Dishub

DETEKSI SUHU TUBUH DIPERLUKAN JUGA DI TERMINAL DOMESTIK

Sebelum Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan deklarasi situasi darurat global terkait penyebaran virus corona (Covid-19) pada Kamis, 30 Januari 2020, Pemerintah Aceh dan seluruh komunitas bandar udara telah mempersiapkan lebih awal dalam rangka memastikan kesiagaan Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda sebagai salah satu pintu masuk internasional. Upaya tersebut ditindaklanjuti dengan rapat koordinasi Komite Fasilitasi (FAL) Bandara SIM pada Selasa, 4 Februari 2020 untuk memastikan kesiapsiagaan petugas bandara dalam mencegah penyebaran virus tersebut melalui pintu masuk di Banda Aceh. PT. Angkasa Pura II selaku pengelola Bandara SIM telah mengkoordinir pemeriksaan penumpang guna pencegahan penyebaran COVID-19 yang secara teknis dilaksanakan oleh Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Banda Aceh. Peningkatan pemeriksaan perlu dilakukan mengingat Bandara SIM memiliki 3 rute penerbangan internasional, yaitu Kuala Lumpur, Penang, dan Jeddah (Umrah). “Semua penumpang yang baru tiba dari luar negeri akan diperiksa suhu tubuhnya dengan menggunakan thermal scanner” ungkap Surya Bunayya, Asisten Manajer Pelayanan Terminal dan Sisi Darat PT. Angkasa Pura II Bandara SIM. Kesiagaan petugas dan peralatan telah dilakukan simulasi jika mengalami kondisi darurat. Berdasarkan data jumlah penumpang dari luar negeri mengalami penurunan sebesar 6 persen sejak deklarasi darurat global. Namun demikian, KKP Bandara SIM tetap menerapkan standar pemeriksaan kepada seluruh penumpang dari luar negeri yang masuk ke Bandara SIM dengan maksimal. Pemeriksaan kesehatan dan suhu tubuh dilakukan secara simultan ketika penumpang keluar dari pesawat. KKP juga memantau riwayat kesehatan penumpang luar negeri melalui General Declaration Card yang menerangkan kondisi penumpang sebelum terbang. “Pemeriksaannya berlapis-lapis. Sebelum penumpang turun, maskapai sudah menyerahkan dokumen tersebut kepada kami, jadi kami sudah memiliki data awal kondisi kesehatan penumpang,” jelas petugas KKP Bandara SIM. Kepala Dinas Perhubungan Aceh Junaidi, ST., MT., selaku Ketua Komite FAL Bandara SIM mengapresiasi langkah-langkah yang telah dilakukan berbagai pihak terhadap penyebaran COVID-19. Koordinasi perlu terus dilakukan supaya kekurangan-kekurangan yang ada di lapangan dapat segera dicari jalan keluar. Pemeriksaan dan pengawasan terhadap penumpang perlu dilakukan secara terbuka agar penumpang merasa aman saat tiba di Aceh. “Inti dari tindakan yang kita lakukan bukan hanya sekedar pemeriksaan dan pengawasan, jauh dari itu adalah menghadirkan rasa aman dan nyaman bagi penumpang saat tiba di Bandara SIM,” ujar Junaidi. Dari koordinasi lapangan yang telah dilakukan Komite FAL pada Sabtu, 7 Maret 2020, AP II Bandara SIM akan menyiapkan display thermal scanner berukuran lebih besar agar penumpang dapat memperoleh informasi suhu tubuhnya sendiri dan penumpang lainnya, informasi suhu tubuh selama ini hanya dapat dilihat oleh petugas bandara saja. Melalui display thermal scanner diharapkan dapat memberi kenyamanan kepada penumpang dan menghindari kekhawatiran kepada seluruh masyarakat. Menanggapi perkembangan kasus corona secara nasional, melalui Video Conference bersama seluruh jajaran direksi 19 bandara yang dikelola oleh AP II, membahas langkah-langkah yang perlu dilakukan terkait penyebaran COVID-19 di Indonesia. Dalam kegiatan tersebut diputuskan bahwa perlu juga dilakukan pemeriksaan dan pengawasan terhadap seluruh penumpang di terminal kedatangan domestik. Pemeriksaan terminal domestik di Bandara SIM akan segera dilakukan. “Di terminal domestik telah disediakan Thermo gun. Pemakaian alat itu mulai efektif digunakan pada hari ini (selasa, 10 Maret 2020 –red). Selanjutnya, Langkah-langkah pemeriksaan di terminal domestik sedang dalam proses penyiapan peralatan dan prosedur,” ujar Surya.

LOMBA FOTO SELFIE

Mau dapetin 2 Tiket Kapal Cepat Express Bahari Banda Aceh-Sabang (PP) Kelas VIP ?? Ikuti LOMBA FOTO SELFIE angkutan umum Aceh cek infonya di twitter Dishub Aceh, atau klik disini

LUNAS KAPAL? KAPALNYA DIBAYAR LUNAS?

