Dishub

Kenangan di Pelabuhan Ujung Karang Meulaboh

WALAU tidak seindah dahulu, disebabkan bencana tsunami, Pantai Ujung Karang Meulaboh, Aceh Barat saat ini masih merupakan kawasan wisata pantai bagi masyarakat Meulaboh dan sekitarnya. Setiap Minggu, kawasan ini ramai dikunjungi masyarakat untuk berakhir pekan bersama keluarga sekadar menikmati suasana pantai dengan menikmati panorama senja dan berbagai sajian jajanan warung yang bertebaran di sekitar pantai. Dulu, kawasan ini lebih ramai lagi dari sekarang. Karena di kawasaan ini dulu pernah ada dermaga pelabuhan penyeberangan yang disebut dengan Pelabuhan Ujung Karang Meulaboh. Saat itu, pelabuhan Ujung Karang ramai dengan aktivitas melayani penyeberangan masyarakat dari Meulaboh ke Pulau Simeulue atau sebaliknya. Bencana tsunami yang melanda Aceh pada 2004 lalu telah mengubah segalanya. Dermaga pelabuhan ini luluh lantak dan kini hanya menyisakan beberapa puing-puing tiang dan lantai dermaga. Praktis sejak saat itu dermaga ini pun tidak berfungsi sebagaimana layaknya pelabuhan penyeberangan. Satelah itu, pelabuhan ini dimanfaatkan nelayan sekitar untuk merapat kapal kapal kecil mereka bersandar usai beraktivitas melaut. Supervisor ASDP Cabang Meulaboh, Teuku Ridha kemudian mengambil inisiatif memindahkan semua aktivitas pelabuhan ke Pelabuhan Labuhan Haji di Aceh Selatan. “Tentu dengan persetujuan ASDP Pusat,” ungkap Teuku Ridha, saat dihubungi redaksi Aceh TRANSit melalui hub telpon. Saat itu, setelah tsunami, keadaan memang sangat kacau balau dan mencekam. “Dermaga dan pelabuhan serta kantor ASDP hancur total, kami cuma bisa mengamankan arsip-arsip penting yang masih ada dari kantor kami yang berada tidak jauh dari pelabuhan,” kisah Teuku Ridha mengakhiri percakapan. Dalam masa rekontruksi dan rehabilitasi Aceh pasca tsunami, masyarakat dan pemda setempat tentu sangat membutuhkan pelabuhan yang dapat digunakan untuk bersandarnya kapal-kapal bantuan dan kapal-kapal barang. Hingga pada tahun 2005, dibangun pelabuhan barang di kawasan tersebut. “Singapura membangun dermaga pelabuhan kapal barang disebelahnya yang diberi nama pelabuhan Jetty, yang mulai beroperasi sekitar tahun 2008,” ujar Sekretaris Dinas Perhubungan Aceh Barat, Zuharbiansyah. Sedangkan untuk melayani penyeberangan, Kementerian Perhubungan RI membangun dermaga pelabuhan kapal penyeberangan Kuala Bubon yang berada di kawasan Lhok Bubon, Aceh Barat. “Pelabuhan Bubon ini baru dioperasikan pada tahun 2012,” ujar Zuharbiansyah. Taufik, warga Ujung Karang menyimpan secuil kisah tentang hiruk pikuk calon penumpang dan kendaraan angkutan barang di pelabuhan yang kini hanya berbentuk tiang-tiang dermaga. Taufik mengenang saat-saat sebelum bencana tsunami yang meluluhlantakkan hampir sebagian besar wilayah Aceh. Kota Meulaboh, Aceh Barat, termasuk daerah yang porak poranda dalam musibah itu. “Sejak adanya dermaga pelabuhan Jetty, geliat pembangunan wilayah Meulaboh kembali berjalan lancar,” ungkap Taufik. (Rizal Syahisa) Selengkapnya di : https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Menjelang Ramadhan, KMP. Teluk Sinabang Tetap Beroperasi Reguler

Menjelang Ramadhan, KMP. Teluk Sinabang beroperasi secara reguler. Bertolak jam 7 sore hari dari Pelabuhan Penyeberangan Sinabang menuju Meulaboh, 10 April 2021. Kapal ini membawa 197 penumpang dan 27 kendaraan roda empat merupakan jenis mobil minibus dan truk (kendaraan golongan IV dan V) serta 56 sepeda motor. Keberangkatan dari Meulaboh menuju Sinabang pada jam 2 siang tadi, 11 April 2021 membaw 292 penumpang, 26 kendaraan golongan IV dan V serta 48 unit sepeda motor. Kenaikan arus penumpang dan kendaraan ini terlihat di sepanjang ruas jalan wilayah Barat – Selatan dan juga kegiatan Meugang yang telah menjadi budaya menjelang ramadhan.

