Dishub

Kendaraan Listrik, Keberpihakan pada Lingkungan

Gesekan ban pesawat begitu kentara menyentuh daratan. Rona mentari siang nan indah menyambut kedatangan kami di Bandara Juanda Surabaya, Selasa 4 Juli 2019. Dari bandara perjalanan kami lanjutkan dengan mobil. Pepohonan rindang menutupi jalanan hitam di tengah kota. Hingga sampai di pagar setengah bundaran bertulis “Institut Teknologi Sepuluh November”. Di sinilah tujuan kami kali ini. Daya tarik inovasi yang diciptakan mengundang hasrat ingin tahu. Yah, mobil listrik yang telah digaungkan ke seantero negeri. Sang roda empat yang ramah lingkungan. Motor penggerak yang telah mengalungkan sepuluh hak paten. Pada hari itu Transit berkesempatan diskusi di Gedung Riset Mobil Listrik Institut Teknologi Sepuluh November (ITS). Kami disambut oleh manager Reseach and Development (R&D), Dr. Dimas Anton Asfani, S.T., M.T., dan tim mobil listrik lainnya. Dalam sebuah ruangan persegi bercat putih, susunan kursi bermodel L diatur rapi memenuhi ruangan. Meja hanya ditempatkan pada barisan depan serta filling cabinet yang berjejer menghimpit dinding. Perbincangan mengalir secara alami dan hangat diselimuti canda tawa. “Mungkin sebelum kita mengobrol lebih lanjut, ada baiknya saya perkenalkan tim terlebih dulu, kan, kalau tak kenal maka kita kenalan,” Dr. Dimas Anton Asfani membuka pembicaraan. Suara tawa menyeruak ke seantero ruang tersebut. “Langsung saja, saya sendiri Anton, Dosen Teknik Elektro yang mendampingi tim ini juga. Di sini juga hadir tim teknis mobil listrik kita, Mas Uta, Mbak Santi, dan Mas Ari yang setiap harinya bergelut dengan barang-barang ini,” ujar Dosen Teknik Elektro tersebut. Pada awal diskusi tersebut, Deddy Lesmana, Kepala Bidang Pengembangan Sistem dan Multimoda menyampaikan bahwa tujuan utama kunjungan ini untuk menjajaki kerja sama antara Pemerintah Aceh dan Institut Teknologi Sepuluh November. Terkait mekanisme dan prosedur kesepahaman ini sangat membutuhkan arahan dari tim mobil listrik ITS. Kerja sama ini didasari terhadap kebutuhan pengembangan feeder angkutan massal Ibukota Provinsi Aceh. Pengembangan ini mengarah kepada penggunaan bus listrik. Tahap awal operasinal feeder ini direncanakan di kawasan kampus Darussalam (Unsyiah dan UIN Ar-Raniry–red). Rencana ini juga bercermin pada inovasi ITS dalam menggarap bus listrik sebagai transportasi kampus serta mendukung gagasan Eco-City. Lebih lanjut, Renny Anggeraeni Robin, Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan Teknologi menerangkan dibutuhkan pembelajaran juga dalam tahapan pengadaan bus listrik ini. Dimana kerjasama ini juga merupakan kegiatan jangka panjang. Merujuk kembali juga Unsyiah sudah pernah bekerja sama dengan ITS sebelumnya. Menanggapi hal tersebut, Dr. Dimas Anton Asfani menerangkan secara umum, MoU yang dilakukan langsung berada di bawah naungan ITS dan Pemerintah Aceh. “Mungkin sedikit belajar dari pengalaman, mengingat MoU ini jangka panjang. Sedikit kendala dalam pengaplikasian prototipe yang memakan waktu relatif lama. Sehingga, kebutuhan konsumen belum dapat diproduksi sesegera mungkin (dalam waktu cepat-red),” ujarnya. Mengenai hal teknis lainnya, Yoga Uta Nugraha, Ketua Engineer Tim ITS yang merancang sistem penggerak ini menjelaskan, pengembangan yang dilakukan langsung di worskhop (Gedung Riset Mobil Listrik –red) lebih fokus terhadap komponen penggerak seperti dinamo, baterai, pengatur kecepatan, daya listrik, dan mengatur sistem keseluruhannya. “Perwujudan prototipenya ada sepeda motor, mobil, dan bus. Kami (timnya-red) juga telah bekerja sama dengan PT. INKA, salah satu perusahaan pengadaan gerbong kereta api. Di sini kami sebagai penyuplai motor penggerak listrik serta mengatur kecepatan motor tersebut,” ujar mahasiswa yang akrab disapa Uta ini dengan mata yang berbinar. Untuk kapasitas bus, prototipe yang ada dengan model Low Deck Bus seperti kendaraan listrik bandara dengan kapasitas 30-50 penumpang dengan posisi berdiri.(Misqul Syakirah) Sekilas tentang Bus Listrik Dalam kesempatan tersebut, Ketua Engineer Tim ITS, Yoga Uta Nugraha, menjelaskan panjang lebar tentang keunggulan bus bertenaga listrik. “Kebutuhan baterai seberapa jauh jarak yang akan ditempuh juga dapat disetting di sini. Mau jarak 200 km kita dapat mengaturnya, tetapi ini tergantung kepada seberapa besar ruang space baterai yang tersedia. Jika satu meter persegi, kita bisa hitung berapa jarak yang dapat ditempuh dengan baterai yang ada,” tukas Uta dengan optimisme terbias dari senyumnya yang lebar. Pengaturan interface seperti notifikasi daya baterai dan kecepatan maksimum ini telah dikembangkan melalui koneksi internet atau smartphone secara online. Jadi, kita dapat mengetahui berapa jarak yang ditempuh dengan sisa daya baterai yang ada. Uta menjelaskan, perakitan bus menelan biaya sekitar 1,5-2 miliar dan waktu perakitan kurang lebih satu tahun setelah seluruh komponen tersedia. Secara keseluruhan, perakitan komponen bus dan pengaturan sistem dilakukan oleh tim di workshop. Namun, cell baterai masih harus diimpor dari Cina dikarenakan spesifikasi baterai yang dibutuhkan dan harga jual produk dalam negeri masih kalah saing daripada produksi Cina. Harapan besar kedepan, Indonesia mampu memproduksi komponen baterai sesuai kebutuhan dan berdaya saing tinggi di pasar internasional. Hal ini membuktikan bahwa total biaya kepemilikan kendaraan listrik setara, bahkan lebih murah dibandingkan dengan kompetitornya. Meski harga awal relatif lebih mahal, namun karena biaya energi dan maintenance yang sangat murah, membuat biaya total kepemilikan kendaraan listrik menjadi rendah. Kesuksesan Surabaya menggagas Eco City melalui kendaraan listrik (bus listrik –red) patut diapresiasikan dan diterapkan. Banyak kabupaten/kota yang melirik penggunaan kendaraan listrik ini. Pemerintah Bali mulai menggunakan kendaraan listrik khusus area terbatas (area wisata –red) bekerja sama juga dengan tim ITS. Kendaraan yang digunakan seperti kendaraan bandara bermodel mobil golf dengan konstruksi terbuka. Surabaya, Bandung, dan Jakarta juga telah melayangkan kerjasama pengadaan kendaraan listrik. Namun, karena keterbatasan waktu perakitan kendaraan tersebut menjadi terlambat dari perencanaan awal. Ayuning Fitri Desanti, salah satu tim engineer menambahkan, kendala terbesar yang dihadapi tim juga dari terbatasnya ruang workshop. Permintaan yang kian meningkat, membatasi gerak dalam produksi kendaraan tersebut. Harapan besar juga, Indonesia dapat menggunakan kendaraan listrik produksi anak bangsa. Bukan hanya semata untuk keuntungan pribadi, tapi untuk menyelamatkan Indonesia dari impor BBM sekaligus menyelamatkan devisa negara. (Misqul Syakirah) Tulisan versi digital dapat diakses pada laman ini

