Dishub

Tahun Depan, Beli Tiket Kapal Penyeberangan di Aceh Melalui Aplikasi E-Ticketing

Digitalisasi telah merambat hampir ke seluruh lini kehidupan, dunia transportasi salah satunya. Pembelian tiket berbasis online dan kartu elektronik (cashless) akan diterapkan di pelabuhan penyeberangan di Aceh. Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue sebagai leading project-nya. Selasa siang, 13 Juli 2021, Dinas Perhubungan Aceh melalui bidang pelayaran menggelar diskusi terkait regulasi “Penerapan Transaksi Elektronik Pada Tiket Angkutan Penyeberang Lintasan Antar Kabupaten/kota di Aceh” bersama pihak PT. ASDP Indonesia Ferry Cabang Banda Aceh dan Singkil serta Biro Hukum Setda Aceh di aula Dishub Aceh. Penerapan transaksi berbasis daring ditujukan untuk mempermudah masyarakat. Harapannya, dapat diterapkan dalam waktu dekat. “Kita harapkan e-ticketing dapat diterapkan segera di Pelabuhan Ulee Lheue sebagai leading project tahun 2022, tentunya agar pelayanan bagi masyarakat menjadi semakin baik,” ujar Muhammad Al Qadri, Kepala bidang pelayaran. Sejauh ini pihak ASDP telah bersiap untuk penerapan pelayanan berbasis digital di Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue, Banda Aceh. “Kita sudah siapkan aplikasi yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk pembelian tiket kapal yang terintegrasi ke seluruh Indonesia, masyarakat dimana pun berada dapat beli tiket secara daring dan meminimalkan antrian di lapangan,” tutur Syamsudin, GM ASDP Indonesia Ferry Cabang Banda Aceh. Andi Muhammad Harun menyampaikan, PT. ASDP Indonesia Ferry Cabang Singkil siap membantu dan mendukung pelaksanaannya. Ia menambahkan bahwa sistem barcode dengan kartu elektronik pernah diterapkan untuk transaksi tiket, namun belum maksimal karena masyarakat banyak yang belum memiliki kartu elektronik. Hal ini juga menjadi pertimbangan khusus. Jika Anda pernah ingin mengunduh video dari pengguna Instagram yang bersifat pribadi, sekarang Anda dapat melakukannya dengan Pengunduh Video Pengguna Instagram Pribadi kami. Akseslah konten eksklusif dan simpanlah video-video spesial yang hanya tersedia untuk kelompok pengikut terpilih. Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor PM 19 Tahun 2020 telah mengamanatkan penyediaan tiket elektronik pada seluruh pelabuhan penyeberangan di Indonesia untuk meningkatkan keselamatan dan kualitas angkutan penyeberangan yang berdaya saing global serta peningkatan pelayanan jasa pemesanan tiket yang efisien, efektif dan cepat. “Kita perlu mencari mekanisme dan langkah tepat terkait e-ticketing yang tertuang dalam regulasi guna meningkatkan pelayanan berbasis elektronik sesuai amanat permenhub yang mengatur khusus mengatur masalah tiket elektronik,” jelas Frizal, perwakilan Biro Hukum Setda Aceh. Al Qadri berterima kasih atas dukungan semua pihak baik operator dan biro hukum agar penerapan penyelenggaraan tiket eletronik dapat berjalan lancar dan konsisten. Pengesahan kebijakan hukum ini juga bentuk sinergi seluruh pemangku kepentingan dalam menerapkan e-ticketing pada angkutan penyeberangan Aceh. (MS)