Salam rakan moda! Kali ini kita akan berusaha untuk mengarungi lautan nan luas. Berpetualang bersama pelaut-pelaut, melihat bumi tanpa sekat dan garis lurus di ujung pandangan yang membatasi warna biru laut dan langit, dan tentunya memberi warna gradasi tersendiri. Eittss… namun sebelum jauh kita berpesiar keliling dunia, pernahkah rakan moda bertanya mengapa kapal dapat berlayar di lautan dan tidak tenggelam? Bagian kapal mana yang mampu menopang kapasitas kapal dan muatan yang besar sehingga tetap berdiri gagah di atas permukaan air? Pertanyaan rakan moda yang terngiang-ngiang dalam ingatan selama ini akan kita coba uraikan bersama di sini. Namun, adakah di antara rakan moda yang tahu tentang lunas kapal? Tapi bukan kapal yang dibeli dan dibayar lunas? Tenang… ini bukan tentang sistem pembayaran. Baiklah, rakan moda sekarang kita akan membahas apa sih “Lunas Kapal”? Kok ada ya istilah lunas di Kapal? Lunas merupakan bagian terbawah kapal yang terendam di dalam permukaan air. Lunas ini berfungsi melindungi dasar kapal apabila terjadi pergeseran atau gesekan dengan dasar perairan atau bila kandas serta juga sebagai penyeimbang kapal terhadap olengan yang mungkin terjadi saat berlayar. Lunas terdiri dari berbagai jenis yaitu lunas dasar, lunas tegak dan lunas lambung. Lunas dasar merupakan lajur kapal pada dasar yang tebalnya ± 35 % dari pada kulit kapal lainnya. Sedangkan lunas tegak ialah lunas yang tegak sepanjang kapal , tebalnya 5/8 lebih besar daripada lunas dasar pada 4/10 bagian lunas tegak di tengah–tengah kapal. Kapal besar pada umumya memiliki lunas lambung biasanya terdapat 1/4 – 1/3 dari panjang kapal pada bagian tengah. Nah, rakan moda yang sedang atau pernah naik kapal ke Sabang, Simeulue atau Pulau Banyak sudah tahu kan yang mana dinamakan lunas. Hati-hati jangan sampai lupa sama keselamatan rakan moda saat berlayar dan nyebur ke lautan karena khusyuk liatin lunas, atau nyebur gara-gara mikirin hutang yang belum lunas. (MS) Simak video tentang KM Sabuk Nusantara dalam video ini :

Smong, Kearifan Lokal untuk Mitigasi Bencana

Enggel mon sao surito… Inang maso semonan… Manoknop sao fano… Uwi lah da sesewan… (Dengarlah sebuah cerita) (Pada zaman dahulu) (Tenggelam satu desa) (Begitulah mereka ceritakan)   Unen ne alek linon… Fesang bakat ne mali… Manoknop sao hampong… Tibo-tibo mawi… (Diawali oleh gempa) (Disusul ombak yang besar sekali) (Tenggelam seluruh negeri) (Tiba-tiba saja)   Itulah dua bait syair lagu yang bercerita tentang Smong karya Muhammad Riswan dengan nama tenarnya Moris, salah satu tokoh adat dan pemerhati budaya Simeulue. Kemunculan Smong berawal dari pengalaman pahit pada tahun 1907 silam, kala ombak besar menghantam pesisir-pesisir pulau Simeulue terutama di Kecamatan Teupah Barat. Tsunami dengan magnitude 7,6 tersebut menjadi mimpi buruk sekaligus pelajaran berharga bagi masyarakat Simeulue. Ribuan nyawa melayang, rumah dan surau hancur, serta harta benda pun lenyap. Jejak bencana hebat itu masih terlihat pada sebuah kuburan yang terletak di pelataran masjid Desa Salur, Kecamatan Teupah Barat. Sejak itu, kata Smong begitu akrab di kalangan masyarakat Simeulue. Smong diartikan sebagai hempasan gelombang air laut yang berasal dari Bahasa Devayan, Bahasa asli Simeulue. Secara historis, Smong merupakan kearifan lokal dari rangkaian pengalaman masyarakat Simeulue pada masa lalu terhadap bencana gempa bumi dan tsunami. Kisah Smong diceritakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi melalui nafi-nafi. Nafi adalah budaya lokal masyarakat Simeulue berupa adat tutur atau cerita yang berisikan nasihat dan petuah kehidupan, termasuk Smong. Para tetua dan tokoh adat menyampaikan nafi-nafi kepada kaum muda untuk menjadi pelajaran. Cerita Smong disampaikan kepada generasi muda termasuk anak-anak dalam berbagai kesempatan, seperti saat memanen cengkeh. Dulu Simeulue terkenal dengan cengkehnya, anak-anak sering ikut membantu orang tua mereka saat memanen cengkeh. Maka tidak heran jika setiap memanen cengkeh, kisah-kisah Smong jadi selingan di tengah kesibukan. Selain itu, nafi-nafi juga disampaikan di surau-surau mengaji setelah shalat magrib. Nasihat-nasihat tentang kehidupan dan kisah Smong disampaikan setelah mengaji. Smong juga menjadi pengantar tidur anak-anak di malam hari. Para orang tua bercerita tentang Smong sembari menunggu buah hati mereka terlelap dalam tidur. Semua orang tua melakukan hal yang sama, hingga akhirnya Smong menjadi kearifan lokal masyarakat Simeulue yang diwariskan melalui berbagai cara. Para tetua meyakini suatu saat Smong akan datang lagi, walaupun mereka sangat berharap agar kejadian itu tidak pernah terulang lagi. Bencana tsunami dahsyat yang menimpa Aceh pada tahun 2004 lalu, boleh dikatakan sebagai challenge tersendiri bagi masyarakat Simeulue. Tantangan terhadap kearifan lokal dan adat tutur yang telah diwariskan ternyata berhasil dilalui. Gempa hebat dan luapan air laut menyapu ribuan rumah penduduk, namun masyarakat selamat. Hanya terdapat sekitar 3 sampai 6 orang meninggal dunia. Smong membuat seluruh dunia berdecak kagum. Semua orang mulai bertanya-tanya tentang Smong. Smong mulai didiskusikan, diseminarkan, dan dipelajari. Masyarakat dunia khususnya Indonesia mulai mempelajari Smong sebagai salah satu cara untuk mitigasi bencana tsunami. Kini media penyampaian Smong pun bertambah. Bila dulu hanya melalui nafi, sekarang Smong juga diceritakan melalui Nanga-nanga dan kesenian Nandong masyarakat Simeulue. Tidak hanya itu, Smong pun disenandungkan melalui lagu dan puisi, seperti karya Pak Moris di awal. Disaat penutur nafi-nafi sudah sedikit, media seni menjadi salah satu solusi agar kisah Smong tetap tersampaikan. Pak Moris berharap kisah Smong dapat tersampaikan dengan mudah kepada para generasi muda melalui lagu dan puisi. Motivasi Pak Moris menghadirkan Smong dalam lagu dan puisi sangat sederhana, beliau ingin melestarikan cerita-cerita para leluhurnya. Agar kelak generasi selanjutnya paham bagaimana tindakan mitigasi dari bencana yang pernah dialaminya dan leluhurnya. (Amsal) Versi cetak digital dapat diakses dilaman: https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/  

Komite FAL : Kesiagaan untuk Cegah Corona Masuk Aceh

Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM) sebagai pintu masuk ke Aceh telah melakukan upaya siaga terhadap virus corona yang menjadi isu mengkhawatirkan masyarakat saat ini. Simulasi yang dilakukan pihak-pihak terkait beberapa waktu lalu untuk melatih kesiapsiagaan serta tanggap darurat apabila terjadi urgensi. “Untuk mengantisipasi hal ini, pihak Angkasa Pura II telah mengambil kebijakan tegas dalam mencegah virus corona masuk ke Aceh, mengingat sedang dilakukannya relayout di terminal penumpang memang ada masalah keterbatasan ruangan untuk isolasi. Tetapi, hal ini sudah dipenuhi walaupun secara darurat dengan tetap mengikuti prosedur yang ada,” ujar Indra Gunawan, General Manager PT Angkasa Pura II Bandara SIM. Secara nasional GM PT Angkasa Pura II Bandara SIM juga menyampaikan bahwa telah diambil kebijakan untuk menutup semua penerbangan langsung dari Cina mulai besok (Rabu 5 Februari 2020 pukul 00.00 WIB-red). Jadi, tidak adalagi pesawat dari Cina yang langsung ke Indonesia, dengan demikian diharapkan penyebaran virus corona sudah lebih mudah dikendalikan. Rapat Komite Fasilitas (FAL) Bandara SIM, Selasa (4/2/2019) di Aula Dishub Aceh, merupakan pertemuan sebagai wadah koordinasi yang dilakukan secara rutin menyikapi surat edaran Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan RI. Komite FAL melaksanakan koordinasi sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan sekali atau bila diperlukan untuk menyampaikan laporan kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Dalam kesempatan rapat ini, komite secara khusus membahas kewaspadaan terhadap penyebaran virus corona dan langkah-langkah antisipasi yang perlu dilakukan oleh masing-masing sektor berdasarkan tugas pokok. Menurut Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas III Banda Aceh, Nuryanto menegaskan pihaknya saat ini masih terus melakukan thermal scanner kepada setiap penumpang yang datang ke Aceh khususnya kedatangan internasional di Bandara SIM. Hal ini juga dilakukan pemantauannya di beberapa kota lainnya. “Kita juga bekerjasama dengan Dinas Kesehatan dan Puskesmas serta Rumah Sakit rujukan yaitu RSUZA di Banda Aceh dan Rumah Sakit Cut Meutia di Lhokseumawe yang telah dipersiapkan untuk menangani virus ini dan terus berupaya agar warga nyaman dan terhindar dari virus ini,” sebutnya. Kadishub Aceh, Junaidi Ali selaku Ketua Komite FAL mengatakan, “Pemerintah hadir untuk menjaga masyarakat terkait penyebaran virus ini melalui bandara. Untuk itu, kita terus berkoordinasi dengan semua pihak yang terkait penyelenggaraan untuk meningkatkan kewaspadaan di Bandara SIM,” ujarnya. Pencegahan lainnya juga dilakuan Kantor Pos bersama Beacukai dengan menyetop pengiriman barang dari Cina. Sementara itu, informasi yang didapatkan dari Station Manager Garuda Indonesia, Riezky Arief Kautsar menyebutkan Australia dan Singapura telah melakukan hal yang serupa. Tak terkecuali, mereka juga memantau riwayat penerbangan dari Cina. Ditambahkannya, setiap crew pesawat Garuda Indonesia telah dilakukan private medical chek-up untuk tiap penerbangan. “Kita berkoordinasi internal authority di sana dengan perwakilan Garuda Indonesia di negara setempat,” ungkapnya. Koordinasi ini melibatkan banyak stakeholder lintas sektor. Diantaranya, Balai Karantina Pertanian, Kantor Kesehatan Pelabuhan, Kantor Imigrasi, BASARNAS, Disbudpar Aceh, BMKG, Pos Indonesia, AirNav, Angkasa Pura II Bandara SIM, DPPU Bandara SIM, Garuda Indonesia, Lion Grup, Air Asia, Fire Fly, Citilink, dan Susi Air. Mengakhiri rapat Komite FAL, Kadishub Aceh menyampaikan agar seluruh anggota Komite FAL untuk dapat menghadiri undangan Gubernur Aceh dalam acara Zikir dan Doa Bersama untuk Mahasiswa Aceh di Wuhan Cina pada Selasa, 4 Februari 2020 di Masjid Raya Baiturrahaman Banda Aceh setelah shalat Isya berjamaah. Zikir dan Doa ini akan diisi oleh Tgk Asy’ari Ibrahim, S.Pd.I serta tausyiah oleh Ustaz Masrul Aidi. (*)

DISHUB ACEH BERIKAN PENGHARGAAN WAHANA TATA NUGRAHA

Dinas Perhubungan Aceh berikan penghargaan Wahana Tata Nugraha kepada sejumlah Kabupaten/Kota sebagai bentuk apresiasi atas partisipasi dalam mengikuti Penilaian Kinerja Penyelenggaraan Sistem Transportasi Perkotaan Tahun 2019. Penyerahan penghargaan tersebut dilakukan di ruang rapat Bidang LLAJ Dinas Perhubungan Aceh, Senin, 20 Januari 2020. Wahana Tata Nugraha merupakan penghargaan yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada Provinsi, Kabupaten/Kota yang mampu menata transportasi dan fasilitas publik dengan baik. Beberapa daerah yang mengikuti kegiatan Wahana Tata Nugraha di antaranya; Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Tamiang, dan Kota Langsa. Selain menerima sertifikat atas partisipasi dalam mengikuti kegiatan ini, daerah tersebut juga menerima perlengkapan lapangan seperti water barrier, rambu hand stop, rompi lapangan, pin keselamatan, poster keselamatan lalu lintas, dan lain-lain. Kepala Seksi Lalu Lintas dan Keselamatan Jalan Bidang LLAJ Dishub Aceh, M. Hanung Kuncoro, S.SiT dalam sambutannya menyampaikan, Dishub Aceh mengapresiasi Kabupaten/Kota yang telah mengikuti kegiatan Wahana Tata Nugraha Tahun 2019. “Manfaat yang didapat oleh daerah sekurang-kurangnya adalah system transportasi dan fasilitas publik tertata dengan baik. Apalagi Pemerintah Kabupaten/Kota merupakan ujung tombak dalam merealisasikan kegiatan ini,” ujar Hanung. (MG)

KOLABORASI : Mempersiapkan Infrastruktur Transportasi 15 Tahun Lebih Cepat Untuk Sabang

Badan Pengusahaan Perdagangan Bebas dan Kawasan Bebas Sabang (BPKS), Pemerintah Kota Sabang dan Pemerintah Aceh melalui Dinas Perhubungan Aceh melakukan pertemuan membahas rencana pengelolaan Pelabuhan Penyeberangan Balohan Kota Sabang. Pertemuan ini dilakukan di Aula Rapat Dinas Perhubungan Aceh, Banda Aceh tanggal 16 Januari 2020. Di dalam pertemuan ini juga membahas rencana kerjasama dalam pengelolaan Pelabuhan Penyeberangan Balohan Kota Sabang, pelaksanaan revitalisasi dilaksanakan oleh BPKS yang diharapkan segera selesai pembangunannya. Setiap kegiatan perlu sebuah istilah “Cet Langet – bermimpi setinggi-tingginya -red”, yang berarti sebuah perencanaan ke depan yang dikonsepkan untuk target pencapaian yang harus diimplementasikan dan bersifat mutlak. Di dalam sebuah perencanaan tidak hanya menyebutkan tujuan dan target secara gamblang, namun kemungkinan hambatan atau deviasi pencapaian juga terprediksi saat proses pelaksanaan. Maka suatu perencanaan sangat diperlukan untuk manajemen program sebagai panduan pengambilan sikap dalam upaya pencapaian target yang diharapkan. Idealnya dari sebuah program pembangunan jaringan transportasi Aceh juga mengharuskan sebuah masterplan sehingga pelaksanaan kegiatan pengembangan dan pembangunan kedepannya dapat dilakukan secara terstruktur, menyeluruh dan tuntas, mulai dari perencanaan, konstruksi, operasi, pemeliharaan, dan pembiayaan. Begitu pula, arah pengembangan dan pembangunan fasilitas pelabuhan penyeberangan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan yang akan datang. Oleh karena itu, dalam merencanakan pembangunan transportasi sedini mungkin, Dishub Aceh melakukan studi 2015 untuk menyusun Rencana Induk Pelabuhan Penyeberangan (RIP) Balohan Kota Sabang. Hasil studi yang ditetapkan dalam RIP Balohan Kota Sabang menyebutkan bahwa jumlah penumpang pada tahun eksisting – Tahun 2015 –red mencapai 258.697 orang dan diprediksi pertumbuhan di Tahun 2035 mencapai 514.397 orang. Persentase pertumbuhan ini mencapai 50,29 persen khusus untuk penumpang Kapal Ferry Ro-Ro. Ini merupakan bom waktu apabila tidak tertangani pada saat ini. RIP ini direncanakan dalam rentang masa 2016 – 2035 yang berisi tentang jangka waktu perencanaan, rencana tapak dan rencana detail teknis, proyeksi arus pertumbuhan dan rencana kebutuhan penumpang dan/atau barang, perkiraan dampak penting dan penanganan dampak, dan hal terkait lainnya. Dalam mewujudkan target yang telah direncanakan dalam RIP maka perlu diupayakan dengan platform kolaborasi untuk “mempersiapkan infrastruktur lebih awal untuk kebutuhan pertumbuhan masa depan”. Dalam perjalanan yang berliku dan menanjak, dimulai dengan konsultasi Kementerian dan koordinasi Bappenas serta syarat investasi yang harus dipenuhi hingga pada akhirnya BPKS bersedia melakukan investasi. Namun hal ini tidak surut dari kendala dan rintangan dari kesulitan menganggarkan program kegiatan, persoalan lahan yang belum dikuasai dan aspek lainnya yang tak kalah menantang. Pembangunan dan pengembangan kawasan Pelabuhan Penyeberangan Balohan Kota Sabang dimulai pada Tahun 2018 dan kondisi pembangunan sekarang sudah mencapai 80 % dari alokasi anggaran yang disediakan. Hal ini juga merupakan suatu prestasi yang perlu diaksarakan dalam sebuah goresan pena yang menjadi pelajaran ke depan bagi kita. “Biasanya hampir semua rencana induk terlambat”, hari ini pembangunan Pelabuhan Penyeberangan Balohan Kota Sabang 15 tahun lebih cepat dari upaya “Cet Langet” pada Tahun 2015 lalu, artinya berdasarkan RIP, Pelabuhan Penyeberangan Balohan dijadwalkan penyelesesaian infrastrukturnya di Tahun 2035. Kebiasaan selama ini, kita terfokus pada satu arah angin dalam mempercepat pembangunan. Padahal, ada arah angin lain yang membawa lebih banyak keuntungan layaknya kolaborasi. Suatu ulasan mungkin perlu dipatenkan bahwa “dengan kolaborasi, percepatan bukan hal mustahil atau cet langet”. Jadi, saat ini revisi mesti dilakukan untuk mengakomodir percepatan dengan pelaksanaan ini menggunakan pendekatan demand follow supply. Dengan segala keterbatasan, kolaborasi yang sudah dilakukan perlu dijadikan model dalam penyediaan infrastruktur transportasi Aceh di masa yang akan datang. Walikota Sabang, Nazaruddin dalam sambutannya menyampaikan agar dapat segera memperoleh kesepakatan tentang format pengelolaan yang tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku, termasuk standar operasional dan prosedur yang diperlukan untuk pelayanan yang lebih baik. (MS)

Jalur Evakuasi Warga

Aceh mungkin satu-satunya provinsi di Indonesia yang tidak melakukan perayaan pergantian tahun dengan meriah seperti di daerah lain. Keadaan ini berlaku semenjak tahun 2004 lalu. Setiap akhir tahun, masyarakat Aceh selalu memperingati masa-masa berkabung, yaitu peringatan bencana dahsyat gempa dan tsunami yang menggulung daerah ini 15 tahun silam, tepatnya tanggal 26 Desember 2004. Bencana itu merenggut 130 ribu nyawa rakyat Aceh, Nias Sumatera Utara, dan beberapa negara lainnya. Kala itu, banyak warga Aceh di perantauan berusaha pulang ke bumi kelahiran guna mencari dan membantu keluarga yang tertimpa bencana. Saya adalah salah satu dari orang-orang itu. Saya sempat menghabiskan waktu dua hari dari Jakarta agar bisa mendarat di bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, karena bandara sibuk melayani lalu lalang dan antrean armada udara asing yang membawa bantuan ke Aceh setelah bencana. Akhirnya saya bisa mendrat dan tiba dengan selamat di bumi Serambi Mekkah ini. Bencana besar ini menimbulkan kerusakan parah semua sendi kehidupan, termasuk sarana perhubungan. Transportasi di Kota Banda Aceh lumpuh total. Kendaraan umum seperti taksi dan angkot yang biasanya siap melayani penumpang dari bandara menuju kota tidak terlihat beroperasi. Akibanya, banyak penumpang terpaksa menumpang kenderaan pribadi masyarakat setempat, agar bisa mencapai kota Banda Aceh yang berjarak sekitar 20 kilometer dari bandara. Saat saya tiba di Banda Aceh dua hari setelah tsunami, kota ini benar-benar porak poranda. Sebagian besar jalanan masih dipenuhi puing bangunan, mayat korban tsunami juga masih bergelimpangan. Bangkai kenderaan bermotor dan perahu nelayan masih berhimpitan di antara puing, bahkan ada yang masih nyangkut di atas reruntuhan bangunan dan pohon. Praktis setelah bencana hampir semua angkutan kota banyak yang tidak beroperasi lagi. Seperti angkutan umum labi labi yang tadinya merajai berbagai jurusan dalam kota, mulai menghilang, sejak saat itu dan hingga sekarang. Sarana pelabuhan penyeberangan utama Uleelheu juga luluh lantak disapu gelombang. Sehingga pendistribusian bantuan untuk daerah lain yang hanya bisa dijangkau oleh kapal, terpaksa dilakukan melalui pelabuhan darurat sementara yang berlokasi di bawah jembatan Uleelheu. Pelabuhan darurat ini menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal nelayan maupun kapal-kapal asing. Dahsyatnya tsunami yang melanda Aceh kala itu, dipicu gempa besar dengan magnitudo 9,0 yang disebabkan oleh interaksi lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Gempa ini berpusat di dasar laut pada kedalaman 10 Km. Seiring berjalannya waktu setelah 15 tahun bencana gempa dan tsunami melanda Aceh, kini suasana kota dan masyarakat sedikit membaik, bahkan banyak masyarakat umumnya sudah melupakan kejadian dahsyat tersebut. Belajar dari kejadian yang menelan banyak korban itu, kini di setiap ruas jalan di kawasan pemukiman di pesisir provinsi Aceh telah dipasang rambu-rambu penunjuk jalur evakuasi masyarakat. Rambu-rambu ini sebagai penunjuk arah untuk memudahkan masyarakat menuju ke tempat yang lebih aman ketika bencana berulang. Beberapa tempat yang banyak orang seperti sekolah-sekolah di Kota Banda Aceh juga sering melaksanakan program siaga bencana. Seperti di SMA Negeri 1 Banda Aceh, melakukan simulasi penanganan bencana serta evakuasi manusia secara berkala. Simulasi ini dilakukan pihak sekolah bekerja sama dengan Badan Penanganan Bencana Aceh (BPBA). “Terkadang juga kami lakukan secara mandiri dengan menggunakan dana BOS,” ujar Khairurrazi, Kepsek SMA1 saat ditemui tim Transit di kantornya beberapa waktu lalu. Khairurrazi mengatakan, sekolah perlu menerapkan kurikulum materi khusus kebencanaan untuk memudahkan evakuasi ketika bencana terjadi. Khairurrazi juga menyarankan perlunya perhatian dan kajian jalur khusus evakuasi, karena di beberapa titik terdapat arah putar balik yang terlalu jauh, sehingga menyulitkan jalur evakuasi. Semua kerisauan sang kepsek tentang rambu-rambu jalan di kota Banda Aceh yang perlu dikaji lagi, dijawab oleh Deddy Lesmana Kabid LLAJ Dishub Aceh. Deddy mengatakan, semua rambu-rambu di jalan dibuat guna keselamatan pengguna jalan di saat kondisi aman. Namun dalam kondisi darurat bencana tentu semua aturan rambu itu tidak berlaku lagi dan bisa dilanggar. “Tentunya tetap harus berhati-hati. Jangan sampai ingin melakukan penyelamatan malah terjadi musibah kecelakaan,” terang Deddy lagi.(Rizal Syahisa) Versi cetak digital dapat diakses dilaman:

Menjajal Transportasi ke Simpang Jernih

Siang itu, cuaca di Kuala Simpang sangat cerah bahkan cenderung panas, karena posisi matahari hampir sejajar dengan kepala. Cuaca ini sang mendukung bagi kami yang ingin melakukan perjalanan darat ke Kecamatan Simpang Jernih. Meski masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Timur, tapi Simpang Jernih lebih mudah dijangkau melalui Kuala Simpang yang merupakan ibukota Kabupaten Aceh Tamiang. Sebenarnya Simpang Jernih juga bisa dijangkau melalui Kecamatan Lokop Aceh Timur. Hanya saja, butuh waktu yang lebih lama dengan fasilitas transportasi jalan yang belum memadai. Karenanya, kami memilih perjalanan melalui Kuala Simpang. Ada dua alternatif untuk pergi ke Simpang Jernih melalui Kuala Simpang, yaitu dengan jalan darat dan angkutan sungai. Melalui darat, jalan yang dilalui agak sulit. Di beberapa titik kondisi jalan sudah teraspal, namun di bagian yang lain masih bertanah bahkan berlumpur di saat hujan. Jika kondisi cerah dan jalanan kering, perjalanan darat jauh lebih hemat daripada melalui jalur air, baik dari segi waktu ataupun biaya yang dikeluarkan. Pilihan kedua, menggunakan jasa sampan untuk lintasan antar desa atau ke kota Kuala Simpang, dan getek untuk penyeberangan antardesa. Transportasi air ini telah ada sejak lama. Tiap warga Simpang Jernih dan sekitarnya pada umumnya memiliki sampan. Setelah pembangunan menyentuh hingga daerah terpencil, kepemilikan sampan terus menurun, karena perlu biaya besar untuk membuat sampan, yaitu mencapai Rp 30 – 60 juta, tergantung besar kecilnya mesin yang digunakan. Lain halnya dengan akses transportasi darat, akses transportasi air sepenuhnya tergantung kepada alam. Permasalahan klasik yang belum ketemu solusinya yakni, jika terjadi hujan di gunung dan volume air sungai meningkat, maka sampan tidak dapat beroperasi demikian juga halnya getek. Ketika air sungai surut karena kemarau, sampan atau getek juga tidak dapat beropersional karena kandas. Tiba di Simpang Jernih Meski cuaca di Kuala Simpang sangat cerah, tapi ternyata kondisi perjalanan darat kami ke Simpang Jernih tetap saja sangat sulit. Kami melalui jalan berlubang berjalan tanpa penunjuk arah. Lumpur terlihat menggenangi di beberapa titik. Sesekali sopir harus memungsikan 4WD pada mobil double cabin Nissan Navara yang kami tumpangi. Setelah melalui perjalanan berat, akhirnya menjelang magrib kami tiba di desa tujuan Simpang Jernih. Keesokan harinya, pagi di Simpang Jernih disambut udara segar. Kabut masih menyelimuti saat anak-anak sekolah mulai masuk kelas. Udara tidak terlalu dingin pagi itu, karena semalaman ditemani  rintik hujan yang menyebabkan air sungai Simpang Jernih hingga Kuala Simpang tak jernih. Simpang Jenih menjadi pusat aktifitas untuk beberapa desa di sekitarnya, terutama pendidikan dan kesehatan. Di Simpang Jernih terdapat lembaga pendidikan jenjang SD, SMP, dan SMK Pertanian. Sementara bagi yang ingin mengenyam pendidikan SMA, harus merantau ke Kota Kuala Simpang atau Kota Langsa. Simpang Jernih sebagai ibukota kecamatan dengan nama yang sama, memiliki dermaga getek dan sampan. Jarak tempuh dari kecamatan ke dermaga lumayan jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. Namun ini biasa dilakukan anak sekolah dari Kampung Kera. Sementara bagi pelajar SMK dari Desa Melidi, HTI Ranto Naru, Ran­tau Pan­jang, Tampur Bor, dan Tampur Paloh, mereka menginap atau kos di Simpang Jernih. Angkutan sungai Jika ingin menjajal angkutan sungai, maka Anda bisa menumpang getek yang banyak tersedia di Kuala Simpang. Seperti getek yang kami temui dikemudikan oleh seorang anak muda dengan penumpang yang didominasi oleh ibu-ibu dan anak-anak. Biaya yang harus dikeluarkan untuk sekali perjalanan Kuala Simpang ke Simpang Jernih adalah Rp 50 ribu per orang dengan sebuah tas ransel. Tapi jika ada kotak atau barang belanjaan, dikenakan biaya lebih. Perjalanan dengan getek ini tergolong mahal dengan waktu tempuh yang lebih lama dibandingkan jalan darat. Dalam perjalanan Anda akan berjumpa dengan salah satu desa di Aceh Tamiang bernama Babo. Di sana terdapat sebuah dermaga sebagai persinggahan untuk para awak sampan untuk mengisi bahan bakar solar. Saat pengisian bahan bakar ini, para penumpang mengisi waktu dengan makan atau hanya sekedar istirahat. Getek Sisa Harapan Transportasi Rakyat Jumat 19 Juli 2019 pagi, getek yang biasa bertugas melayani penyeberangan Kampung Kera – Simpang Jernih parkir di pinggir sungai. Informasinya, getek ini sudah hampir sebulan tak aktif karena sedang perawatan. Selain itu juga karena saat itu air sedang tinggi dan deras, sehingga getek tidak dapat dioperasionalkan. Selama getek dalam perawatan, perannya digantikan oleh sampan yang dinahkodai oleh seorang bapak yang yang jika dari wajahnya telah lelah dengan sampannya. Sampan bapak ini ‘berlayar’ jika getek tidak beroperasi melayani anak-anak sekolah, para guru, bidan kampung dan masyarakat umum. Menjelang Jumat, para siswa kembali ke dermaga. Ada harapan di wajah mereka. Seperti anak-anak desa lainnya, mereka juga menyimpan cita-cita, tentang kesehatan, ekonomi, dan masa depan pendidikan mereka. Dalam perjalanan pulang kami masih diingatkan tentang jembatan, jalan aspal, dan transportasi yang lebih baik dari ini. (Teuku Fajar Hakim)   Simak Videonya di bawah ini :

Semangat Aceh dan Kepercayaan Dunia

Bertemu tokoh sekaliber Prof. Dr. Kuntoro Mangkusubroto, mantan Menteri Pertambangan dan Energi Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai orang nomor satu di Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) NAD – Nias, ternyata tidaklah sesulit yang dibayangkan. Sehari setelah tim ACEH TRANSit, Arrad Iskandar menyampaikan keinginan untuk wawancara, tokoh super sibuk yang masih aktif di School of Business and Management Institut Teknologi Bandung Jakarta ini langsung menkonfirmasi dan mengajak bertemu disalahsatu café di kawasan SCBD Jakarta. Sore itu ditemani secangkir kopi obrolan pun mengalir dengan santai. Usai berbasabasi sejenak, semua pertanyaan tim ACEH TRANSit satu persatu pun disimak dan dijawab dengan ramah dan santai oleh beliau. Berikut petikan wawancaranya. Setelah 15 tahun pasca tsunami, apakah bapak masih memantau perkembangan Aceh? Saya melihat investasi di Aceh belum tumbuh seperti apa yang saya harapkan ketika meninggalkan Aceh 10 tahun yang lalu. Menilai dari infrastruktur yang telah dibangun di masa BRR maupun setelah masa BRR seharusnya investasi di Aceh sudah cukup tinggi. Besarnya investasi itu menunjukkan tingkat kepercayaan para investor dan sebagai salah satu indikator pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Saya kira salah satu faktornya adalah kebijakan Pemerintah Daerah seharusnya lebih ramah terhadap sektor investasi. Ketiadaan kepastian hukum untuk melindungi investor pasti akan membuat investasi lesu. Ketika pertama kali melihat kerusakan yang sangat besar akibat tsunami, bagaimana Bapak merasa yakin untuk mampu mengerjakan rehabilitasi dan rekonstruksi? Saat pertama melihat dampak gempa dan tsunami yang meluluhlantakkan Aceh, baik dari sisi infrastruktur, kondisi psikologi masyarakat ditambah lagi konflik yang masih berlangsung, jujur saja saya merasa ragu mampu membangun Aceh seperti sedia kala. Setelah enam bulan di Aceh, saya bertemu dengan banyak masyarakat korban tsunami, mendengar harapan-harapan mereka, saya mulai berpikir sudah saatnya masyarakat Aceh tidak lagi hanya diperlakukan sebagai korban bencana, namun juga sebagai masyarakat yang ingin membangun daerahnya. Saya mengajak segenap masyarakat Aceh untuk bersama-sama membangun Aceh kembali, karena saya di Aceh ini cuma sementara sedangkan masyarakat Aceh disini selama-lamanya. Masyarakat Aceh dapat melihat ketulusan niat saya sehingga banyak yang mau berkontribusi dan membantu saya dalam membangun Aceh kembali. Dari situlah mulai timbul keyakinan dalam diri saya bahwa saya bisa membangun Aceh kembali, karena saya tidak sendiri dalam membangun Aceh. BRR berhasil membangun Pelabuhan Ulee Lheue dalam waktu 7 bulan dan Pelabuhan Malahayati dalam waktu 9 Bulan. Ini sesuatu yang luar biasa, dan diluar ekpektasi semua orang dan tidak mungkin terwujud tanpa adanya dukungan dan kepercayaan dari rakyat Aceh. BRR mengelola uang bantuan sebesar $7,2 Milyar dengan penyaluran bantuan tersebut mencapai 93 persen, jauh diatas rekor dunia yaitu Honduras dengan 63 persen, dapat Bapak ceritakan sedikit tentang pencapaian tersebut? Realisasi 93 persen itu jika kita menghitung hanya sampai pada bulan April 2009, saat masa tugas BRR berakhir di Aceh. Saat itu beberapa NGO masih membangun rumah bantuan dan menyalurkan bantuan lainnnya untuk korban tsunami. Jadi kalau saya perhitungan saya tidak salah jumlah realisasi penyaluran bantuan untuk Aceh itu adalah sekitar 103 persen di akhir tahun 2009. Bagaimana bisa realisasinya melebihi 100 persen? Saya menyewa dua perusahaan finance kelas dunia, yaitu Price Water House Cooper dan untuk mengaudit dan Ernst & Young untuk sistem pengendalian keuangan. Segala laporan saya buka ke publik. Saya juga menggagas satuan anti korupsi di BRR. Saya ingin mendapatkan kepercayaan dunia dengan menunjukkan bahwa kita tidak main-main dalam membangun Aceh kembali. Ketika kita berhasil mendapatkan kepercayaan dunia, maka bantuan pun terus mengalir untuk Aceh. Selain kegiatan yang dilaksanakan langsung oleh BRR, ada begitu banyak NGO dari seluruh dunia hadir membantu Aceh, Bagaimana Bapak mensinergikannya? Saya menggunakan metode yang sangat sederhana namun sangat efektif yaitu hanya berupa dua lembar formulir. Saya meminta seluruh NGO yang ingin menyalurkan bantuan untuk Aceh mengisi formulir yang isinya Lembaga apa, dari negara mana, berapa jumlah dana yang disumbangkan, membawa barang apa, bentuk sumbangannya apa, dan lokasinya dimana. Formulir itu lalu saya kumpulkan dan pelajari selanjutnya saya arahkan untuk menyalurkan bantuannya. Tantangan terberat saat Rehab Rekon di Aceh? Saat itu kondisi Aceh masih didera konflik, walau penandatangan MoU Helsinki sudah terlaksana namun tidak serta merta membuat situasi menjadi kondusif. Pernah dalam perjalanan ke Calang, saya dan rombongan dicegat oleh sekelompok orang tidak dikenal, saat itu sekitaran tengah malam. Saya menjelaskan bahwa saya dan rombongan ini dari BRR, datang untuk memberikan bantuan kepada masyarakat korban gempa dan tsunami di Calang. Saya bersyukur tanpa ada diskusi yang panjang kami akhirnya dipersilahkan melanjutkan perjalanan. Menurut saya hal-hal seperti ini sangat menghambat pergerakan BRR dalam penyaluran bantuan untuk Aceh saat itu. Saat ini Aceh mengembangkan pusat kajian mitigasi bencana untuk berbagi pengalamannya dengan masyarakat dunia, bagaimana bapak melihat ini sebagai sesuatu yang strategis? Saya melihat hal ini sebagai hal yang penting, ada banyak pelajaran yang dapat diambil dari gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh. Dengan adanya pusat kajian ini, data, fakta, maupun pengalaman penyintas gempa dan tsunami yang dapat menjadi sebuah penelitian yang manfaatnya dapat dipublikasikan dan juga diterapkan tidak hanya di Aceh tapi dimanapun tempat yang berpotensi menghadapi ancaman yang sama. Apa pengalaman yang paling berkesan di Aceh? Untuk saya yang paling berkesan di Aceh itu adalah SDN 17 Peulanggahan Banda Aceh. Peulanggahan itu salah satu daerah cukup parah terkena dampak gempa dan tsunami. Setelah SD tersebut melakukan pendataan ulang, ternyata jumlah murid yang selamat hanya 14 orang. Saya memerintahkan untuk membangun ulang SD tersebut walaupun banyak yang mempertanyakan keputusan saya. Keputusan saya tidak salah, tahun ke tahun siswa di SD tersebut terus bertambah. Saya juga sempat berfoto dengan ke 14 siswa tersebut sebagai kenang-kenangan. Ini pengalaman yang sangat berkesan untuk saya selama di Aceh. Pertumbuhan penduduk atau perkembangan kota Banda Aceh concern terhadap pemukiman pada kawasan rawan bencana, padahal dulu pernah digagas agar tidak bermukim di kawasan tersebut, bagaimana pendapat bapak? Saya melihat ketakutan dan trauma terhadap bencana gempa dan tsunami hanya berlangsung setahun. Setelah itu masyarakat mulai pulih dan kembali bermukim didaerah yang rawan terkena tsunami. Penetapan kawasan rawan bencana ini sangat sulit diterapkan karena ada tiga faktor yaitu romantisme kepemilikan tanah tersebut karena sudah turun temurun tinggal didaerah tersebut, keyakinan bahwa bencana tsunami tidak akan terulang lagi dalam waktu dekat, dan mata pencaharian karena banyak masyarakat yang