N219, Menjawab Tantangan Konektivitas Aceh

Pemerintah Aceh terus berikhtiar menyelenggarakan sistem transportasi wilayah yang efektif dan efisien dalam mendukung pengembangan wilayah serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai amanat yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 102 Tahun 2014 Tentang Tataran Transportasi Wilayah Aceh 2015 – 2030. Pengembangan sistem ini juga merujuk pada pendekatan peran masyarakat dalam pembangunan dan pelayanan transportasi wilayah yang berpihak terhadap kepentingan masyarakat dan terjangkau. Pengembangan jaringan transportasi perlu dipercepat dari kondisi alamiah yang terjadi selama ini. Apabila pengembangan ini tidak diupayakan sedini mungkin, maka akan terjadi pergolakan pada masa mendatang seperti mata air perekonomian yang telah muncul di daerah yang terpencil dan terisolir akan mengalami “koma” yang panjang. Dinamika pergerakan ekonomi yang bergerak secara acak dan tidak terprediksi mendorong Pemerintah Aceh mempersiapkan secara intens agar gerak penghidupan masyarakat terus meningkat dan merata ke seluruh wilayah Aceh. Oleh karena itu, Pemerintah Aceh mengambil langkah dalam mengupayakan aksesibilitas dan konektivitas antar wilayah melalui kerjasama dengan PT. Dirgantara Indonesia (PTDI), Industri Penerbangan Karya Anak Bangsa. Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, Nova Iriansyah bersama Direktur Utama PT. Dirgantara Indonesia (PTDI), Elfien Goentoro melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman tentang Pengadaan Pesawat Terbang N219 serta Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Pengoperasian Angkutan Udara Aceh, Senin, 9 Desember 2019. Penandatanganan Nota Kesepahaman dilakukan di Ruang Rapat Paripurna, Lantai 9, Gedung Pusat Manajemen PTDI, Jl. Pajajaran No. 154 Bandung. Kegiatan ini merupakan upaya revisi dan kontinuitas terhadap kesepakatan yang telah dilakukan di Tahun 2018 lalu untuk mencapai kondisi realistis yang bisa dicapai dalam RPJMA 2017 – 2022. Setelah penandatanganan tersebut, Pemerintah Aceh melalui Dinas Perhubungan dan PTDI akan melakukan kajian bersama untuk rencana pengadaan 4 unit pesawat terbang N219 dengan konfigurasi passenger, cargo, dan medical evacuation. PTDI akan melakukan pendampingan untuk transfer of knowledge dalam rangka peningkatan SDM Aceh di bidang kedirgantaraan sebagai persiapan pengoperasian pesawat terbang N219 secara mandiri. Direktur Utama PTDI, Elfien Goentoro pada kesempatan tersebut berharap pengadaan pesawat terbang N219 dapat meningkatkan aksesibilitas dan pertumbuhan ekonomi Provinsi Aceh. “Harapannya pesawat N219 dapat segera dioptimalkan fungsinya oleh Pemerintah Aceh untuk melayani masyarakat Aceh, serta mendorong dan meningkatkan aksesbilitas dan pertumbuhan perekonomian di wilayah Provinsi Aceh,” ujar Elfien. PTDI bukan hanya industri untuk menunjang perekonomian, teknologi, dan aerospace, namun juga untuk mengakomodir anak bangsa yang berpotensi agar tidak terserap ke industri mancanegara. Sementara itu, Plt. Gubernur Aceh, Nova Iriansyah dalam sambutannya menyampaikan, sejumlah maskapai penerbangan pernah membuka rute penerbangan komersil ke sejumlah wilayah di Aceh, namun kemudian berhenti karena alasan ekonomis. Sementara penerbangan lain lebih banyak menjadikan Bandara Kuala Namu di Sumatera Utara sebagai penghubungnya. Saat ini hanya 5 bandara yg melayani penerbangan perintis, sedangkan 7 bandara lainnya di Aceh dalam keadaan tidak ada aktifitas. “Melihat kondisi ini, tentunya Pemerintah Aceh harus melakukan intervensi. Apalagi dalam program pembangunan yang kami canangkan, konektivitas antar wilayah menjadi salah satu prioritas,” kata Nova. Konektivitas merupakan tantangan bagi Pemerintah Aceh karena Aceh memiliki garis pantai yang panjang, sejumlah daerah kepulauan, dan daerah rawan bencana, serta memiliki potensi pariwisata dan investasi. Nova juga mengingatkan bahwa kerjasama ini sebagai bentuk komitmen Pemerintah Aceh dalam mendukung industri pesawat terbang nasional. “Apalagi secara historis Aceh sebagai Provinsi pertama yang menyumbang pesawat angkut pada masa-masa perjuangan kemerdekaan Indonesia,” ujarnya. Bila pengadaan pesawat terbang N219 ini berhasil, Aceh kembali mencetak sejarah sebagai provinsi pertama di Indonesia yang mendukung dunia kedirgantaraan nasional dengan menggunakan pesawat terbang karya anak bangsa.(AM)