Masihkan Kita Perlu Terminal

Mencermati kondisi terminal yang kian lama makin berkurang aktivitasnya dikarenakan berkurangnya armada angkutan umum yang beroperasi, apakah fungsi dan keberadaan terminal bagi masyarakat masih diperlukan? Terminal angkutan umum merupakan fasilitas umum sebagai bagian dari prasarana lalu lintas angkutan jalan. Layaknya sebuah fasilitas umum, terminal memiliki kejelasan produk-produk untuk disajikan kepada objek-objek  yang dilayani. Bagi sebuah terminal, produksi yang dimaksud tentu bukanlah barang-barang, melainkan berbagai jenis jasa dari berbagai layanan fasilitas yang tersedia. Fasilitas-fasilitas minimal dengan standar pelayanannya  telah diatur dan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 40  Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Penyelenggaraan Terminal Penumpang Angkutan Jalan. Produk-produk jasa terminal setidaknya ditujukan terhadap tiga obyek layanan (konsumen), yaitu armada angkutan, penumpang serta masyarakat pengunjung. Objek layanan pertama, sebagai bagian pelayanan terminal yang paling pokok, adalah melayani armada angkutan dengan ketersedian fasilitas loket dan area parkir dalam menaikkan dan menurunkan penumpang. Obyek pelayanan kedua adalah penumpang. Bagi penumpang, terminal menjadi tempat untuk mendapatkan pilihan berbagai angkutan umum yang tersedia. Terminal juga menjadi lokasi transit, dari satu trayek ke trayek lainnya. Penumpang juga membutuhkan fasilitas informasi, untuk kejelasan/ketepatan jadwal angkutan dalam melakukan perjalanan. Objek ketiga yaitu bagi masyarakat umum, terminal diharapkan akan memberikan fasilitas pelayanan jasa fasilitas umum yang baik dan nyaman, seperti toilet, ruang tunggu, kantin/pertokoan, musalla dan fasilitas pendukung lainnya. Pengawasan Transaksi Bagi Pemerintah selaku pengelola, terminal memiliki arti penting dalam menjalankan tugas-tugas kepemerintahan. Undang-Undang No. 22 Tahun 2019 tentang LLAJ mewajibkan pemerintah untuk menyediakan sarana angkutan umum bagi masyarakat dalam melakukan perjalanan. Pemerintah menerapkan kebijakan dengan mengikutsertakan peran swasta dalam penyediaan sarana angkutan umum bagi kepentingan pembangunan perekonomian rakyat. Terminal menjadi tempat bagi pengawasan transaksi antara penumpang dan pengusaha angkutan. Untuk tujuan tersebut, terminal menjadi check point bagi Pemerintah dalam melakukan pengawasan-pengawasan tersebut. Di wilayah Aceh, pelayanan operasi Angkutan Antar Kabupaten Dalam Provinsi (AKDP) yang berjalan saat ini dominan dijalankan oleh perusahaan angkutan minibus/mikrobus yang memberi keuntungan lebih fleksibel menjangkau daerah-daerah pinggiran kota dan kondisi jalan yang sempit. Fleksibilitas ini memberikan ruang bagi armada minibus untuk menambahkan layanan antar jemput (door to door) bagi penumpang di dalam perkotaan dan di pinggiran. Penumpang semakin dimanjakan tanpa perlu menunggu atau membeli tiket datang terlebih dahulu ke terminal. Namun demikian, fleksibilitas inilah yang membuat pengawasan pemerintah terhadap angkutan umum semakin sulit dilakukan. keberadaan terminal dalam menjalankan fungsi pengawasan bagi angkutan umum tidak dapat dijalankan karena transaksi antara penumpang dan angkutan tidak lagi didalam terminal. Pemerintah tidak dapat memberikan kepastian/mengawasi jadwal angkutan yang bergerak, standar kualitas pelayanan yang dijalankan, laik jalan kendaraan dan informasi-informasi lain terkait ketersediaan angkutan. Rasa aman, nyaman, dan selamat bagi penumpang tidak dapat dikendalikan. Dengan terkonsentrasinya kembali penumpang dan armada angkutan didalam terminal, akan memudahkan Pemerintah dalam memberikan jaminan  keamanan,  kenyamanan dan keselamatan. Upaya Revitalisasi Terminal Tidak dipungkiri, keberadaan terminal-terminal saat ini seperti telah kehilangan daya tarik sebagai ikon suatu wilayah kota. Revitalisasi terminal-terminal perlu segera dapat dijalankan agar kembali bangkit dan berperan sesuai dengan kondisi jamannya. Revitalisasi dengan mengedepankan konsep modern untuk infrastruktur/fasilitas dan operasional. Revitalisasi  memberi nilai tambah terminal dengan menambah obyek layanan: bagi kebutuhan pengendara pribadi dan pengusaha UMKM lokal. Obyek layanan pengendara pribadi dan pengusaha UMKM akan dipertemukan pada fasilitas pelayanan ‘rest area’. Terminal yang memberi pelayanan beristirahat bagi pengemudi angkutan pribadi dan angkutam umum, yang didukung oleh kesiapan pelayanan pelaku UMKM untuk perberdayaan ekonomi masyarakat lokal. Fasilitas ini dapat meningkatkan pelayanan terminal berupa restoran/rumah makan, kafetaria, kantin dan warung swalayan. revitalisasi juga akan memikat warga kota dengan memberi nilai keindahan dari fungsi taman di dalam terminal.(Rizal Syahisa) Selengkapnya cek di

