunaso ini secara regular dan saat ini sedang dalam penyusunan Perbup Tahun 2019. Speedboat Peunaso sudah memiliki izin berlayar, dan sekarang sedang proses pengurusan izin trayek. Walaupun nanti sudah beroperasi untuk umum, kita tetap prioritaskan hari Senin bagi ASN yang bertugas di Pulo Aceh. (Amsal) Edisi cetak online silakan dibaca di laman ini https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Membangun Pelayanan Transportasi yang Adil

Adil bukan suatu kata yang bermakna sama rata atau rasio pembagian yang sama pada setiap individual. Namun, adil merupakan rasio pembagian atau pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan kewajiban individual di atas hak yang dimilikinya. Polemik keadilan belakangan ini menjadi suatu perbincangan hangat di dalam masyarakat. Polemik tersebut mengarah terhadap pembangunan maupun pelayanan satu arah, yakni arah pembangunan dan pelayanan yang hanya fokus pada wilayah perkotaan. Perkembangan transportasi perkotaan yang pesat tidak berjalan beriringan dengan transportasi wilayah pelosok yang sedikit jauh tertinggal. Fenomena ini dapat dilihat pada pelayanan transportasi yang belum merata hingga bagian dalam pedesaan. Hal ini membuat masyarakat desa mengalami kesulitan dalam mengakses angkutan umum. Mereka harus berjalan kaki beberapa kilometer agar dapat menikmati angkutan umum sehingga upaya penghematan waktu tempuh pun tidak tercapai dengan kebiasaan yang demikian. Dalam hal ini, perencanaan pembangunan transportasi Aceh merujuk pada prinsip keadilan dan kemandirian. Kedua prinsip tersebut akan terwujud apabila adanya pelayanan transportasi yang memadai yang akan berimbas pada semua sektor lainnya. Pada hakikatnya, pembangunan bidang transportasi saat ini merupakan salah satu upaya yang paling tepat dalam pengembangan keterpaduan sektor ekonomi, pendidikan, kesehatan, pariwisata, dan sosial budaya. Aksesibilitas terhadap pelayanan transportasi memberi ketegasan terhadap kualitas dan keterjangkauan dari prasarana dan sarana yang ada. Kualitas pelayanan transportasi yang baik akan memberikan kepuasan yang tinggi pula terhadap pelayanan sehingga mereka akan kembali menggunakan transportasi umum yang cepat, efisien, dan tepat. Dengan demikian, keterjangkauan tersebut terus ditingkatkan agar dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pemerintah Aceh terus berupaya untuk mencapai cita-cita transportasi yang merata hingga setiap wilayah. Cita-cita tersebut dapat diwujudkan dengan cara mengembangkan pelayanan transportasi yang merata. Garis-garis integrasi terus dipadupadankan agar pelayanan tersebut dapat mencapai tingkatan di mana masyarakat dengan mudahnya mengakses pelayanan transportasi dari pelosok hingga pusat kegiatan yang dituju. Tatanan transportasi terus ditata melalui sistem keberlanjutan. Keberlanjutan di sini juga memiliki arti pemeliharaan prasarana sehingga umur pemanfaatan lebih awet dari perkiraan dan pengendalian risiko (mitigasi) yang akan terjadi dari segala aspek sehingga dapat disusun suatu kebijakan yang cepat, tanggap, dan tepat. Pelaksanaan keberlanjutan juga mengukur tingkat kesadaraan pemeliharaan dan kepemilikan prasarana bagi semua kalangan baik dari tingkatan pemerintah hingga masyarakat penerima manfaat. Dari segi regulasi, Pemerintah juga terus berupaya untuk menghindari timbulnya kesenjangan antar wilayah koridor transportasi dan sektor pendukung lainnya, maka pembangunan daerah tertinggal terus ditingkatkan dengan penciptaan transportasi lokal ke wilayah pertumbuhan dan percepatan pemenuhan infrastruktur serta fasilitas keselamatan. Di sisi lain, percepatan pengembangan konektivitas dan pelayanan publik terus dupayakan dan dijadikan sebagai program strategis pemerintah daerah. (Syakirah) Versi cetak online sila unduh di laman ini https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/