BANDARA ACEH SEBAGAI PINTU GERBANG UNTUK “MEMPERCEPAT” PERTUMBUHAN EKONOMI

Arah pengembangan transportasi udara berdasarkan Tataran Transportasi Wilayah Aceh yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 102 Tahun 2014 mengisyaratkan peningkatan pelayanan dan memperbaiki tatanan pelayanan angkutan antarmoda dan kesinambungan transportasi dengan menerapkan konsep Transit Oriented Development (TOD) serta meningkatkan pelayanan angkutan udara perintis. Letak geografis Aceh yang berada diantara jajaran panjang perbukitan dan kepulauan yang tersebar mengisyaratkan pada kebutuhan transportasi yang cepat, nyaman dan handal. Di samping itu juga, Aceh memiliki 12 (dua belas) bandar udara termasuk Bandara Point A, bandara khusus milik exxonmobil oil company. Bandar udara dalam wilayah Aceh pernah melayani 10 (sepuluh) rute perintis pada Tahun 2018, akan tetapi berdasarkan kajian evaluasi Kementerian Perhubungan, saat ini hanya melayani 5 (lima) rute perintis, dengan jumlah rute saat ini terdapat bandar udara yang sama sekali tidak dilayani oleh penerbangan. Pada kawasan yang jarak tempuh sangat jauh dari pusat-pusat kegiatan dan pemerintahan tentu akan mengalami kesulitan untuk menjangkau atau diakses untuk dapat meningkatkan kunjungan wisatawan. Hal ini juga menunjukkan bahwa bandar udara yang ada tidak dapat diharapkan sebagai infrastruktur pengembangan ekonomi wilayah apalagi untuk kepentingan mitigasi bencana. Frekuensi layanan bandara saat ini tentu belumlah optimal. Penerbangan sekali dalam seminggu atau bahkan sama sekali tidak ada menjadi perbincangan. Faktanya, jika masyarakat hendak menggunakan moda udara ke tempat tujuan pada hari Senin maka mereka harus kembali ke tujuan asal pada hari Senin Minggu berikutnya. Ini juga merupakan polemik bagi layanan penerbangan, bahwa memilih moda transportasi udara bahkan lebih tidak efisien dibandingkan pelayanan moda transportasi lainnya. Pemerintah Kabupaten Kota yang memiliki bandara terus melakukan perlawanan terhadap kondisi di atas. Penghapusan rute dan pengurangan frekuensi yang telah dilakukan belum memberikan alternatif yang tepat dalam menyediakan kenyamanan pelayanan transportasi yang cepat dan handal. Pemerintah Kabupaten Simeulue memberikan usulan program angkutan udara perintis Tahun 2021 yang dikirimkan oleh Bupati Simeulue untuk meminta penambahan rute penerbangan perintis dan frekuensi penerbangan Sinabang. Kondisi daerah Simeulue yang terisolir dan tidak mudah dijangkau oleh transportasi darat serta daerah rawan bencana sangat membutuhkan penerbangan perintis. Kondisi-kondisi ekstrem seperti gelombang tinggi dan badai yang dialami oleh daerah pulau ini mengakibat terhentinya pelayanan transportasi. Dampak ini menuntut masyarakat harus bermalam di area pelabuhan dengan kondisi ala kadar. Angin laut yang menerpa tubuh lelah masyarakat dan menggeruguti tulang seakan lumrah berjalan alami. Namun di sisi lain, ada hal yang mendesak dari terhentinya pelayanan. Harga barang di daratan kepulauan kian melonjak, pasokan kebutuhan pokok pun kian menipis. Masyarakat kembali memikul kesengsaraan yang bertubi-tubi. Apakah hal ini patut dibiarkan menerus? Kabupaten Simeulue juga sering diguncang gempa dengan potensi tsunami yang besar juga mendorong daerah ini terus mempersiapkan diri terhadap mitigasi bencana. Sebagai salah satu upaya tersebut dengan membuka gerbang akses logistik, medis dan tanggap darurat secara cepat, tepat dan handal. Keberadaan Bandara Syekh Hamzah Fansuri, Aceh Singkil dalam tahun ini juga tidak dilayani rute penerbangan perintis. Padahal, Pemerintah Aceh terus mendorong berkembangnya wisata alam Rawa Singkil dan pesona alam Pulau Banyak. Sehingga, wisatawan yang hendak berwisata ke kawasan Singkil dan Pulau Banyak mengurungkan niatnya karena waktu dan jarak tempuh dengan rentang yang jauh akan menekan efisiensi biaya yang telah direncanakan untuk perjalanan. Di sisi lain, Aceh Tenggara memiliki bandara yang dibangun oleh Uni Eropa ini juga belumlah optimal. Faktanya, masyarakat hanya dapat melakukan satu kali penerbangan seminggu dan harus menunggu jadwal kepulangan pada minggu berikutnya. “Ini merupakan kendala terbesar bagi kami yang memiliki urusan mendesak di Ibukota Provinsi tidak bisa serta merta terbang ke Banda Aceh, kalau pun naik jalur darat itu butuh waktu yang lama dan jauh, energi pun telah terkuras,” ujar salah satu masyarakat dalam rapat koordinasi kebijakan bidang transportasi. Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 11 Tahun 2010 Tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional pasal 4 mencantumkan peran bandar udara sebagai pintu gerbang pertumbuhan ekonomi daerah, pendorong dan penunjang kegiatan industri, pembuka isolasi daerah, tempat kegiatan alih moda transportasi, pengembangan daerah perbatasan, penanganan bencana dan memperkokoh konektivitas daerah. Dalam hal ini, Pemerintah Aceh terus berupaya dalam mengembangkan bandara sesuai amanat agar peran dan fungsinya lebih optimal dalam memenuhi kebutuhan masyarakat transportasi dan mewujudkan pelayanan transportasi yang adil untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah. Kondisi infrastruktur bandara juga terus ditingkatkan agar laik operasional dan lancarnya pelayanan penerbangan. Pada saat ini, kondisi eksisting bandara yang masih melayani penerbangan perintis dan komersil sebanyak 7 (tujuh) dari 11 (sebelas) bandara umum, yaitu Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda (Aceh Besar), Malikussaleh (Aceh Utara), Patiambang (Gayo Lues), Cut Nyak Dhien (Nagan Raya), Kuala Batu (Aceh Barat Daya), Alas Leuser (Aceh Tenggara), dan Lasikin (Simeulue). Sementara 5 (lima) bandara lainnya sedang “tertidur” sejenak dan harus segera dibangunkan kembali. Lima bandara tersebut yaitu Bandara Syekh Hamzah Fansuri (Aceh Singkil), T. Cut Ali (Aceh Selatan), Rembele (Bener Meriah) dan Point A (Lhokseumawe). Karakteristik medan transportasi darat Aceh yang berliku dan dikelilingi perbukitan serta posisi pusat kegiatan yang memiliki jarak sangat jauh dari pusat-pusat kegiatan, menyumbang minat masyarakat akan pesawat terbang. Potensi wisata yang tersebar ke seantero wilayah Aceh juga membutuhkan alat transportasi yang cepat untuk menjangkaunya. Jika kata mereka “Jangan sampai banyak menghabiskan waktu di jalan daripada menikmati wisata itu sendiri”, para wisatawan tentu memilih jadwal perjalanan yang paling menyenangkan dengan biaya yang paling rendah. Berdasarkan kalkulasi awam, jika turis dari negeri jiran berlibur ke Aceh selama seminggu dengan waktu terbang selama 45 menit dari Kuala Lumpur – Blang Bintang, dan ingin menikmati nikmatnya kopi dan panorama alamnya yang indah di Takengon, Aceh Tengah dari Banda Aceh via darat, membutuhkan waktu tempuh selama 6 jam 41 menit dengan jarak tempuh sepanjang 309 KM dengan kondisi lalu lintas yang normal. Kondisi jalur eksisting melewati perbukitan dengan lembah yang relatif dalam sepanjang garis jalan. Potensi banjir dan longsor pada saat cuaca ekstrem juga kerap terjadi di kawasan tersebut hingga menutup akses antar Kecamatan. Potensi bencana tersebut hampir terjadi setiap tahun, dan tentu akan menguras banyak waktu dan tenaga dalam perjalanan, sehingga meyurutkan niat wisatawan untuk menikmati pesona Aceh. Hal ini juga terus mendorong Aceh untuk mempersiapkan diri terhadap aksesibilitas kebencanaan, layanan logistik, aktivitas ekspor impor, layanan ibadah masyarakat, kesehatan dan faktor kebutuhan layanan lainnya secara cepat dan handal. Sebagai alternatif upaya tersebut dapat dilakukan dengan “mempercepat” konektivitas

