Dishub

Qin Shi Huang

Lebih dari lima abad sebelum masehi, saat daratan Tiongkok mengalami “pertikaian” antar suku, pengakuan kekuatan dan kekuasaan diukur sejauh mana ia telah memenangkan pertempuran. Jutaan prajurit dihatur dengan taktik “secerdik” mungkin untuk menggelabui hingga melemahkan pertahanan musuh. Segala upaya, taktik dan strategi dilakukan Penuh “obsesi” untuk memenangkan pertempuran. Terkisah dalam sejarah Cina, seorang kaisar yang “takut dengan kekalahan” maka dia mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Ia memutuskan membangun sebuah benteng untuk menghambat gerak musuh-musuhnya. Dialah Qin Shi Huang, penggagas untuk dibangunnya The Great Wall of China. Tembok Besar Cina ini dibangun bertujuan untuk menahan serangan dari bangsa-bangsa di utara tembok yang ingin menguasai Tiongkok. Tujuan lainnya juga untuk pengawasan barang yang melewati jalur sutra serta mengawasi perdagangan dan mengontrol proses imigrasi. Dalam buku Borders and Border Politics in a Globalizing World yang diedit oleh Paul Gangster dan David E. Lorey tercantum sebuah tulisan berjudul “The Great Wall of China” karya Cheng Dalin disebut sejak dimulai pembangunan Tembok Besar Cina sekitar lima ratus tahun sebelum masehi, konstruksi ini baru selesai lebih dari dua puluh kekaisaran setelah kaisar Qin Shi Huang dengan rentang waktu lebih dari dua ribu tahun. Pekerja yang membangun tembok itu sebagian besar terdiri dari para prajurit dan narapidana. Tidak terbayangkan berapa jumlah korban selama pembangunannya. Tak boleh dilupakan, sejarah membuktikan bahwa peperangan dapat dimenangkan dengan memperkuat perbatasan, dengan konsentrasi kekuatan pada wilayah perbatasan akan menutup gerak musuh untuk menyerang dan melumpuhkan kekuatan yang kita miliki. Menguasai perbatasan tentu harus dilakukan dengan perhitungan yang matang dan mengakomodir kebutuhan jangka panjang. Pada zaman moderen saat ini, “garis batas” berfungsi dalam konteks yang fleksibel, bukan seperti benteng pada perang ratusan tahun lalu. Di sini, ia punya andil memutus mata rantai “serangan” yang dibawa dari luar, yang bertujuan menjaga “pola dan struktur” pemanfaatan ruang untuk pertumbuhan ekonomi dalam mengejar kesejahteraan dan tidak memberi celah di perbatasan sehingga menyebabkan terganggunya stabilitas wilayah dari ancaman luar. Regulasi yang mengatur pemanfaatan ruang di perbatasan terdapat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Tahun 2013 – 2033 yang diabsahkan dalam Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 dengan tegas mengarahkan bahwa jalur jalan arteri primer yang melintasi perbatasan Aceh di Aceh Tamiang, Subulussalam, Aceh Tenggara dan Aceh Singkil dilengkapi zona peristirahatan (rest area) dengan konsep terpadu (one stop service). Tata ruang Aceh telah mengatur sedemikian jelas dan tegas. Menyediakan infrastruktur perbatasan belum memenangkan “pertikaian” dengan kepentingan-kepentingan politis lainnya. Seharusnya, titah ini menjadi prioritas yang harus diriset lebih detail dan dikerjakan lebih awal. Memang, ini adalah kekurangan yang selalu kita ulangi, tanpa prioritas dan terjebak pada “kepentingan sementara”. Sebab argumen untuk membela kepentingan yang dikemukakan dan diberikan keabsahannya berulang kali, dengan cara yang sistematis dan akurat, tak memberi peluang untuk dipertahankan. Realitas jadi tak penting dan diremehkan, Bagaimana kesiapan perbatasan pada saat ancaman musuh sudah di depan mata? Akhirnya, terjebak saling menghatur kata serapah. “Kepentingan bersama” yang diabsahkan dalam lembaran hukum diyakini itu tidak pernah ada, jadi buat apa dijalani? sebuah kata berang namun fakta adanya. Maka, menolak ide tanpa pertimbangan menjadi sebuah “mandat kekaisaran” yang diagungkan. Yang terpegang teguh adalah sebuah ide yang “gampang” diakali dengan dasar kebebasan dan perlindungan yang adil, suatu sistem yang harus dipelihara : sistem yang menadahi semua ide yang “relevansi” dengan maksud yang menerima pergumulan yang terus-menerus antara pelbagai kepentingan. Konflik dan pertikaian abadi adalah kepentingan. Bahkan, ada “usulan” untuk menutupi kebutuhan perbatasan yang dideklarasikan bertahun-tahun. kata mereka pula serempak itu perencanaan yang terlalu “mubazir”, ketika sekarang kita harus berperang di perbatasan dengan segala kekurangan maka si penggagas menggerutu. Jika saja, dulu direalisasikan mungkin sekarang kita tidak “kewalahan” sehingga menghilangkan rasa “takut akan kalah” menghadapi ancaman ini. Dan lihatlah, kita seharusnya telah mempersiapkan perbatasan jauh-jauh hari, seperti kebijakan “keberlanjutan” Kaisar Qin Shi Huang yang masih dianut oleh dinasti setelahnya. Faktanya, pos-pos perbatasan gampang dibobol musuh dan infrastrukturnya tidak mampu menyangga serangan. Namun sekarang peperangan melawan ancaman yang tidak kasat mata atau bencana non alam, lebih licik menembus perbatasan. Dia juga menumbuhkan keresahan pada planet Bumi kita yang satu, yang indah, tapi yang mudah cedera. Akhirnya, prajurit di lapangan “nekad” menjalani tugas dengan fasilitas seadanya. Meringkuk jika dingin, mengibas-ngibas jika kepanasan. Jauh dari “aman” yang seharusnya, apalagi “nyaman” yang didambakan. Jauh sekali dari pengharapan, benak juga tak lagi mampu untuk mengeluh. Apa yang dimulai oleh Qin Shi Huang diteruskan oleh generasi berikutnya dan menjadi sebuah hal yang fenomenal dalam catatan sejarah. Dengan segala kekurangan dan akibat yang ditimbulkan tidak menyurutkan “obsesi” kaisar Qin dalam memproteksi wilayah kekuasaannya. Perbatasan yang ia gagas dan pertahankan dulu telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai situs warisan dunia pada tahun 1987 dan bernilai dalam jangka panjang hingga saat ini. Kontruksi ini juga diakui sebagai salah satu prestasi arsitektur paling mengesankan dalam sejarah manusia, dan ternyata tembok ini adalah satu-satunya struktur buatan manusia yang terliat dari luar angkasa. (Junaidi Ali) Cek tulisan cetak versi digital di laman : https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Menguji Hasrat: Kita Tidak Siap dengan “Larangan Mudik”

