Dishub

Sepenggal Kisah Perahu di Atas Rumah

Desember untuk penduduk aceh selain terkait milad Gerakan Aceh Merdeka (GAM) puluhan tahun silam bertambah menjadi tsunami dan MoU GAM- RI. Hampir semua pelaku yang terlibat ataupun tidak terlibat langsung ketika membicarakan tsunami dan memperingatinya terasa tidak bergairah. Bahkan ada yang bergitu histeris karena pengalamannya langsung bergelut dengan gelombang tsunami. Melupakan tsunami sebagai suatu bencana juga tidak bijak karena bencana tersebut telah menjadi pembelajaran bagi seluruh negeri tentang solidaritas dan peduli. Seluruh negeri tertuju pada satu provinsi paling barat Indonesia, dunia turun tangan membantu dengan mengenyampingkan agama, ras dan suku. Tsunami untuk aceh sendiri menjadi bencana ke dua setelah konflik yang berkepanjangan antara gam – RI yang telah berunding, bersepakat namun tidak menemukan titik kepakatan. Terlalu sedih negeri jika harus diingat konflik dan tsunami sebenarnya. Kesedihan tsunami tertutupi walau tidak menyembuhkan untuk warga aceh karena kehadiran gelombang air laut tersebut kedarat mengahadirkan kesepakatan damai antara Gam- Ri setalah semua usaha yang dilakukan sebelum tsunami tidak pernah terujud. Sebagaimana konflik, maka tsunami banyak meningggalkan kisah cerita yang jika terus diceritakan tak bosan kita mendengarkan nya dari kisah yang ada. Mulai dari masjid ulele, masjid lampuuk, makam Syiah Kuala, kapal pembangkit listrik ulele hingga boat di atas rumah dan ada beberapa lainya yang belum terangkum. Semua tempat yang memiliki kisah kini menjadi saksi berapa dasyat nya air bah berlumpur dari pesisir pantai bagian barat Indonesia dan dari sekian saksi bisu boat diatas rumah yang salah satunya masih sebagaimana aslinya. Namanya ibu Misbah yang oleh warga dipanggil Buk Abes. Beliau menjadi salah satu saksi betapa dasyatnya kejadian saat itu dan rumah beliau lah tempat persinggahan terakhir salah satu boat yang saat itu sedang docking di Lampulo sungai krueng Aceh, dengan panjang kapal 25 meter, lebar 25,5 meter dan dengan berat 20 ton. Perpindahan boat dari docking ke daratan terjadi begitu cepat hingga penghuni lantai 2 rumah buk abes tak ada seorang pun yang tau hingga akhirnya ada pengungsi dilokasi lain yang mengajak untuk naik ke boat tersebut. Total jumlah orang yang menaiki boat tersebut berjumlah 59 orang. Kini kapal diatas rumah menjadi tempat satu dari beberapa tempat wisata yang terkait tsunami dan dikelola oleh pemerintah. Kondisi boat saat ini tidak banyak berubah dari aslinya selain penambahan dua penyangga boat dan perawatan boat namun kondisi boat sangat baik seperti diletakkan begitu saja di atas rumah. Sementara kawasan lampulo kembali seperti sedia kala dengan pemukiman penduduk yang padat serta pembangunan yang pesat dengan hadirnya tempat pelelangan ikan terbesar di Banda Aceh. Semua kini seakan telah lupa dengan stunami, namun tidak pernah untuk melupakan terutama jika Desember datang. (Fajar) Cek tulisan cetak versi digital di laman :

Transportasi Aceh, Dekapan Keadilan bagi Anak Negeri

Oleh Muhajir, S.T. (Kepala Seksi Tata Ruang Transportasi dan Lingkungan Dinas Perhubungan Aceh) Nota Kesepahaman (Memorandum of U n d e r s t a n d i n g ) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 menandakan kilas baru sejarah perjalanan Provinsi Aceh dan kehidupan masyarakatnya menuju keadaan yang damai, adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat. Hal yang patut dipahami bahwa Nota Kesepahaman adalah suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh secara berkelanjutan.” “Pengaturan kewenangan luas yang diberikan kepada Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/ kota yang tertuang dalam Undang- Undang ini merupakan wujud kepercayaan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan dan keadilan yang berkesejahteraan di Aceh”. Dua paragraf di atas sebagaimana yang termaktub dalam Bagian Umum Penjelasan Atas Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh sejatinya adalah visi besar dari lahirnya Pemerintah Aceh sebagai wujud konkrit langkah awal berjalannya sistem Pemerintahan Aceh berdasarkan MoU Helsinki, setelah sebelumnya Allah SWT menakdirkan musibah gempa bumi dan tsunami bagi bumi Aceh yang menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa bahkan dunia internasional untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh. Aceh yang dulu tercabik-cabik oleh ketidakadilan, ‘berdarah-darah’ dan terpecah belah oleh keadaan sosial politik dan keamanan seolah-olah disentak oleh takdir Allah pada tanggal 26 Desember 2004 tersebut. “Door Duisternis tot Licht” yang bermakna harfiah “Dari Kegelapan Menuju Cahaya” mungkin tepat untuk menggambarkan situasi Aceh setelah bencana menghantam. Door Duisternis tot Licht adalah judul buku J.H. Abendanon yang merangkum surat-surat R.A. Kartini pada teman-temannya di Eropa. Judul buku yang diterbitkan pada 1911 ini mungkin menjadi ungkapan yang tepat bagi masyarakat Aceh, khususnya sebagai apresiasi atas tumbuhnya kesadaran yang kuat dari Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka untuk menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, serta bermartabat yang permanen dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Segera setelahnya, semangat untuk segera bangkit dan berbenah seakan tumbuh bak rumput di musim hujan. Cita-cita dan ekspektasi masyarakat terhadap kemajuan Aceh terus berakselerasi mengejar ketertinggalan dari daerah lain di Indonesia. Masyarakat, dunia usaha maupun pemerintah terus berbenah dalam menata langkah dan peran serta dalam upaya-upaya tersebut. Aspek pemberdayaan masyarakat, keselamatan konstruksi, kesiapsiagaan, mitigasi bencana, aktivitas peduli lingkungan, aksesibilitas, dan konektivitas tranportasi, pemerataan pembangunan dan membuka keterisolasian daerah adalah di antara hal-hal yang sering dibahas dalam forum-forum akademis maupun forum-forum praktisi, sejak saat itu hingga kini. Di sektor transportasi, Gempa Bumi dan Tsunami pada 26 Desember 2004 benar-benar meluluhlantakkan sarana dan prasarana utama pelayanan transportasi di Banda Aceh, Sabang, Aceh Besar, sebahagian kawasan pantai utara Aceh, dan di hampir seluruh kawasan pantai barat Aceh baik transportasi darat maupun laut. Beberapa daerah bahkan terisolasi dalam beberapa waktu. Namun penanganan dampak bencana di sektor transportasi tersebut dapat diselesaikan secara baik dan komprehensif dengan rahmat Allah SWT melalui solidaritas dan kontribusi seluruh potensi bangsa serta masyarakat internasional. Masa-masa gelap tersebut telah dilewati dengan penuh keteguhan, sekarang sektor transportasi dihadapkan pada perubahan paradigma dan orientasi pelayanan, di mana kinerja pelayanan perhubungan dituntut untuk mampu mengakselerasi pertumbuhan daerah secara berkeadilan. Pelayanan transportasi harus hadir untuk menumbuhkembangkan potensi strategis daerah seperti sektor pariwisata, pertanian, perkebunan, perikanan, industri, jasa dan investasi. Kinerja layanan transportasi juga dituntut untuk secara maksimal menunjang kebutuhan pelayanan di sektor pendidikan/penelitian, kesehatan maupun kawasan ekonomi baru, serta membuka dan menjangkau kawasan-kawasan terisolir dan terluar yang ada di Aceh. Kebutuhan masyarakat terhadap dedikasi dan kinerja maksimal Pemerintah Aceh di sektor transportasi ini akan terwujud bilamana Dinas Perhubungan Aceh bersama-sama dengan Satuan Kerja Perangkat Aceh dan stakeholder terkait lainnya mampu berkolaborasi untuk memetakan dan mengelaborasi secara optimal setiap potensi strategis daerah. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Perhubungan memang telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, namun demikian dibutuhkan perencanaan yang terukur dan visioner dengan sasaran pencapaian visi besar dari lahirnya Pemerintahan Aceh. Sepatutnyalah pembangunan Aceh dimulai dengan penghargaan dan konsistensi terhadap amanat Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, diantaranya pada Pasal 141 ayat (1) diatur bahwa Perencanaan pembangunan Aceh/ kabupaten/kota disusun secara komprehensif sebagai bagian dari sistem perencanaan pembangunan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: a. Nilai-nilai Islam; b. Sosial Budaya; c. Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan; d. Keadilan dan Pemerataan; dan e. Kebutuhan. Orientasi pembangunan/ pengembangan transportasi Aceh selayaknya hadir bak seorang ayah yang akan sekuat tenaga menjangkau, memeluk dan mendekap erat setiap anak walau di ujung pedalaman negeri serta memfasilitasi tumbuh kembang setiap potensinya. Sehingga makna perdamaian dan kekhususan Aceh dapat dijumpai di setiap simpul potensi negeri, berjalan tenang di setiap ruas jalan, singgah di dapur perekonomian masyarakat/UMKN, berlayar dan berlabuh di perairan Aceh, meramaikan angkasa di wilayah udara Aceh, serta menjadi gerbang warga dunia menjangkau Indonesia dan penghantar makna damai ke dunia internasional. Pada akhirnya, masyarakat Indonesia termasuk bangsa Aceh haruslah memperoleh manfaat dari terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar bahwa tujuan membentuk suatu pemerintah negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.(*) Cek tulisan cetak versi digital di laman