Persyaratan yang Harus Dipenuhi dalam Perencanaan Kapal

Perencanaan KMP. Aceh Hebat 1 dan KMP. Aceh Hebat 2 dimulai dari selesainya proses pengadaan konsultansi di Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa Aceh. Tertanggal 1 Agustus 2018, PT. Dharma Kreasi Nusantara menandatangani kontrak dengan Dinas Perhubungan Aceh untuk pekerjaan Perencanaan Pembangunan Kapal Ro-Ro Untuk Lintasan Simeulue – Pantai Barat dan Lintasan Ulee Lheue – Balohan Sabang yang kelak melahirkan Kapal KMP. Aceh Hebat 1 dan KMP. Aceh Hebat 2. Desain standar kapal penyeberangan Ro-Ro yang optimal untuk lintasan Ulee Lheue – Balohan dan lintasan Simeulue – Pantai Barat dengan tonase antara 1000 – 1500 GT dengan mempertimbangkan kapal yang sudah beroperasi baik dari sisi ukuran, bentuk, maupun sistem operasinya sebagai bahan evaluasi untuk menghasilkan desain yang lebih baik, lebih handal, dan lebih ekonomis baik dari biaya pembangunan maupun operasionalnya. Proses perencanaan yang berlangsung selama 150 (seratus lima puluh) hari diisi dengan beberapa tahapan pekerjaan. Diawali dengan survei ke pelabuhan penyeberangan untuk memperoleh gambaran informasi prasarana dan fasilitas yang tersedia. Mengacu kepada rencana induk masing-masing pelabuhan serta memperhatikan beberapa indikator seperti tingkat pertumbuhan penumpang dan kendaraan yang diangkut menjadi salah satu faktor dalam penentuan kapasitas maupun dimensi pada disain kapal. Penjaringan ide atau gagasan yang perlu digali dari stakeholder juga dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan mengundang Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten/Kota di Aceh yang mengelola Pelabuhan Penyeberangan. Pada umumnya para peserta sangat mendukung penambahan armada kapal ferry roro untuk lintasan penyeberangan di Aceh, dengan pertimbangan lonjakan penumpang dan antrian kendaraan pada waktu-waktu tertentu, seperti hari libur, hari besar keagamaan, serta pengiriman logistik untuk masyarakat di kepulauan yang tidak boleh terputus serta potensi wisata yang semakin meningkat di Aceh, khususnya di Sabang. Melalui FGD ini pula, dan mempertimbangkan desain awal yang telah dilakukan, perkiraan pembangunan Kapal Ferry Ro-Ro untuk kedua lintasan yang telah direncanakan membutuhkan waktu selama 2 (dua) tahun anggaran. Pada proses desain kapal, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain perkembangan teknologi desain kapal modern (modern ship design) serta aspek keamanan, keselamatan, dan kenyamanan yaitu terkait dengan standar konstruksi kapal, stabilitas kapal, dan getaran kapal dengan mengacu pada standar klasifikasi ataupun regulasi baik lokal ataupun internasional seperti Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), Safety of Life at Sea (SOLAS), dan Marine Pollution (MARPOL). Dalam mengawal terpenuhinya persayaratan desain kapal, kegiatan ini turut melibatkan pihak yang berkompeten, salah satunya Balai Teknologi Hidrodinamika (BTH) sebagai unit kerja di bawah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Berlokasi di komplek Institut Teknologi Surabaya (ITS), BTH merupakan fasilitas pengujian hidrodinamika teknologi bidang perkapalan dan bangunan apung lainnya dengan fasilitas modern ber-skala industri dan terbesar di Asia Tenggara. Peran BTH pada kegiatan ini adalah melakukan pengujian resistance (hambatan) melalui uji tarik model kapal pada towing tank (kolam uji tarik) yang bertujuan untuk mengetahui prediksi besarnya hambatan bagi kebutuhan daya mesin pada kapal untuk mencapai kecepatan desain kapal. Hasil desain yang sudah dilaksanakan selanjutnya dikonsultasikan dan mendapat persetujuan dari BKI sebagai satu-satunya badan klasifikasi nasional yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah Indonesia untuk mengklasifikasi kapal niaga berbendara Indonesia. Hal ini merujuk kepada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 7 Tahun 2013 Tentang Kewajiban Klasifikasi Bagi Kapal Berbendera Indonesia pada Badan Klasifikasi. Pada proses perencanaan ini, Kementerian Perhubungan RI melalui Ditjen Perhubungan Darat turut memberikan masukan dan arahan baik yang bersifat teknis maupun tinjauan terhadap persyaratan yang harus dipenuhi dalam sebuah perencanaan kapal.  Masukan dan arahan diberikan pada saat pelaksanaan FGD maupun pembahasan dokumen perencanaan. Berbagai tahapan dalam proses perencanaan kapal yang dituangkan ke dalam dokumen perencanaan, menjadi dasar dalam pembangunan Kapal Penyeberangan untuk lintasan Sinabang – Wilayah Pantai Barat Aceh dan Ulee Lheue – Balohan Sabang yang kemudian dinamai dengan Kapal KMP.  Aceh Hebat 1 dan KMP.  Aceh Hebat 2. (Diana Devi) Download 

Ketika Isu Kesenjangan Tidak Digubris

Februari 2020, jagat perfilman Asia berbangga dengan keberhasilan film Parasite menjuarai Piala Oscar. Lebih wah lagi, Parasite menjadi film Asia pertama yang berhasil menyabet penghargaan prestisius tersebut. Empat penghargaan diborong oleh Parasite, berupa sutradara terbaik, film internasional terbaik, naskah asli terbaik, dan film terbaik. Film tersebut menceritakan tentang kondisi dua keluarga yang sama sekali berbeda. Yang satunya kaya, satunya lagi tak berdaya. Ada keluarga yang setiap hari berbahagia layaknya keluarga Park, ada keluarga yang harus berjuang sekuat tenaga hanya untuk bertahan hidup layaknya keluarga Kim. Film tersebut secara garis besar menyindir isu ketimpangan sosial di Korea Selatan yang oleh Bong Joon Ho, sutradara film tersebut, digambarkan bahwa ada sekelompok orang yang bahkan harus menjadi parasit di kehidupan orang lain untuk bisa bertahan hidup. Maju satu tahun ke depan, melangkah jauh ke seberang, Badan Pusat Statistik (BPS) melansir sebuah data kemiskinan. Data tersebut kembali menempatkan Aceh sebagai daerah termiskin di Sumatera dengan persentase 15,43 persen, setelah tahun lalu berhasil keluar dari predikat tersebut.  Jika ingin diurai lebih luas, persentase kemiskinan di desa tercatat sebesar 17,9 persen, sementara di kota sebesar 10,31 persen (BPS Aceh, Profil Kemiskinan di Aceh, 2021). Hal ini sedikit banyak menandakan ketimpangan kemiskinan antara penduduk desa dan kota di Aceh. Ada beberapa alasan yang menyebabkan lebarnya ketimpangan kemiskinan di wilayah pedesaan. Salah satunya adalah kurangnya aksesibilitas masyarakat yang disebabkan kurangnya akses masyarakat terhadap transportasi. Jika akses transportasi sulit, maka biaya yang harus dikeluarkan oleh penduduk desa jika ingin menjual barang-barangnya akan semakin besar. Selain itu, kurangnya akses transportasi mengurangi kesempatan penduduk desa untuk menjual barangnya ke pasar yang lebih luas. Hal ini akan menyebabkan pendapatan penduduk di wilayah pedesaan akan berkurang. Karena itulah, Bank Dunia menyarankan perbaikan sarana infrastruktur, terutama transportasi di wilayah pedesaan sebagai salah satu fokus strategi penurunan angka ketimpangan sosial. Tersedianya insfrastruktur yang baik memungkinkan masyarakat pedesaan untuk mendapatkan akses kehidupan yang lebih baik. Dari poin ini, maka akses transportasi tentu memegang peran penting untuk memperbaiki akses masyarakat. Pelayanan transportasi haruslah hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Tak hanya masyarakat perkotaan, akses transportasi juga harus menyentuh masyarakat bahkan di daerah terdepan dan terluar. Dengan akses transportasi yang baik, maka akan mengurangi biaya transportasi dan akan menghubungkan petani dan pelaku ekonomi di desa dengan pasar yang lebih luas, memungkinkan pekerja untuk bergerak lebih jauh, mengurangi masa tunggu pengiriman, dan membuka peluang pariwisata. Kembali kepada film Parasite, memang film tersebut tidak secara terang-terangan menyebut bahwa penyebab kemiskinan yang dialami oleh keluarga Kim memang disebabkan oleh kurangnya akses transportasi yang bisa digunakan oleh keluarga Kim. Namun, film tersebut memberikan sedikit gambaran apa yang terjadi jika isu kesenjangan kemiskinan tidak digubris. Yang terjadi adalah ada sekelompok orang yang harus menikam orang lain dari belakang, bahkan harus mengorbankan orang yang tidak bersalah lalu mencari pembenaran agar tetap bisa bertahan hidup. Tentunya kita berharap kejadian tersebut tak akan pernah keluar dari layar monitor. Karena itu, mari bersama mendukung pembangunan akses transportasi yang lebih baik supaya slogan Aceh Hebat tidaklah hanya sekadar mimpi. (Putra Randa) Selengkapnya cek di sini

Urgensi Kehadiran Kapal Aceh Hebat

Aceh menempati wilayah ujung paling barat di Pulau Sumatera, Indonesia.Secara geografis sebelah utara dan timur Aceh berbatasan dengan Selat Malaka, dan sebelah barat berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Permasalahan angkutan penyeberangan yang terjadi di Aceh adalah masih kurangnya layanan transportasi yang menghubungkan wilayah daratan dan kepulauan, namun kebutuhan dasar masyarakat harus tetap berlangsung. Di samping itu sistem jaringan transportasi yang ada belum sepenuhnya terintegrasi dengan baik sehingga menyulitkan perkembangan angkutan logistik. Untuk menghubungkan antar daratan/pulau sudah sewajarnya angkutan penyeberangan menjadi pilihan karena pastinya lebih murah dan mampu mengangkut barang dalam jumlah besar dibanding dengan angkutan udara,  kehadiran angkutan penyeberangan pun bersifat urgent atau harus segera dipenuhi guna mewujudkan transportasi yang berkeadilan yang setara dengan wilayah daratan. Selama ini, kondisi prihatin penumpukan penumpang dan angkutan barang/kendaraan yang membawa logistik terhambat pemasokan ke wilayah kepulauan sehingga harga pasar tidak terkendali, terlebih jika musim liburan tiba, penumpang melonjak signifikan. Hampir di setiap musim liburan, ratusan penumpang masih harus menginap di area pelabuhan bahkan bisa berhari-hari untuk menunggu antrian agar dapat menyeberang. Penundaan keberangkatan kapal penyeberangan yang disebabkan faktor alam atau kerusakan kapal juga sangat memberi dampak yang luar biasa kepada kehidupan masyarakat di sekitar pulau. Terlebih jika membawa muatan sayur mayur hasil perkebunan, tentu akan menyebabkan kerugian bagi petani jika harus menunda keberangkatannya. Kondisi ini tidak pernah dirasakan oleh masyarakat di daratan. Dilihat dari sisi keindahan alam yang dimiliki Aceh, selain Sabang dan Simeulue, Pulau Banyak juga potensial dikembangkan sebagai destinasi wisata, panorama alamnya sangat menggugah wisatawan berkunjung ke pulau itu. Namun selama ini, sarana transportasi kerap menjadi penghambat minat wisatawan untuk berkunjung ke pulau yang dikenal dengan keindahan pantainya itu. Terbatasnya transportasi yang memenuhi standar keselamatan dan tidak pastinya jadwal keberangkatan kapal penyeberangan membuat wisatawan acap kali telantar dan mengurung niat untuk berkunjung. Tidak sedikit  masyarakat dan pelancong yang hendak pergi terpaksa mengandalkan jasa  boat tradisional milik nelayan sekitar. Kapal boat tradisional juga sangat bergantung pada kondisi cuaca, jika gelombang besar maka kapal akan berhenti berlayar. Atau jika air laut surut kapal akan lama berlayarnya menunggu air laut pasang atau naik. Dilansir dari media daring, beberapa wisatawan asal Medan yang hendak menyeberang ke Pulau Banyak, Aceh Singkil, telantar di sekitar pelabuhan Singkil, Minggu (6/8/2017). Akibat tidak ada perahu yang bisa menyeberangkan mereka mengarungi lautan. Sehingga wisawatan domestik ini, hanya bisa duduk termenung di kursi kayu yang ada di area Pelabuhan Singkil. Faktor keselamatan jadi ancaman, kecelakaan kapal kecil atau kapal tradisonal yang berbahan kayu dengan sistem bahan bakar yang kurang memenuhi standar keselamatan pelayaran, temperatur ruang mesin melebihi 42 derajat celsius serta sistem kelistrikan kapal tidak sesuai standar. Tidak tersedianya transportasi tujuan Pulau Banyak yang nyaman, murah meriah menjadi kendala dalam mengembangkan wisatawan di daerah itu. Kapal feri sebelumnya hanya ada dua kali sepekan yaitu KMP. Teluk Singkil, sementara perahu tradisional berangkat tidak tentu jadwalnya. Angkutan penyeberangan merupakan faktor  penunjang utama masuk dan keluarnya wisatawan ke Pulau Banyak. Tak hanya penyeberangan dari Singkil, transportasi antar pulau juga tak kalah penting untuk segera ditata pemerintah. Masyarakat Pulau Banyak sangat berharap agar ada penambahan armada kapal penyeberangan, mengingat intensitas penumpang yang cukup tinggi untuk menggunakan jasa angkutan penyeberangan. Terutama yang membawa kendaraan, jumlahnya mencapai puluhan unit setiap keberangkatan. Penambahan armada kapal sangat dibutuhkan  untuk menyeimbangi lonjakan penumpang/barang sehingga dapat memenuhi kebutuhan logistik serta merangsang sektor pariwisata. Hadirnya KMP Aceh Hebat merupakan salah satu perwujudan dari pemenuhan tujuan yang ingin dicapai pada Visi Misi Pemerintah Aceh tahun 2017-2022 yaitu “Mengurangi Ketimpangan Antar Wilayah”, kegiatan pembangunan kapal ferry Ro-Ro pada Dinas Perhubungan Aceh dengan anggaran 178 miliar rupiah untuk ketiga kapal. Kapal itu diplot untuk mencapai sasaran meningkatkan konektivitas antar wilayah/antar pulau di Aceh.  Pengadaan 3 kapal ini juga mendukung program Presiden RI, Joko Widodo dalam mengoptimalkan sektor kemaritiman Indonesia, melalui program tol laut salah satunya. Dengan menambah armada kapal baru,  bukan berarti persoalan terkait transportasi perairan sudah tertangani. Masih perlu membenahi permasalahan pelayanan, fasilitas umum, birokrasi sampai sumber daya manusia yang berkompeten. Setiap kebijakan yang dilakukan tentu harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, dan tanpa dukungan dari masyarakat tentu apa yang telah dipersembahkan tidak akan optimal. (Dewi Suswati) Download

Kenangan di Pelabuhan Ujung Karang Meulaboh

WALAU tidak seindah dahulu, disebabkan bencana tsunami, Pantai Ujung Karang Meulaboh, Aceh Barat saat ini masih merupakan kawasan wisata pantai bagi masyarakat Meulaboh dan sekitarnya. Setiap Minggu, kawasan ini ramai dikunjungi masyarakat untuk berakhir pekan bersama keluarga sekadar menikmati suasana pantai dengan menikmati panorama senja dan berbagai sajian jajanan warung yang bertebaran di sekitar pantai. Dulu, kawasan ini lebih ramai lagi dari sekarang. Karena di kawasaan ini dulu pernah ada dermaga pelabuhan penyeberangan yang disebut dengan Pelabuhan Ujung Karang Meulaboh. Saat itu, pelabuhan Ujung Karang ramai dengan aktivitas melayani penyeberangan masyarakat dari Meulaboh ke Pulau Simeulue atau sebaliknya. Bencana tsunami yang melanda Aceh pada 2004 lalu telah mengubah segalanya. Dermaga pelabuhan ini luluh lantak dan kini hanya menyisakan beberapa puing-puing tiang dan lantai dermaga. Praktis sejak saat itu dermaga ini pun tidak berfungsi sebagaimana layaknya pelabuhan penyeberangan. Satelah itu, pelabuhan ini dimanfaatkan nelayan sekitar untuk merapat kapal kapal kecil mereka bersandar usai beraktivitas melaut. Supervisor ASDP Cabang Meulaboh, Teuku Ridha kemudian mengambil inisiatif memindahkan semua aktivitas pelabuhan ke Pelabuhan Labuhan Haji di Aceh Selatan. “Tentu dengan persetujuan ASDP Pusat,” ungkap Teuku Ridha, saat dihubungi redaksi Aceh TRANSit melalui hub telpon. Saat itu, setelah tsunami, keadaan memang sangat kacau balau dan mencekam. “Dermaga dan pelabuhan serta kantor ASDP hancur total, kami cuma bisa mengamankan arsip-arsip penting yang masih ada dari kantor kami yang berada tidak jauh dari pelabuhan,” kisah Teuku Ridha mengakhiri percakapan. Dalam masa rekontruksi dan rehabilitasi Aceh pasca tsunami, masyarakat dan pemda setempat tentu sangat membutuhkan pelabuhan yang dapat digunakan untuk bersandarnya kapal-kapal bantuan dan kapal-kapal barang. Hingga pada tahun 2005, dibangun pelabuhan barang di kawasan tersebut. “Singapura membangun dermaga pelabuhan kapal barang disebelahnya yang diberi nama pelabuhan Jetty, yang mulai beroperasi sekitar tahun 2008,” ujar Sekretaris Dinas Perhubungan Aceh Barat, Zuharbiansyah. Sedangkan untuk melayani penyeberangan, Kementerian Perhubungan RI membangun dermaga pelabuhan kapal penyeberangan Kuala Bubon yang berada di kawasan Lhok Bubon, Aceh Barat. “Pelabuhan Bubon ini baru dioperasikan pada tahun 2012,” ujar Zuharbiansyah. Taufik, warga Ujung Karang menyimpan secuil kisah tentang hiruk pikuk calon penumpang dan kendaraan angkutan barang di pelabuhan yang kini hanya berbentuk tiang-tiang dermaga. Taufik mengenang saat-saat sebelum bencana tsunami yang meluluhlantakkan hampir sebagian besar wilayah Aceh. Kota Meulaboh, Aceh Barat, termasuk daerah yang porak poranda dalam musibah itu. “Sejak adanya dermaga pelabuhan Jetty, geliat pembangunan wilayah Meulaboh kembali berjalan lancar,” ungkap Taufik. (Rizal Syahisa) Selengkapnya di : https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Menjelang Ramadhan, KMP. Teluk Sinabang Tetap Beroperasi Reguler

Menjelang Ramadhan, KMP. Teluk Sinabang beroperasi secara reguler. Bertolak jam 7 sore hari dari Pelabuhan Penyeberangan Sinabang menuju Meulaboh, 10 April 2021. Kapal ini membawa 197 penumpang dan 27 kendaraan roda empat merupakan jenis mobil minibus dan truk (kendaraan golongan IV dan V) serta 56 sepeda motor. Keberangkatan dari Meulaboh menuju Sinabang pada jam 2 siang tadi, 11 April 2021 membaw 292 penumpang, 26 kendaraan golongan IV dan V serta 48 unit sepeda motor. Kenaikan arus penumpang dan kendaraan ini terlihat di sepanjang ruas jalan wilayah Barat – Selatan dan juga kegiatan Meugang yang telah menjadi budaya menjelang ramadhan.

Ada Sophan Sofiyan di Mercusuar Willem’s Torren III

MEMASUKI pintu gerbang area berdirinya Mercusuar Willems Toren III, yang terletak tepatnya dikawasan hutan kampung Meulingge, Pulau Aceh, Aceh Besar, kita akan bertemu beberapa bangunan berasitektur Belanda dan diujung lokasi masih berdiri kokoh sebuah mercusuar bernama Willem’s Torren III, salah satu dari tiga warisan mercusuar peninggalan Belanda di dunia. Saat Pengunjung menyusuri kawasan ini menikmati pemandangan laut dari ketinggian, pengunjung pasti akan bertemu dan akan disapa oleh Sophan Sofiyan, Beliau adalah s a l a h seorang penjaga mercusuar yang sudah cukup lama bertugas menjaga kawasan seluas kurang lebih 20 hektar ini. Sophan Sofiyan (48th) bukanlah bintang film era 7 0 a n . Beliau adalah s a l a h seorang Pegawai Negeri S i p i l ( P N S ) y a n g bertugas di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub RI yang berkantor di Sabang dari tahun 1994. Dimulai dari tahun 1998 Pak Sophan mulai ditugasi menjadi pengawas kawasan Mercusuar Willem’s Toren III bergantian ditemani seorang rekan sesama PNS dibantu dua tenaga honorer dari warga asli setempat. “Keluarga saya di Sabang, setiap tiga bulan pergantian shift saya pulang ke Sabang,” ungkapnya saat bercerita dengan Tim Aceh TRANSit di kawasan mercusuar ini. Saat ditanya suka duka menjaga Mercusuar ini, Pak Sophan pun mulai bercerita panjang lebar. Suka dukanya cuma sepi saja. “Dahulu di awal awal saya bertugas di sini suasana masih sepi sekali, jalanan dan bangunan masih seadanya belum direnovasi dari sejak ditinggal oleh Belanda,” ujarnya. Listrik belum ada, air bersih pun cuma berharap dari hasil tampungan hujan. Sekarang sudah ada mesin listrik sendiri. Kebutuhan bahan bakar mesin masih dipasok dari Banda Aceh yang dan harus dipikul sendiri dari pelabuhan yang berjarak 2 Km dengan berjalan kaki. Disebakan tiadanya angkutan umum yang beroperasi di kawasan ini dan dikarenakan medan yang harus ditempuh juga cukup curam. Dan sejak saat i t u , s e l a i n menjaga, beliau dan rekan-rekannya juga harus merawat situs mercusuar dan kawasan ini yang sudah berusia 200 tahun lebih, tepatnya dibangun oleh Belanda pada tahun 1875. Pak Sophan juga harus menemani pengunjung yang ingin menyusuri tangga dalam hingga puncak menara setinggi 85 meter ini guna menjaga keselamatan mereka. Ada juga kondisi saat di kala Pak Sophan sedang sendirian, pengunjung yang datang bersama keluarga dan anak kecil tidak diperkenankan masuk dan naik ke puncak menara demi keselamatan mereka. Ada juga orang tua yang ngotot dan tetap ingin masuk dan mau menanggung sendiri resiko apa pun. Dengan sabar dan penuh wibawa Pak Sophan menjelaskan resiko-resiko dan akhirnya banyak dari pengunjung yang menerima penjelasan saya, ungkap Sophan di akhir cerita. (Rizal Syahisa)

Kisah Nek Nenok: Menyeberangi Derasnya Arus Sungai Alas dengan Ban

PAGI itu kami disambut oleh beberapa warga Desa Terutung Payung, Kecamatan Bambel, Aceh Tenggara tempat di mana sang pengemudi ban bekas di sungai Alas yang menjadi buah bibir di beberapa media di Aceh. Dialah Nek Nenok. Kami bukan orang yang pertama sampai di kampung sang nenek setelah pemberitaan, melainkan sudah yang kesekian kali. Kedatangan kami disambut hangat oleh beberapa warga dan tuan rumah yang kami tuju. Berperawakan kecil pada umumnya orang Aceh, sepasang kakek nenek ini d i t e m a n i s e p a s a n g c u c u n y a y a n g sedang l i b u r sekolah dan belum sampai usia sekolah. Wajah dibalik masker itu tidak begitu terlihat jelas namun dari pelipis mata terlihat keriput sang nenek ini masih terlihat tidak terlalu tua. Sementara sang kakek memiliki wajah yang lebih tua entah karena akibat sakitnya atau memang sesuai dengan usianya. Anak kecil abang adik juga menyambut kami dengan ramah dan sesekali sang abang mencandai sang adik sebagaimana tingkah umum anak kecil lainnya. Sambil menikmati suasana Kutacane yang pagi itu ramai karena termasuk daerah padat penduduk. Sang nenek dengan suaranya yang pelan bercerita tentang dirinya. Ia telah melakukan p e r j a l a n a n m e ny e b e r a n g i sungai Alas tak kurang dari puluhan tahun lamanya. Dulu b e r s a m a suaminya ia menyeberangi sungai Alas. Namun, kini suaminya dalam keadaan tidak sehat. Nek Nenok yang berusia 70 tahun ini menyeberangi sungai Alas setiap hari jika air sungai tidak meluap karena hujan maupun air bah. Hal ini ia lakukan agar dapurnya tetap mengepul. Ladang jagung miliknya terletak di seberang sungai kampung sebelah. Jika tidak bisa menyeberangi sungai, sang nenek menjadi buruh harian di ladang warga yang berada tak jauh dari rumahnya. Menyeberangi sungai dengan ban bekas bukan pemandangan yang aneh bagi sebagian warga. Karena beberapa warga yang melakukan hal serupa berprofesi sebagai buruh harian. Untuk sampai ke kebunnya, Nek Nenok membutuhkan waktu 60 menit lamanya. Dia harus sangat berhati-hati karena resiko selalu mengintai perjalanannya menyeberangi sungai Alas yang lebarnya hingga 40 meter. Namun, untuk sampai ke tujuan ia harus berjalan kaki lagi selama 45 menit lamanya. Tak ada sedikitpun tersirat di wajah sang nenek rasa susah dan seolah menerima keadaan ini dengan lapang dada. Namun, tetap dengan sedikit harapan mengingat usianya yang terus senja. Harapan sang nenek menjadi harapan warga sekitar tempat nenek tinggal. Yakni adanya pembangunan jembatan penyeberangan tambahan. Jembatan yang akan menghubungi dua desa dan menjadi jembatan harapan banyak warga, sehingga memudahkan mereka menyeberangi sungai untuk mencari nafkah. Selama ini, ‘jembatan harapan’ pernah ada. Namun, lokasinya jauh dan untuk menyeberangi melalui jembatan itu membutuhkan waktu yang lebih lama dikarenakan jaraknya yang jauh. Sementara menyeberang dengan ban jauh lebih hemat dari waktu yang dibutuhkan. Di sini di tanah Alas, cerita ini ditemukan dengan keadaan kekayaan alam yang melimpah. Luasnya hutan dan panjangnya sungai menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka yang ingin berwisata arung jeram. Begitu pula gunung Leuser yang menjadi paru paru dunia. Kisah Nek Nenok hanya satu kisah dari beberapa kisah yang terjadi di pedalaman perairan Aceh Tenggara. Mengingat Nek Nenok, kita jadi teringat kisah di salah satu sungai di Aceh Timur. Adalah Aman Timpo seorang operator getek di sungai Simpang Jernih dan barangkali hal serupa di bantaran sungai di wilayah Aceh lainnya. (Fajar Muttaqin) Selengkapnya cek di laman:

KMP. Aceh Hebat, Sejarah Baru Transportasi Laut Aceh

SESUAI dengan namanya “Aceh Hebat”, kapal ini menjadi sejarah pembangunan sektor transportasi di Aceh dan dibangun dengan anggaran Aceh sendiri. Kelancaran mobilitas penumpang, logistik, dan pengembangan pariwisata kepulauan di Aceh, akan tertumpu pada moda transportasi ini. Harapannya, dengan hadirnya kapal ini dapat menyetarakan taraf kehidupan masyarakat di kepulauan, menjadi sama dengan yang di daratan. “Menurut jadwal, 30 November, kapal (KMP. Aceh Hebat 1 –red) akan di-delivery atau berlayar ke Aceh, selanjutnya akan beroperasi sebagaimana mestinya,” ujar Plt. Gubernur Aceh, Ir. Nova Iriansyah, M.T, saat menyaksikan langsung launching kapal pada galangan PT. Multi Ocean Shipyard di Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau, Sabtu 3 Oktober 2020. Berita kedatangan kapal motor penyeberangan (KMP) Aceh Hebat 1 menjadi sebuah harapan yang baru bagi mereka. Pengorbanan dan proses yang panjang demi mendapatkan sekantong beras, akan lebih terasa ringan. Jembatan penghubung kepada tanah kelahiran dan keluarga telah nampak lebih nyata sekarang. “Aceh belum pernah punya kapal yang dibangun sendiri, kapal pertama ini (KMP. Aceh Hebat 1 –red) kita bangun dengan uang Rakyat Aceh, ukurannya yang relatif besar 1300 GT serta desainnya juga yang up to date, nantinya akan melayari Pantai Barat ke Simeulue. Kapal ini bukan hanya kebanggaan Rakyat Aceh, akan tetapi kebanggaan Indonesia juga,” sebuah penggalan kata dari Plt. Gubernur Aceh (Kini Gubernur Aceh) yang akan menjadi catatan sejarah transportasi laut Aceh. Kapal 1300 Gross Tonnage (GT) berkapasitas 250 orang, 25 unit truk, dan 8 unit kendaraan roda empat ini diharapkan mampu berlayar dengan aman dan selamat dalam gelombang tinggi, disertai angin dan hujan. Jarak tempuh mencapai 120 mil dengan waktu tempuh 10 sampai 11 jam perjalanan, menuntut kapal ini harus benar-benar tangguh berlayar di samudera lepas. Jika musim penghujan, alam pantai barat agak sedikit berkecamuk dengan gelombang tinggi disertai angin kencang dan hujan lebat menjadi keseharian. Begitu pula kisah dari dermaga pelabuhan yang berada di pantai barat, yaitu Pelabuhan Kuala Bubon di Meulaboh, Pelabuhan Calang, dan Pelabuhan Labuhan Haji di Aceh Selatan. Lambung kapal yang bersandar pun kerap bertabrakan dengan badan dermaga hingga menghancurkan fender. Cerita ini tak berujung di sini saja, setelah bermalam menanti hingga cuaca kembali bersahabat, tidak semua truk dapat termuat di dalam kapal dan harus mengantri lagi untuk penyeberangan berikutnya jika antrian kendaraan begitu panjang. Tak perlu dipertanyakan lagi, berapa kali lipat biaya yang harus dikeluarkan oleh mereka – yang tetap teguh agar kebutuhan pokok di kepulauan tetap tersedia-. Sebagai bayangan lagi, proses pengangkutan logistik ini bukan dimulai dari pelabuhan kemudian berlayar di perairan hingga sampai ke wilayah kepulauan. Tidaklah sesimpel itu. Ada proses transportasi darat yang panjang di balik kisah dermaga tadi. Perjalanan darat ini juga tak semulus jalan tol yang terbentang panjang di garis khatulistiwa. Jalan yang ditempuh sungguh berliku dengan geografi alam Aceh ini diitari oleh perbukitan dan pegunungan –bayangkan saja kelok sembilan yang ada di Padang, begitulah karakteristik jalan di Aceh-. Belumlah usai ketangguhan sang sopir pengangkut logistik, saat jalan menanjak dan menurun yang terjal serta berkelok-kelok memaksa sang sopir memutar otak agar truk tak masuk jurang yang berada di tepian jalan. Bunyi rem mobil yang berdecit menambah kewaspadaan. Setelah berjam-jam melewati jalan darat tersebut dengan ribuan tantangan barulah sampai di pelabuhan. Dari sinilah kisah dermaga tadi dimulai. Jika saja cuaca bersahabat, maka tak perlu waktu lama untuk membawa logistik ini ke pulau seberang. Nah, lain cerita jika cuaca ekstrem datang berkunjung, mereka harus mengalah dengan keadaan. Para penumpang harus mengalah untuk menyambutnya terlebih dulu hingga harus menginap di pelabuhan. Begitu pula dengan truk atau mobil-mobil besar pengangkut logistik kebutuhan pokok masyarakat kepulauan. Dapat dibayangkan, jika mengangkut bahan segar seperti sayur mayur dan buah-buahan, pastinya barang tersebut telah “membusuk” sebelum mencapai tanah kepulauan. Semoga saja, memorandum of understanding (MoU) perdamaian dengan ombak dan cuaca ekstrem dapat tertandatangani segera dan alam pun kian bersahabat dengan sang kapal. Sehingga, tak perlu lagi masyarakat ini memutar roda perekonomian secara manual. (Syakirah) Selengkapnya cek di: