Dishub

Dishub Aceh Go Green

SEJAK dicanangkan program ACEH BEREH oleh pemerintah Aceh. Yakni program Bersih Rapi Estetis dan Hijau pada 2018 lalu. Dishub Aceh telah berupaya melakukan berbagai perubahan lingkungan kantor ke arah yang lebih baik, bahkan hal ini telah diupayakan sebelum program ini gemakan. Selain itu, beragam inovasi Dishub Aceh juga telah diaplikasikan, khususnya konsep smart office dan green office. Seperti pengadaan Innovation Centre Room, taman konektivitas, ruang fitnes, penggunaan tumbler untuk mengurangi sampah plastik serta pemisahan sampah organik dan non organik. Isu lingkungan menjadi isu yang sangat penting saat ini. Apalagi hal ini terus didorong oleh Sekda Aceh dengan terus memantau dan memberikan pembekalan disetiap sektor pemerintah di Aceh. Gerakan pelestarian lingkungan sudah menjadi perhatian dunia. Untuk itu, Dishub Aceh pun berkomitmen kuat untuk menjaga kelestarian alam dan dimulai dari level kantor. Pada perayaaan Hari Perhubungan Nasional 2020 yang jatuh pada tanggal 17 september ini Dishub Aceh akan meluncurkan program bersih tanpa sampah plastik (green office) dan tanpa kederaan bermotor (green transport) dilingkungan kantor dishub. Untuk saat ini Kabid HKU Dishub Aceh Ulil Amri mulai mengambil inisiatif menghitung jumlah sampah yang dihasilkan perhari dikantor Dishub. Guna mengetahui jumlah sampah yang dihasilkan dalam satu tahun. Dengan jumlah sampah sebanyak itu Dishub Aceh akan terus mengambil langkah dan kebijakan kebijakan pengurangan dengan meniadakan barang-barang dan makanan dalam kemasan plastik dan membagi-bagikan tumbler air minum kepada seluruh karyawan dishub dan melarang membawa kemasan plastik ke kantor. Sesuai arahan Kadis menjadikan kantor yang bersih hingga zero sampah kemasan. Ulil Amri menjelaskan, pihaknya sebagai penanggungjawab bagian umum akan berusaha meminimalisir sampah kemasan plastik hingga titik nol persen dari jumlah sampah selama ini. Memang sulit menjadikan nol sampah disebabkan banyak karyawan yang masih mengkonsumsi makanan kemasan, kami upayakan dengan terus mengintruksikan tidak menggunakan kemasan plastik, menyediakan berbagai peralatan yang bisa digunakan kembali dan juga meniadakan minuman kemasan dengan menyediakan minuman gelas dan dispenser. “Hingga akhir tahun ini kami upayakan kantor Dishub Aceh cuma menghasilkan maksimal lima persen sampah kemasan, untuk sampe titik zero sampah mungkin sulit,” ujar Ulil Amri. (Rizal Syahisa) Simak edisi cetak digital di laman https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Infrastruktur Bersepeda

KITA begitu dekat dengan sepeda. Sampai-sampai telah menjadi bagian dan tren hidup umat  manusia. Sejak pertama kali muncul 12 Juni 1817 di koran Mannheim, Jerman, penemunya Baron Karl Von Drais pria asal Karlsrhuhe itu mencipatkan Laufmachine. Inilah yang menjadi cikal bakal sepeda masa kini sebagai transportasi ramah lingkungan. Konon, Baron menciptakan Laufmachine lantaran kuda yang digunakan sebagai transportasi tidak lagi digunakan. Kuda dikonsumsi karena terjadi krisis pangan di Eropa. Krisis pangan terjadi karena letusan Gunung Api Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) tahun 1815. Dikabarkan, awan letusan ini hampir menutupi Eropa. Akibatnya terjadi gagal panen dan kelaparan. Selang beberapa abad setelah diciptakan sepeda, tanpa kampaye besar-besaran, pesepeda Banda Aceh memulai kampaye ramah lingkungan dengan ramai-ramai bersepeda. Bak mereka menyukai lontong saat lebaran tiba. Inilah warga kota. Sebagai kaum urban yang jenuh dengan kemacetan, ini menjadi gerakan sosial terbaik dalam upaya melawan polusi kendaraan bermotor yang menjangkiti Banda Aceh. Namun, sejauh mana pesepeda yang mayoritas newbie ini paham aturan bersepeda? Sebuah meme pesepeda viral beberapa waktu lalu. Nampak dalam meme, pesepeda kota menyerobot jalanan bergerombolan. Di sisi lainnya, meme menampakkan orang desa yang konvoi sepeda berbaris satu baris dengan rapi. Menjadi pertanyaan, mayoritas orang kota di dominasi tingkat pendidikan tinggi. Sementara di desa, mayoritas masyarakat aktivitas sehari-harinya adalah bertani, berkebun dan lainnya. Tetapi, kenapa pelanggaran ini justru dinampakkan oleh kaum urban kota yang dekat dengan akses pengetahuan dan pendidikan. Ada kalanya, ini pula yang  menjadi kerisauan Dinas Perhubungan Aceh menggelar Diskusi Kota Transportasi Hijau bertajuk ‘Bike Booming Selama Pandemi’, Sabtu (22/8/2020) secara webinar. Salah satu narasumber, Dr. Irin Caisarina, menyebutkan bahwa pembangunan infrastruktur pesepeda perlu memahami permintaan pesepeda dan perencanaan infrastruktur sepeda (Seperti jalur sepeda). Hal ini harus memperhatikan sumber asal seped. Sebagai contoh permukiman, topografi, hambatan, dan jaringan antar-wilayah. Selain itu, di negara Asia beriklim tropis, cuaca juga menjadi pengaruh bagi pesepeda. “Hal terpenting adalah saat keluar dari tempat asal (rumah) menuju tujuan tersedia jalur sepeda dan akses tersebut diharapkan dapat terintegrasi dengan angkutan umum ,” sebut Irin. Ditambahkannya, program dan kebijakan untuk mempromosikan bersepeda di lingkungan perkotaan merupakan salah satu dari permintaan transportasi kota.  Di mana dapat diterapkan dalam bentuk command and control dan soft policy (kebijakan lunak). Beberapa program soft policy meliputi program pengurangan perjalanan (trip reduction), travel awareness, rute aman ke sekolah, dan penetapan hari bike to work, diyakini dapat memberikan efek untuk bersepeda. Fitria A. Gani, anggota pesepeda Club Hobbic saat diwawancarai melalui aplikasi Rabu (26/8/2020) mengungkapkan bahwa pesepeda saat ini banyak tidak ikut aturan. Misalnya kalau di jalan belum ada toleransi menggunakan jalan dengan pengendara lain. Mereka memilih jalan di tengah, harusnya di pinggir jalan. “Akibatnya kecelakaan tidak bisa dihindari,” katanya. Tak ada yang salah dalam bersepeda. Selama mengikuti aturan berlaku dan mematuhinya, tentu memberikan kebaikan bersama. Penggunaan mobil, sepeda motor, dan pesepeda dapat berjalan beriringan. Ibarat dalam saf salat, tak ada pembeda atasan dengan bawahan. Begitu pula, pengguna jalan setara selaku pemakai fasilitas publik. Budaya bersepeda ini harus diapresiasi sebagai gaya hidup baru warga urban. Ikhwal mereka masih belum sepenuhnya mengikuti aturan yang ada di tengah keterbatasan fasilitas, seyogyanya diperlukan sosialisasi yang masif dan berkelanjutan. Di antara bagian ini pula, pesepeda juga perlu memahami dan mengikuti setiap aturan pesepeda di jalanan demi kebaikan bersama. Sanggup bersepeda tentu sanggup pula beretika di jalanan. Jika ini dijalankan dengan baik, bukan tak mungkin. Aceh tidak hanya dikenal sebagai negeri syariatnya. Tetapi, dalam setiap tindak tanduknya juga tertib berlalu lintas. (Muarif) Simak edisi cetak digital di laman

Perlukah Masker di Angkutan Umum?

SEIRING dengan berjalannya waktu dapat kita rasakan semakin banyak masyarakat yang mulai memilih angkutan umum sebagai moda transportasi dalam beraktivitas. Hal ini terjadi karena semakin besar pemahaman masyarakat akan dampak buruk yang ditimbulkan dengan menggunakan kendaraan pribadi dan merasakan banyak manfaat ketika moda transportasi umum menjadi pilihan. Alasan lain transportasi umum mulai digemari karena pada saat ini angkutan umum sudah mengalami banyak perubahan. Begitu pula yang terlihat dalam transportasi umum di Aceh baik angkutan darat, laut maupun udara. Pemerintah terus meningkatkan kuantitas maupun kualitas dari transportasi umum. Dan selalu berupaya mengedepankan kenyamanan, keamanan dan keterjangkauan. Sehingga hadirnya transportasi umum diharapkan dapat membantu masyarakat dalam hal mobilitas kemana pun ingin bepergian. Namun dengan merebaknya pandemi saat ini. Masyarakat menjadi lebih awas dalam menggunakan kendaraan umum. Kebiasaan yang sebelumnya mulai digalakkan kini mulai ditinggalkan. Karena kendaraan umum dianggap sebagai salah satu media dalam penyebaran virus. Apakah benar demikian? apakah memang kendaraan umum yang memberi manfaat bagi masyarakat harus ditinggalkan selama pandemi? ataukah perilaku masyarakat yang perlu penyesuaian dalam kondisi “new normal” saat ini? Dengan kondisi mobilitas masyarakat yang tidak dapat dihindari. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi untuk Mencegah Penyebaran Covid-19. Peraturan tersebut disahkan pada tanggal 9 April 2020. Disebutkan dalam pasal 5 ayat (1) Pengendalian transportasi pada saat perjalanan dilakukan oleh calon penumpang, operator sarana transportasi dan operator prasarana transportasi. Calon penumpang memiliki kewajiban diantaranya mengenakan masker, menyiapkan alat kesehatan yang dibutuhkan, menjaga jarak dan mematuhi prosedur yang diarahkan petugas. Sementara itu, petugas juga diharapkan memenuhi beberapa protokol kesehatan. Seperti menjual tiket secara daring (online), menyeterilkan sarana transportasi, menerapkan jaga jarak fisik (physical distancing) dan menyediakan peralatan pengecekan kesehatan. Hal senada tidak hanya terjadi di negara kita. Sejak tanggal 15 Juni 2020 Menteri Transportasi Inggris, Grant Shapps, mengatakan penggunaan masker diwajibkan pada transportasi umum. Sebelumnya, Pemerintah Inggris juga telah menyarankan untuk mengenakan penutup wajah di ruang tertutup, seperti toko dan fasilitas umum. Namun aturan tersebut tidak diwajibkan, berbeda halnya dengan kewajiban masker dalam angkutan umum. Sampai hari ini pandemi belum juga berakhir sedangkan mobilitas masyarakat harus tetap berjalan sebagaimana mestinya. Dari kebijakan yang telah berlaku di negara kita maupun berkaca dari negara lain tentunya kita dapat menarik kesimpulan bahwa penggunaan transportasi umum tidak perlu ditinggalkan. Namun kesadaran dari masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan yang harus ditingkatkan. Virus masih terus ada di sekitar kita. Melalui kesadaran bersama virus dapat dicegah dan dikurangi tingkat penyebarannya. Salah satunya melalui kebiasaan penggunaan masker. Masker menjadi gaya baru yang tidak dapat ditinggalkan. Dan tak lupa rangkaian gaya baru lainnya dengan mencuci tangan dan menjaga jarak aman dalam menjalankan aktivitas. Terlebih saat sedang berada dalam fasilitas umum dan transportasi umum. (Rahmi) Simak edisi cetak digital di laman

Dilarang Mudik, Sayangi Keluarga

Budaya mudik sebagai sesuatu yang sakral bagi masyarakat menjelang lebaran. Dampak mudik dalam sektor transportasi tentu tak jauh dengan kata macet, membludaknya orang di jalanan. Alur transportasi menjadi tidak karuan. Tapi wabah corona, memaksa pemerintah untuk melarang mudik, adakah melawan budaya? Mudik telah menjadi sebuah budaya atau tradisi tahunan yang dinanti dan dipersiapkan oleh para perantau. Kerinduan akan kampung halaman susah terbendung saat hari kemenangan itu datang. Melepas rindu di pusara orang tua, atau bernostalgia dengan masa kecil menjadi alasan perantau untuk mudik. Pada kondisi normal, Pemerintah mendukung aktivitas mudik dengan menyediakan berbagai fasilitas. Mulai dari posko lebaran yang dibangun secara portabel di titik strategis yang bisa dimanfaatkan oleh pemudik untuk sekedar melepas penat, ketersediaan armada angkutan, hingga program mudik gratis. Semuanya bertujuan untuk menghadirkan keamanan, kenyamanan, dan keselamatan para pemudik. Namun, sesuatu yang berbeda terjadi pada tahun 2020 atau 1441 Hijriah ini. Wabah virus Covid-19 yang sedang melanda dunia, memaksa pemerintah harus mengeluarkan kebijakan larangan mudik. Larangan mudik ini bertujuan untuk untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona. Karena mudik berpotensi menjadi pengantar atau pembawa virus ke kampung halaman. Sehingga pemerintah melalui surat edaran, melarang masyarakat untuk mudik pada tahun ini, terutama bagi aparatur sipil negara, sampai keadaan ini kembali normal. Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 46 tahun 2020, menyebutkan guna meminimalisir penyebaran serta mengurangi resiko COVID-19 yang disebabkan mobilitas penduduk dari satu wilayah ke wilayah lainnya di Indonesia, ASN dan keluarganya dilarang untuk bepergian keluar daerah atau mudik. Namun jika keadaan terpaksa perlu melakukan kegiatan bepergian keluar daerah, maka yang bersangkutan harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang atas delegasi dari pejabat pembina kepegawaian. Ketentuan lain yang diperbolehkan melakukan perjalanan atau mudik jika ada keluarga yang sakit keras, meninggal dunia, atau cuti alasan penting. Namun jika tetap melakukan mudik dengan alasan yang tidak tersebut dalam surat edaran tersebut dapat dijatuhkan hukuman disiplin bagi ASN. Menindaklanjuti Surat Edaran Menteri PAN dan RB itu, Pemerintah Aceh menerbitkan intruksi Gubernur Aceh nomor: 07/ INSTR/2020. Dalam surat itu tertuang larangan bagi ASN untuk mudik dalam rangka Ramadhan dan Idul fitri tahun 1441 H, baik antar kabupaten/ kota dalam provinsi maupun ke luar Provinsi Aceh. Bagi yang terlanjur mudik, dimasukkan dalam daftar Orang Dalam Pengawasan (ODP), dan akan diperlakukan sesuai dengan protokol kesehatan. Di sisi lain, pembatasan kegiatan di luar rumah dengan alasan menekan penyebaran virus menjadi langkah efektif pemerintah. Namun di hsisi lain pembatasan ini berakibat pada dunia pekerjaan dan produktivitas, sehingga banyak terjadi pemutusan hubungan kerja. Kondisi inilah yang menjadi alasan para perantau untuk melakukan mudik lebih awal dari pada mudik lebaran dikarenakan tidak adanya pendapatan untuk bertahan hidup di perantauan. Pemerintah Aceh pada prinsipnya melarang melakukan mudik bagi warganya guna memutus rantai penyebaran virus ini. Jika terlanjur atau tidak dapat dihindari maka harus mengikuti prosedur kesehatan Covid-19 dan ikut dalam pendataan melalui laman sapamudik.id. Sapamudik.id merupakan sebuah aplikasi pendataan pemudik yang akan melakukan perjalanan ke suatu daerah atau kabupaten/ kota di Provinsi Aceh. Laman ini dapat dibuka melalui perangkat handphone dan komputer dengan aplikasi browser. Selain sebagai aplikasi pendataan, Sapamudik.id juga berperan sebagai misi kemanusiaan. Ketika keadaan memaksa harus mudik, maka wajib mengisi biodata pada laman sapamudik ini. Sapamudik bukan suatu jaminan “aman untuk mudik”. Karenanya, jika tidak terdesak, maka jangan mudik. Aplikasi ini memang masih kekurangan, karena dibuat dalam waktu singkat, menindaklanjuti intruksi Plt. Gubernur Aceh untuk mendata secara digital sebagai bahan langkah mengambil arah kebijakan. Dalam pelaksanaan pendataan laman sapa mudik, peserta mudik dapat melakukannya secara mandiri atau dapat dibantu oleh petugas di bagian perbatasan wilayah Sumatera Utara – Aceh, di setiap pintu masuk perbatasan di empat wilayah kabupaten/kota di Aceh, yaitu Aceh Tamiang, Aceh Singkil, Subulussalam, dan Aceh Tenggara. Selanjutnya, pemudik wajib melakukan isolasi mandiri sesuai protokol kesehatan, guna memastikan diri terbebas dari virus mematikan ini. Sekaligus memberikan rasa nyaman kepada masyarakat di kampung halamannya. Peran aktif pemerintah dalam melakukan pencegahan penyebaran Covid-19 ini tidak bisa berjalan dengan baik jika masyarakatnya tidak peduli dengan kondisi wabah ini. Semua yang melakukan perjalanan antarwilayah berpotensi menjadi media penyebaran virus ini. Maka, tetaplah terapkan social distancing, physical distancing, menggunakan masker, dan hidup bersih. Setelah melakukan mudik berlakulah adil kepada lingkungan dengan melakukan isolasi mandiri selama 2 pekan. Hindari keramaian karena suatu wilayah bisa menjadi daerah terinfeksi covid-19 hanya karena ada tamu yang telah melakukan perjalanan. Mari berdamai dengan corona. (Fajar) Cek tulisan cetak versi digital di laman : https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Sense of Crisis: Membangun Benteng Peduli di Garis Batas

*Perilaku Rasa Peka dan Tanggap dalam Krisis Pandemi Mereka yang telah bersedia mengikrarkan diri untuk mengabdi pada bangsa dan negara akan siap untuk meniti buih di perbatasan. Mengapa harus perbatasan? Jika kau telah menonton film “Batas” yang dirilis 2011 dan “Tanah Surga… Katanya” yang dirilis 2012 tersebut, maka akan mengerti entitas perbatasan dari kata “Semangat, cinta, dan ikhlas”. Begitu pula, mereka yang memilih menjadi pahlawan meskipun “tanpa tanda jasa” dan kasat mata di muka umum akan siap menerima perintah dan melaksanakan tugas sukarela. Meskipun ada sekelebat kegelisahan dan kekhawatiran di benak. Meninggalkan sanak saudara, rumah yang nyaman tidaklah mudah, naluri akan meronta dan memberontak. Namun semua itu sangatlah wajar dan manusiawi. Secara patriotisme, mereka akan segera bergerak maju saat sense of crisis mengatakan bahwa negeri kita sedang tidak baik-baik saja, Ibu Pertiwi sedang dirundung pilu. Sense of crisis di sini dapat diartikan sebagai kepekaan, kewaspadaan, dan kesiapsiagaan yang telah direncanakan sebaik mungkin dalam menghadapi krisis yang dilakukan secara tangkas, tepat sasaran, dan tidak bertele-tele pada sebuah keputusan yang dilandaskan prinsip kemanusiaan dan saling menghargai. Dalam hal ini, punggawa dan rakyat berjalan beriringan. Menjelang siang, matahari dengan gagah menampakkan diri dengan cahaya emasnya. Saat petugas kemanusiaan berjejer rapi menjawab panggilan bangsa yang sedang dilanda krisis pandemi. Suara lantang terdengar ucapan “siap laksanakan!” menggema turut menggetarkan partikel udara, tanda menerima tantangan tugas ke perbatasan Aceh – Sumatera Utara (Sumut). Depo Trans Koetaradja menjadi saksi bisu setiap seremonial pelepasan tim ke posko perbatasan itu dilakukan. Wilayah kerja tim tersebar ke 4 (empat) posko perbatasan yang berbeda, Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, Subulussalam, dan Singkil. Hal ini tentunya bertujuan untuk memutus mata rantai Covid-19. Ada dilema besar yang terbeban saat melepas keberangkatan tim saat ini. Di saat instruksi “stay at home, work from home” diumumkan secara tegas, namun tim harus ke luar rumah dan pergi ke tempat yang berpotensi besar terpapar Covid-19. Ditambah lagi, kondisi infrastruktur sebagian posko hanya berupa tenda yang dipasang sekedar terhindar dari panas. Jika hujan disertai angin menerjang, posko akan musnah dalam sekejap. “Pas waktu bertugas, ada rasa khawatir yang besar saat berpas-pasan warga, apakah warga ini telah terpapar atau tidak? Hal ini justru mengikis mental kami di lapangan. Gelisah juga pas pulang ke rumah, apakah kita membawa virus tersebut? Banyak lagi tekanan yang dialami saat bertugas. Ini tidak semudah yang terlihat oleh mata,” ujar salah seorang petugas melepaskan penat di hatinya. Seharusnya, perencanaan untuk penanggulangan bencana telah disiapkan sematang mungkin. Standar Operasional Prosedur (SOP) pelaksanaan juga bersifat tegas dan tidak “linglung”. Semua pihak melaksanakan tugas sesuai tupoksi dan tidak lagi celingak-celinguk rekan sebelah. Selain itu ada infrastruktur yang memadai, SDM yang tersedia, SOP yang jelas, serta adanya dukungan LSM atau media. Semua itu harus direncanakan dan dipersiapkan dengan tepat. Karena perencanaan yang baik dan tepat, menyumbang 50 persen keberhasilan. Tiga Gelombang Pertengahan bulan Ramadhan, Dinas Perhubungan Aceh telah memberangkatkan 3 (tiga) gelombang tim ke perbatasan. Seremonial pelepasan gelombang pertama berlangsung pada tanggal 20 April 2020, disusul gelombang kedua selang seminggu setelahnya. Tim tersebut bertugas untuk mendata seluruh masyarakat yang melintas baik penumpang angkutan umum, angkutan pribadi, maupun pengendara kendaraan roda dua, di pintu masuk Aceh. Data pemudik ini diupload di laman sapamudik.id. Kepala Dishub Aceh Junaidi, S.T., M.T., dalam arahannya pada acara pelepasan tim, menekankan kewajiban mematuhi seuruh protokol kesehatan. Saat bertugas, harus senantias menggunakan alat pelindung diri (APD), seperti masker, sarung tangan, dan fasilitas pendukung lainnya. “Semoga pekerjaan ini bermanfaat bagi masyarakat, serta dengan ketulusan dan keikhlasan menjadi catatan amal yang diperhitungkan kelak,” tuturnya memberikan semangat bagi petugas yang akan diberangkatkan dengan bus Trans Koetaradja. Sementara Sekretaris Dishub Aceh, T. Faisal, S.T., M.T., dalam sambutan pelepasan gelombang 2 (dua) mewakili Kadishub Aceh menyampaikan, sepulang dari lapangan, tim ini akan dikarantina selama 14 hari dan dilakukan rapid test. “Sehingga, keluarga dan masyarakat tidak resah dengan kondisi di tengah pandemi ini,” tambahnya. Begitulah perjuangan para petugas kemanusiaan ini di lapangan. Namun tetap saja mereka yang tak tahu menahu proses ini, melemparkan bahasa tak indah yang membekas kelam di hati sang pionir. Manalah lagi budi pekerti itu tersemat. Entah pada terompahnya yang mahal atau jemari yang lentik. Di sinilah mengapa sense of crisis sangat penting. Karena krisis tidak selalu berarti sebuah kemunduran dan kelemahan, melainkan bisa menjadi batu loncatan untuk meraih kesuksesan di masa depan. (Syakirah) Cek tulisan cetak versi digital di laman : https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Qin Shi Huang