Mudik, suatu tradisi yang selalu ada tiap tahun terlebih menjelang Idul Fitri. Banyak orang di perantauan memilih dan telah mempersiapkan untuk mudik walau hanya sekedar hajat merayakan lebaran bersama sanak famili di kampung halamannya. Namun ada dilema yang berkata lain kali ini, ada instruksi tegas yang melarang mudik, pasalnya ini menjadi sebuah “malapetaka” bagi yang tercinta. Saat peraturan “dilarang mudik” dikeluarkan oleh pemerintah, disitulah mulai terjadi kelonjakan orang-orang yang mudik, dikarenakan mereka berfikir kalau nanti tidak akan bisa pulang lagi. Tetapi kenyataannya, masih banyak orang yang tidak memperdulikan larangan itu, mereka berpikir tetap harus mudik dan berlebaran di kampung halaman. Realita mengilustrasikan mereka yang mudik lebih banyak berasal dari wilayah terjangkit Covid-19 seperti Jakarta, Surabaya dan wilayah lainnya. Putusan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) juga telah diterapkan pada wilayah tersebut sesuai amanat dalam aturan turunan dari Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25 Tahun 2020. Aturan ini sungguhlah jelas dan tegas, dikatakan lagi, sanksi-sanksi yang diberlakukan jika melanggar aturan tersebut. Aturan ini memuat ketentuan teknis mengenai operasional di semua layanan moda transportasi, baik angkutan darat, laut, kereta api, maupun pesawat terbang. Larangan ini menjadi polemik besar dalam masyarakat, kepanikan dan keresahan memicu “adrenalin” masyarakat untuk berjibaku dengan aturan ini. Ide-ide “kreatif “ muncul menghiasi ranah transportasi dalam mengakali cara untuk pulang kampung. Ada yang menyamar menjadi petugas kesehatan bahkan ada yang bersembunyi di truk-truk logistik agar sampai ke tanah kelahiran. Ironis, Banyak akal “somplak” yang jadi tontonan kali ini.   Larangan tersebut dikecualikan untuk angkutan logistik atau barang kebutuhan pokok dan kendaraan pengangkut obat-obatan, serta kendaraan pengangkut petugas, kendaraan pemadam kebakaran, ambulans dan juga mobil jenazah. Terkait dengan pemberian sanksi bagi pelanggar larangan mudik, pada tahap awal penerapannya pemerintah akan mengedepankan cara-cara persuasif. Tahap pertama yaitu pada tanggal 24 April hingga 07 Mei 2020 yang melanggar akan diarahkan untuk Kembali ke asal perjalanan. Pada tahap ke dua, yaitu 07 Mei sampai dengan 31 Mei 2020 atau sampai berakhirnya peraturan, yang melanggar selain diminta Kembali ke asal perjalanan juga akan dikenai sanksi sesuai perundang-undangan yang berlaku Namun, yang menjadi dilema saat ini adalah masih minimnya rest area di tempat chek point yang diaktifkan sebagai posko penangkalan Covid-19. Sebenarnya di Aceh masih steril terhadap corona, tapi juga tidak dapat disepelekan, karena ada pembawa yang nekad dari wilayah terjangkit. Bahkan, masih ada jalan tikus yang digunakan untuk menerobos agar sampai ke tempat tujuan. Khususnya Aceh, Untuk mengantisipasi dan mencegah masuknya Covid-19 tersebut telah dibangun posko perbatasan Aceh yang berbatasan dengan Sumatera Utara itu berada di empat titik. Keempat lokasi itu, yakni di Aceh Tamiang, Kota Subulussalam, Aceh Singkil, dan Aceh Tenggara. Namun, masih ada masyarakat yang enggan memberi tahu asal tujuan, karena takut dicurigai dan dihadang untuk tidak pulang ke kampung. Prediksi dari kekhawatiran ini, keluar masuk mobil angkutan umum dan kendaraan pribadi antar kedua daerah ini semakin meningkat. Tentu hal ini karena menjelang Idul Fitri 1441 Hijriah. Pemeriksaan itu semakin ketat dalam beberapa hari terakhir ini. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah juga telah jauh-jauh hari sudah melarang warga mudik, apalagi bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang sudah diatur sanksinya. Aceh memang belum memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), namun bisa berupaya dengan memperketat perbatasan dan tidak melakukan mudik terlebih dulu. memang berat, karena kebiasaan sebuah “larangan” adalah pelanggaran dan menguji hasrat untuk terus melawan arus. Tapi, apa salahnya kita membuktikan cinta pada tanah kelahiran dan penghuninya dengan mematuhi larangan mudik pada masa ini. (Dewi) Cek tulisan cetak versi digital di laman :

Bagaimana Aceh Menghadapi Bencana?

Awal 2020 dunia dikagetkan dengan penyebaran Covid-19. Setelah World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi, karena telah menyebar ke lebih dari 200 negara di dunia termasuk Indonesia. Hal ini menjadikan Indonesia berada dalam kondisi status keadaan darurat. Aceh sebagai provinsi paling barat Sumatera terus melakukan persiapan untuk melawan penyebaran Covid-19. Juru Bicara Gugus Tugas Covid-19 Aceh, Saifullah Abdul Gani, menyampaikan per Minggu (17/5/2020) pukul 15.00 WIB jumlah kasus positif Covid-19 di Aceh terdapat 17 kasus. Dibandingkan provinsi-provinsi lain, data ini tidaklah terlalu memprihatinkan. Akan tetapi, Pemerintah Aceh pastinya tidak tinggal diam dalam melaksanakan upaya-upaya untuk meminimalisir penyebaran Covid-19, dimulai dari memperketat pintu masuk ke Aceh seperti bandar udara, pelabuhan dan melalui perbatasan. Perbatasan menjadi gerbang terdepan yang harus di “kawal ketat” dengan penguatan tim percepatan penanganan pandemi ini. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah bericara tentang langkah yang mesti diambil oleh punggawa dalam mengatasi kondisi saat ini. Dipertegas dalam hirarki dibawahnya, Keputusan Presiden No. 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) memberi komando bagi Pemerintah Daerah dalam wilayah kewenangannya untuk membentuk tim percepatan yang secara tersirat juga menginstruksikan untuk merapatkan barisan di perbatasan. Barisan yang membentengi pintu masuk pastinya membutuhkan daya dukung yang optimal, baik dari infrastruktur, sumber daya manusia (SDM) maupun fasilitas dukung lainnya, merupakan “kebutuhan mutlak”. Ada kebutuhan yang harus di-cover dengan kolaborasi dan sinergi antar pihak agar tujuan bersama dapat dicapai. Tujuan bersama ini tentulah sebuah “keharusan” dalam melindungi wilayah dan masyarakat dari ancaman manapun. Melihat kondisi yang terjadi saat ini, koordinasi dengan multisektoral menjadi sebuah pondasi utama dalam menyangga “hajat” dunia untuk memberantas Covid-19 perlu diperluas dan diperkuat. Kesigapan, profesionalitas, dan kerelawanan ‘para prajurit’ kesehatan harus ditopang oleh setiap kalangan, termasuk masyarakat yang memegang “saham” besar dalam konteks ini dalam kesiapsiagaan. Tentu pelaksanaan kesiapsiagaan ini tak semudah membalikkan telapak tangan, banyak aral terjang yang perlu diterobos terlebih kondisi geografis Aceh yang dikelilingi dengan pegunungan, hutan serta kepulauan menjadi tantangan tersendiri, perlu “usaha lebih” untuk sekedar menjangkau jengkal demi jengkal keseluruhan wilayah Aceh. Selain itu kondisi cuaca yang kadang tak menentu juga menjadi tantangan lainnya. Kondisi geografis tentu bukanlah satu-satunya “tantangan”, ada rintangan lain yang perlu dikhawatirkan saat berperang melawan pandemi ini seperti kekurangannya “pasokan senjata” dan rencana “strategi jitu” yang harus dijejal setiap inci pergerakan yang akan diambil. dari segi kebutuhan persediaan senjata seperti alat pelindung diri (APD), infrastruktur, dan kesiapsiagaan pelayanan. Usaha dan ketersediaan “bahan baku” ini tentu memerlukan penyikapan lebih lanjut. Apakah ini hanya sebatas kewenangan saja? tentu tidak. Selain kewenangan, “ada keharusan masyarakat untuk peduli dan ambil bagian” untuk sama-sama menggergaji mata rantai pandemi ini agar dunia kembali “baik-baik” saja. Selain beberapa dilema tadi, masalah baru timbul akibat pandemi yang tak kunjung berakhir ditengah suasana ramadan dan lebaran ini. Masyarakat dibuat seakan kembali “dipaksa” untuk tetap merayakan di kediamannya masing-masing (#LebaranDiRumahAja). Tentu bukan hal yang berat bagi mereka yang tinggal dengan keluarga tercinta, tetapi menjadi beban tersendiri bagi mereka yang hidupnya merantau jauh dari keluarga. Realita ini mengharuskan kita untuk tetap mematuhi anjuran pemerintah untuk “memaksa dan membatasi” segala aktivitas dan keseharian kita sebagai warga masyarakat. Kita diharapkan bisa melakukan pertahanan diri dengan menjaga jarak satu sama lain (physical distancing) serta melalui pengurangan aktivitas sosial (social distancing). Ketika ‘social distancing’ apalagi ‘physical distancing’ tak diindahkan, itu sama artinya kita sengaja mengundang Covid-19 untuk datang menyerang. Bagaimana jika kedepannya kondisi ini semakin parah? Permasalahan penanganan pandemi tak kunjung berakhir? Hal ini tentu semakin menyulitkan Pemerintah Aceh, tinggal bagaimana kita sanggup untuk menaati setiap hal yang menjadi kebijakan dari pemerintah. (Rahmi) Cek tulisan cetak versi digital di laman : https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Aceh Miliki Pusat Studi Tsunami dan Mitigasi Bencana

Aceh termasuk termasuk wilayah yang sangat rawan terhadap bencana, salah satunya adalah gempa yang dapat mengakibatkan gelombang tinggi. Banyak sains dan temuan ilmiah yang memastikan keberulangan bencana gelombang tinggi tersebut, namun tempat dan waktu adalah misteri yang tidak bisa terpecahkan. Tempat kita pun tak bisa menghindari dari bencana lain seperti, banjir, tanah longsor, dan lain-lain. Meningkatnya kejadian bencana beberapa tahun belakangan akibat perubahan kondisi alam maupun perbuatan manusia, melahirkan banyak gagasan dalam upaya penyelamatan jiwa dari dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Melihat kenyataan di masyarakat, umumnya sebagian besar penduduk kita hanya mengenal bencana yang disebabkan oleh alam, padahal bencana tidak hanya berkutat pada fenomena alam. Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan menggangu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga megakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana mendefenisikan mitigasi sebagai serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Apabila menyinggung masalah mitigasi dan keterkaitannya dengan bencana, pola pikir masyarakat masih tetap mainstream dalam arti kata selalu memikirkan bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, longsor, dan lain-lain. Istilah mitigasi mencuat dan popular di Indonesia setelah terjadinya bencana besar yang melanda negeri ini. Beberapa lembaga negara non kementerian dibentuk untuk menangani kasus bencana sebelum, pada saat dan setelah terjadinya bencana tersebut. Salah satunya adalah Tsunami And Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala. Banyak yang masih belum tau bahwa di Aceh saat ini telah memiliki pusat penelitian dan riset dalam kebencanaan. Pusat Studi Tsunami dan Mitigasi Bencana (TDMRC-Tsunami and Disaster Mitigation Research Center) Universitas Syiah Kuala adalah lembaga riset yang didirikan pada tahun 2006. Keberadaan TDMRC bertujuan untuk meningkatkan sumber daya riset kebencanaan yang berkualitas, memberikan advokasi pada pemerintah dalam membuat kebijakan, mengumpulkan dan menyediakan data terbaik dengan mempercepat prosess pengumpulan data yang tepat berkaitan dengan dampak dari bencana. Disamping itu, TDMRC juga berkontribusi meningkatkan masyarakat yang tahan bencana, berkolaborasi dengan para peneliti dan lembaga riset lainnya dalam riset-riset kebencanaan. TDMRC sebagai salah satu ujung tombak dalam pelaksanaan dan pengembangan penelitian dibidang kebencanaan di Provinsi Aceh didisain untuk mampu menjadi lembaga riset yang handal dan tangguh, yang mampu merumuskan dan melaksanakan kebijakan riset dan pengembangan untuk memecahkan berbagai masalah kebencanaan, baik pada tingkat daerah, nasional dan internasional. Seperti yang diungkapkan oleh wakil ketua yang juga sebagai salah satu peneliti TDMRC Dr. Eng. Syamsidik “Selama ini TDMRC telah banyak menjalin kerjasama yang baik dengan banyak lembaga atau organisasi baik dari lokal, nasional maupun internasional”. Beliau juga mengungkapkan harapannya sebagai peneliti adalah dapat membuat penelitian yang benar-benar dapat dimanfaatkan terutama dalam hal mitigasi kebencanaan. Sedangkan mitigasi dampak bencana terhadap prasarana transportasi dapat dilakukan dengan melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait. Zona tujuan pergerakan penduduk pada saat bencana adalah kawasan pegunungan, sebagian besar penduduk bergerak dengan berjalan kaki sehingga perlu pengembangan jalan trotoar bagi pejalan kaki. Sebagian penduduk bergerak menggunakan kendaraan sehingga perlu pelebaran jalan dan radius persimpangan jalan, khususnya pada ruas jalan yang menghubungkan ke zona aman. Pada kawasan pusat kota dan permukiman pesisir pantai bisa dibuat jalan alternatif untuk mengurangi arus lalulintas yang melalui jalan-jalan di pusat kota. Peningkatan kejadian bencana alam selama dua dasawarsa terakhir melahirkan banyak gagasan mengenai pengurangan dampak risiko kebencanaan baik dari sisi sosial maupun teknis, termasuk bidang evakuasi dan transportasi logistik. Perkembangan kaidah keilmuan dalam bidang pemodelan transportasi evakuasi bergantung pada tipikal bencana alam serta pergerakan lalulintas saat proses evakuasi. Proses evakuasi merupakan salah satu kajian strategis dalam perencanaan transportasi dan pemodelan lalu lintas. Beberapa metode telah dikembangkan menjadi satu konsep yang dapat digunakan dalam mengoptimalkan evakuasi, termasuk mengenai pemilihan rute perjalanan, pemilihan moda, serta kesiapan infrastruktur jalan untuk memberikan pelayanan pada pelaku evakuasi agar dapat selamat sampai ke tujuan. (Dewi) Cek tulisan cetak versi digital di laman : https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Rakit Aceh, Riwayatmu Dulu

Desember kembali hadir di tahun 2019. Tiba pada suatu titik di Bulan ini, sejenak megenang kembali apa-apa yang tertinggal 15 tahun lalu. Bencana besar yang terjadi melumpuhkan wilayah Aceh dan sebagian pesisir pantai barat Sumatera Utara hancur karena terjangan gelombang tsunami. Peristiwa yang diawali dengan gempa besar ini berujung dengan ratusan ribu korban melayang. Tak terhitung rumah yang hancur akibat gempa dan empasan gelombang tsunami. Listrik seketika saat itu padam karena dampak yang ditimbulkan. Tak hanya di Aceh, gelombang tsunami juga menerjang di beberapa titik lokasi pantai Sri Lanka, India, dan Thailand. Tak ada lagi jalan mulus seperti dulu, aspal pun seperti terkupas, jembatan pun tercabut dari pondasinya, bajanya habis diterjang oleh ombak. Yang tersisa hanya beton penyangga jembatan disisi kiri dan kanan jembatan. Salah satunya adalah jembatan Lambeuso yang putus akibat terjangan gelombang tsunami. Jika dari Banda Aceh menuju Calang (pantai Barat) maka kita akan melewati jembatan tersebut. Tak terbilang lagi banyak kendaraan umum dan pribadi yang terjebak dijembatan itu dan tak mungkin diatasi dengan titian darurat. Hanya rakit satu-satunya yang diandalkan sebagai alat transportasi. Setiap kendaraan yang hendak melewati jalur itu harus naik rakit penyeberangan darurat yang dikelola oleh masyarakat setempat, salah satunya adalah Bapak Dalimi sebagai operator rakit pada saat itu. Sebelumnya sudah ada rakit bantuan dari Pemda yang terbuat dari plat. Rakit yang digunakan pada saat itu adalah milik pribadi dari Bapak Dalimi yang pada saat itu sebagai operator rakit, rakit tersebut dibuat dengan biaya beliau sendiri. Rakit yang dinamai oleh warga sekitar dengan sebutan rakit Babah Dua itu berukuran sekitar 10 x 12 Meter yang mampu menampung sekitar 50 orang dan 4 mobil. Rakit tersebut beroperasi selama 24 jam penuh yang dikendalikan oleh 6 orang operator untuk siang dan 6 orang lagi untuk jadwal malam. Dalam waktu sehari semalam ada sekitar 50 kali bolak balik untuk memenuhi kebutuhan transportasi disungai tersebut. For an unforgettable night out, why not book a captivating Escort lady in graubünden ? These ladies know how to keep the night interesting, from their seductive eyes to their tantalizing curves, they offer the perfect distraction. Kedai-kedai tumbuh karena banyak kendaraan dan orang yang mengantri untuk penyeberangan sambil menunggu giliran diangkut rakit. Kiriman logistik untuk para pengungsi Calang dan Meulaboh pun bisa tersalurkan dengan baik melalui rakit tersebut. Namun, Seiring dengan waktu, jembatan kukuh pun berdiri di Lambeusoi, panjangnya lebih dari seratus meter. Rakit pun menghilang. Turut sirna rezeki pengendali rakit, yang dulunya bisa mengembalikan modalnya yang telah ia keluarkan untuk pembuatan rakit tersebut. Tak ada lagi kendaraan berhenti mengantri rakit untuk diseberangkan. Jejeran kedai di Lambeusoe hilang tak berbekas. Meski begitu, berkah lain datang. Roda ekonomi menjadi lebih lancar, transportasi menju kota Meulaboh juga berjalan lancar. Dengan selesainya jembatan yang dibangun dalam masa rehab dan rekonstruksi paska tsunami di Aceh khususnnya transportasi di pantai Barat membuat hubungan transportasi menuju kawasan barat selatan Aceh saat ini bebas dari rakit penyeberangan. (Dewi) Cek tulisan cetak versi digital di laman : https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Sepenggal Kisah Perahu di Atas Rumah

Desember untuk penduduk aceh selain terkait milad Gerakan Aceh Merdeka (GAM) puluhan tahun silam bertambah menjadi tsunami dan MoU GAM- RI. Hampir semua pelaku yang terlibat ataupun tidak terlibat langsung ketika membicarakan tsunami dan memperingatinya terasa tidak bergairah. Bahkan ada yang bergitu histeris karena pengalamannya langsung bergelut dengan gelombang tsunami. Melupakan tsunami sebagai suatu bencana juga tidak bijak karena bencana tersebut telah menjadi pembelajaran bagi seluruh negeri tentang solidaritas dan peduli. Seluruh negeri tertuju pada satu provinsi paling barat Indonesia, dunia turun tangan membantu dengan mengenyampingkan agama, ras dan suku. Tsunami untuk aceh sendiri menjadi bencana ke dua setelah konflik yang berkepanjangan antara gam – RI yang telah berunding, bersepakat namun tidak menemukan titik kepakatan. Terlalu sedih negeri jika harus diingat konflik dan tsunami sebenarnya. Kesedihan tsunami tertutupi walau tidak menyembuhkan untuk warga aceh karena kehadiran gelombang air laut tersebut kedarat mengahadirkan kesepakatan damai antara Gam- Ri setalah semua usaha yang dilakukan sebelum tsunami tidak pernah terujud. Sebagaimana konflik, maka tsunami banyak meningggalkan kisah cerita yang jika terus diceritakan tak bosan kita mendengarkan nya dari kisah yang ada. Mulai dari masjid ulele, masjid lampuuk, makam Syiah Kuala, kapal pembangkit listrik ulele hingga boat di atas rumah dan ada beberapa lainya yang belum terangkum. Semua tempat yang memiliki kisah kini menjadi saksi berapa dasyat nya air bah berlumpur dari pesisir pantai bagian barat Indonesia dan dari sekian saksi bisu boat diatas rumah yang salah satunya masih sebagaimana aslinya. Namanya ibu Misbah yang oleh warga dipanggil Buk Abes. Beliau menjadi salah satu saksi betapa dasyatnya kejadian saat itu dan rumah beliau lah tempat persinggahan terakhir salah satu boat yang saat itu sedang docking di Lampulo sungai krueng Aceh, dengan panjang kapal 25 meter, lebar 25,5 meter dan dengan berat 20 ton. Perpindahan boat dari docking ke daratan terjadi begitu cepat hingga penghuni lantai 2 rumah buk abes tak ada seorang pun yang tau hingga akhirnya ada pengungsi dilokasi lain yang mengajak untuk naik ke boat tersebut. Total jumlah orang yang menaiki boat tersebut berjumlah 59 orang. Kini kapal diatas rumah menjadi tempat satu dari beberapa tempat wisata yang terkait tsunami dan dikelola oleh pemerintah. Kondisi boat saat ini tidak banyak berubah dari aslinya selain penambahan dua penyangga boat dan perawatan boat namun kondisi boat sangat baik seperti diletakkan begitu saja di atas rumah. Sementara kawasan lampulo kembali seperti sedia kala dengan pemukiman penduduk yang padat serta pembangunan yang pesat dengan hadirnya tempat pelelangan ikan terbesar di Banda Aceh. Semua kini seakan telah lupa dengan stunami, namun tidak pernah untuk melupakan terutama jika Desember datang. (Fajar) Cek tulisan cetak versi digital di laman :

Transportasi Aceh, Dekapan Keadilan bagi Anak Negeri

Oleh Muhajir, S.T. (Kepala Seksi Tata Ruang Transportasi dan Lingkungan Dinas Perhubungan Aceh) Nota Kesepahaman (Memorandum of U n d e r s t a n d i n g ) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 menandakan kilas baru sejarah perjalanan Provinsi Aceh dan kehidupan masyarakatnya menuju keadaan yang damai, adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat. Hal yang patut dipahami bahwa Nota Kesepahaman adalah suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh secara berkelanjutan.” “Pengaturan kewenangan luas yang diberikan kepada Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/ kota yang tertuang dalam Undang- Undang ini merupakan wujud kepercayaan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan dan keadilan yang berkesejahteraan di Aceh”. Dua paragraf di atas sebagaimana yang termaktub dalam Bagian Umum Penjelasan Atas Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh sejatinya adalah visi besar dari lahirnya Pemerintah Aceh sebagai wujud konkrit langkah awal berjalannya sistem Pemerintahan Aceh berdasarkan MoU Helsinki, setelah sebelumnya Allah SWT menakdirkan musibah gempa bumi dan tsunami bagi bumi Aceh yang menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa bahkan dunia internasional untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh. Aceh yang dulu tercabik-cabik oleh ketidakadilan, ‘berdarah-darah’ dan terpecah belah oleh keadaan sosial politik dan keamanan seolah-olah disentak oleh takdir Allah pada tanggal 26 Desember 2004 tersebut. “Door Duisternis tot Licht” yang bermakna harfiah “Dari Kegelapan Menuju Cahaya” mungkin tepat untuk menggambarkan situasi Aceh setelah bencana menghantam. Door Duisternis tot Licht adalah judul buku J.H. Abendanon yang merangkum surat-surat R.A. Kartini pada teman-temannya di Eropa. Judul buku yang diterbitkan pada 1911 ini mungkin menjadi ungkapan yang tepat bagi masyarakat Aceh, khususnya sebagai apresiasi atas tumbuhnya kesadaran yang kuat dari Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka untuk menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, serta bermartabat yang permanen dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Segera setelahnya, semangat untuk segera bangkit dan berbenah seakan tumbuh bak rumput di musim hujan. Cita-cita dan ekspektasi masyarakat terhadap kemajuan Aceh terus berakselerasi mengejar ketertinggalan dari daerah lain di Indonesia. Masyarakat, dunia usaha maupun pemerintah terus berbenah dalam menata langkah dan peran serta dalam upaya-upaya tersebut. Aspek pemberdayaan masyarakat, keselamatan konstruksi, kesiapsiagaan, mitigasi bencana, aktivitas peduli lingkungan, aksesibilitas, dan konektivitas tranportasi, pemerataan pembangunan dan membuka keterisolasian daerah adalah di antara hal-hal yang sering dibahas dalam forum-forum akademis maupun forum-forum praktisi, sejak saat itu hingga kini. Di sektor transportasi, Gempa Bumi dan Tsunami pada 26 Desember 2004 benar-benar meluluhlantakkan sarana dan prasarana utama pelayanan transportasi di Banda Aceh, Sabang, Aceh Besar, sebahagian kawasan pantai utara Aceh, dan di hampir seluruh kawasan pantai barat Aceh baik transportasi darat maupun laut. Beberapa daerah bahkan terisolasi dalam beberapa waktu. Namun penanganan dampak bencana di sektor transportasi tersebut dapat diselesaikan secara baik dan komprehensif dengan rahmat Allah SWT melalui solidaritas dan kontribusi seluruh potensi bangsa serta masyarakat internasional. Masa-masa gelap tersebut telah dilewati dengan penuh keteguhan, sekarang sektor transportasi dihadapkan pada perubahan paradigma dan orientasi pelayanan, di mana kinerja pelayanan perhubungan dituntut untuk mampu mengakselerasi pertumbuhan daerah secara berkeadilan. Pelayanan transportasi harus hadir untuk menumbuhkembangkan potensi strategis daerah seperti sektor pariwisata, pertanian, perkebunan, perikanan, industri, jasa dan investasi. Kinerja layanan transportasi juga dituntut untuk secara maksimal menunjang kebutuhan pelayanan di sektor pendidikan/penelitian, kesehatan maupun kawasan ekonomi baru, serta membuka dan menjangkau kawasan-kawasan terisolir dan terluar yang ada di Aceh. Kebutuhan masyarakat terhadap dedikasi dan kinerja maksimal Pemerintah Aceh di sektor transportasi ini akan terwujud bilamana Dinas Perhubungan Aceh bersama-sama dengan Satuan Kerja Perangkat Aceh dan stakeholder terkait lainnya mampu berkolaborasi untuk memetakan dan mengelaborasi secara optimal setiap potensi strategis daerah. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Perhubungan memang telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, namun demikian dibutuhkan perencanaan yang terukur dan visioner dengan sasaran pencapaian visi besar dari lahirnya Pemerintahan Aceh. Sepatutnyalah pembangunan Aceh dimulai dengan penghargaan dan konsistensi terhadap amanat Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, diantaranya pada Pasal 141 ayat (1) diatur bahwa Perencanaan pembangunan Aceh/ kabupaten/kota disusun secara komprehensif sebagai bagian dari sistem perencanaan pembangunan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: a. Nilai-nilai Islam; b. Sosial Budaya; c. Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan; d. Keadilan dan Pemerataan; dan e. Kebutuhan. Orientasi pembangunan/ pengembangan transportasi Aceh selayaknya hadir bak seorang ayah yang akan sekuat tenaga menjangkau, memeluk dan mendekap erat setiap anak walau di ujung pedalaman negeri serta memfasilitasi tumbuh kembang setiap potensinya. Sehingga makna perdamaian dan kekhususan Aceh dapat dijumpai di setiap simpul potensi negeri, berjalan tenang di setiap ruas jalan, singgah di dapur perekonomian masyarakat/UMKN, berlayar dan berlabuh di perairan Aceh, meramaikan angkasa di wilayah udara Aceh, serta menjadi gerbang warga dunia menjangkau Indonesia dan penghantar makna damai ke dunia internasional. Pada akhirnya, masyarakat Indonesia termasuk bangsa Aceh haruslah memperoleh manfaat dari terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar bahwa tujuan membentuk suatu pemerintah negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.(*) Cek tulisan cetak versi digital di laman

Infrastruktur dan Konektivitas Logistik Pengungkit Industri Aceh

Sering kali kita memiliki cara pandang yang berbeda mengingat asal usul, lingkungan, psikologis dan pendidikan atau bahkan periode hidup yang berbeda-beda. Komunikasi atau diskusi menjadi satu wadah dalam mewujudkan pemahaman yang nantinya menciptakan satu prinsip yang sama. Apabila komunikasi tersebut tidak pernah tersampaikan kepada pihak terkait maka pada kondisi tertentu menyebabkan perpecahan yang pastinya berdampak negatif. Hal ini penyebab dari komunikasi yang tak pernah tersampaikan antar pihak sehingga menimbulkan rumor yang tidak akurat di kalangan masyarakat. Asas dan tujuan dalam membangun jaringan pelayanan dan infrastruktur serta konektivitas logistik Aceh perlu adanya penyamaan visi misi. Ke arah mana pengembangan, serta aksi strategis apa yang harus diambil dalam melayani logistik, sebagai upaya mendorong Aceh dalam mengejar ketertinggalannya. Dalam hal ini, demi menciptakan harmonisasi antar pihak dan sektor dalam mendorong aktivitas dan konektivitas logistik untuk membangun negeri, PT. Pelindo-I Cabang Malahayati bekerja sama dengan Dinas Perhubungan Aceh menyelenggarakan acara business forum yang digagas melalui pendanaan PT. Pelindo-I Cabang Malahayati. Acara ini diselenggarakan di Hotel Kyriad Muraya Banda Aceh yang turut dihadiri oleh unsur pemerintah, asosiasi dan dunia usaha, Rabu (6/11/2019). Saat ini, strategi pembangunan transportasi condong terhadap pendekatan demand follow supply, penyediaan fasilitas transportasi dilakukan terlebih dulu dengan tujuan pertumbuhan pilar ekonomi dan berkembangnya kegiatan ekonomi berjalan beriringan atau simultan. Dalam Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh pasal 48 (5) huruf d dan e terdapat dua kawasan strategis transportasi, yaitu Kawasan Krueng Raya dan sekitarnya sebagai Kawasan Industri, serta Pelabuhan Laut Aceh (KIPA) dan Kawasan Blang Bintang dan sekitarnya sebagai Kawasan Bandara Internasional. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh Tahun 2017-2022 memprioritaskan konektivitas untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah. Upaya-upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah menjadi perhatian Pemerintah Aceh. Seperti halnya, memaksimalkan fungsi infrastruktur dan keterlibatan dunia usaha dalam percepatan pembangunan ekonomi Aceh juga terus dipacu. Pemerintah tentu tidak akan mampu untuk melakukan sendiri pembangunan pada semua sektor. Oleh karena itu, keterlibatan dunia usaha untuk berinvestasi sangat dibutuhkan sehingga membuka peluang kerja dan peningkatan pendapatan yang akan bermuara kepada kesejahteraan masyarakat. Secara geografis, posisi Aceh sangatlah strategis. Hal ini dikarenakan Aceh berada pada salah satu jalur pelayaran internasional terpadat di dunia dan berdekatan dengan pelabuhan internasional seperti Belawan, Singapura, Malaysia, Thailand, dan pelabuhan lainnya. Keunggulan posisi strategis tersebut memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Maka Pemerintah Aceh berinisiasi membangun Kawasan Industri Aceh (KIA) Ladong. Kawasan ini berfungsi sebagai tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang disediakan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri. Dalam mendukung pertumbuhan industri Aceh, maka peran Pelabuhan Malahayati menjadi salah satu tokoh utama di sini. Penetapan Pelabuhan Malahayati sebagai bagian dari rangkaian program tol laut, menjadi peluang bagi kita terutama dalam mengembangkan pusat-pusat komoditas unggulan daerah yang nantinya akan memberikan kontribusi pada aktivitas ekspor-impor di Pelabuhan Malahayati. Evaluasi Tol Laut Sebagaimana kita ketahui, bahwa Tol Laut merupakan program prioritas Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015 – 2019. Tol Laut bertujuan untuk membangun konektivitas transportasi laut yang efektif dan efisien, terutama dalam menjamin ketersediaan barang dan mengurangi kesenjangan atau disparitas harga barang antar wilayah. Sebagai evaluasi, pelaksanaan tol laut di wilayah Aceh baru dilaksanakan pada tahun 2019. Walaupun demikian diharapkan seluruh stakeholder terkait dapat memanfaatkan momen yang sangat penting bagi masyarakat Aceh dalam memanfaatkan angkutan laut untuk pelayanan logistik Aceh. Pada kesempatan ini Plt Gubernur Aceh, Ir. Nova Iriansyah, M.T. yang diwakili oleh Kepala Dinas Perhubungan Aceh, Junaidi, S.T., M.T menyampaikan bahwa keberadaan pelabuhan ini sangat dibutuhkan untuk mendukung aktivitas bisnis yang akan hadir di Kawasan Industri Aceh (KIA) Ladong. Tanpa adanya fasilitas pelabuhan yang baik, sebuah pusat industri tidak akan berkembang secara optimal. Dalam konteks ini, apabila transportasi darat, laut dan udara tidak terintegrasi dengan baik maka dapat dipastikan distribusi barang/ produk tidak berjalan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, keberadaan pusat logistik tentu harus didukung dengan adanya pengembangan jaringan transportasi multimoda yang menghubungkan simpul-simpul logistik sehingga meningkatkan aksesibilitas angkutan barang dari pusat-pusat produksi menuju ke pelabuhan. Sebagai informasi, peningkatan aktivitas bongkar muat periode Januari sampai dengan Agustus 2019 sebesar 129.762 ton dan ekspor impor sebesar 1.805.211 ton. Hal ini merupakan suatu potensi yang harus terus dikembangkan secara berkelanjutan. Selain itu, kebijakan penguatan jaringan logistik dapat dilakukan melalui peningkatan kemitraan antara operator pelabuhan dengan industri hulu dan hilir, perusahaan pelayaran, asosiasi dan pelaku penyedia logistik seperti freight forwarder, ekspedisi muatan kapal dan perusahaan bongkar muat. Pemerintah Aceh juga terus berupaya menyediakan jasa pelayanan distribusi barang yang cepat dan efisien. Seperti halnya penyediaan prasarana dan sarana multimoda transportasi dan terminal barang sebagai pusat distribusi dan konsolidasi barang dari ataupun menuju pelabuhan. Diharapkan konektivitas, jaringan infrastruktur dan pelayanan logistik dengan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah dapat mengantar Aceh mendominasi pasar internasional. (Syakirah) Selengkap dapat diakses edisi cetak pada:

Pemerintah Belanda Rehab Pelabuhan Malahayati

Aceh merupakan kawasan di Asia yang mempunyai latar belakang sejarah yang panjang mengenai perdagangan maritim dan kepelabuhanan. Pelabuhan-pelabuhan di Aceh merupakan pelabuhan tertua di jalur Selat Melaka. Namun kegemilangan dan kejayaan Aceh di bidang perdagangan maritim dan kepelabuhan ini tidak berkembang dan berlanjutan sehingga ke hari ini. Pelabuhan Malahayati salah satunya yang sejak dulu disinggahi oleh pedagang dari Cina yang kemudian dikenal dengan sebutan Lamwuli. Lamwuli yang dimaksud yaitu Kerajaan Lamuri yang letaknya tidak jauh dari posisi Pelabuhan Malahayati saat ini. Pelabuhan ini merupakan sebuah pelabuhan yang sudah ada dan dibangun sejak zaman Sultan Iskandar Muda. Oleh masyarakat Aceh, kata Lamuri kemudian berubah menjadi Lamreh. Pelabuhan tua ini kemudian diambil alih oleh PT Pelindo pada tahun 1970. Pelabuhan ini pernah menjadi salah satu pelabuhan transit ke Pulau Sabang di era 80- an. Kemudian pelabuhan tersebut beralih fungsi menjadi tempat persinggahan kapal. Pelabuhan Malahayati ini sebelumnya dikenal sebagai pelabuhan penyeberangan kapal-kapal besar. Pelabuhan Malahayati pada era 90an merupakan salah satu akses penyeberangan ke Sabang dan ke Belawan. Kapal yang mengangkut penumpang ke Belawan juga relatif banyak. Namun seiring berkembangnya dunia transportasi, maka perlahan-lahan para pengguna moda laut yang menuju ke Medan pun banyak beralih ke moda transportasi darat. Akhirnya rute ke Belawan pun akhirnya tak ada lagi. Saat tsunami, lokasi pelabuhan ini pun ikut terkena imbas gelombang pasang air laut. Beberapa saat pelabuhan ini tidak bisa disinggahi kapal. Namun pasca tsunami sekitar satu minggu pelabuhan Malahayati menjadi salah satu pengiriman logistik melalui jalur laut, begitu juga banyak relawan yang menggunakan moda laut melalui pelabuhan Malahayati. Pasca bencana menghancurkan sebagian dermaga Malahayati, Pemerintah Belanda membantu rehabilitasi Pelabuhan Malahayati yang rusak akibat tsunami, di posisi Kade 3. Bantuan yang berasal dari multi donor dan masyarakat Belanda tersebut mengalokasikan dananya sebesar US$ 8,2 juta. Selain merehabilitasi dermaga, beberapa fasilitas baru pelabuhan juga dibangun. Dengan pelabuhan itu, berbagai bahan baku rekontruksi bisa dipasok lebih cepat. Berkat pembangunan dan perbaikan kembali, akhirnya pada tahun 2007, pelabuhan ini dapat digunakan dan beroperasi lagi. Sekarang, melalui PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I fokus untuk mengembangkan fasilitas pelabuhan Malahayati, Krueng Raya Aceh Besar berupa perluasan tempat penampungan box (kontainer) hasil bongkar muat. Selain itu juga melakukan renovasi dermaga atau jembatan pelabuhan. Seperti diketahui, Pelindo 1 Malahayati kini telah dilengkapi dengan fasilitas Peti Kemas. Pelabuhan Malahayati resmimenjadi pelabuhan peti kemas pada tanggal 05 Agustus 2016. Seperti yang diungkapkan oleh General Manager Pelindo I Cabang Malahayati Sam Arifin Wiwi “peti kemas selama ini meningkat dari tahun ke tahun berkisar 10.000 box atau dengan rata-rata per bulan sekitar 1000 box kontainer”. Menurutnya selama ini terus terjadi peningkatan volume pembongkaran di pelabuhan Malahayati, karena selain lebih aman, moda transportasi laut lebih murah dan cepat. Arus peti kemas (throughput) melalui Pelabuhan Malahayati terus meningkat. Pelabuhan Malahayati secara geografis lebih dekat dangan kawasan Eropa dan Timur Tengah, selain sangat memungkinkan untuk direct call (angkutan langsung), sehingga produk ekspor asal Aceh bisa diangkut langsung dari Malahayati tanpa lewat Belawan atau Tanjung Priok lagi. Pelabuhan Malahayati diharapkan menjadi terminal peti kemas ketiga yang dikelola Pelindo I, setelah Belawan (Medan) dan Perawang (Riau). (Dewi) Versi cetak digital dapat diakses dilaman : https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/ Simak video nya dibawah ini :

N219, Sepenuhnya Karya Anak Bangsa

Temperatur Bandung saat itu agak terik. Sang Surya juga tak segan-segan m e n a m p a k k a n dirinya dengan gagah. Landasan panjang hitam dengan warna semakin memudar memberikan irama decit ban mesin terbang tersebut. Dari lantai atas gedung yang pernah mencetak sejarah dirgantara itu tampak barisan bukit dan pemukiman di lembahnya. Sesekali dari jauh terdengar suara mesin yang dihidupkan dan hendak mengangkasa di udara bersama cita-cita mereka yang tinggi. Mereka begitu fokus dengan mesin itu. Ada yang sibuk dengan interiornya, ada pula yang sibuk dengan rangka baja bakal pesawat terbang itu sendiri. Ada yang terus mengecek komponen kecil atau bahkan mempersatukan komponen tersebut menjadi burung mesin raksasa. Ada isu besar yang harus kita pertimbangkan saat pesawat terbang diciptakan oleh anak bangsa. Cita-cita yang digantungkan pada aksesibilitas dan potensi anak bangsa jangan sampai terserap oleh pasar internasional, ada hasrat ingin membangun bangsa namun terjerat jarak dan loyalitas. Hal ini khususnya menjadi penting karena khazanah besar dari apa yang lazim menjadi cita-cita anak bangsa. Suatu anugerah besar dapat menapaki tanah dimana kejayaan dirgantara Indonesia akan mengepak ke semesta. Seorang lelaki paruh baya berpakaian batik lengan panjang dan celana hitam panjang mulai membawa cita-cita itu kembali ke rangkulan negeri ini. Beliau Palmana Banandhi, pria berzodiak Scorpio berasal dari Tegal merupakan Program Manager Pesawat N219 PT. Dirgantara Indonesia (PTDI). Vakum dengan program pengembangan membuat Palmana dan rekan-rekannya memutar otak untuk menciptakan sebuah terobosan dengan tantangan keuangan, diakui hal ini sangatlah sulit. “Engineering itu harus punya sesuatu atau karya baru. Karena itu, kami berpikir bagaimana membuat pesawat sederhana tapi tidak memerlukan anggaran yang gede. Di situlah kawan-kawan melakukan kajian, pesawat kecil seperti apa yang bisa dikembangkan. Maka tercetuslah N219 dari pemetaan kondisi dan situasi yang ada,” jelasnya dengan mata berbinar. Kondisi geografis Indonesia yang dikelilingi perbukitan dan dataran tinggi dan landasan pacu yang relatif pendek juga menjadi gagasan awal menciptakan N219. Di samping itu juga, konektivitas dan peningkatan ekonomi serta mitigasi bencana menjadi esensi penting terwujudnya mesin terbang raksasa ini. Pesawat ini dirancang dengan sistem pendeteksi atau disebut terrain awareness warning system (TAWS) yang dapat digunakan untuk menvisualisasikan perbukitan dalam bentuk 3D sehingga memudahkan pilot bermanuver. TAWS ini dapat difungsikan dengan rentang ketinggian terbang 5000 – 10.000 kaki. Pesawat N219 ini juga bersifat multifungsi, dapat digunakan untuk angkutan penumpang, barang dan bahkan ambulans udara. Model setting-an dengan perubahan konfigurasi kabin pesawat dapat disetel dan interiornya juga dapat berganti sesuai kebutuhan. Kabin ini juga dilengkapi dengan freezer, peralatan medical evacuation, kargo, pallet-pallet dan peralatan pengikat kargo. “Saat ini, tenaga kerja yang ada jauh berbeda dari kondisi yang ada dari zaman Pak Habibie mengembangkan N250. Engineer yang ada masih sangat lengkap dan didukung juga dengan tenaga-tenaga asing untuk mem-backup. Namun, ini tidak menjadi kendala bagi kita. Potensi anak bangsa yang sungguh luar biasa tidak menyurutkan keinginan kita sedikit pun,” ungkapnya dengan rona semangat menyeruak. Ini merupakan total hasil pemikiran anak bangsa, tidak ada campur tangan tenaga asing. Hampir 220 engineer yang terlibat langsung dalam pengembangan pesawat N219 dan bagian production line juga terlibat 400 mekanik dalam perakitan N219. Semuanya merupakan putra putri bangsa Indonesia. Sebagian generasi baru juga diikutsertakan untuk kepentingan masa depan melanjutkan estafet pengembangan N219 berikutnya. Ada sekitar 300 engineer baru yang dididik untuk menjadi ahli pesawat terbang di PTDI. Saat ini, komponen pesawat masih harus diorder dari perusahaan asing karena Indonesia sendiri belum memiliki industri yang mampu memasok komponen pesawat. Sehingga, banyak komponen ini masih diambil dari perusahaan luar, khususnya dari Amerika. “Namun, ada beberapa komponen yang telah kita ajak dari industri dalam negeri seperti kaca depan dan tutup redeem pesawat. Panel-panel interior juga sudah mulai melibatkan industri-industri dalam negeri. Kedepan, diharapkan semua komponen dapat diproduksi lokal. Dengan program ini bukan hanya PTDI yang tumbuh, namun industri-industri lain juga kita ajak bersama. Nantinya, PTDI tidak berdiri sendiri, betul-betul dari Indonesia untuk Indonesia,” jelasnya lagi. Nantinya, pengembangan N219 juga dapat ditingkatkan menjadi transpotasi amfibi, yang dapat mendarat di perairan. Sehingga, wilayah-wilayah kecil di pinggir laut tidak perlu membangun bandara. “Kami juga berterima kasih kepada Pemerintah Aceh yang telah memberikan penghargaan kepada kami dan mendukung produk-produk anak bangsa. Mudah-mudahan dapat kita realisasikan menjadi sesuatu yang nyata,” pungkasnya dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. (Syakirah) Versi cetak digital dapat diakses dilaman :   Simak video nya dibawah ini :