Ada Sophan Sofiyan di Mercusuar Willem’s Torren III

MEMASUKI pintu gerbang area berdirinya Mercusuar Willems Toren III, yang terletak tepatnya dikawasan hutan kampung Meulingge, Pulau Aceh, Aceh Besar, kita akan bertemu beberapa bangunan berasitektur Belanda dan diujung lokasi masih berdiri kokoh sebuah mercusuar bernama Willem’s Torren III, salah satu dari tiga warisan mercusuar peninggalan Belanda di dunia. Saat Pengunjung menyusuri kawasan ini menikmati pemandangan laut dari ketinggian, pengunjung pasti akan bertemu dan akan disapa oleh Sophan Sofiyan, Beliau adalah s a l a h seorang penjaga mercusuar yang sudah cukup lama bertugas menjaga kawasan seluas kurang lebih 20 hektar ini. Sophan Sofiyan (48th) bukanlah bintang film era 7 0 a n . Beliau adalah s a l a h seorang Pegawai Negeri S i p i l ( P N S ) y a n g bertugas di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub RI yang berkantor di Sabang dari tahun 1994. Dimulai dari tahun 1998 Pak Sophan mulai ditugasi menjadi pengawas kawasan Mercusuar Willem’s Toren III bergantian ditemani seorang rekan sesama PNS dibantu dua tenaga honorer dari warga asli setempat. “Keluarga saya di Sabang, setiap tiga bulan pergantian shift saya pulang ke Sabang,” ungkapnya saat bercerita dengan Tim Aceh TRANSit di kawasan mercusuar ini. Saat ditanya suka duka menjaga Mercusuar ini, Pak Sophan pun mulai bercerita panjang lebar. Suka dukanya cuma sepi saja. “Dahulu di awal awal saya bertugas di sini suasana masih sepi sekali, jalanan dan bangunan masih seadanya belum direnovasi dari sejak ditinggal oleh Belanda,” ujarnya. Listrik belum ada, air bersih pun cuma berharap dari hasil tampungan hujan. Sekarang sudah ada mesin listrik sendiri. Kebutuhan bahan bakar mesin masih dipasok dari Banda Aceh yang dan harus dipikul sendiri dari pelabuhan yang berjarak 2 Km dengan berjalan kaki. Disebakan tiadanya angkutan umum yang beroperasi di kawasan ini dan dikarenakan medan yang harus ditempuh juga cukup curam. Dan sejak saat i t u , s e l a i n menjaga, beliau dan rekan-rekannya juga harus merawat situs mercusuar dan kawasan ini yang sudah berusia 200 tahun lebih, tepatnya dibangun oleh Belanda pada tahun 1875. Pak Sophan juga harus menemani pengunjung yang ingin menyusuri tangga dalam hingga puncak menara setinggi 85 meter ini guna menjaga keselamatan mereka. Ada juga kondisi saat di kala Pak Sophan sedang sendirian, pengunjung yang datang bersama keluarga dan anak kecil tidak diperkenankan masuk dan naik ke puncak menara demi keselamatan mereka. Ada juga orang tua yang ngotot dan tetap ingin masuk dan mau menanggung sendiri resiko apa pun. Dengan sabar dan penuh wibawa Pak Sophan menjelaskan resiko-resiko dan akhirnya banyak dari pengunjung yang menerima penjelasan saya, ungkap Sophan di akhir cerita. (Rizal Syahisa)

Kisah Nek Nenok: Menyeberangi Derasnya Arus Sungai Alas dengan Ban

PAGI itu kami disambut oleh beberapa warga Desa Terutung Payung, Kecamatan Bambel, Aceh Tenggara tempat di mana sang pengemudi ban bekas di sungai Alas yang menjadi buah bibir di beberapa media di Aceh. Dialah Nek Nenok. Kami bukan orang yang pertama sampai di kampung sang nenek setelah pemberitaan, melainkan sudah yang kesekian kali. Kedatangan kami disambut hangat oleh beberapa warga dan tuan rumah yang kami tuju. Berperawakan kecil pada umumnya orang Aceh, sepasang kakek nenek ini d i t e m a n i s e p a s a n g c u c u n y a y a n g sedang l i b u r sekolah dan belum sampai usia sekolah. Wajah dibalik masker itu tidak begitu terlihat jelas namun dari pelipis mata terlihat keriput sang nenek ini masih terlihat tidak terlalu tua. Sementara sang kakek memiliki wajah yang lebih tua entah karena akibat sakitnya atau memang sesuai dengan usianya. Anak kecil abang adik juga menyambut kami dengan ramah dan sesekali sang abang mencandai sang adik sebagaimana tingkah umum anak kecil lainnya. Sambil menikmati suasana Kutacane yang pagi itu ramai karena termasuk daerah padat penduduk. Sang nenek dengan suaranya yang pelan bercerita tentang dirinya. Ia telah melakukan p e r j a l a n a n m e ny e b e r a n g i sungai Alas tak kurang dari puluhan tahun lamanya. Dulu b e r s a m a suaminya ia menyeberangi sungai Alas. Namun, kini suaminya dalam keadaan tidak sehat. Nek Nenok yang berusia 70 tahun ini menyeberangi sungai Alas setiap hari jika air sungai tidak meluap karena hujan maupun air bah. Hal ini ia lakukan agar dapurnya tetap mengepul. Ladang jagung miliknya terletak di seberang sungai kampung sebelah. Jika tidak bisa menyeberangi sungai, sang nenek menjadi buruh harian di ladang warga yang berada tak jauh dari rumahnya. Menyeberangi sungai dengan ban bekas bukan pemandangan yang aneh bagi sebagian warga. Karena beberapa warga yang melakukan hal serupa berprofesi sebagai buruh harian. Untuk sampai ke kebunnya, Nek Nenok membutuhkan waktu 60 menit lamanya. Dia harus sangat berhati-hati karena resiko selalu mengintai perjalanannya menyeberangi sungai Alas yang lebarnya hingga 40 meter. Namun, untuk sampai ke tujuan ia harus berjalan kaki lagi selama 45 menit lamanya. Tak ada sedikitpun tersirat di wajah sang nenek rasa susah dan seolah menerima keadaan ini dengan lapang dada. Namun, tetap dengan sedikit harapan mengingat usianya yang terus senja. Harapan sang nenek menjadi harapan warga sekitar tempat nenek tinggal. Yakni adanya pembangunan jembatan penyeberangan tambahan. Jembatan yang akan menghubungi dua desa dan menjadi jembatan harapan banyak warga, sehingga memudahkan mereka menyeberangi sungai untuk mencari nafkah. Selama ini, ‘jembatan harapan’ pernah ada. Namun, lokasinya jauh dan untuk menyeberangi melalui jembatan itu membutuhkan waktu yang lebih lama dikarenakan jaraknya yang jauh. Sementara menyeberang dengan ban jauh lebih hemat dari waktu yang dibutuhkan. Di sini di tanah Alas, cerita ini ditemukan dengan keadaan kekayaan alam yang melimpah. Luasnya hutan dan panjangnya sungai menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka yang ingin berwisata arung jeram. Begitu pula gunung Leuser yang menjadi paru paru dunia. Kisah Nek Nenok hanya satu kisah dari beberapa kisah yang terjadi di pedalaman perairan Aceh Tenggara. Mengingat Nek Nenok, kita jadi teringat kisah di salah satu sungai di Aceh Timur. Adalah Aman Timpo seorang operator getek di sungai Simpang Jernih dan barangkali hal serupa di bantaran sungai di wilayah Aceh lainnya. (Fajar Muttaqin) Selengkapnya cek di laman:

KMP. Aceh Hebat, Sejarah Baru Transportasi Laut Aceh

SESUAI dengan namanya “Aceh Hebat”, kapal ini menjadi sejarah pembangunan sektor transportasi di Aceh dan dibangun dengan anggaran Aceh sendiri. Kelancaran mobilitas penumpang, logistik, dan pengembangan pariwisata kepulauan di Aceh, akan tertumpu pada moda transportasi ini. Harapannya, dengan hadirnya kapal ini dapat menyetarakan taraf kehidupan masyarakat di kepulauan, menjadi sama dengan yang di daratan. “Menurut jadwal, 30 November, kapal (KMP. Aceh Hebat 1 –red) akan di-delivery atau berlayar ke Aceh, selanjutnya akan beroperasi sebagaimana mestinya,” ujar Plt. Gubernur Aceh, Ir. Nova Iriansyah, M.T, saat menyaksikan langsung launching kapal pada galangan PT. Multi Ocean Shipyard di Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau, Sabtu 3 Oktober 2020. Berita kedatangan kapal motor penyeberangan (KMP) Aceh Hebat 1 menjadi sebuah harapan yang baru bagi mereka. Pengorbanan dan proses yang panjang demi mendapatkan sekantong beras, akan lebih terasa ringan. Jembatan penghubung kepada tanah kelahiran dan keluarga telah nampak lebih nyata sekarang. “Aceh belum pernah punya kapal yang dibangun sendiri, kapal pertama ini (KMP. Aceh Hebat 1 –red) kita bangun dengan uang Rakyat Aceh, ukurannya yang relatif besar 1300 GT serta desainnya juga yang up to date, nantinya akan melayari Pantai Barat ke Simeulue. Kapal ini bukan hanya kebanggaan Rakyat Aceh, akan tetapi kebanggaan Indonesia juga,” sebuah penggalan kata dari Plt. Gubernur Aceh (Kini Gubernur Aceh) yang akan menjadi catatan sejarah transportasi laut Aceh. Kapal 1300 Gross Tonnage (GT) berkapasitas 250 orang, 25 unit truk, dan 8 unit kendaraan roda empat ini diharapkan mampu berlayar dengan aman dan selamat dalam gelombang tinggi, disertai angin dan hujan. Jarak tempuh mencapai 120 mil dengan waktu tempuh 10 sampai 11 jam perjalanan, menuntut kapal ini harus benar-benar tangguh berlayar di samudera lepas. Jika musim penghujan, alam pantai barat agak sedikit berkecamuk dengan gelombang tinggi disertai angin kencang dan hujan lebat menjadi keseharian. Begitu pula kisah dari dermaga pelabuhan yang berada di pantai barat, yaitu Pelabuhan Kuala Bubon di Meulaboh, Pelabuhan Calang, dan Pelabuhan Labuhan Haji di Aceh Selatan. Lambung kapal yang bersandar pun kerap bertabrakan dengan badan dermaga hingga menghancurkan fender. Cerita ini tak berujung di sini saja, setelah bermalam menanti hingga cuaca kembali bersahabat, tidak semua truk dapat termuat di dalam kapal dan harus mengantri lagi untuk penyeberangan berikutnya jika antrian kendaraan begitu panjang. Tak perlu dipertanyakan lagi, berapa kali lipat biaya yang harus dikeluarkan oleh mereka – yang tetap teguh agar kebutuhan pokok di kepulauan tetap tersedia-. Sebagai bayangan lagi, proses pengangkutan logistik ini bukan dimulai dari pelabuhan kemudian berlayar di perairan hingga sampai ke wilayah kepulauan. Tidaklah sesimpel itu. Ada proses transportasi darat yang panjang di balik kisah dermaga tadi. Perjalanan darat ini juga tak semulus jalan tol yang terbentang panjang di garis khatulistiwa. Jalan yang ditempuh sungguh berliku dengan geografi alam Aceh ini diitari oleh perbukitan dan pegunungan –bayangkan saja kelok sembilan yang ada di Padang, begitulah karakteristik jalan di Aceh-. Belumlah usai ketangguhan sang sopir pengangkut logistik, saat jalan menanjak dan menurun yang terjal serta berkelok-kelok memaksa sang sopir memutar otak agar truk tak masuk jurang yang berada di tepian jalan. Bunyi rem mobil yang berdecit menambah kewaspadaan. Setelah berjam-jam melewati jalan darat tersebut dengan ribuan tantangan barulah sampai di pelabuhan. Dari sinilah kisah dermaga tadi dimulai. Jika saja cuaca bersahabat, maka tak perlu waktu lama untuk membawa logistik ini ke pulau seberang. Nah, lain cerita jika cuaca ekstrem datang berkunjung, mereka harus mengalah dengan keadaan. Para penumpang harus mengalah untuk menyambutnya terlebih dulu hingga harus menginap di pelabuhan. Begitu pula dengan truk atau mobil-mobil besar pengangkut logistik kebutuhan pokok masyarakat kepulauan. Dapat dibayangkan, jika mengangkut bahan segar seperti sayur mayur dan buah-buahan, pastinya barang tersebut telah “membusuk” sebelum mencapai tanah kepulauan. Semoga saja, memorandum of understanding (MoU) perdamaian dengan ombak dan cuaca ekstrem dapat tertandatangani segera dan alam pun kian bersahabat dengan sang kapal. Sehingga, tak perlu lagi masyarakat ini memutar roda perekonomian secara manual. (Syakirah) Selengkapnya cek di:

Pendongkrak Pariwisata Sabang

SABANG adalah kota yang terletak di Pulau Weh dan merupakan pintu gerbang di kawasan ujung barat Indonesia. Pulau Weh sendiri merupakan pulau utama dan terbesar yang terpisahkan dari daratan Aceh oleh Selat Benggala. Saat ini Sabang menjelma menjadi destinasi wisata bahari Indonesia yang menawarkan surga bagi para penyelam. Pesona Sabang sendiri menawarkan keelokan garis pantai yang indah, air laut nan biru dan bersih, serta pepohonan nan hijau. Pemerintah Aceh terus berusaha agar nilai ekonomi masyarakat terus tumbuh dan berkonstribusi dalam pembangunan Aceh, di antaranya meningkatkan konektivitas dan aksesibilitas antar destinasi wisata dengan meningkatkan sektor pariwisata. Sejak Maret 2020, sektor pariwisata menjadi sektor yang paling berimbas dari pandemi global ini. Penghasilan masyarakat juga banyak yang melemah dengan adanya pandemi ini. Pelabuhan Ulee Lheue Banda Aceh tersebut sebagai salah satu prasarana yang mendukung kemajuan transportasi laut di Banda Aceh yang menghubungkan jalur penyeberangan menuju Balohan Pulau Weh (Sabang) dan Pulo Aceh. Penyeberangan dari pelabuhan Ulee Lheue Banda Aceh ke Balohan Sabang saat ini menggunakan kapal KMP BRR. Pemerintah Aceh melalui Dinas Perhubungan Aceh telah memesan tiga unit kapal di antaranya KMP Aceh Hebat 1 dengan rute Aceh Barat – Simeulue, Aceh Hebat 2 dengan rute Pelabuhan Ulee Lheue – Balohan Sabang, dan kapal KMP Aceh Hebat 3 yang akan melayani pelayaran Singkil-Pulau Banyak. Dinas Perhubungan Aceh memperkirakan ketiga kapal penumpang antarpulau tersebut sudah berada di perairan Aceh untuk berlayar pada Januari 2021 mendatang. Kini hadir KMP Aceh Hebat 2 yang berkapasitas 1100 GT. Kapal ini lebih besar dari KMP BRR yang sedang beroperasi saat ini. Kapal ini hadir sebagai penyemangat sektor pariwisata Sabang yang terkenal akan keindahan alam bawah laut yang telah lama vakum. Hal ini menjadi harapan besar agar roda perekonomian masyarakat kembali berjalan normal. Kapal feri tersebut akan memperlancar transportasi dari Pelabuhan Ulee Lheue (Banda Aceh) ke Pelabuhan Balohan (Sabang), yang sebelumnya kerap terkendala karena keterbatasan kapasitas kapal. Banyak pihak pelaku usaha wisata di Sabang sangat senang dengan kehadiran KMP Aceh Hebat 2 ini, karena kekhawatiran tamu akan tertinggal di pelabuhan akan segera teratasi. Kendala yang selama ini sering terjadi seperti kehadiran para tamu dari luar khususnya dari Medan, mobil mereka terpaksa harus mereka tinggalkan di pelabuhan. Dengan adanya kapal Aceh Hebat ini, kendaraan bisa diangkut tanpa harus ditinggal lagi. Sehingga kunjungan wisatawan bisa semakin meningkat. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu pelaku usaha wisata PT. Imam Tour & Travel Inbound & Outbound Tour Operator, Muhammad Imam Fuadi, S.Pd.I, M.Pd. “Sebuah terobosan baru penunjang aksesibilitas pariwisata semakin mudah dan mensejahterakan. Dengan adanya kapal KMP Aceh Hebat 2 ini, wisatawan akan semakin mudah PP (return) antara Banda Aceh – Sabang, wisatawan juga punya banyak opsi, sehingga aktivitas pelabuhan dan perputaran ekonomi juga meningkat”. “Untuk kelancaran operasional, tarif harga juga jangan terlalu mahal, sejatinya punya pemerintah harus menjadi alternatif dan lebih banyak jadwal keberangkatan, jangan sedikit hujan atau badai akhirnya kapal tidak bisa berangkat,” imbuhnya. KMP Aceh Hebat 2 ini menjadi angkutan penyeberangan yang diperuntukkan bagi pengembangan wisata Sabang. Kapal ini memiliki daya muat sebanyak 377 penumpang dan 24 unit kendaraan (kombinasi). Kapal ini dengan panjang 63,75 meter dan lebar 13,6 meter serta tinggi mencapai 3,9 meter. Kapal ini mulai dibuat pada Tahun 2019 secara tahun jamak. Kapasitas mesin induk yang digunakan berdaya 2 x 1400 HP dengan kecepatan mesin mencapai 13 knot serta terdapat fasilitas-fasilitas lain yang tidak dimiliki oleh kapal-kapal sebelumnya. “Konsep utama pembangunan KMP Aceh Hebat 2 ini juga diperuntukkan bagi para wisatawan yang hendak berkunjung ke Sabang. Tentunya, multiplayer effect-nya untuk pertumbuhan ekonomi wilayah Aceh. Jelas, keberhasilan pembangunan kapal ini merupakan kebanggaan bagi kita semua,” tutur Nova di sela-sela Peluncuran KMP Aceh Hebat 2. Kapal ini akan dilakukan serangkai pengujian, salah satunya adalah uji berlayar (sea trial) agar nantinya saat melayani lintasan Ulee Lheue – Balohan. Kapal ini dapat beroperasi secara optimal dan sesuai dengan standar kelayakan. Seluruh uji teknis dan non-teknis sangat penting dilakukan demi keselamatan dan kenyamanan pelayaran nantinya. Diharapkan kapal ini akan membawa manfaat yang besar bagi konektifitas di Aceh, khususnya dalam peningkatan pariwisata Sabang. (Dewi) Selengkapnya cek di:

Pulo Aceh: Meneropong Harapan dari RI-Nol

KALI ini, aku bingung harus memulai dari kata apa. Sejuta kata yang telah aku susun pun tak akan cukup untuk menggambarkan betapa indahnya negeriku ini. Baiklah, aku tak ingin juga berlama-lama membuat kalian tenggelam dalam imajinasi diri pada “Tanoh Rencong” ini. Lebih khususnya lagi, aku akan membawa kalian ke sebuah pulau nan indah di ujung barat Sumatera. Tentu bukanlah Pulau Weh, Sabang yang hendak aku kisahkan kali ini. Penasaran bukan? Awal Desember tepat pukul 08.22, Kapal motor penyeberangan (KMP) yang diberi nama Papuyu bertolak dari Pelabuhan Ulee Lhee, Banda Aceh. Syukurnya, setelah beberapa hari dirundung mendung dan hujan, hari itu cuaca berpihak pada kami, matahari kembali garang bersinar sembari menyemai bulir-bulir kristal di atas ombak samudera. Lebih kurang dua jam perjalanan, KMP. Papuyu berayun bersama ombak mengangkut barang dan penumpang menuju ke Seurapong, Pulau Breueh -Pelabuhan ini berjarak lebih jauh dari Pelabuhan Lamteng yang berada di Pulau Nasi-. Kedatangan ini di sambut oleh dua semenanjung –pemisah pulau Breueh dan Pulau Nasi- yang tersusun dari batu karang dan pepohon hijau yang indah. Ke sinilah langkah kaki akan aku ayunkan, Pulo Aceh –pulau yang berada di Kabupaten Aceh Besar yang terdiri dari Pulau Nasi dan Pulau Breueh- Dermaga Tanah Untuk Papuyu Dua semenanjung itu menjadi pertanda bahwa sebentar lagi kapal akan berlabuh. Dari atas dek kapal itu kita dapat menikmati bukit-bukit tinggi mengitari kedua pulau, ombak yang usil pun sengaja menubruk karang yang berdiri gagah di kaki bukit, menciptakan ciprakan buih besar kembali ke laut. Dari belakang kapal, baling-baling menyemburkan pasir dari dasar ke permukaan air. Air yang tadinya biru kini telah menjadi cokelat muda seperti cappucino. Sebuah gundukan tanah berwarna cokelat yang kekuning-kuningan dengan pinggiran batu besar sebagai dinding penahan agar tanah tak jatuh ke dalam air saat kapal bersandar serta rerumputan hijau begitu subur tumbuh diantara bebatuan tersebut. Di situlah, aktivitas bongkar muat dilakukan dalam waktu yang begitu singkat –karena takut air laut surut dan kapal tidak dapat lagi berlayar-. Lebih kurang sepuluh lima belas menit KMP. Papuyu telah menaikkan penumpang dan kendaraan untuk kembali mengarungi samudera kembali ke Pelabuhan Ulee Lheue. Dapat dibayangkan dari kondisi kolam pelabuhan (saat ini belum pantas di sebut demikian-red) yang sangatlah dangkal dan dermaga tanah harus menjadi perhatian khusus. Belum lagi, pada alur pelayaran itu tersebar terumbu karang yang dapat menghantam baling-baling dan bagian bawah kapal. Di samping itu masalah lainnya juga menghantui, yaitu pasang surut air laut sangat menghambat sandarnya kapal yang datang ke Pulo Aceh. Hal ini merupakan sebuah hambatan besar yang “wajib” dituntaskan segera –tanpa kompromi lagi-. “Kamo lakee bak Pemerintah untuk geupeduli kamo yang bak ujong nyoe (Kami berharap pemerintah memberi perhatian bagi kami yang di ujung pulau ini –red),” ujar Mahfud, seorang warga Pulo Aceh yang bekerja sebagai operator boat tradisional. Katanya lagi, kapal yang hendak bersandar ke dermaga yang ada sekarang memiliki risiko yang sangat besar, hanya sebuah tekad saja mereka mampu menaklukkan alur pelayaran yang penuh karang dan dangkal. Bisa dilihat, dermaga yang ada pun seadanya. Perhatian Pendidikan untuk Anak Pulo Kini, 75 tahun berlalu, belumlah berakhir untuk negeri ini berjuang. Dari sebuah bangunan kecil yang disebut sekolah dasar yang berada tepat di pinggir pantai tepatnya di Pasie Janeng, ada empat puluh lima generasi muda yang berjuang untuk memperoleh pendidikan. Seragam sekolah yang mulai menguning dengan tas dan sepatu yang sudah usang tidak menyurutkan semangat mereka untuk menggapai cita-cita. “Enteuk lon peuget kapal raya nyan untuk ba u Pulo (nanti saya akan membangun kapal besar untuk Pulo Aceh ini-red),” ujar Aqra, salah satu siswa MIN 47 Aceh Besar dengan mata berbinar dan senyumnya yang lebar sambil menunjuk miniatur KMP. Aceh Hebat 1. Kala itu, Tim dari Dinas Perhubungan Aceh berkunjung ke MIN 47 Aceh Besar sekaligus membawa miniatur kapal. Hal ini tentu untuk menumbuhkan cita-cita generasi muda ini dapat menjadi ahli yang akan membangun transportasi Aceh. Para siswa tersebut begitu antusias saat melihat miniatur kapal yang dibawa. Mereka begitu antusias mengelilingi miniatur kapal untuk mengetahui bagian-bagian kapal yang mereka lihat. Setiap jengkal mereka sentuh saking takjubnya, begitu jelas tergambar dari rona wajah mereka. Dari sudut ruangan, seorang guru yang berpakaian rapi mengawasi gerak-gerik siswanya. Begitu sigap beliau melerai jika ada siswanya yang beradu pendapat hingga terjadi sedikit kericuhan –namanya saja anak kecil yang perlu eksplorasi yang lebih jauh-. “Kami sangat bercita-cita jika anak di sini dapat bersaing dan berkembang seperti anak-anak lainnya di daratan (Banda Aceh),” ujar Bakhtiar, Kepala Sekolah MIN 47 Aceh Besar sambil menatap lurus ke arah siswanya yang begitu semangat membahas perihal kapal. Kondisi bangunan sekolah yang telah mengalami kelapukan akibat pengaruh air pantai ini sudah lama tidak diperbaiki. Dari 2007, bangunan sekolah ini belum tersentuh renovasi, banyak bagian bangunan sekolah ini telah rusak, seperti pintu yang telah copot dari pengakunya. “Jika diharapkan dari dana operasional sekolah memang tidak akan bisa, untuk kebutuhan administrasi sekolah dan kebutuhan non-teknis lainnya saja kita harus mutar kepala ribuan kali. Beberapa kali kita berusaha untuk mengajukan tetapi belum ada perkembangan sampai saat ini,” kata lelaki paruh baya itu penuh harap. “Semangat anak-anak di sini memang harus kita perjuangkan, merekalah generasi yang akan membangun pulau ini, siapa lagi kalau bukan putra Pulo Aceh,” tutur Iqbal Saputra, salah satu guru MIN 47 Aceh Besar. Tim Medis, Kami Menantimu Di Pulo Sepertinya, angin barat mulai berkunjung lagi ke Pulo Aceh. Barisan boat ikan bergerak lebih lincah dari biasanya, tali pengait sesekali terhentak akibat boat menjauh dari tambatannya. Cuaca kembali memperlihatkan kelabilannya, dari terik matahari yang cerah seketika berubah menjadi redup dan guyuran hujan lebat. Demam dan flu menjadi penyakit biasa yang tidak dapat dihindari. Bermodal rempah-rempah alam yang dihasilkan tanah ini menjadi obat penawar yang begitu mujarab. “Miseu na saket, tapajoh ju peu-peu yang jeut. Nyoe mengharap bak puskesmas nyan saban lage tan ju. Han ek ta pike le, ta peubut ju lagee nyang na (jika sakit, minum obat tradisional yang ada dulu. Karena jika berharap sama puskesmas, ya sama juga tidak ada. Nggak sanggup pikir lagi, ambil tindakan seperti yang biasa (pengobatan tradisional) -red),” curhat seorang warga yang akrab disapa Bang Cut Demit. “Nyoe miseu hana puleh cit kaleuh

Kincir Angin

PERGOLAKAN di daratan Eropa pada abad ke- 14 yang menyebabkan pergeseran penguasaan “pasar rempah-rempah” telah memotivasi petualangan mengejar tanah penghasilnya. Mengikuti jejak petualang sebelumnya, kapal-kapal dari negeri “kincir angin” dengan penguasaan keilmuan saat itu memulai penjelajahan untuk berdagang mencari “pulau rempah” yang berada di garis khatulistiwa. Tentu, dengan modal pemahaman navigasi dan kemampuan membaca peta yang telah mereka “curi” dari petualang sebelumnya. Ekspedisi terus berkembang untuk mengisi mesin-mesin produksi yang akan didistribusikan dalam memenuhi kebutuhan konsumsinya. Semisal lada yang pada musim dingin menjadi “emas” agar mereka mampu bertahan dalam dingin yang menembus tulang. Demi kebutuhan dan martabat, maka keputusan untuk menguasai dan mengangkut hasil rempah-rempah dari “negeri jajahan” menjadi target utama. Kebutuhan logistik negara harus dapat diproduksi dan didistribusi secara stabil. Naluri konsep logistik mulai dikembangkan pada pertimbangan untung rugi, hari ini kita memberi nama perencanaan strategis, teknologi informasi, permintaan kebutuhan (pemasaran) dan keuangan. Maka terbentuklah manajemen rantai pasok (Supply Chain Management). Demi “rantai pasok” ini, suatu bangsa yang katanya beradab menjadi “garang” untuk menaklukkan bangsa lain. Memulai pada hasrat pengakuan atas menguasai bangsa yang ditaklukkan, Belanda telah mengambil “ancang-ancang” dengan menargetkan pelabuhan sebagai lokasi strategis untuk menguasai seluruh daratan. Hasrat yang kian besar akan keakuan bangsa lain atas negerinya telah membalikkan nalar untuk menggunakan “jalan kekerasan” hingga keluar dari tatanan hukum. Tingkat pengakuan yang ingin dibuktikan pada bangsa biru membuat taring mereka semakin tajam di negeri yang telah ditaklukan. Catatan perlawanan tertuang jelas dalam Buku Aceh Sepanjang Abad karya H. Mohammad Said bahwa segalanya telah jelas di mata dunia, pernyataan perang Tahun 1873 bukan karena ada campur tangan asing tapi hanyalah “nafsu” memperluas penaklukan wilayah Hindia Belanda -terkhusus Kerajaan Aceh-. Kegarangan yang memicu perlawanan mempertahankan martabat. George Lodewijk Kepper, menggambarkan perlawanan itu, “Pejuang (Aceh) tidak kecut sedikitpun menghadapi tembakan kilat, bahkan sebaliknya kencang mendekat, makin banyak jatuh, makin mengkilat lagi cepatnya yang lain mendekat, semua berteriak”. Beberapa generasi terbenam dalam “debat” yang dihabiskan untuk menjaga kestabilan “rantai pasok” kolonialisme, seorang makelar kopi dalam buku “Max Havelaar” karya Multatuli, membongkar “benang merah” peran transportasi agar sistem rantai pasok tetap seimbang yaitu, “Belanda membangun pemecah gelombang dengan tujuan untuk mendatangkan perdagangan ke dalam distrik yang terhubung seluruh pusat kegiatan dengan lautan -pusat perdagangan global-sehingga kapal dapat bersandar lama di pelabuhan apabila terjadi cuaca ekstrem” (Edward Douwes Dekker; “Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij”; Belgia 1860). Jalur transportasi laut yang membutuhkan waktu dan biaya juga telah mewarnai perubahan dengan gambaran bahwa “Kapal-kapal Belanda melayari lautan luas dan membawa peradaban”. Jauh sebelum penjelajah merintis perjalanan ke “Timur Jauh”, Bangsa Belanda telah memiliki “peradaban” dan perkembangan teknologi hingga menjadi negara yang terangkat derajat di Bangsa Biru. Sebagai simbol peradaban dari kecerdikan dan ketabahan manusia, kincir angin di Kinderdijk-Elshout menjadi “modal” untuk mampu menjajah. Simbol ini sudah ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO pada tahun 1997. Faktanya, dengan teknologi kincir angin ini mengakui Belanda telah mempersiapkan lanskap buatan manusia yang luar biasa serta memberikan kesaksian yang kuat peradaban manusia. Konstruksi kincir angin menjadi jejak dan bukti yang masih kokoh bagi sejarah perkembangan teknologi Belanda yang dikenal oleh masyarakat dunia. Inovasi pengembangan teknik drainase Belanda disalin dan diadaptasi di banyak bagian dunia. Sistem hidroliknya yang sangat cerdik masih berfungsi sampai sekarang untuk mengolah lahan gambut yang luas serta maha karya arsitektur serta lanskap budaya yang menjadi ciri khas Belanda dan menggambarkan tahap penting dalam sejarah manusia. Kanal-kanal yang dibangun dari energi kincir angin tersebar ke setiap sudut kota sebagai jaringan transportasi utama negara ini merupakan kepingan-kepingan ekonomi yang kian membukit untuk kesejahteraan rakyatnya. Apa “modal” yang kita miliki untuk mensejahterakan negeri kita saat ini? Di sini juga jelas apa hikmah dari penjajahan yang dilakukan oleh Belanda bagi Indonesia, sarana dan prasarana transportasi adalah kunci utama Belanda dapat menguasai daerah-daerah jajahan. Infrastruktur yang ditinggalkan Belanda pun sebagian besar masih berdiri kokoh dan belum menjadi pelajaran. Tanah Air ini bukanlah lagi kanak-kanak, tujuh puluh lima tahun telah lewat. Hikmah yang diberikan Bangsa Belanda untuk negeri harus kita “petik” secara cermat. Teknologi kincir angin yang mereka siarkan hingga rencana induk pengembangan kawasan jajahan harus kita “curi” dan implementasikan ke negeri ini. Lanskap negeri ini telah diciptakan begitu sempurna. Berbeda dengan Belanda yang memaksa kincir angin raksasa mereka untuk memompa air di daratan rendah serta reklamasi agar layak dihuni. Peradaban “kincir angin” yang terus menggerakkan generator di negerinya sendiri dan mempertahankan tanah penjajahan yang mereka lakukan pada bangsa lain hanya demi kesejahteraan, mereka mempersiapkan perencanaan penjajahan begitu matang, dimulai memahami pentingnya peta hingga perbekalan serta semua kebutuhan didetail secara terukur. Hebat bukan, menjajah demi sejahtera? Nah, mengapa kita tidak mempersiapkan kesejahtaraan dengan segala cara? Atau kita sedang mengatur ritme “debat” untuk menjajah negeri sendiri. (Junaidi Ali) Selengkapnya cek di:

Sejarah Willem’s Toren, Monumen Navigasi yang Memberi Arti Keselamatan Pelayaran

ACEH yang berada di pertemuan dua laut, Selat Malaka dan Samudera Hindia, menyimpan beragam destinasi wisata alami yang begitu menenangkan. Hamparan pantai membentang indah nan memukau, matahari terbit dan tenggelam kerap menyuguhkan pemandangan menakjubkan, memacarkan cahaya di atas hamparan pasir putih yang berkilau. Tak hanya wisata alami, Aceh juga tak kalah dari segi sejarahnya. Banyak bangunan di masa para penjajah dahulu yang masih berdiri kokoh di Bumi Serambi Mekkah. Salah satunya terdapat di Pulo Aceh, kecamatan kepulauan di Aceh Besar. Berbicara tentang bangunan bersejarah mungkin hal yang pertama terbayangkan bagi sebagian orang yaitu kesan usang, tua, dan membosankan. Kawasan yang sepi dengan suasana yang menoton yang pasti kurang menarik untuk dijelajahi. Segala anggapan tersebut akan sirna ketika Anda melihat sebuah bangunan bersejarah yang telah dibangun lebih dari satu abad yang lalu. Bangunan tinggi menjulang ini dikelilingi oleh hamparan keindahan alam berjuta pesona. Dari keindahan pesona alam yang membuai mata, berdirilah sebuah mercusuar yang hadir dengan tegaknya diantara panorama alam yang begitu memanjakan. Seolah-olah ia memperlihatkan ketinggian dan kekokohannya di antara kelembutan yang ditawari oleh alam sekitar. Gemulainya tiupan angin pada pepohonan, gemuruhnya ombak di pasir putih, pemandangan pegunungan yang membentang luas, hadirlah ia sebagai penyeimbang keindahan alam. Perpaduan maha karya ciptaan tuhan dan karya arsitektur buatan tangan manusia di masa lampau menjadi sebuah kombinasi yang saling melengkapi satu sama lain. Bangunan bersejarah nan kokoh ini bernama Mercusuar Willem’s Toren III. Letaknya di hutan Kampung Meulingge, Pulau Aceh Kabupaten Aceh Besar. Usianya yang sudah melebihi satu abad. Namun kekokohan dan kekuatannya tetap paripurna. Gaya arsitektur Belanda yang melekat kuat pada bangunan berbentuk silinder ini memperlihatkan bahwa Mercusuar Willem’s Toren berdiri saat Belanda menjajahi Bumi Serambi Mekkah, tepatnya pada tahun 1875. Ia memiliki tinggi 85 meter dengan ketebalan dindingnya mencapai 1 meter. Yang tak kalah menariknya proses pembangunan Mercusuar Willem disinggung dalam Onze Vestiging in Atjeh, sebuah buku tentang perang Aceh yang ditulis Mayor Jenderal G.F.W Borel. Ratusan orang diangkut dari Ambon untuk membangun menara suar ini. Juga ratusan warga lokal yang dipaksa ikut terlibat dalam pembangunannya. Mengacu situs berita Antaranews, Mercusuar mengadopsi nama sang raja yang menguasai Luksemburg (1817-1890), yakni Willem Alexander Paul Frederik Lodewijk. Menara ini terletak di dalam sebuah komplek seluas 20 hektare. Dahulu pemukiman ini diisi oleh perwira-perwira Belanda. Kala memerintah, Willem banyak berperan membangun ekonomi dan infrastruktur di wilayah Hindia Belanda, termasuk Pulo Aceh. Willem membangun mercusuar ini sebagai usaha menyiapkan Sabang sebagai salah satu Pelabuhan transit di Selat Malaka. Kala itu Belanda bercita-cita membuat Pelabuhan transit Sabang yang diharapkan seperti Singapura yang dapat dilihat di masa sekarang. Faktanya Mercusuar Willem’s Toren III merupakan salah satu dari tiga mercusuar yang menjadi warisan Belanda di dunia. Satu mercusuar lainnya berada di Belanda, dan kini sudah dijadikan museum. Sementara satunya lagi berada di kepulauan Karibia. Sekiranya dapat kita sadari, bahwa sejarah tidak dapat direkonstruksi. Bahkan mereka yang dikaruniai ingatan tajam sekalipun. Namun demikian, ada hal yang dapat dilakukan generasi sekarang untuk mengenang. Salah satunya dengan melakukan destinasi wisata kawasan bersejarah. Melihat kembali puing-puing kejayaan di masa lampau, menelaah dan pada akhirnya menjadi media pembelajaran untuk kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. (Rahmi) Selengkapnya sila baca di sini:  

Bercermin pada Kisah Penyeberangan Pulau Weh

SEBAGAI negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 2.300 pulau berpenghuni, transportasi penyeberangan antar pulau-pulau di Indonesia menjadi sangat krusial untuk menopang kehidupan masyarakat. Pengangkutan orang menggunakan kapal penyeberangan telah ada sejak dahulu tak terkecuali di Aceh. Kami pun menyambangi kediaman salah satu saksi sejarah penyeberangan di Aceh. Beliau adalah Imam Habinajud, seorang pensiunan PT. ASDP Indonesia Ferry yang telah mengabdi hampir 40 tahun. Menurutnya, salah satu rute penyeberangan paling diminati adalah lintasan Banda Aceh – Sabang. Berawal sekitar awal 1980an. Pemerintah bersama dengan KP4BS (Komando Pelaksana Pembangunan Proyek Pelabuhan Bebas Sabang) membuat sebuah gagasan bernama Proyek ASDP. Awal Proyek ASDP, KP4BS hingga Masa Peralihan Awal mula Proyek ASDP ditandai dengan dibukanya rute penyeberangan perintis yang melayani lintasan Ulee Lheue menuju Sabang yang oleh KMP Tongkol. Berselang setahun, tepatnya tahun 1982 rute Ulee Lheue – Sabang diganti menjadi Malahayati – Sabang. Perubahan lintasan tersebut diiringi dengan penggantian KMP Tongkol yang dialihkan ke lintasan lain dan digantikan KMP Jambal. KMP Jambal ini berlayar sekitar 3 tahun melayani masyarakat. Memasuki tahun 1985 menjadi tahun penting bagi dunia penyeberangan Aceh, KP4BS yang telah berdiri hampir 20 tahun dihentikan operasionalnya oleh pemerintah. Organisasi ini pun dibubarkan dan kemudian mulai berganti pelayanan menjadi komersil melalui PT. ASDP. Proses peralihan pegawai ini membuat vakumnya operasional penyeberangan selama 2 bulan. Era baru penyeberangan Sabang ditandai dengan datangnya 2 kapal baru yaitu KMP Gajah Mada dan KMP Kuala Batee 1. Keberadaan kedua kapal ini tidak berlangsung lama, KMP Gajah Mada yang merupakan kapal jenis Katamaran (kapal dengan 2 lambung) menjadikannya kurang cocok untuk lintasan ini karena tingginya gelombang laut. Di akhir tahun 1988, kedua kapal ini harus dialihkan ke lintasan lain. KMP Gurita dan Memori Kelamnya PT ASDP kemudian mendapat jatah 1 kapal baru di akhir 1988 yaitu KMP Gurita yang dibarengi dengan pemindahan lintasan dari Pelabuhan Sabang beralih ke Balohan. Keberadaan KMP Gurita ini cukup lama sekitar 8 tahun lamanya kapal ini mengarungi samudera. Perlahan penumpangnya terus mengalami peningkatan bahkan beberapa kali kewalahan khususnya pada hari besar tertentu. Puncaknya pada saat “meugang” Ramadan awal 1996, tepat pada Jumat 19 Januari 1996 terjadilah sebuah tragedi kelam yang meninggalkan kesedihan mendalam bagi masyarakat. KMP Gurita tenggelam dalam pelayaranya dari Malahayati menuju Balohan tepatnya di perairan Ujoeng Seuke. Peristiwa kelam ini menimpa 378 penumpang KMP Gurita, hanya sekitar 40 orang yang dapat diselamatkan, sedangkan 54 orang ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa dan 284 lainnya ikut tenggelam ke dasar lautan bersama bangkai kapal kelam ini. Hasil investigasi menyebutkan bahwa kapal ini kelebihan muatan dari kapasitas seharusnya hanya 210 penumpang dan adanya muatan beton bertulang yang berlebihan. Kembali Merajut Asa Peristiwa tenggelamnya kapal sempat membuat pelayanan berhenti selama 1 bulan. Operasional pun kembali dilanjutkan ditandai dengan dikembalikanya lintasan ke Ulee Lheue serta datangnya kapal baru yaitu KMP Tandemand yang kemudian digantikan oleh KMP Cengkeh Apu dan KMP Pulau Rubiah. Hingga pada awal 2002, operasional penyeberangan digantikan oleh KMP Tanjung Burang yang sebelumnya melayani lintasan Maluku. Kemudian paska Tsunami, Pemerintah melalui Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh melakukan pengadaan KMP BRR untuk mendampingi operasional KMP Tanjung Burang. Kedua kapal inilah yang hingga kini terus melayani penyeberangan masyarakat dari dan menuju Sabang. Iman menyampaikan setiap kapal penyeberangan yang ada menurutnya memiliki ceritanya sendiri. “Di tiap kapal itu ada rasa sakit, pedih dan perjuanganya sendiri. Jadikan apa yang ada sebagai pelajaran, semoga apa yang terjadi di masa lampau tidak terulang lagi di kemudian hari” ujarnya. Ia menambahkan harapan agar ke depan lintasan lain yang ada di Aceh segera dapat berkembang dan lebih baik dalam melayani masyarakat. (Reza)