Lebih dari lima abad sebelum masehi, saat daratan Tiongkok mengalami “pertikaian” antar suku, pengakuan kekuatan dan kekuasaan diukur sejauh mana ia telah memenangkan pertempuran. Jutaan prajurit dihatur dengan taktik “secerdik” mungkin untuk menggelabui hingga melemahkan pertahanan musuh. Segala upaya, taktik dan strategi dilakukan Penuh “obsesi” untuk memenangkan pertempuran. Terkisah dalam sejarah Cina, seorang kaisar yang “takut dengan kekalahan” maka dia mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Ia memutuskan membangun sebuah benteng untuk menghambat gerak musuh-musuhnya. Dialah Qin Shi Huang, penggagas untuk dibangunnya The Great Wall of China. Tembok Besar Cina ini dibangun bertujuan untuk menahan serangan dari bangsa-bangsa di utara tembok yang ingin menguasai Tiongkok. Tujuan lainnya juga untuk pengawasan barang yang melewati jalur sutra serta mengawasi perdagangan dan mengontrol proses imigrasi. Dalam buku Borders and Border Politics in a Globalizing World yang diedit oleh Paul Gangster dan David E. Lorey tercantum sebuah tulisan berjudul “The Great Wall of China” karya Cheng Dalin disebut sejak dimulai pembangunan Tembok Besar Cina sekitar lima ratus tahun sebelum masehi, konstruksi ini baru selesai lebih dari dua puluh kekaisaran setelah kaisar Qin Shi Huang dengan rentang waktu lebih dari dua ribu tahun. Pekerja yang membangun tembok itu sebagian besar terdiri dari para prajurit dan narapidana. Tidak terbayangkan berapa jumlah korban selama pembangunannya. Tak boleh dilupakan, sejarah membuktikan bahwa peperangan dapat dimenangkan dengan memperkuat perbatasan, dengan konsentrasi kekuatan pada wilayah perbatasan akan menutup gerak musuh untuk menyerang dan melumpuhkan kekuatan yang kita miliki. Menguasai perbatasan tentu harus dilakukan dengan perhitungan yang matang dan mengakomodir kebutuhan jangka panjang. Pada zaman moderen saat ini, “garis batas” berfungsi dalam konteks yang fleksibel, bukan seperti benteng pada perang ratusan tahun lalu. Di sini, ia punya andil memutus mata rantai “serangan” yang dibawa dari luar, yang bertujuan menjaga “pola dan struktur” pemanfaatan ruang untuk pertumbuhan ekonomi dalam mengejar kesejahteraan dan tidak memberi celah di perbatasan sehingga menyebabkan terganggunya stabilitas wilayah dari ancaman luar. Regulasi yang mengatur pemanfaatan ruang di perbatasan terdapat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Tahun 2013 – 2033 yang diabsahkan dalam Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 dengan tegas mengarahkan bahwa jalur jalan arteri primer yang melintasi perbatasan Aceh di Aceh Tamiang, Subulussalam, Aceh Tenggara dan Aceh Singkil dilengkapi zona peristirahatan (rest area) dengan konsep terpadu (one stop service). Tata ruang Aceh telah mengatur sedemikian jelas dan tegas. Menyediakan infrastruktur perbatasan belum memenangkan “pertikaian” dengan kepentingan-kepentingan politis lainnya. Seharusnya, titah ini menjadi prioritas yang harus diriset lebih detail dan dikerjakan lebih awal. Memang, ini adalah kekurangan yang selalu kita ulangi, tanpa prioritas dan terjebak pada “kepentingan sementara”. Sebab argumen untuk membela kepentingan yang dikemukakan dan diberikan keabsahannya berulang kali, dengan cara yang sistematis dan akurat, tak memberi peluang untuk dipertahankan. Realitas jadi tak penting dan diremehkan, Bagaimana kesiapan perbatasan pada saat ancaman musuh sudah di depan mata? Akhirnya, terjebak saling menghatur kata serapah. “Kepentingan bersama” yang diabsahkan dalam lembaran hukum diyakini itu tidak pernah ada, jadi buat apa dijalani? sebuah kata berang namun fakta adanya. Maka, menolak ide tanpa pertimbangan menjadi sebuah “mandat kekaisaran” yang diagungkan. Yang terpegang teguh adalah sebuah ide yang “gampang” diakali dengan dasar kebebasan dan perlindungan yang adil, suatu sistem yang harus dipelihara : sistem yang menadahi semua ide yang “relevansi” dengan maksud yang menerima pergumulan yang terus-menerus antara pelbagai kepentingan. Konflik dan pertikaian abadi adalah kepentingan. Bahkan, ada “usulan” untuk menutupi kebutuhan perbatasan yang dideklarasikan bertahun-tahun. kata mereka pula serempak itu perencanaan yang terlalu “mubazir”, ketika sekarang kita harus berperang di perbatasan dengan segala kekurangan maka si penggagas menggerutu. Jika saja, dulu direalisasikan mungkin sekarang kita tidak “kewalahan” sehingga menghilangkan rasa “takut akan kalah” menghadapi ancaman ini. Dan lihatlah, kita seharusnya telah mempersiapkan perbatasan jauh-jauh hari, seperti kebijakan “keberlanjutan” Kaisar Qin Shi Huang yang masih dianut oleh dinasti setelahnya. Faktanya, pos-pos perbatasan gampang dibobol musuh dan infrastrukturnya tidak mampu menyangga serangan. Namun sekarang peperangan melawan ancaman yang tidak kasat mata atau bencana non alam, lebih licik menembus perbatasan. Dia juga menumbuhkan keresahan pada planet Bumi kita yang satu, yang indah, tapi yang mudah cedera. Akhirnya, prajurit di lapangan “nekad” menjalani tugas dengan fasilitas seadanya. Meringkuk jika dingin, mengibas-ngibas jika kepanasan. Jauh dari “aman” yang seharusnya, apalagi “nyaman” yang didambakan. Jauh sekali dari pengharapan, benak juga tak lagi mampu untuk mengeluh. Apa yang dimulai oleh Qin Shi Huang diteruskan oleh generasi berikutnya dan menjadi sebuah hal yang fenomenal dalam catatan sejarah. Dengan segala kekurangan dan akibat yang ditimbulkan tidak menyurutkan “obsesi” kaisar Qin dalam memproteksi wilayah kekuasaannya. Perbatasan yang ia gagas dan pertahankan dulu telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai situs warisan dunia pada tahun 1987 dan bernilai dalam jangka panjang hingga saat ini. Kontruksi ini juga diakui sebagai salah satu prestasi arsitektur paling mengesankan dalam sejarah manusia, dan ternyata tembok ini adalah satu-satunya struktur buatan manusia yang terliat dari luar angkasa. (Junaidi Ali) Cek tulisan cetak versi digital di laman : https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Menguji Hasrat: Kita Tidak Siap dengan “Larangan Mudik”

Mudik, suatu tradisi yang selalu ada tiap tahun terlebih menjelang Idul Fitri. Banyak orang di perantauan memilih dan telah mempersiapkan untuk mudik walau hanya sekedar hajat merayakan lebaran bersama sanak famili di kampung halamannya. Namun ada dilema yang berkata lain kali ini, ada instruksi tegas yang melarang mudik, pasalnya ini menjadi sebuah “malapetaka” bagi yang tercinta. Saat peraturan “dilarang mudik” dikeluarkan oleh pemerintah, disitulah mulai terjadi kelonjakan orang-orang yang mudik, dikarenakan mereka berfikir kalau nanti tidak akan bisa pulang lagi. Tetapi kenyataannya, masih banyak orang yang tidak memperdulikan larangan itu, mereka berpikir tetap harus mudik dan berlebaran di kampung halaman. Realita mengilustrasikan mereka yang mudik lebih banyak berasal dari wilayah terjangkit Covid-19 seperti Jakarta, Surabaya dan wilayah lainnya. Putusan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) juga telah diterapkan pada wilayah tersebut sesuai amanat dalam aturan turunan dari Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25 Tahun 2020. Aturan ini sungguhlah jelas dan tegas, dikatakan lagi, sanksi-sanksi yang diberlakukan jika melanggar aturan tersebut. Aturan ini memuat ketentuan teknis mengenai operasional di semua layanan moda transportasi, baik angkutan darat, laut, kereta api, maupun pesawat terbang. Larangan ini menjadi polemik besar dalam masyarakat, kepanikan dan keresahan memicu “adrenalin” masyarakat untuk berjibaku dengan aturan ini. Ide-ide “kreatif “ muncul menghiasi ranah transportasi dalam mengakali cara untuk pulang kampung. Ada yang menyamar menjadi petugas kesehatan bahkan ada yang bersembunyi di truk-truk logistik agar sampai ke tanah kelahiran. Ironis, Banyak akal “somplak” yang jadi tontonan kali ini.   Larangan tersebut dikecualikan untuk angkutan logistik atau barang kebutuhan pokok dan kendaraan pengangkut obat-obatan, serta kendaraan pengangkut petugas, kendaraan pemadam kebakaran, ambulans dan juga mobil jenazah. Terkait dengan pemberian sanksi bagi pelanggar larangan mudik, pada tahap awal penerapannya pemerintah akan mengedepankan cara-cara persuasif. Tahap pertama yaitu pada tanggal 24 April hingga 07 Mei 2020 yang melanggar akan diarahkan untuk Kembali ke asal perjalanan. Pada tahap ke dua, yaitu 07 Mei sampai dengan 31 Mei 2020 atau sampai berakhirnya peraturan, yang melanggar selain diminta Kembali ke asal perjalanan juga akan dikenai sanksi sesuai perundang-undangan yang berlaku Namun, yang menjadi dilema saat ini adalah masih minimnya rest area di tempat chek point yang diaktifkan sebagai posko penangkalan Covid-19. Sebenarnya di Aceh masih steril terhadap corona, tapi juga tidak dapat disepelekan, karena ada pembawa yang nekad dari wilayah terjangkit. Bahkan, masih ada jalan tikus yang digunakan untuk menerobos agar sampai ke tempat tujuan. Khususnya Aceh, Untuk mengantisipasi dan mencegah masuknya Covid-19 tersebut telah dibangun posko perbatasan Aceh yang berbatasan dengan Sumatera Utara itu berada di empat titik. Keempat lokasi itu, yakni di Aceh Tamiang, Kota Subulussalam, Aceh Singkil, dan Aceh Tenggara. Namun, masih ada masyarakat yang enggan memberi tahu asal tujuan, karena takut dicurigai dan dihadang untuk tidak pulang ke kampung. Prediksi dari kekhawatiran ini, keluar masuk mobil angkutan umum dan kendaraan pribadi antar kedua daerah ini semakin meningkat. Tentu hal ini karena menjelang Idul Fitri 1441 Hijriah. Pemeriksaan itu semakin ketat dalam beberapa hari terakhir ini. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah juga telah jauh-jauh hari sudah melarang warga mudik, apalagi bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang sudah diatur sanksinya. Aceh memang belum memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), namun bisa berupaya dengan memperketat perbatasan dan tidak melakukan mudik terlebih dulu. memang berat, karena kebiasaan sebuah “larangan” adalah pelanggaran dan menguji hasrat untuk terus melawan arus. Tapi, apa salahnya kita membuktikan cinta pada tanah kelahiran dan penghuninya dengan mematuhi larangan mudik pada masa ini. (Dewi) Cek tulisan cetak versi digital di laman :

Bagaimana Aceh Menghadapi Bencana?

Awal 2020 dunia dikagetkan dengan penyebaran Covid-19. Setelah World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi, karena telah menyebar ke lebih dari 200 negara di dunia termasuk Indonesia. Hal ini menjadikan Indonesia berada dalam kondisi status keadaan darurat. Aceh sebagai provinsi paling barat Sumatera terus melakukan persiapan untuk melawan penyebaran Covid-19. Juru Bicara Gugus Tugas Covid-19 Aceh, Saifullah Abdul Gani, menyampaikan per Minggu (17/5/2020) pukul 15.00 WIB jumlah kasus positif Covid-19 di Aceh terdapat 17 kasus. Dibandingkan provinsi-provinsi lain, data ini tidaklah terlalu memprihatinkan. Akan tetapi, Pemerintah Aceh pastinya tidak tinggal diam dalam melaksanakan upaya-upaya untuk meminimalisir penyebaran Covid-19, dimulai dari memperketat pintu masuk ke Aceh seperti bandar udara, pelabuhan dan melalui perbatasan. Perbatasan menjadi gerbang terdepan yang harus di “kawal ketat” dengan penguatan tim percepatan penanganan pandemi ini. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah bericara tentang langkah yang mesti diambil oleh punggawa dalam mengatasi kondisi saat ini. Dipertegas dalam hirarki dibawahnya, Keputusan Presiden No. 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) memberi komando bagi Pemerintah Daerah dalam wilayah kewenangannya untuk membentuk tim percepatan yang secara tersirat juga menginstruksikan untuk merapatkan barisan di perbatasan. Barisan yang membentengi pintu masuk pastinya membutuhkan daya dukung yang optimal, baik dari infrastruktur, sumber daya manusia (SDM) maupun fasilitas dukung lainnya, merupakan “kebutuhan mutlak”. Ada kebutuhan yang harus di-cover dengan kolaborasi dan sinergi antar pihak agar tujuan bersama dapat dicapai. Tujuan bersama ini tentulah sebuah “keharusan” dalam melindungi wilayah dan masyarakat dari ancaman manapun. Melihat kondisi yang terjadi saat ini, koordinasi dengan multisektoral menjadi sebuah pondasi utama dalam menyangga “hajat” dunia untuk memberantas Covid-19 perlu diperluas dan diperkuat. Kesigapan, profesionalitas, dan kerelawanan ‘para prajurit’ kesehatan harus ditopang oleh setiap kalangan, termasuk masyarakat yang memegang “saham” besar dalam konteks ini dalam kesiapsiagaan. Tentu pelaksanaan kesiapsiagaan ini tak semudah membalikkan telapak tangan, banyak aral terjang yang perlu diterobos terlebih kondisi geografis Aceh yang dikelilingi dengan pegunungan, hutan serta kepulauan menjadi tantangan tersendiri, perlu “usaha lebih” untuk sekedar menjangkau jengkal demi jengkal keseluruhan wilayah Aceh. Selain itu kondisi cuaca yang kadang tak menentu juga menjadi tantangan lainnya. Kondisi geografis tentu bukanlah satu-satunya “tantangan”, ada rintangan lain yang perlu dikhawatirkan saat berperang melawan pandemi ini seperti kekurangannya “pasokan senjata” dan rencana “strategi jitu” yang harus dijejal setiap inci pergerakan yang akan diambil. dari segi kebutuhan persediaan senjata seperti alat pelindung diri (APD), infrastruktur, dan kesiapsiagaan pelayanan. Usaha dan ketersediaan “bahan baku” ini tentu memerlukan penyikapan lebih lanjut. Apakah ini hanya sebatas kewenangan saja? tentu tidak. Selain kewenangan, “ada keharusan masyarakat untuk peduli dan ambil bagian” untuk sama-sama menggergaji mata rantai pandemi ini agar dunia kembali “baik-baik” saja. Selain beberapa dilema tadi, masalah baru timbul akibat pandemi yang tak kunjung berakhir ditengah suasana ramadan dan lebaran ini. Masyarakat dibuat seakan kembali “dipaksa” untuk tetap merayakan di kediamannya masing-masing (#LebaranDiRumahAja). Tentu bukan hal yang berat bagi mereka yang tinggal dengan keluarga tercinta, tetapi menjadi beban tersendiri bagi mereka yang hidupnya merantau jauh dari keluarga. Realita ini mengharuskan kita untuk tetap mematuhi anjuran pemerintah untuk “memaksa dan membatasi” segala aktivitas dan keseharian kita sebagai warga masyarakat. Kita diharapkan bisa melakukan pertahanan diri dengan menjaga jarak satu sama lain (physical distancing) serta melalui pengurangan aktivitas sosial (social distancing). Ketika ‘social distancing’ apalagi ‘physical distancing’ tak diindahkan, itu sama artinya kita sengaja mengundang Covid-19 untuk datang menyerang. Bagaimana jika kedepannya kondisi ini semakin parah? Permasalahan penanganan pandemi tak kunjung berakhir? Hal ini tentu semakin menyulitkan Pemerintah Aceh, tinggal bagaimana kita sanggup untuk menaati setiap hal yang menjadi kebijakan dari pemerintah. (Rahmi) Cek tulisan cetak versi digital di laman : https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Aceh Miliki Pusat Studi Tsunami dan Mitigasi Bencana

Aceh termasuk termasuk wilayah yang sangat rawan terhadap bencana, salah satunya adalah gempa yang dapat mengakibatkan gelombang tinggi. Banyak sains dan temuan ilmiah yang memastikan keberulangan bencana gelombang tinggi tersebut, namun tempat dan waktu adalah misteri yang tidak bisa terpecahkan. Tempat kita pun tak bisa menghindari dari bencana lain seperti, banjir, tanah longsor, dan lain-lain. Meningkatnya kejadian bencana beberapa tahun belakangan akibat perubahan kondisi alam maupun perbuatan manusia, melahirkan banyak gagasan dalam upaya penyelamatan jiwa dari dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Melihat kenyataan di masyarakat, umumnya sebagian besar penduduk kita hanya mengenal bencana yang disebabkan oleh alam, padahal bencana tidak hanya berkutat pada fenomena alam. Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan menggangu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga megakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana mendefenisikan mitigasi sebagai serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Apabila menyinggung masalah mitigasi dan keterkaitannya dengan bencana, pola pikir masyarakat masih tetap mainstream dalam arti kata selalu memikirkan bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, longsor, dan lain-lain. Istilah mitigasi mencuat dan popular di Indonesia setelah terjadinya bencana besar yang melanda negeri ini. Beberapa lembaga negara non kementerian dibentuk untuk menangani kasus bencana sebelum, pada saat dan setelah terjadinya bencana tersebut. Salah satunya adalah Tsunami And Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala. Banyak yang masih belum tau bahwa di Aceh saat ini telah memiliki pusat penelitian dan riset dalam kebencanaan. Pusat Studi Tsunami dan Mitigasi Bencana (TDMRC-Tsunami and Disaster Mitigation Research Center) Universitas Syiah Kuala adalah lembaga riset yang didirikan pada tahun 2006. Keberadaan TDMRC bertujuan untuk meningkatkan sumber daya riset kebencanaan yang berkualitas, memberikan advokasi pada pemerintah dalam membuat kebijakan, mengumpulkan dan menyediakan data terbaik dengan mempercepat prosess pengumpulan data yang tepat berkaitan dengan dampak dari bencana. Disamping itu, TDMRC juga berkontribusi meningkatkan masyarakat yang tahan bencana, berkolaborasi dengan para peneliti dan lembaga riset lainnya dalam riset-riset kebencanaan. TDMRC sebagai salah satu ujung tombak dalam pelaksanaan dan pengembangan penelitian dibidang kebencanaan di Provinsi Aceh didisain untuk mampu menjadi lembaga riset yang handal dan tangguh, yang mampu merumuskan dan melaksanakan kebijakan riset dan pengembangan untuk memecahkan berbagai masalah kebencanaan, baik pada tingkat daerah, nasional dan internasional. Seperti yang diungkapkan oleh wakil ketua yang juga sebagai salah satu peneliti TDMRC Dr. Eng. Syamsidik “Selama ini TDMRC telah banyak menjalin kerjasama yang baik dengan banyak lembaga atau organisasi baik dari lokal, nasional maupun internasional”. Beliau juga mengungkapkan harapannya sebagai peneliti adalah dapat membuat penelitian yang benar-benar dapat dimanfaatkan terutama dalam hal mitigasi kebencanaan. Sedangkan mitigasi dampak bencana terhadap prasarana transportasi dapat dilakukan dengan melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait. Zona tujuan pergerakan penduduk pada saat bencana adalah kawasan pegunungan, sebagian besar penduduk bergerak dengan berjalan kaki sehingga perlu pengembangan jalan trotoar bagi pejalan kaki. Sebagian penduduk bergerak menggunakan kendaraan sehingga perlu pelebaran jalan dan radius persimpangan jalan, khususnya pada ruas jalan yang menghubungkan ke zona aman. Pada kawasan pusat kota dan permukiman pesisir pantai bisa dibuat jalan alternatif untuk mengurangi arus lalulintas yang melalui jalan-jalan di pusat kota. Peningkatan kejadian bencana alam selama dua dasawarsa terakhir melahirkan banyak gagasan mengenai pengurangan dampak risiko kebencanaan baik dari sisi sosial maupun teknis, termasuk bidang evakuasi dan transportasi logistik. Perkembangan kaidah keilmuan dalam bidang pemodelan transportasi evakuasi bergantung pada tipikal bencana alam serta pergerakan lalulintas saat proses evakuasi. Proses evakuasi merupakan salah satu kajian strategis dalam perencanaan transportasi dan pemodelan lalu lintas. Beberapa metode telah dikembangkan menjadi satu konsep yang dapat digunakan dalam mengoptimalkan evakuasi, termasuk mengenai pemilihan rute perjalanan, pemilihan moda, serta kesiapan infrastruktur jalan untuk memberikan pelayanan pada pelaku evakuasi agar dapat selamat sampai ke tujuan. (Dewi) Cek tulisan cetak versi digital di laman : https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Rakit Aceh, Riwayatmu Dulu

Desember kembali hadir di tahun 2019. Tiba pada suatu titik di Bulan ini, sejenak megenang kembali apa-apa yang tertinggal 15 tahun lalu. Bencana besar yang terjadi melumpuhkan wilayah Aceh dan sebagian pesisir pantai barat Sumatera Utara hancur karena terjangan gelombang tsunami. Peristiwa yang diawali dengan gempa besar ini berujung dengan ratusan ribu korban melayang. Tak terhitung rumah yang hancur akibat gempa dan empasan gelombang tsunami. Listrik seketika saat itu padam karena dampak yang ditimbulkan. Tak hanya di Aceh, gelombang tsunami juga menerjang di beberapa titik lokasi pantai Sri Lanka, India, dan Thailand. Tak ada lagi jalan mulus seperti dulu, aspal pun seperti terkupas, jembatan pun tercabut dari pondasinya, bajanya habis diterjang oleh ombak. Yang tersisa hanya beton penyangga jembatan disisi kiri dan kanan jembatan. Salah satunya adalah jembatan Lambeuso yang putus akibat terjangan gelombang tsunami. Jika dari Banda Aceh menuju Calang (pantai Barat) maka kita akan melewati jembatan tersebut. Tak terbilang lagi banyak kendaraan umum dan pribadi yang terjebak dijembatan itu dan tak mungkin diatasi dengan titian darurat. Hanya rakit satu-satunya yang diandalkan sebagai alat transportasi. Setiap kendaraan yang hendak melewati jalur itu harus naik rakit penyeberangan darurat yang dikelola oleh masyarakat setempat, salah satunya adalah Bapak Dalimi sebagai operator rakit pada saat itu. Sebelumnya sudah ada rakit bantuan dari Pemda yang terbuat dari plat. Rakit yang digunakan pada saat itu adalah milik pribadi dari Bapak Dalimi yang pada saat itu sebagai operator rakit, rakit tersebut dibuat dengan biaya beliau sendiri. Rakit yang dinamai oleh warga sekitar dengan sebutan rakit Babah Dua itu berukuran sekitar 10 x 12 Meter yang mampu menampung sekitar 50 orang dan 4 mobil. Rakit tersebut beroperasi selama 24 jam penuh yang dikendalikan oleh 6 orang operator untuk siang dan 6 orang lagi untuk jadwal malam. Dalam waktu sehari semalam ada sekitar 50 kali bolak balik untuk memenuhi kebutuhan transportasi disungai tersebut. For an unforgettable night out, why not book a captivating Escort lady in graubünden ? These ladies know how to keep the night interesting, from their seductive eyes to their tantalizing curves, they offer the perfect distraction. Kedai-kedai tumbuh karena banyak kendaraan dan orang yang mengantri untuk penyeberangan sambil menunggu giliran diangkut rakit. Kiriman logistik untuk para pengungsi Calang dan Meulaboh pun bisa tersalurkan dengan baik melalui rakit tersebut. Namun, Seiring dengan waktu, jembatan kukuh pun berdiri di Lambeusoi, panjangnya lebih dari seratus meter. Rakit pun menghilang. Turut sirna rezeki pengendali rakit, yang dulunya bisa mengembalikan modalnya yang telah ia keluarkan untuk pembuatan rakit tersebut. Tak ada lagi kendaraan berhenti mengantri rakit untuk diseberangkan. Jejeran kedai di Lambeusoe hilang tak berbekas. Meski begitu, berkah lain datang. Roda ekonomi menjadi lebih lancar, transportasi menju kota Meulaboh juga berjalan lancar. Dengan selesainya jembatan yang dibangun dalam masa rehab dan rekonstruksi paska tsunami di Aceh khususnnya transportasi di pantai Barat membuat hubungan transportasi menuju kawasan barat selatan Aceh saat ini bebas dari rakit penyeberangan. (Dewi) Cek tulisan cetak versi digital di laman : https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/