ACEH BUTUH PESAWAT YANG SESUAI UNTUK PERCEPATAN KONEKTIVITAS ANTAR WILAYAH

Upaya-upaya Pemerintah Aceh untuk terus mengejar target pada program prioritas terus dilakukan. Pada Senin, 1 Juli 2019 yang lalu, Plt. Gubernur Aceh Ir. Nova Iriansyah, MT., melakukan kunjungan kerja ke PT. Dirgantara Indonesia (PTDI) di Bandung, Jawa Barat. Kunjungan kerja tersebut merupakan tindak lanjut dari penandatanganan Memorandum of Standing (MoU) yang telah dilaksanakan oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf di Singapura pada Tanggal 07 Februari Tahun 2018. MoU tersebut bertujuan untuk mensinergikan dan mengoptimalkan rencana pengadaan pesawat dan pembangunan assembly line pesawat terbang N219 di Provinsi Aceh. Kunjungan Plt. Gubernur Aceh ke PTDI lebih menekankan pada evaluasi terhadap MoU yang sudah ada dan membahas kemungkinan kesepakatan realistis yang bisa dicapai dalam RPJMA 2017 – 2022 sehingga capaian MoU dapat diukur dengan baik. Pertemuan Pemerintah Aceh dan PTDI juga membahas penyempurnaan studi tentang penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM) dan operasional Pesawat N219 untuk mendukung konektivitas antar wilayah dan pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi kesenjangan wilayah. Pengembangan transportasi udara Aceh seharusnya berpedoman pada tata ruang Aceh yang mengarahkan Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM) berperan sebagai hub bandara-bandara yang ada di Aceh. Konsep arah pengembangan ini belum terealisasi secara optimal. Kondisi eksisting perintis saat ini juga belum signifikan dengan pengembangan konsep ini. Beberapa penerbangan ini masih mengarah ke hub bandara wilayah barat, Kualanamu, Sumatera Utara. Angkutan udara semestinya mempersingkat waktu dan jarak, akan tetapi saat ini untuk beberapa daerah membutuhkan biaya yang lebih besar dari seharusnya untuk dapat menjangkau Ibukota Provinsi. Tindak lanjut Pemerintah Aceh dengan PTDI juga mendorong implementasi konsep pengembangan Tata Ruang Aceh dalam meningkatkan peran Bandara SIM sebagai hub bandara Aceh. Dalam hal ini untuk mendorong transportasi udara secara komersial juga butuh waktu yang lama dan jika pihak ketiga yang mengurus juga belum tentu memberikan keuntungan yang banyak. Akan tetapi, masyarakat sangat membutuhkan moda transportasi ini. Sehingga, Pemerintah perlu mengintervensi kebutuhan sarana transportasi udara (pesawat terbang –red) untuk mengungkit peran prasarana (Bandara –red) yang telah ada di Aceh agar kembali terbangun dari “mati suri” selama ini. Sebagai karya anak bangsa, N219 merupakan pesawat komuter berbasis regulasi CASR/FAR 23 yang memiliki daya angkut sebanyak 19 penumpang dan secara umum memiliki daya angkut, serta flight & field performance yang lebih unggul dikelasnya. Pesawat ini dibangun oleh PT. Dirgantara Indonesia bersama LAPAN (Lembaga Penerbangan & Antariksa Nasional) dan direncanakan dapat menyelesaikan tahap sertifikasi pada akhir tahun 2019. Pesawat N219 dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan transportasi udara nasional di wilayah perintis. Memiliki kabin terluas di kelasnya dan dapat dimodifikasi untuk berbagai macam kebutuhan, seperti angkutan penumpang, angkutan barang maupun evakuasi medis saat terjadi bencana. N219 memiliki kecepatan maksimum mencapai 210 knot dan kecepatan terendahnya mencapai 59 knot, sehingga dapat terbang di wilayah bertebing dan berbukit sesuai karakteristik beberapa Bandara yang ada di Aceh. N219 juga memiliki kemampuan mendarat pada runway yang relatif pendek atau short take off – landing sehingga tidak membutuhkan landasan panjang dan mudah dioperasikan di daerah terpencil. N219 juga dilengkapi dengan Terrain Awareness and Warning System, yaitu alat yang bisa mendeteksi wilayah perbukitan. Sistem pesawat akan memberikan tanda dan visualisasi secara dimensi sehingga pilot tahu secara langsung kondisi perbukitan yang akan dilaluinya. Sesuai dengan kondisi Aceh saat ini yang memiliki 12 bandara yang belum beroperasi secara maksimal, bahkan beberapa bandara hanya melayani penerbangan perintis seminggu sekali. Pengadaan pesawat N219 merupakan salah satu upaya untuk mengoptimalkan bandara-bandara di Aceh tersebut. Aceh yang terpisah dengan perbukitan dan lautan, akan dapat terkoneksi dengan pesawat udara yang sesuai dengan topografi wilayah Aceh. Saat ini konektivitas antar wilayah merupakan salah satu tantangan terbesar dalam hal mengembangkan sektor kepariwisataan di Provinsi Aceh. Sejalan dengan hal tersebut, penambahan frekuensi penerbangan dari dan ke bandara-bandara di Aceh diperlukan untuk mendukung pertumbuhan kunjungan wisata. Data kunjungan wisatawan mancanegara dan domestik pada tahun 2014 hingga 2018 menunjukkan tren kunjungan yang terus meningkat. Adanya kerjasama IMT-GT (Sabang-Phuket-Langkawi) dalam bidang pariwisata dan kegiatan kepariwisataan lainnya, mendorong tumbuhnya industri pariwisata di Provinsi Aceh. Selain faktor pariwisata, Aceh yang dikenal sebagai daerah rawan bencana juga sangat memerlukan konektivitas wilayah melalui angkutan udara. Bencana Tsunami 2004 membuktikan peran bandara-bandara di Aceh sebagai pusat mitigasi bencana saat itu. Maka dukungan angkutan udara yang modern dan sesuai dengan topografi wilayah Aceh patut diwujudkan. Kabin pesawat N219 yang dapat dimodifikasi untuk evakuasi medis, mampu mengangkut sebanyak 9 pasien dalam sekali penerbangan. Sejalan dengan program prioritas Dinas Perhubungan Aceh untuk menjadikan Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda sebagai “Center of Umroh”, pesawat N219 dapat memudahkan masyarakat Aceh untuk melaksanakan ibadah umrah. Data yang diperoleh dari PT. Angkasa Pura II Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda menunjukkan, jumlah keberangkatan jama’ah umrah dari bandara tersebut pada tahun 2017 sampai dengan 2019 mencapai 29.550 jama’ah. Keberangkatan umrah dari Bandara SIM pada tahun 2019 mengalami lonjakan yang sangat tinggi yaitu sebesar 15.831 jama’ah. Hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan animo masyarakat Aceh untuk memulai perjalanan ibadah umrah terpusat di bandara SIM dan terhubung dengan bandara-bandara lain dalam wilayah Aceh dan beroperasi secara simultan. Tentu dengan adanya pesawat N219 yang melayani penerbangan di wilayah Aceh, masyarakat yang saat ini jika ingin melaksanakan umrah harus menempuh perjalanan darat dari daerah ke Banda Aceh atau bahkan melakukan perjalanan ibadah melalui bandara di luar Aceh. Dengan adanya konektivitas angkutan udara, masyarakat dapat lebih “fokus” dalam mempersiapkan ibadah ke tanah suci. Pesawat N219 juga diharapkan dapat menjadi solusi distribusi logistik yang terintegrasi, efektif dan efisien, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pesawat N219 juga dikembangkan untuk mendukung program jembatan udara seperti regulasi Presiden nomor 70 tahun 2017 mengenai “Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Untuk Angkutan Barang Dari Dan Ke Daerah Tertinggal, Terpencil, Terluar, Dan Perbatasan”. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2017, komoditas perikanan yang dikirim dari pelabuhan Sinabang, Singkil, dan Tapaktuan menuju pelabuhan Belawan mencapai 60.203 Ton. Dengan rincian dari Sinabang sebanyak 14.653 Ton, Singkil sebanyak 11.550 Ton, dan Tapaktuan sebesar 34.000 Ton. Pengiriman ikan melalui perjalanan darat dari pelabuhan-pelabuhan tersebut menuju pelabuhan Belawan membutuhkan waktu minimal 10 jam, bahkan dari Sinabang mencapai 21 jam. Bila dibandingkan dengan perjalanan udara, komoditas perikanan dari Sinabang, Singkil, dan Tapaktuan masing-masing dapat diangkut dalam waktu kurang dari 1 jam, sehingga kesegaran ikan masih terjaga dan nilai ekspornya

PEKAN KESELAMATAN JALAN ACEH TAHUN 2019

Dinas Perhubungan Aceh selenggarakan Acara Puncak Pekan Keselamatan Jalan Aceh Tahun 2019 di Lapangan Blang Padang Banda Aceh, Minggu, 1 Desember 2019. Rangkaian kegiatan dalam rangka Pekan Keselamatan telah dimulai sejak 25 November 2019. Kepala Dinas Perhubungan Aceh Junaidi, ST., MT., dalam sambutannya menyampaikan, dari sekian banyak korban kecelakaan lalu lintas didominasi oleh anak muda, pelajar dan mahasiswa. “Maka Pekan Keselamatan Jalan Aceh ini adalah salah satu upaya Dinas Perhubungan agar terjalin sinergisitas dari semua pihak dalam rangka mengurangi kecelakaan lalu lintas di jalan raya,” ungkap Junaidi. Acara ini mengajak para pengguna kendaraan agar lebih memperhatikan peralatan pendukung keselamatan dalam berkendara, serta membangkitkan kesadaran keselamatan dalam berkendara sejak dini yaitu salah satunya dengan menggandeng pelajar pelopor sebagai duta pemerintah. “Pemilihan Pelajar Pelopor merupakan upaya Dishub Aceh agar bisa menjadi wakil pemerintah dalam kampanye keselamatan berlalu lintas di jalan raya,” terang Junaidi. Kecelakaan lalu lintas merupakan pembunuh terbesar nomor dua di Indonesia dengan rata-rata jumlah orang meninggal setiap jam sekitar tiga sampai empat orang. Penyelenggaraan Pekan Keselamatan Jalan Aceh sebagai kegiatan rutin merupakan salah satu upaya Dinas Perhubungan Aceh untuk mengurangi angka kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Selain itu, juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pengendara tentang pentingnya keselamatan berkendara. Pada kegiatan puncak juga dilaksanakan penandatanganan Perjanjian Kerjasama (MoU) Keselamatan Berlalu Lintas antara Dinas Perhubungan Aceh dengan sejumlah sekolah di Banda Aceh dan Aceh Besar. Kerjasama ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran pelajar sekolah akan keselamatan berlalu lintas. Pekan Keselamatan Jalan Aceh Tahun 2019 memiliki sejumlah rangkaian kegiatan yang telah diadakan beberapa hari sebelumnya yaitu; lomba vlog, lomba mural & graffiti, safety riding, donor darah, senam jantung sehat, music performance, dan deklarasi keselamatan lalu lintas dan anti narkoba. (MG)   Simak videonya di bawah ini :

Peminjaman Alat Uji

Selamat siang, perkenalkan saya Dilla dari PT. Adhi Karya (Persero) Tbk. Saya membutuhkan informasi untuk peminjaman atau penyewaan alat uji emisi kendaraan roda 4. Mohon bantuannya. Terima kasih.   Tanggapan : Ibu Dilla yang kami hormati, Terima kasih atas pertanyaannya, dapat kami informasikan bahwa sesuai UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,  Pengujian Kendaraan Bermotor merupakan kewenangan Dishub Kab/Kota. dalam hal ini untuk di Banda Aceh adalah Dishub Kota Banda Aceh. untuk peminjaman alat uji dimaksud, dapat menghubungi Unit Pengujian Kendaraan Bermotor Dishub Kota Banda Aceh yang berlokasi di Komplek Terminal Type A Banda Aceh (Batoh). Demikian yang dapat kami informasikan,  semoga membantu.

Masyarakat Butuh Feeder Trans Koetaradja

Tasya Rahmayanti, dara cantik kelahiran Aceh Utara, 28 Februari 1998 ini adalah mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris, UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Dalam menjalani aktifitasnya sehari-hari sebagai mahasiswi, gadis yang tinggal di Punge Jurong, Banda Aceh ini rutin menggunakan Bus Trans Koetaradja. Meskipun lokasi halte yang lumayan jauh dari rumah, tidak menyurutkan minat Tasya untuk menggunakan Trans Koetaradja. Tasya mengaku sering naik bus Trans Koetaradja di halte depan Masjid Raya Baiturrahman. Sering kali diantar oleh orang tua, bahkan terkadang dia memilih untuk berjalan kaki. “Seringnya diantar sama mama ke halte, terkadang jalan kaki juga,” ungkap Tasya. Lokasi halte yang jauh dari tempat tinggal membuat sebagian masyarakat kesulitan naik Trans Koetaradja, termasuk Tasya. Gadis yang hobi membaca komik ini mengharapkan adanya Feeder agar memudahkan masyarakat yang ingin menggunakan Trans Koetaradja. “Saya rasa masyarakat butuh Feeder. Sehingga tidak perlu bergantung pada kendaraan yang ada di rumah atau pun berjalan kaki ke halte,” harap Tasya. Feeder adalah kendaraan pengumpul atau pengumpan yang dapat menjangkau kawasan perumahan dan pemukiman warga lalu mengantar penumpang ke halte-halte terdekat. Berbicara tentang Feeder, Tasya menyarankan agar Pemerintah Aceh memanfaatkan minibus Labi-labi yang telah ada. Selain telah menjadi angkutan ikonik di Banda Aceh, pemanfaatan Labi-labi lebih hemat anggaran dan dapat memberdayakan sopir labi-labi yang saat ini penghasilan mereka semakin menipis. “Saya pikir ada baiknya Pemerintah memanfaatkan Labi-labi yang telah ada. Selama TransK beroperasi, banyak para pengguna Labi-labi beralih ke TransK karena gratis dan terbilang lebih nyaman digunakan,” jelasnya. Tasya berharap jika Feeder Trans Koetaradja sudah beroperasi, tidak malah membuat kondisi lalu lintas semakin ribet lalu membuat masyarakat enggan naik Trans Koetaradja. Mahasiswi yang pernah menjadi peserta OSN Provinsi Aceh Tahun 2015 ini juga berharap operasional Feeder Trans Koetaradja nantinya berjadwal. Sehingga memudahkan masyarakat yang ingin menuju halte terdekat tanpa harus menunggu lama. Apalagi mayoritas pengguna Trans Koetaradja adalah pelajar dan mahasiswa, yang butuh sampai ke tujuan tepat waktu. (Amsal) Versi cetak online dapat diakses pada laman ini https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/ Simak video keseharian bus Trans Koetaradja :

Mengapa Trans Koetaradja Gratis?

Pasca penandatanganan MoU Helsinki Tahun 2005, situasi Aceh mulai kondusif dan perputaran roda perekonomian masyarakat pun berangsur membaik. Banda Aceh, sebagai penyandang status ibukota provinsi, mulai dilirik sebagai peluang bagi pelaku ekonomi baik dari provinsi Aceh maupun dari daerah lainnya. Hal ini menyebabkan pertumbuhan jumlah penduduk Kota Banda Aceh meningkat pesat. Diperkirakan pada tahun 2025 ada lebih dari 500 ribu jiwa yang berdomisili di Banda Aceh dan sekitarnya. Pertumbuhan penduduk ini juga berbanding lurus dengan pertumbuhan kendaraan bermotor yang berkisar antara 12 – 13 % per tahunnya. Dengan perkiraan kepadatan penduduk sebesar 8.148 Jiwa/Km­2 pada tahun 2025, tanpa transportasi massal yang memadai maka dapat dipastikan lalu lintas Banda Aceh akan semakin padat dan semrawut, ditambah lagi dengan fakta bahwa setelah tsunami 2004 Banda Aceh tidak lagi memiliki moda transportasi bus untuk melayani penumpang. Sebagai langkah awal penyelesaian masalah diatas, Pemerintah Aceh menjalin kesepakatan dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Republik Indonesia untuk menyelenggarakan angkutan masal perkotaan bertipe BRT (Bus Rapid Transit) di Banda Aceh. Dimana Kementerian Perhubungan RI memberikan dukungan berupa penyediaan bus dan Pemerintah Aceh menyediakan prasarana serta biaya operasionalnya. Angkutan massal perkotaan Trans Koetaradja yang masih digratiskan oleh Pemerintah Aceh, selain sebagai solusi tranportasi perkotaan juga diharapkan mampu meningkatkan antusiasme masyarakat untuk beralih dari penggunaan kendaraan pribadi ke angkutan umum. Ketika berbicara peningkatan jumlah kendaraan bermotor maka tidak dapat terlepas dari masalah peningkatan polusi udara yang ditimbulkan. Pada tahun 2018, Trans Koetaradja berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 34.579 TCO2e atau mencapai 270% dari tahun sebelumnya. Dinas Perhubungan Aceh juga tengah menjajaki kerjasama dengan Institut Teknik Surabaya untuk pengadaan bus bertenaga listrik sebagai bus feeder Trans Koetaradja untuk melayani rute-rute alternatif yang belum terlayani. Kedua hal ini sejalan dengan komitmen Indonesia yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Republik Indonesia pada bulan November 2016 tentang upaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Nasional dengan target penurunan unconditional sebesar 29% pada tahun 2030. Trans Koetaradja yang mulai beroperasi tahun 2016 tergolong angkutan massal perkotaan yang masih “hijau”. Trans Koetaradja dituntut untuk terus berbenah dan berinovasi demi meningkatkan pelayanannya. Kerjasama dengan berbagai pihak pun terus dijalin seperti kerjasama dengan Program Studi Teknik Elektro Unsyiah untuk penyediaan sistem e-ticketing pada bus Trans Koetaradja. Saat ini, Trans Koetaradja memang merupakan angkutan massal perintis perkotaan, namun subsidi yang diberikan Pemerintah Aceh ini akan menjadi sebuah investasi besar dibidang angkutan yang diyakini mampu menjawab berbagai problematika transportasi perkotaan di masa yang akan datang. (Arrad) Versi cetak digital dapat diakses pada laman ini

PROTOTIPE E-TICKETING TRANS KOETARADJA DIUJI COBA

Pelayanan kepada masyarakat di masa yang akan datang semakin menuntut pada sistem pelayanan yang berbasis teknologi seperti menerapkan sistem Smart city khususnya smart transportation. Oleh karena itu, upaya-upaya untuk mendorong peningkatan pelayanan di masa yang akan datang Pemerintah Aceh berupaya terus mempersiapkan diri untuk melayani masyarakat dengan teknologi IT secara cepat dan efisien. Upaya peningkatan ini dikemas dalam bingkai penelitian sebagai tindak lanjut MoU antara Pemerintah Aceh dengan Universitas Syiah Kuala dalam bidang Pendidikan, Penelitian, Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta Pengembangan Sumber Daya Manusia. Dalam hal ini, Dinas Perhubungan Aceh dengan Jurusan Teknik Elektro dan Komputer Universitas Syiah Kuala menindaklanjuti kerjasama tersebut dengan melakukan dua penelitian dalam tahun 2019 yaitu Prototype E-ticketing Trans Koetaradja dan A Lightweight Moving Vehicle Classification System Through Attention-Based Method and Deep Learning. Kadishub Aceh Junaidi, ST., MT., bersama Kepala BIdang Lalu Lintas Angkutan Jalan dan Kepala UPTD Trans Koetaradja meninjau uji coba hasil prototype e-ticketing Trans Koetaradja di Laboratorium Sistem Terdistribusi Jurusan Teknik Elektro dan Komputer Universitas Syiah Kuala, Senin, 25 November 2019. Sistem E-Ticketing ini dapat digunakan secara cashless (tanpa duit) dan juga dipersiapkan alternatif secara manual atau dapat menggunakan uang tunai. Tim peneliti Teknik Elektro menyebutkan, setelah usai uji prototipe ini akan dilakukan registrasi hak kekayaan intelektual dan diharapkan pada tahun depan dapat diproduksi di Aceh untuk dapat digunakan pada angkutan massal Trans Koetaradja. Sebelum diproduksi, pihak Tim peneliti juga menyampaikan masih membutuhkan penyempurnaan pada beberapa komponen termasuk design bentuk yang memudahkan pelanggan Trans Koetaradja nantinya. Penelitian “A Lightweight Moving Vehicle Classification System Through Attention-Based Method and Deep Learning” adalah pemanfaatan deteksi efektif kamera pengintai statis untuk mengklasifikasi jenis kendaraan bermotor pada suatu pias jalan sehingga dapat diketahui volume kendaraan dan klasifikasi yang melintasi, deteksi dapat bermanfaat untuk mengendalikan dan mengevaluasi serta pengawasan terpadu transportasi perkotaan di masa yang akan datang. Prof. Dr. Nasaruddin, S.T., M.Eng., selaku ketua tim penelitian menyampaikan bahwa kerjasama ini mendorong penelitian anak negeri untuk dapat diterapkan secara langsung dalam meningkatkan layanan fasilitas publik khususnya Trans Koetaradja. Penggunaan konsep “transportasi pintar” merupakan tujuan utama dalam penelitian ini, hasil penelitian diharapkan dapat segera diaplikasikan. (MS)

Upaya Percepatan ‘Mendekatkan’ India-Indonesia Melalui Ujung Barat Sumatera

Plt. Gubernur Aceh, Ir. Nova Iriansyah, M.T., mengharapkan agar konektivitas Aceh – Kepulauan Andaman dan Nicobar segera terealisasi mengingat hubungan diplomatik antara Indonesia – India telah terjalin lama sejak era kemerdekaan. Meskipun jarak antara Aceh dan Andaman Nicobar sangat dekat (sekitar 80 Nautical Mile), namun membutuhkan perjalanan yang panjang hingga ribuan kilometer dari Aceh untuk mencapai India dan sebaliknya. “Tentunya kita merasa berdosa kepada generasi penerus nanti apabila isu konektivitas ini masih menjadi kendala” demikian tutur nova dalam acara Temu Bisnis Infrastruktur RI-India : Konektivitas Aceh – Kepulauan Andaman dan Nicobar yang digelar di Jakarta Senin (25/11/2019). Nova menambahkan bahwa situasi Aceh kini sudah sangat kondusif sehingga kerjasama Aceh – India khususnya dengan kepulauan Andaman dan Nicobar dapat segera terlaksana. Dukungan nyata pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri sangat diharapkan untuk mempercepat kerjasama kedua wilayah ini. Acara yang difasilitasi oleh Kementerian Luar Negeri RI ini turut dihadiri Duta Besar India untuk Indonesia Mr. Pradeep Kumar Rawat, Staf Ahli Menteri Luar Negeri RI Bidang Diplomasi Ekonomi, Ina H Krisnamurthi, Direktur Asia Selatan dan Tengah, Ferdy Piay serta para pengusaha Indonesia dan India. Dalam kesempatan tersebut Duta Besar India menyatakan sudah saatnya kita merubah “mindset” seolah-olah Indonesia – India itu jauh. Pada kenyataannya Indonesia dan India memiliki ikatan historis yang kuat disamping secara letak geografis yang cukup dekat, khususnya Kepualauan Andaman Nicobar dengan Aceh. Untuk itu, kerjasama membuka konektivitas maritim dan udara antara kedua wilayah terdepan Indonesia dan India itu menjadi isu yang sangat strategis apalagi kedua wilayah ini berada pada kawasan Indo Pasifik yang merupakan jalur pelayaran dunia. Acara dilanjutkan dengan diskusi panel dan pertemuan business to business antara sektor swasta Indonesia dan India sehingga diharapkan terbuka peluang lebih lebar untuk kerjasama investasi kedua negara. (TF)