Infrastruktur dan Konektivitas Logistik Pengungkit Industri Aceh

Sering kali kita memiliki cara pandang yang berbeda mengingat asal usul, lingkungan, psikologis dan pendidikan atau bahkan periode hidup yang berbeda-beda. Komunikasi atau diskusi menjadi satu wadah dalam mewujudkan pemahaman yang nantinya menciptakan satu prinsip yang sama. Apabila komunikasi tersebut tidak pernah tersampaikan kepada pihak terkait maka pada kondisi tertentu menyebabkan perpecahan yang pastinya berdampak negatif. Hal ini penyebab dari komunikasi yang tak pernah tersampaikan antar pihak sehingga menimbulkan rumor yang tidak akurat di kalangan masyarakat. Asas dan tujuan dalam membangun jaringan pelayanan dan infrastruktur serta konektivitas logistik Aceh perlu adanya penyamaan visi misi. Ke arah mana pengembangan, serta aksi strategis apa yang harus diambil dalam melayani logistik, sebagai upaya mendorong Aceh dalam mengejar ketertinggalannya. Dalam hal ini, demi menciptakan harmonisasi antar pihak dan sektor dalam mendorong aktivitas dan konektivitas logistik untuk membangun negeri, PT. Pelindo-I Cabang Malahayati bekerja sama dengan Dinas Perhubungan Aceh menyelenggarakan acara business forum yang digagas melalui pendanaan PT. Pelindo-I Cabang Malahayati. Acara ini diselenggarakan di Hotel Kyriad Muraya Banda Aceh yang turut dihadiri oleh unsur pemerintah, asosiasi dan dunia usaha, Rabu (6/11/2019). Saat ini, strategi pembangunan transportasi condong terhadap pendekatan demand follow supply, penyediaan fasilitas transportasi dilakukan terlebih dulu dengan tujuan pertumbuhan pilar ekonomi dan berkembangnya kegiatan ekonomi berjalan beriringan atau simultan. Dalam Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh pasal 48 (5) huruf d dan e terdapat dua kawasan strategis transportasi, yaitu Kawasan Krueng Raya dan sekitarnya sebagai Kawasan Industri, serta Pelabuhan Laut Aceh (KIPA) dan Kawasan Blang Bintang dan sekitarnya sebagai Kawasan Bandara Internasional. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh Tahun 2017-2022 memprioritaskan konektivitas untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah. Upaya-upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah menjadi perhatian Pemerintah Aceh. Seperti halnya, memaksimalkan fungsi infrastruktur dan keterlibatan dunia usaha dalam percepatan pembangunan ekonomi Aceh juga terus dipacu. Pemerintah tentu tidak akan mampu untuk melakukan sendiri pembangunan pada semua sektor. Oleh karena itu, keterlibatan dunia usaha untuk berinvestasi sangat dibutuhkan sehingga membuka peluang kerja dan peningkatan pendapatan yang akan bermuara kepada kesejahteraan masyarakat. Secara geografis, posisi Aceh sangatlah strategis. Hal ini dikarenakan Aceh berada pada salah satu jalur pelayaran internasional terpadat di dunia dan berdekatan dengan pelabuhan internasional seperti Belawan, Singapura, Malaysia, Thailand, dan pelabuhan lainnya. Keunggulan posisi strategis tersebut memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Maka Pemerintah Aceh berinisiasi membangun Kawasan Industri Aceh (KIA) Ladong. Kawasan ini berfungsi sebagai tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang disediakan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri. Dalam mendukung pertumbuhan industri Aceh, maka peran Pelabuhan Malahayati menjadi salah satu tokoh utama di sini. Penetapan Pelabuhan Malahayati sebagai bagian dari rangkaian program tol laut, menjadi peluang bagi kita terutama dalam mengembangkan pusat-pusat komoditas unggulan daerah yang nantinya akan memberikan kontribusi pada aktivitas ekspor-impor di Pelabuhan Malahayati. Evaluasi Tol Laut Sebagaimana kita ketahui, bahwa Tol Laut merupakan program prioritas Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015 – 2019. Tol Laut bertujuan untuk membangun konektivitas transportasi laut yang efektif dan efisien, terutama dalam menjamin ketersediaan barang dan mengurangi kesenjangan atau disparitas harga barang antar wilayah. Sebagai evaluasi, pelaksanaan tol laut di wilayah Aceh baru dilaksanakan pada tahun 2019. Walaupun demikian diharapkan seluruh stakeholder terkait dapat memanfaatkan momen yang sangat penting bagi masyarakat Aceh dalam memanfaatkan angkutan laut untuk pelayanan logistik Aceh. Pada kesempatan ini Plt Gubernur Aceh, Ir. Nova Iriansyah, M.T. yang diwakili oleh Kepala Dinas Perhubungan Aceh, Junaidi, S.T., M.T menyampaikan bahwa keberadaan pelabuhan ini sangat dibutuhkan untuk mendukung aktivitas bisnis yang akan hadir di Kawasan Industri Aceh (KIA) Ladong. Tanpa adanya fasilitas pelabuhan yang baik, sebuah pusat industri tidak akan berkembang secara optimal. Dalam konteks ini, apabila transportasi darat, laut dan udara tidak terintegrasi dengan baik maka dapat dipastikan distribusi barang/ produk tidak berjalan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, keberadaan pusat logistik tentu harus didukung dengan adanya pengembangan jaringan transportasi multimoda yang menghubungkan simpul-simpul logistik sehingga meningkatkan aksesibilitas angkutan barang dari pusat-pusat produksi menuju ke pelabuhan. Sebagai informasi, peningkatan aktivitas bongkar muat periode Januari sampai dengan Agustus 2019 sebesar 129.762 ton dan ekspor impor sebesar 1.805.211 ton. Hal ini merupakan suatu potensi yang harus terus dikembangkan secara berkelanjutan. Selain itu, kebijakan penguatan jaringan logistik dapat dilakukan melalui peningkatan kemitraan antara operator pelabuhan dengan industri hulu dan hilir, perusahaan pelayaran, asosiasi dan pelaku penyedia logistik seperti freight forwarder, ekspedisi muatan kapal dan perusahaan bongkar muat. Pemerintah Aceh juga terus berupaya menyediakan jasa pelayanan distribusi barang yang cepat dan efisien. Seperti halnya penyediaan prasarana dan sarana multimoda transportasi dan terminal barang sebagai pusat distribusi dan konsolidasi barang dari ataupun menuju pelabuhan. Diharapkan konektivitas, jaringan infrastruktur dan pelayanan logistik dengan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah dapat mengantar Aceh mendominasi pasar internasional. (Syakirah) Selengkap dapat diakses edisi cetak pada:

Pemerintah Belanda Rehab Pelabuhan Malahayati

Aceh merupakan kawasan di Asia yang mempunyai latar belakang sejarah yang panjang mengenai perdagangan maritim dan kepelabuhanan. Pelabuhan-pelabuhan di Aceh merupakan pelabuhan tertua di jalur Selat Melaka. Namun kegemilangan dan kejayaan Aceh di bidang perdagangan maritim dan kepelabuhan ini tidak berkembang dan berlanjutan sehingga ke hari ini. Pelabuhan Malahayati salah satunya yang sejak dulu disinggahi oleh pedagang dari Cina yang kemudian dikenal dengan sebutan Lamwuli. Lamwuli yang dimaksud yaitu Kerajaan Lamuri yang letaknya tidak jauh dari posisi Pelabuhan Malahayati saat ini. Pelabuhan ini merupakan sebuah pelabuhan yang sudah ada dan dibangun sejak zaman Sultan Iskandar Muda. Oleh masyarakat Aceh, kata Lamuri kemudian berubah menjadi Lamreh. Pelabuhan tua ini kemudian diambil alih oleh PT Pelindo pada tahun 1970. Pelabuhan ini pernah menjadi salah satu pelabuhan transit ke Pulau Sabang di era 80- an. Kemudian pelabuhan tersebut beralih fungsi menjadi tempat persinggahan kapal. Pelabuhan Malahayati ini sebelumnya dikenal sebagai pelabuhan penyeberangan kapal-kapal besar. Pelabuhan Malahayati pada era 90an merupakan salah satu akses penyeberangan ke Sabang dan ke Belawan. Kapal yang mengangkut penumpang ke Belawan juga relatif banyak. Namun seiring berkembangnya dunia transportasi, maka perlahan-lahan para pengguna moda laut yang menuju ke Medan pun banyak beralih ke moda transportasi darat. Akhirnya rute ke Belawan pun akhirnya tak ada lagi. Saat tsunami, lokasi pelabuhan ini pun ikut terkena imbas gelombang pasang air laut. Beberapa saat pelabuhan ini tidak bisa disinggahi kapal. Namun pasca tsunami sekitar satu minggu pelabuhan Malahayati menjadi salah satu pengiriman logistik melalui jalur laut, begitu juga banyak relawan yang menggunakan moda laut melalui pelabuhan Malahayati. Pasca bencana menghancurkan sebagian dermaga Malahayati, Pemerintah Belanda membantu rehabilitasi Pelabuhan Malahayati yang rusak akibat tsunami, di posisi Kade 3. Bantuan yang berasal dari multi donor dan masyarakat Belanda tersebut mengalokasikan dananya sebesar US$ 8,2 juta. Selain merehabilitasi dermaga, beberapa fasilitas baru pelabuhan juga dibangun. Dengan pelabuhan itu, berbagai bahan baku rekontruksi bisa dipasok lebih cepat. Berkat pembangunan dan perbaikan kembali, akhirnya pada tahun 2007, pelabuhan ini dapat digunakan dan beroperasi lagi. Sekarang, melalui PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I fokus untuk mengembangkan fasilitas pelabuhan Malahayati, Krueng Raya Aceh Besar berupa perluasan tempat penampungan box (kontainer) hasil bongkar muat. Selain itu juga melakukan renovasi dermaga atau jembatan pelabuhan. Seperti diketahui, Pelindo 1 Malahayati kini telah dilengkapi dengan fasilitas Peti Kemas. Pelabuhan Malahayati resmimenjadi pelabuhan peti kemas pada tanggal 05 Agustus 2016. Seperti yang diungkapkan oleh General Manager Pelindo I Cabang Malahayati Sam Arifin Wiwi “peti kemas selama ini meningkat dari tahun ke tahun berkisar 10.000 box atau dengan rata-rata per bulan sekitar 1000 box kontainer”. Menurutnya selama ini terus terjadi peningkatan volume pembongkaran di pelabuhan Malahayati, karena selain lebih aman, moda transportasi laut lebih murah dan cepat. Arus peti kemas (throughput) melalui Pelabuhan Malahayati terus meningkat. Pelabuhan Malahayati secara geografis lebih dekat dangan kawasan Eropa dan Timur Tengah, selain sangat memungkinkan untuk direct call (angkutan langsung), sehingga produk ekspor asal Aceh bisa diangkut langsung dari Malahayati tanpa lewat Belawan atau Tanjung Priok lagi. Pelabuhan Malahayati diharapkan menjadi terminal peti kemas ketiga yang dikelola Pelindo I, setelah Belawan (Medan) dan Perawang (Riau). (Dewi) Versi cetak digital dapat diakses dilaman : https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/ Simak video nya dibawah ini :

N219, Sepenuhnya Karya Anak Bangsa

Temperatur Bandung saat itu agak terik. Sang Surya juga tak segan-segan m e n a m p a k k a n dirinya dengan gagah. Landasan panjang hitam dengan warna semakin memudar memberikan irama decit ban mesin terbang tersebut. Dari lantai atas gedung yang pernah mencetak sejarah dirgantara itu tampak barisan bukit dan pemukiman di lembahnya. Sesekali dari jauh terdengar suara mesin yang dihidupkan dan hendak mengangkasa di udara bersama cita-cita mereka yang tinggi. Mereka begitu fokus dengan mesin itu. Ada yang sibuk dengan interiornya, ada pula yang sibuk dengan rangka baja bakal pesawat terbang itu sendiri. Ada yang terus mengecek komponen kecil atau bahkan mempersatukan komponen tersebut menjadi burung mesin raksasa. Ada isu besar yang harus kita pertimbangkan saat pesawat terbang diciptakan oleh anak bangsa. Cita-cita yang digantungkan pada aksesibilitas dan potensi anak bangsa jangan sampai terserap oleh pasar internasional, ada hasrat ingin membangun bangsa namun terjerat jarak dan loyalitas. Hal ini khususnya menjadi penting karena khazanah besar dari apa yang lazim menjadi cita-cita anak bangsa. Suatu anugerah besar dapat menapaki tanah dimana kejayaan dirgantara Indonesia akan mengepak ke semesta. Seorang lelaki paruh baya berpakaian batik lengan panjang dan celana hitam panjang mulai membawa cita-cita itu kembali ke rangkulan negeri ini. Beliau Palmana Banandhi, pria berzodiak Scorpio berasal dari Tegal merupakan Program Manager Pesawat N219 PT. Dirgantara Indonesia (PTDI). Vakum dengan program pengembangan membuat Palmana dan rekan-rekannya memutar otak untuk menciptakan sebuah terobosan dengan tantangan keuangan, diakui hal ini sangatlah sulit. “Engineering itu harus punya sesuatu atau karya baru. Karena itu, kami berpikir bagaimana membuat pesawat sederhana tapi tidak memerlukan anggaran yang gede. Di situlah kawan-kawan melakukan kajian, pesawat kecil seperti apa yang bisa dikembangkan. Maka tercetuslah N219 dari pemetaan kondisi dan situasi yang ada,” jelasnya dengan mata berbinar. Kondisi geografis Indonesia yang dikelilingi perbukitan dan dataran tinggi dan landasan pacu yang relatif pendek juga menjadi gagasan awal menciptakan N219. Di samping itu juga, konektivitas dan peningkatan ekonomi serta mitigasi bencana menjadi esensi penting terwujudnya mesin terbang raksasa ini. Pesawat ini dirancang dengan sistem pendeteksi atau disebut terrain awareness warning system (TAWS) yang dapat digunakan untuk menvisualisasikan perbukitan dalam bentuk 3D sehingga memudahkan pilot bermanuver. TAWS ini dapat difungsikan dengan rentang ketinggian terbang 5000 – 10.000 kaki. Pesawat N219 ini juga bersifat multifungsi, dapat digunakan untuk angkutan penumpang, barang dan bahkan ambulans udara. Model setting-an dengan perubahan konfigurasi kabin pesawat dapat disetel dan interiornya juga dapat berganti sesuai kebutuhan. Kabin ini juga dilengkapi dengan freezer, peralatan medical evacuation, kargo, pallet-pallet dan peralatan pengikat kargo. “Saat ini, tenaga kerja yang ada jauh berbeda dari kondisi yang ada dari zaman Pak Habibie mengembangkan N250. Engineer yang ada masih sangat lengkap dan didukung juga dengan tenaga-tenaga asing untuk mem-backup. Namun, ini tidak menjadi kendala bagi kita. Potensi anak bangsa yang sungguh luar biasa tidak menyurutkan keinginan kita sedikit pun,” ungkapnya dengan rona semangat menyeruak. Ini merupakan total hasil pemikiran anak bangsa, tidak ada campur tangan tenaga asing. Hampir 220 engineer yang terlibat langsung dalam pengembangan pesawat N219 dan bagian production line juga terlibat 400 mekanik dalam perakitan N219. Semuanya merupakan putra putri bangsa Indonesia. Sebagian generasi baru juga diikutsertakan untuk kepentingan masa depan melanjutkan estafet pengembangan N219 berikutnya. Ada sekitar 300 engineer baru yang dididik untuk menjadi ahli pesawat terbang di PTDI. Saat ini, komponen pesawat masih harus diorder dari perusahaan asing karena Indonesia sendiri belum memiliki industri yang mampu memasok komponen pesawat. Sehingga, banyak komponen ini masih diambil dari perusahaan luar, khususnya dari Amerika. “Namun, ada beberapa komponen yang telah kita ajak dari industri dalam negeri seperti kaca depan dan tutup redeem pesawat. Panel-panel interior juga sudah mulai melibatkan industri-industri dalam negeri. Kedepan, diharapkan semua komponen dapat diproduksi lokal. Dengan program ini bukan hanya PTDI yang tumbuh, namun industri-industri lain juga kita ajak bersama. Nantinya, PTDI tidak berdiri sendiri, betul-betul dari Indonesia untuk Indonesia,” jelasnya lagi. Nantinya, pengembangan N219 juga dapat ditingkatkan menjadi transpotasi amfibi, yang dapat mendarat di perairan. Sehingga, wilayah-wilayah kecil di pinggir laut tidak perlu membangun bandara. “Kami juga berterima kasih kepada Pemerintah Aceh yang telah memberikan penghargaan kepada kami dan mendukung produk-produk anak bangsa. Mudah-mudahan dapat kita realisasikan menjadi sesuatu yang nyata,” pungkasnya dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. (Syakirah) Versi cetak digital dapat diakses dilaman :   Simak video nya dibawah ini :

Aceh Thanks The World

Mungkin ini hanya dianggap sebuah “legenda”, sebuah kisah dongeng yang diceritakan pada anak-anak di waktu senggang. Alam bergemuruh, angin semilir tapi tidak membawa kesejukan. Burung-burung beterbangan tanpa arah, sesekali hinggap sambil bersiul tanpa irama khasnya, mereka tampak cemas, ingin berteriak tapi tak ada yang paham “bahasa”nya. Tepat 15 tahun lalu, cerita itu tercetak sejarah. Gempa bumi waktu itu menggertak pagi, ia mengayun seantero Aceh. “Ie beuna, ie beuna (tsunami, tsunami –red),” teriak mereka dari pinggiran pantai menggelegar hingga ke daratan. Orang-orang tercengang, “hai, panee na ie laot teuka u darat, bek ta peugah yang hana-hana hai nek (mana ada air laut menyeruak ke daratan, jangan mengada-ngada wahai nenek-red)”. Tanpa pertanda, gelombang tinggi berdiri tegak di belakang mereka, ia siap mengejar dan menyapu habis apa saja yang berniat menghadangnya tanpa terkecuali. Ia murka dalam diam. Aceh “butuh” waktu yang cukup panjang untuk membenahi diri, bangkit dari keterpurukan yang hampir dianggap “kota mati” saat itu. Struktur dan infrastruktur kota yang porak-poranda karena bencana tsunami membungkam para relawan yang ikut andil hendak membangun kembali Aceh. Dalam keputusasaan, terbesit harapan kala relawan dan bantuan menyentuh tanah Aceh. Tak lama berselang, Dunia buncah dengan bencana Aceh saat itu. Dengan cekatan dan sigap, seluruh dunia meminta pintu Aceh dibuka lebar. Pesawat darurat, para relawan, logistik dan seluruh kebutuhan siap dalam hitungan jam, hanya menunggu gerbang itu terbuka saja. Peluh yang kian deras mengalir di sekujur tubuh tak menyurutkan motivasi mereka untuk mengevakuasi korban bencana. Saat itu, asa kembali mengalir ke pembuluh nadi Rakyat Aceh. Pemerintah pusat pun kemudian membentuk badan khusus untuk menangani Aceh. Lembaga ini diberi nama Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD – Nias atau yang lebih dikenal dengan nama BRR. Saat itu, BRR memegang peranan penting dalam proses perbaikan Aceh, karena pemerintah daerah di Aceh sudah kolaps, termasuk instansi Dinas Perhubungan Aceh. “Perencanaan yang dilakukan oleh BRR pada masa itu telah memiliki grand design dan gagasan dalam pembentukan Kota Banda Aceh pasca bencana. Namun berbagai polemik yang muncul dan juga keterbatasan waktu kerja BRR yang hanya lima tahun menyebabkan hal itu tidak dapat terwujud,” ujar Direktur SDM dan Benefit BRR, Irfan Sofni. “Sedangkan dana yang tersedia saat itu sudah sangat mencukupi untuk membangun Banda Aceh menjadi lebih baik. Seandainya semua komponen mendukung program ini, bukan tidak mungkin sekarang kita tinggal di Kota Banda Aceh yang baru dengan infrastruktur yang lebih bagus termasuk infrastruktur transportasi,” ungkapnya lagi. Dengan dibenahnya infrastruktur transportasi Aceh, BRR berharap perkembangan nantinya berbasis ekonomi guna membangkitkan perekonomian rakyat Aceh. Berapa banyak pelabuhan dan bandara yang telah dibangun di Aceh yang diperuntukkan untuk sarana perekonomian, pelabuhan yang seharusnya menjadi sarana ekspor impor, namun dalam pelaksanaannya hanya digunakan untuk sarana penyeberangan penumpang. Bertahun-tahun kemudian, pemanfaatan untuk prasarana yang mendukung investasi masih menjadi wacana. Secara umum, seharusnya semua infrastruktur transportasi yang telah dibangun sedemikian rupa di Aceh dapat menjadi daya ungkit ekonomi masyarakat di Aceh. Pengembangan prasarana dan peningkatan ekonomi tidak berjalan simultan, masih terdapat “gap” di antara mereka sehingga berjalan terpisah. Setelah berakhirnya tugas BRR, kini Pemerintah Aceh kembali memegang kendali membangun Aceh seperti yang tertuang dalam visi misi Gubernur Aceh sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) dimana Dinas Perhubungan Aceh sebagai perangkat daerah bertanggung jawab “Mewujudkan Transportasi Berkeadilan Untuk Mengurangi Kesenjangan Antar Wilayah”, saat ini termasuk membangun jalur transportasi Aceh dalam program konektivitas. Sekarang, 15 tahun lalu itu cukup menjadi pembelajaran bagi Aceh, tidak menjadikannya benang hitam ketertinggalan Aceh. Pada masa itu, Ia seakan terkubur dan tenggelam dalam peradaban, mungkin namanyalah yang akan menjadi sejarah dalam sebuah lembaran. Namun, dunia menyapa dan mengulurkan ribuan tangannya pada Aceh. Rangkulan dunia menjadi selimut hangat Rakyat Aceh. Ia kembali bangkit dan menyembuhkan lukanya yang dalam. Aceh berterimakasih pada masyarakat dunia. (Rizal Syahisa) Versi cetak digital dapat diakses dilaman :

Digitalisasi Pelayanan Trans Koetaradja

Di tengah kesibukannya mempersiapkan acara peresmian Depo Angkutan Massal Trans Koetaradja yang akan diresmikan oleh Plt. Gubernur Aceh Ir. Nova Iriansyah, M.T., pada Selasa, 24 Desember 2019, Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Trans Kutaradja, Muhammad Al Qadri, S.SiT, M.T., menyempatkan diri untuk diwawancarai oleh Tim ACEH TRANSit, Kamis (19/12) malam. Muhammad Al Qadri, yang lebih akrab disapa Bang Al menjelaskan panjang lebar terkait pencapaian UPTD Angkutan Massal Trans Kutaraja pada tahun 2019. “Pada akhir tahun ini, Dishub Aceh akan meresmikan beberapa pekerjaan yang telah dilaksanakan. Kita akan meluncurkan beberapa inovasi yang akan diterapkan pada pelayanan Trans Koetaradja,” ungkapnya. Beberapa pekerjaan yang akan diresmikan diantaranya; peresmian 12 unit armada baru Trans Koetaradja dan Ruang Pusat Kendali Trans Koetaradja, serta peluncuran aplikasi ETA (Estimate Time Arrival) dan prototype e-ticketing hasil kerjasama dengan Jurusan Teknik Elektro dan Komputer Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Pengadaan 12 unit bus baru berukuran sedang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tahun 2019. Penambahan jumlah armada ini dimaksudkan untuk memperkecil jarak waktu tiba antar bus di halte agar sesuai dengan time table yang telah disusun. Yang mana menurut Al Qadri, salah satu faktor sering terlambatnya bus tiba di halte disebabkan jumlah armada yang beroperasi masih kurang pada suatu koridor, khususnya koridor 3 dan 5. Selain armada yang kurang, belum maksimalnya pelaksanaan pengawasan di lapangan juga menjadi faktor sering terlambatnya bus tiba di halte. Hal tersebut disebabkan masih minimnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada sehingga pengawasan terhadap operasional bus di lapangan tidak dapat dilakukan selama 12 jam bus beroperasi. Menurut Al Qadri, kendala pengawasan tersebut melatar belakangi UPTD Trans Kutaraja membangun Ruang Pusat Kendali. Ruang Pusat Kendali berfungsi sebagai media pengawasan terhadap operasional Trans Koetaradja di lapangan. Didukung sejumlah perangkat baru seperti; NVR (Network Video Recorder), People Counting Camera, CCTV dan Digital Signage yang terpasang di setiap halte, pihak Trans Koetaradja dapat memantau setiap pergerakan bus di lapangan. “Pada prinsipnya, tujuannya untuk meningkatkan pelayanan kepada pengguna Trans Koetaradja. Karena masyarakat ingin bus tiba di halte tepat waktu, kondisi bus bersih, dan pelayanannya bagus,” ungkapnya. Melalui pusat kendali, pergerakan bus juga dapat diawasi dengan NVR, dan GPS sebagai media tracker. Jika terjadi suatu kendala terhadap pelayanan Trans Koetaradja di lapangan, pihak UPTD Trans Kutaraja dapat mengambil tindakan responsif agar pelayanan kepada masyarakat tidak terhenti. Peningkatan pelayanan lainnya yang dilakukan adalah pemasangan CCTV dan Digital Signage di halte. Perangkat ini akan memudahkan pihak Trans Koetaradja untuk memantau kondisi halte setiap saat. “Kita berharap dapat mengetahui kondisi halte setiap saat melalui CCTV dan Digital Signage, baik untuk melihat kondisi penumpang maupun kedatangan bus itu sendiri. Dengan alat tersebut juga diharapkan dapat mencegah aksi pencurian yang pernah terjadi sebelumnya di halte,” harap Al Qadri. Selain peresmian armada baru dan ruang pusat kendali, UPTD Trans Kutaraja juga akan meluncurkan aplikasi ETA (Estimate Time Arrival) dan prototype e-ticketing. Al Qadri menjelaskan, aplikasi ETA berguna untuk memudahkan masyarakat mengetahui lokasi bus yang terdekat dengan halte. Aplikasi tersebut sudah dapat diunduh di Play Store melalui handphone berbasis android. Sedangkan e-ticketing, yang sudah diprogramkan sejak tahun 2016, ditujukan untuk pendataan dan akuntabilitas pendapatan Trans Koetaradja. “Pada tahun 2019 kita luncurkan prototype-nya. Setelah usai uji, pihak Universitas Syiah Kuala akan melakukan registrasi hak kekayaan intelektual dan diharapkan pada tahun depan dapat diproduksi di Aceh untuk dapat digunakan pada angkutan massal Trans Koetaradja,” ujar Al Qadri. Target jangka pendek yang ingin dicapai UPTD Trans Kutaraja ke depan diantaranya; melengkapi NVR dan people counting camera pada seluruh bus, memperbaiki jaringan internet di ruang pusat kendali, dan melakukan pemasangan running text ETA di setiap halte. Pemasangan running text ETA ditujukan bagi masyarakat yang tidak menggunakan telepon genggam berbasis android, seperti para lansia dan pelajar sekolah. UPTD Trans Kutaraja juga menargetkan load factor Trans Koetaradja pada tahun 2020 mencapai 70 persen. Di akhir wawancara Al Qadri berpesan, Trans Koetaradja masih baru dan butuh dukungan dari semua pihak termasuk masyarakat agar dapat memberikan pelayanan yang semakin baik. “Dengan penambahan armada dan teknologi, target kita bus Trans Koetaradja bisa tepat waktu. Kita juga berharap masyarakat semakin gemar menggunakan Trans Koetaradja,” tutup Al Qadri. Masih takut terlambat naik Trans Koetaradja? (Amsal) Versi cetak digital dapat diakses dilaman : https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/ Yuk simak peresmian Depo Pusat Kendali Trans Koetaradja dalam vide ini https://www.youtube.com/watch?v=6c2ySlw-j0I

Flyers or Liars

Pernahkah kita menghitung berapa jumlah bandara di seluruh dunia saat ini? Ada berapa juta orang dalam satu tahun terbang dari satu tempat ke tempat lainnya? Memilih melakukan perjalanan dengan angkutan udara tentu dengan salah satu keunggulannya dapat menghemat banyak waktu untuk menjangkau jarak tempuh yang panjang. Perkembangan jumlah penumpang yang telah diangkut transportasi udara di seluruh dunia pada tahun 1970 berjumlah 1,7 milyar orang dan ternyata pada tahun 2018 mencapai 36 milyar orang (World Bank: 2019), merupakan “angka fenomenal” dengan lonjakan yang sangat drastis. Makanya, Industri penerbangan menjadi salah satu yang dilirik oleh mata dunia. Namun, revolusi penerbangan tidak serta merta masyhur tapi dimulai dari sebuah mimpi. Revolusi sering terwujud karena sebuah dobrakan untuk mengubah alur sebuah kepercayaan “moyang” yang diakui kesakralannya bertahun-tahun dengan sebuah “ide gila” yang tidak masuk akal. Sebelum revolusi teknologi berkembang, mengangkasa seperti burung dianggap mustahil. Akan tetapi selalu ada sifat petualangan manusia yang menetang kebiasaan, berbuat diluar nalar yang biasa-biasa. Seabad lalu, tepatnya tahun 1903, dua bersaudara yang mencoba ide gilanya di Pantai North Carolina membangunkan banyak orang menyaksikan sayap raksasa terbang mengangkasa di udara sejauh 30 meter selama 12 detik. Para penonton di lapangan meragukan apakah dua anak muda yang tidak banyak berpengalaman itu benar-benar terbang. “Flyers or liars”, demikian tulis sebuah surat kabar di tahun 1907. Maksudnya, kedua orang bersaudara itu “penerbang atau pembohong?”. (The Wright Brothers: A Biography Authorized by Orville Wright, 2016: Fred C. Kelly). Kedua kata bagi bersaudara itu muncul dari penyunting yang tidak memberikan kepercayaannya terhadap penerbangan tersebut, sehingga ia berspekulasi tentang apa yang ada sekilas di pikirannya, “Ah, ini tidak mungkin, mana mungkin!” Padahal, ia tidak memahami semangat dan kegigihan yang sebenarnya terjadi, cerita telah melupakan fakta lapangan. “Mimpi” yang bertatakan usaha dan “obsesi” Wright bersaudara terbang seperti burung tidak surut karena keraguan dan “olokan” yang dicuitkan kebanyakan orang. Namun mereka terus mengembangkan pesawat mereka. Pada tahun 1908 tiba-tiba mengejutkan masyarakat Perancis dengan melakukan demonstrasi terbang, yang meliputi gerakan akrobatik. Sejak itu, “kebohongan” yang ada dalam persepsi banyak orang berubah menjadi sebuah “keniscayaan” pada hari ini. Sekarang, saat dunia begitu manja dengan transportasi udara yang tercetus dari ide gila, keraguan dan bahkan cacian, adakah tersemat rasa terima kasih untuk Wright bersaudara? Haluan kembali ke peradaban “serba digital” dimana kondisi dan situasi dunia dapat diketahui dengan posisi “one click” dan berpindah dari satu negara ke negara nun jauh di sana dalam hitungan jam. Itulah pengaruh teknologi yang telah dicanangkan dan dipikirkan seabad yang lalu menjadi kerajaan transportasi yang menaklukkan kepentingan masyarakat. Hal ini juga tidak lepas dari sebuah “ketidakwarasan” yang dianggap oleh publik. Tanpa mengetahui akar dari sebuah problema, kita sering mengkritik sinis “ide” seseorang dan mengajak kawanan untuk mengangguk menyepakati. Namun, saat sebuah “bualan” itu diangkat dan dibicarakan kepada publik, maka tidak diherankan lagi jika itu akan menjadi sebuah trending topic. Menakjubkannya lagi, hal itu terserap cepat dan dijadikan sebagai suatu referensi obrolan. Kemudian massa dijaring “tanpa sadar” untuk percaya pada sebuah “fakta” dari satu sudut pandang saja tanpa mendobrak cara pandang lain yang mungkin berbeda. Bagi sebagian, yang terpenting bukan fakta tapi berseberangan atau memaksakan kekuasaannya. Mempengaruhi massa “tanpa sadar” digiring untuk percaya pada sebuah “argumen” dari satu sudut pandang saja tanpa mendobrak cara pandang lain yang mungkin berbeda. Seringkali kali bualan atau kebohongan untuk mengendalikan situasi dan menggunakan pengaruh. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan keputusan atau reaksi yang mereka inginkan. Apalagi jika kebenaran dianggap sebuah ‘ketidaknyamanan’ yang tidak sesuai narasi mereka. Bahkan lebih menyayat hati, kebohongan disepuh logam mulia yang diperebutkan di pasaran dan berlaku hukum “jual beli”. “Obsesi” transportasi semestinya tersemat dalam tata ruang dimana ia merupakan sebuah “cita” atau “mimpi” yang ditata serta diprediksikan untuk kebutuhan masa mendatang. Transportasi dan tata ruang merupakan dua senyawa yang tidak boleh dipisahkan. Seumpama, mengarahkan bandara sebagai hub bandara-bandara lainnya dianggap sebuah mimpi yang jauh. Memang, tanpa melakukan sesuatu atau bertindak dengan perkiraan yang tepat, tentu semua tidak akan berguna. Namun, jangan sampai kita menjatuhkan diri sendiri karena pikiran “Ah itu tidak mungkin, buang-buang waktu percuma, nggak masuk di akal.” Sedangkan masyarakat di belahan dunia yang lain terus berinovasi pada hal yang tidak mungkin, jutaan dolar dikorbankan dalam sebuah penelitian. Haruskah terus mencemoohkan pemikiran tanpa fakta dan analisis terlebih dulu. Tidak dapat dipungkiri, sejak dulu revolusi tercipta karena ide “kreatif” atau “ide gila” yang tidak masuk logika. Semua kalangan akan membicarakan rumor itu dan mengaitkannya dengan fenomena yang sedang terjadi, meski unsur tidak memiliki hal keterkaitan. Layaknya minyak dan air yang dipaksa menyatu dalam satu wadah. Kegagalan percobaan pesawat terbang tidak mengecilkan hati Wright bersaudara. Omongan para “tetangga” bukan suatu kendala, tapi suatu semangat lebih untuk mewujudkan “mimpi”. Jadi, apa yang membuat kita takut dengan semua rintangan ke depan ini? Saatnya kegagalan menjadi cerminan untuk kita berbenah diri. (Junaidi) Versi cetak digital dapat diakses dilaman: https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Smong, Kearifan Lokal untuk Mitigasi Bencana

Enggel mon sao surito… Inang maso semonan… Manoknop sao fano… Uwi lah da sesewan… (Dengarlah sebuah cerita) (Pada zaman dahulu) (Tenggelam satu desa) (Begitulah mereka ceritakan)   Unen ne alek linon… Fesang bakat ne mali… Manoknop sao hampong… Tibo-tibo mawi… (Diawali oleh gempa) (Disusul ombak yang besar sekali) (Tenggelam seluruh negeri) (Tiba-tiba saja)   Itulah dua bait syair lagu yang bercerita tentang Smong karya Muhammad Riswan dengan nama tenarnya Moris, salah satu tokoh adat dan pemerhati budaya Simeulue. Kemunculan Smong berawal dari pengalaman pahit pada tahun 1907 silam, kala ombak besar menghantam pesisir-pesisir pulau Simeulue terutama di Kecamatan Teupah Barat. Tsunami dengan magnitude 7,6 tersebut menjadi mimpi buruk sekaligus pelajaran berharga bagi masyarakat Simeulue. Ribuan nyawa melayang, rumah dan surau hancur, serta harta benda pun lenyap. Jejak bencana hebat itu masih terlihat pada sebuah kuburan yang terletak di pelataran masjid Desa Salur, Kecamatan Teupah Barat. Sejak itu, kata Smong begitu akrab di kalangan masyarakat Simeulue. Smong diartikan sebagai hempasan gelombang air laut yang berasal dari Bahasa Devayan, Bahasa asli Simeulue. Secara historis, Smong merupakan kearifan lokal dari rangkaian pengalaman masyarakat Simeulue pada masa lalu terhadap bencana gempa bumi dan tsunami. Kisah Smong diceritakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi melalui nafi-nafi. Nafi adalah budaya lokal masyarakat Simeulue berupa adat tutur atau cerita yang berisikan nasihat dan petuah kehidupan, termasuk Smong. Para tetua dan tokoh adat menyampaikan nafi-nafi kepada kaum muda untuk menjadi pelajaran. Cerita Smong disampaikan kepada generasi muda termasuk anak-anak dalam berbagai kesempatan, seperti saat memanen cengkeh. Dulu Simeulue terkenal dengan cengkehnya, anak-anak sering ikut membantu orang tua mereka saat memanen cengkeh. Maka tidak heran jika setiap memanen cengkeh, kisah-kisah Smong jadi selingan di tengah kesibukan. Selain itu, nafi-nafi juga disampaikan di surau-surau mengaji setelah shalat magrib. Nasihat-nasihat tentang kehidupan dan kisah Smong disampaikan setelah mengaji. Smong juga menjadi pengantar tidur anak-anak di malam hari. Para orang tua bercerita tentang Smong sembari menunggu buah hati mereka terlelap dalam tidur. Semua orang tua melakukan hal yang sama, hingga akhirnya Smong menjadi kearifan lokal masyarakat Simeulue yang diwariskan melalui berbagai cara. Para tetua meyakini suatu saat Smong akan datang lagi, walaupun mereka sangat berharap agar kejadian itu tidak pernah terulang lagi. Bencana tsunami dahsyat yang menimpa Aceh pada tahun 2004 lalu, boleh dikatakan sebagai challenge tersendiri bagi masyarakat Simeulue. Tantangan terhadap kearifan lokal dan adat tutur yang telah diwariskan ternyata berhasil dilalui. Gempa hebat dan luapan air laut menyapu ribuan rumah penduduk, namun masyarakat selamat. Hanya terdapat sekitar 3 sampai 6 orang meninggal dunia. Smong membuat seluruh dunia berdecak kagum. Semua orang mulai bertanya-tanya tentang Smong. Smong mulai didiskusikan, diseminarkan, dan dipelajari. Masyarakat dunia khususnya Indonesia mulai mempelajari Smong sebagai salah satu cara untuk mitigasi bencana tsunami. Kini media penyampaian Smong pun bertambah. Bila dulu hanya melalui nafi, sekarang Smong juga diceritakan melalui Nanga-nanga dan kesenian Nandong masyarakat Simeulue. Tidak hanya itu, Smong pun disenandungkan melalui lagu dan puisi, seperti karya Pak Moris di awal. Disaat penutur nafi-nafi sudah sedikit, media seni menjadi salah satu solusi agar kisah Smong tetap tersampaikan. Pak Moris berharap kisah Smong dapat tersampaikan dengan mudah kepada para generasi muda melalui lagu dan puisi. Motivasi Pak Moris menghadirkan Smong dalam lagu dan puisi sangat sederhana, beliau ingin melestarikan cerita-cerita para leluhurnya. Agar kelak generasi selanjutnya paham bagaimana tindakan mitigasi dari bencana yang pernah dialaminya dan leluhurnya. (Amsal) Versi cetak digital dapat diakses dilaman: https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/  

Kesiapan Bandara SIM Tanggap Darurat Bencana

Tak dapat dipungkiri, saat terjadinya bencana, pesawat dan bandara menjadi garda terdepan mitigasi bencana. Salah satunya seperti yang diungkapkan Teuku Darmansyah. Hari itu, Darmansyah selaku Kepala Cabang PT Angkasa Pura II (Persero) Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) ketika gempa dan tsunami menghantam Aceh, sedang perjalanan dari Jakarta menuju Banda Aceh. Saat itu, dia menghadiri rapat pembahasan pengembangan dan pembangunan Bandara SIM di Jawa Barat. Saat tiba di Bandara Polonia Medan, Darmansyah bersiap menuju Banda Aceh tidak menyangka kejadian buruk itu terjadi di Aceh. Sekitar pukul 09.00 WIB, di Bandara Polonia tidak ada yang mengetahui gempa di Aceh. Hingga, pukul pesawat Garuda B737 GA 190 pada pukul 09.20 WIB terlanjut take off ke Aceh. Barulah Darmansyah mengetahui 10 menit menjelang landing. Pilot mengabari penumpang bahwa Bandara SIM tidak dapat didarati karena rusak akibat gempa. Dan pesawat berbalik arah kembali ke Medan. Dia juga belum mengetahui kalau Aceh terendam air. Tiba di Medan, dihubungilah petugas Bandara SIM menggunakan handphone, namun tidak ada jawaban. Begitu juga melalui telepon. Lalu, Darmansyah pergi ke radar Bandara Polonia Medan. “Disanalah saya berbicara dengan Pak Putra lewat radio portable lantas mengetahui Aceh sudah kacau balau,” sebut Darmansyah. Dalam beberapa jam kerisauannya itu, sedikit tercerahkan saat mengetahui bahwa pesawat kalibrasi yang dipiloti Capt. Bantasidi mendarat di Polonia dari Aceh. Kepadanya, Darmansyah meminta Bantasidi mengantarnya kembali ke Aceh. Tepatnya, pukul 13.30 WIB Darmansyah take off menuju Aceh. Sebelum mendarat, terlebih dulu pesawat mengelilingi pesisir pantai hingga Banda Aceh. Di ketinggian 1500 kaki itu, Banda Aceh dipenuhi genangan air. Hanya Masjid Raya, gedung olahraga, dan monumen pesawat Seulawah yang terlihat jelas dari atas. Pesawat mendarat pukul 14.30 WIB. Lalu Darmansyah segera menjumpai pegawainya dan memastikan segala kondisi bandara. Setelah memastikan bandara masih layak dioperasikan, seperti pelayanan lalu lintas udara, run way, power plan, dan fasilitas keselamatan penerbangan lainnya. Di hari itu, maka pukul 16.40 WIB Bandara SIM dibuka kembali serta mengabarinya ke Medan dan Direktur Utama PT. Angkasa Pura II di Jakarta. Tim dadakan segera dibentuk di kantor pusat yang bertugas memberikan bantuan kepada Bandara SIM. Karena sejak hari pertama bencana jumlah pegawai sangat sedikit yang bisa bekerja lantaran masih mencari anggota keluarganya. Lalu dibentuklah posko peduli Aceh dengan mengirimkan relawan sesuai bidang keahlian secara bergelombang hingga Mei 2005. Koordinasi yang intens juga kami lakukan dengan pangkalan TNI AU dalam rangka pengamanan dan persiapan penanggulangan bencana tersebut. Semua kedatangan, pejabat, relawan maupun bantuan semua ditangani oleh posko Angkasa Pura II. Beruntung sekali atas permintaan Menteri Perhubungan, Hatta Rajasa melalui Duta Besar Singapura untuk Indonesia di Jakarta. Aceh mendapat bantuan fasilitas pelayanan Lalu Lintas Udara (LLU) berupa mobile tower dan empat buah helikopter raksasa dua baling chinook yang sangat bermanfaat dalam operasi search and rescue. “Saya terharu banyak sekali negara-negara yang memberikan bantuan untuk Aceh kita,” pungkas GM yang menjabat dari tahun 2003-2005 itu. Sejak saat itulah, pesawat dari berbagai negara dapat mendarat, mengevakuasi warga, dan mengirimkan bantuan. Berduyun-duyunlah bala bantuan datang menghampiri Aceh baik dalam maupun luar negeri. Kini, pasca tsunami, Bandara SIM memiliki keunggulan. Hal ini seperti yang diungkapkan General Manager Angkasa Pura II Bandara SIM, Indra Gunawan. Seperti runway 3000 meter yang dapat didarati pesawat Boeing 747-400, 777-300ER. Luas ini menjadikan Bandara SIM yang pertama sebagai bandara terluas di Pulau Sumatera. Selain itu, bandara ini memiliki 3 taxiway dan 1 taxiway paralel, 8 parking stand dengan konfigurasi 2 wide body dan 6 narrow body. Saat ini sedang dilakukan pekerjaan perluasan terminal dan perawatan sisi fasilitas utama bandara yaitu overlay run way dan taxi way. Terkait kesiapan mitigasi bencana, Indra menyebut Bandara SIM memiliki komite. Diantaranya Emergency Respon Plan (ERP), Airport Emergency Plan (AEP), Airport Security Comitee (ASP) dan Emergency Operation Center yang dapat terhubung keseluruh Instansi tanggap darurat. “Semua komite ini dilakukan simulasi setiap 2 tahun sekali,” katanya. Upaya mitigasi bencana juga dilakukan oleh Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia dikenal sebagai AirNav. Seperti yang diungkapkan GM AirNav Indonesia Kacab Banda Aceh, Wisnu Hadi Prabowo. Dikatakannya, saat terjadi bencana, crisis centre dibentuk berkolaborasi dengan pihak terkait. Gunanya agar pelayanan pada kondisi darurat berjalan maksimal. “Kami ikut memastikan akses slot terhadap pesawat yang ingin memberikan bantuan maupun evakuasi warga dapat mendarat dengan selamat,” ujar Wisnu. Saat ini AirNav telah membenahi majamemen berupa teknologi informasi yang memudahkan airline mengetahui ketersediaan slot pesawat yang kita beri nama cronos system, setiap jamnya akan diketahui berapa banyak kapasitas. Sistem ini terbuka, sehingga airline dapat memonitor slot mana yang kosong maupun telah terisi. Rencana penerbangan (flight plan) jika dulunya airliner mengantar sendiri ke Air Tower Control secara manual. Sekarang, berbasis elektronic flight plan. Jadi pihak airplane dengan akunnya dapat mengakses tanpa harus datang ke AirNav. Selain itu, untuk memastikan keselamatan kedatangan dan keberangkatan kita membuat prosedur konvensional ataupun yang saat ini sedang kita kembangkan berbasis satelit yang kita sebut Perfome Base Navigation (PBN). Saat ini AirNav tidak hanya menjamin keselamatan, tapi kita juga dituntut membantu airline mencapai efisiensi. (Muarrief) Versi cetak digital dapat diakses dilaman: