Dishub

Pendongkrak Pariwisata Sabang

SABANG adalah kota yang terletak di Pulau Weh dan merupakan pintu gerbang di kawasan ujung barat Indonesia. Pulau Weh sendiri merupakan pulau utama dan terbesar yang terpisahkan dari daratan Aceh oleh Selat Benggala. Saat ini Sabang menjelma menjadi destinasi wisata bahari Indonesia yang menawarkan surga bagi para penyelam. Pesona Sabang sendiri menawarkan keelokan garis pantai yang indah, air laut nan biru dan bersih, serta pepohonan nan hijau. Pemerintah Aceh terus berusaha agar nilai ekonomi masyarakat terus tumbuh dan berkonstribusi dalam pembangunan Aceh, di antaranya meningkatkan konektivitas dan aksesibilitas antar destinasi wisata dengan meningkatkan sektor pariwisata. Sejak Maret 2020, sektor pariwisata menjadi sektor yang paling berimbas dari pandemi global ini. Penghasilan masyarakat juga banyak yang melemah dengan adanya pandemi ini. Pelabuhan Ulee Lheue Banda Aceh tersebut sebagai salah satu prasarana yang mendukung kemajuan transportasi laut di Banda Aceh yang menghubungkan jalur penyeberangan menuju Balohan Pulau Weh (Sabang) dan Pulo Aceh. Penyeberangan dari pelabuhan Ulee Lheue Banda Aceh ke Balohan Sabang saat ini menggunakan kapal KMP BRR. Pemerintah Aceh melalui Dinas Perhubungan Aceh telah memesan tiga unit kapal di antaranya KMP Aceh Hebat 1 dengan rute Aceh Barat – Simeulue, Aceh Hebat 2 dengan rute Pelabuhan Ulee Lheue – Balohan Sabang, dan kapal KMP Aceh Hebat 3 yang akan melayani pelayaran Singkil-Pulau Banyak. Dinas Perhubungan Aceh memperkirakan ketiga kapal penumpang antarpulau tersebut sudah berada di perairan Aceh untuk berlayar pada Januari 2021 mendatang. Kini hadir KMP Aceh Hebat 2 yang berkapasitas 1100 GT. Kapal ini lebih besar dari KMP BRR yang sedang beroperasi saat ini. Kapal ini hadir sebagai penyemangat sektor pariwisata Sabang yang terkenal akan keindahan alam bawah laut yang telah lama vakum. Hal ini menjadi harapan besar agar roda perekonomian masyarakat kembali berjalan normal. Kapal feri tersebut akan memperlancar transportasi dari Pelabuhan Ulee Lheue (Banda Aceh) ke Pelabuhan Balohan (Sabang), yang sebelumnya kerap terkendala karena keterbatasan kapasitas kapal. Banyak pihak pelaku usaha wisata di Sabang sangat senang dengan kehadiran KMP Aceh Hebat 2 ini, karena kekhawatiran tamu akan tertinggal di pelabuhan akan segera teratasi. Kendala yang selama ini sering terjadi seperti kehadiran para tamu dari luar khususnya dari Medan, mobil mereka terpaksa harus mereka tinggalkan di pelabuhan. Dengan adanya kapal Aceh Hebat ini, kendaraan bisa diangkut tanpa harus ditinggal lagi. Sehingga kunjungan wisatawan bisa semakin meningkat. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu pelaku usaha wisata PT. Imam Tour & Travel Inbound & Outbound Tour Operator, Muhammad Imam Fuadi, S.Pd.I, M.Pd. “Sebuah terobosan baru penunjang aksesibilitas pariwisata semakin mudah dan mensejahterakan. Dengan adanya kapal KMP Aceh Hebat 2 ini, wisatawan akan semakin mudah PP (return) antara Banda Aceh – Sabang, wisatawan juga punya banyak opsi, sehingga aktivitas pelabuhan dan perputaran ekonomi juga meningkat”. “Untuk kelancaran operasional, tarif harga juga jangan terlalu mahal, sejatinya punya pemerintah harus menjadi alternatif dan lebih banyak jadwal keberangkatan, jangan sedikit hujan atau badai akhirnya kapal tidak bisa berangkat,” imbuhnya. KMP Aceh Hebat 2 ini menjadi angkutan penyeberangan yang diperuntukkan bagi pengembangan wisata Sabang. Kapal ini memiliki daya muat sebanyak 377 penumpang dan 24 unit kendaraan (kombinasi). Kapal ini dengan panjang 63,75 meter dan lebar 13,6 meter serta tinggi mencapai 3,9 meter. Kapal ini mulai dibuat pada Tahun 2019 secara tahun jamak. Kapasitas mesin induk yang digunakan berdaya 2 x 1400 HP dengan kecepatan mesin mencapai 13 knot serta terdapat fasilitas-fasilitas lain yang tidak dimiliki oleh kapal-kapal sebelumnya. “Konsep utama pembangunan KMP Aceh Hebat 2 ini juga diperuntukkan bagi para wisatawan yang hendak berkunjung ke Sabang. Tentunya, multiplayer effect-nya untuk pertumbuhan ekonomi wilayah Aceh. Jelas, keberhasilan pembangunan kapal ini merupakan kebanggaan bagi kita semua,” tutur Nova di sela-sela Peluncuran KMP Aceh Hebat 2. Kapal ini akan dilakukan serangkai pengujian, salah satunya adalah uji berlayar (sea trial) agar nantinya saat melayani lintasan Ulee Lheue – Balohan. Kapal ini dapat beroperasi secara optimal dan sesuai dengan standar kelayakan. Seluruh uji teknis dan non-teknis sangat penting dilakukan demi keselamatan dan kenyamanan pelayaran nantinya. Diharapkan kapal ini akan membawa manfaat yang besar bagi konektifitas di Aceh, khususnya dalam peningkatan pariwisata Sabang. (Dewi) Selengkapnya cek di:

Pulo Aceh: Meneropong Harapan dari RI-Nol

KALI ini, aku bingung harus memulai dari kata apa. Sejuta kata yang telah aku susun pun tak akan cukup untuk menggambarkan betapa indahnya negeriku ini. Baiklah, aku tak ingin juga berlama-lama membuat kalian tenggelam dalam imajinasi diri pada “Tanoh Rencong” ini. Lebih khususnya lagi, aku akan membawa kalian ke sebuah pulau nan indah di ujung barat Sumatera. Tentu bukanlah Pulau Weh, Sabang yang hendak aku kisahkan kali ini. Penasaran bukan? Awal Desember tepat pukul 08.22, Kapal motor penyeberangan (KMP) yang diberi nama Papuyu bertolak dari Pelabuhan Ulee Lhee, Banda Aceh. Syukurnya, setelah beberapa hari dirundung mendung dan hujan, hari itu cuaca berpihak pada kami, matahari kembali garang bersinar sembari menyemai bulir-bulir kristal di atas ombak samudera. Lebih kurang dua jam perjalanan, KMP. Papuyu berayun bersama ombak mengangkut barang dan penumpang menuju ke Seurapong, Pulau Breueh -Pelabuhan ini berjarak lebih jauh dari Pelabuhan Lamteng yang berada di Pulau Nasi-. Kedatangan ini di sambut oleh dua semenanjung –pemisah pulau Breueh dan Pulau Nasi- yang tersusun dari batu karang dan pepohon hijau yang indah. Ke sinilah langkah kaki akan aku ayunkan, Pulo Aceh –pulau yang berada di Kabupaten Aceh Besar yang terdiri dari Pulau Nasi dan Pulau Breueh- Dermaga Tanah Untuk Papuyu Dua semenanjung itu menjadi pertanda bahwa sebentar lagi kapal akan berlabuh. Dari atas dek kapal itu kita dapat menikmati bukit-bukit tinggi mengitari kedua pulau, ombak yang usil pun sengaja menubruk karang yang berdiri gagah di kaki bukit, menciptakan ciprakan buih besar kembali ke laut. Dari belakang kapal, baling-baling menyemburkan pasir dari dasar ke permukaan air. Air yang tadinya biru kini telah menjadi cokelat muda seperti cappucino. Sebuah gundukan tanah berwarna cokelat yang kekuning-kuningan dengan pinggiran batu besar sebagai dinding penahan agar tanah tak jatuh ke dalam air saat kapal bersandar serta rerumputan hijau begitu subur tumbuh diantara bebatuan tersebut. Di situlah, aktivitas bongkar muat dilakukan dalam waktu yang begitu singkat –karena takut air laut surut dan kapal tidak dapat lagi berlayar-. Lebih kurang sepuluh lima belas menit KMP. Papuyu telah menaikkan penumpang dan kendaraan untuk kembali mengarungi samudera kembali ke Pelabuhan Ulee Lheue. Dapat dibayangkan dari kondisi kolam pelabuhan (saat ini belum pantas di sebut demikian-red) yang sangatlah dangkal dan dermaga tanah harus menjadi perhatian khusus. Belum lagi, pada alur pelayaran itu tersebar terumbu karang yang dapat menghantam baling-baling dan bagian bawah kapal. Di samping itu masalah lainnya juga menghantui, yaitu pasang surut air laut sangat menghambat sandarnya kapal yang datang ke Pulo Aceh. Hal ini merupakan sebuah hambatan besar yang “wajib” dituntaskan segera –tanpa kompromi lagi-. “Kamo lakee bak Pemerintah untuk geupeduli kamo yang bak ujong nyoe (Kami berharap pemerintah memberi perhatian bagi kami yang di ujung pulau ini –red),” ujar Mahfud, seorang warga Pulo Aceh yang bekerja sebagai operator boat tradisional. Katanya lagi, kapal yang hendak bersandar ke dermaga yang ada sekarang memiliki risiko yang sangat besar, hanya sebuah tekad saja mereka mampu menaklukkan alur pelayaran yang penuh karang dan dangkal. Bisa dilihat, dermaga yang ada pun seadanya. Perhatian Pendidikan untuk Anak Pulo Kini, 75 tahun berlalu, belumlah berakhir untuk negeri ini berjuang. Dari sebuah bangunan kecil yang disebut sekolah dasar yang berada tepat di pinggir pantai tepatnya di Pasie Janeng, ada empat puluh lima generasi muda yang berjuang untuk memperoleh pendidikan. Seragam sekolah yang mulai menguning dengan tas dan sepatu yang sudah usang tidak menyurutkan semangat mereka untuk menggapai cita-cita. “Enteuk lon peuget kapal raya nyan untuk ba u Pulo (nanti saya akan membangun kapal besar untuk Pulo Aceh ini-red),” ujar Aqra, salah satu siswa MIN 47 Aceh Besar dengan mata berbinar dan senyumnya yang lebar sambil menunjuk miniatur KMP. Aceh Hebat 1. Kala itu, Tim dari Dinas Perhubungan Aceh berkunjung ke MIN 47 Aceh Besar sekaligus membawa miniatur kapal. Hal ini tentu untuk menumbuhkan cita-cita generasi muda ini dapat menjadi ahli yang akan membangun transportasi Aceh. Para siswa tersebut begitu antusias saat melihat miniatur kapal yang dibawa. Mereka begitu antusias mengelilingi miniatur kapal untuk mengetahui bagian-bagian kapal yang mereka lihat. Setiap jengkal mereka sentuh saking takjubnya, begitu jelas tergambar dari rona wajah mereka. Dari sudut ruangan, seorang guru yang berpakaian rapi mengawasi gerak-gerik siswanya. Begitu sigap beliau melerai jika ada siswanya yang beradu pendapat hingga terjadi sedikit kericuhan –namanya saja anak kecil yang perlu eksplorasi yang lebih jauh-. “Kami sangat bercita-cita jika anak di sini dapat bersaing dan berkembang seperti anak-anak lainnya di daratan (Banda Aceh),” ujar Bakhtiar, Kepala Sekolah MIN 47 Aceh Besar sambil menatap lurus ke arah siswanya yang begitu semangat membahas perihal kapal. Kondisi bangunan sekolah yang telah mengalami kelapukan akibat pengaruh air pantai ini sudah lama tidak diperbaiki. Dari 2007, bangunan sekolah ini belum tersentuh renovasi, banyak bagian bangunan sekolah ini telah rusak, seperti pintu yang telah copot dari pengakunya. “Jika diharapkan dari dana operasional sekolah memang tidak akan bisa, untuk kebutuhan administrasi sekolah dan kebutuhan non-teknis lainnya saja kita harus mutar kepala ribuan kali. Beberapa kali kita berusaha untuk mengajukan tetapi belum ada perkembangan sampai saat ini,” kata lelaki paruh baya itu penuh harap. “Semangat anak-anak di sini memang harus kita perjuangkan, merekalah generasi yang akan membangun pulau ini, siapa lagi kalau bukan putra Pulo Aceh,” tutur Iqbal Saputra, salah satu guru MIN 47 Aceh Besar. Tim Medis, Kami Menantimu Di Pulo Sepertinya, angin barat mulai berkunjung lagi ke Pulo Aceh. Barisan boat ikan bergerak lebih lincah dari biasanya, tali pengait sesekali terhentak akibat boat menjauh dari tambatannya. Cuaca kembali memperlihatkan kelabilannya, dari terik matahari yang cerah seketika berubah menjadi redup dan guyuran hujan lebat. Demam dan flu menjadi penyakit biasa yang tidak dapat dihindari. Bermodal rempah-rempah alam yang dihasilkan tanah ini menjadi obat penawar yang begitu mujarab. “Miseu na saket, tapajoh ju peu-peu yang jeut. Nyoe mengharap bak puskesmas nyan saban lage tan ju. Han ek ta pike le, ta peubut ju lagee nyang na (jika sakit, minum obat tradisional yang ada dulu. Karena jika berharap sama puskesmas, ya sama juga tidak ada. Nggak sanggup pikir lagi, ambil tindakan seperti yang biasa (pengobatan tradisional) -red),” curhat seorang warga yang akrab disapa Bang Cut Demit. “Nyoe miseu hana puleh cit kaleuh

Kincir Angin

PERGOLAKAN di daratan Eropa pada abad ke- 14 yang menyebabkan pergeseran penguasaan “pasar rempah-rempah” telah memotivasi petualangan mengejar tanah penghasilnya. Mengikuti jejak petualang sebelumnya, kapal-kapal dari negeri “kincir angin” dengan penguasaan keilmuan saat itu memulai penjelajahan untuk berdagang mencari “pulau rempah” yang berada di garis khatulistiwa. Tentu, dengan modal pemahaman navigasi dan kemampuan membaca peta yang telah mereka “curi” dari petualang sebelumnya. Ekspedisi terus berkembang untuk mengisi mesin-mesin produksi yang akan didistribusikan dalam memenuhi kebutuhan konsumsinya. Semisal lada yang pada musim dingin menjadi “emas” agar mereka mampu bertahan dalam dingin yang menembus tulang. Demi kebutuhan dan martabat, maka keputusan untuk menguasai dan mengangkut hasil rempah-rempah dari “negeri jajahan” menjadi target utama. Kebutuhan logistik negara harus dapat diproduksi dan didistribusi secara stabil. Naluri konsep logistik mulai dikembangkan pada pertimbangan untung rugi, hari ini kita memberi nama perencanaan strategis, teknologi informasi, permintaan kebutuhan (pemasaran) dan keuangan. Maka terbentuklah manajemen rantai pasok (Supply Chain Management). Demi “rantai pasok” ini, suatu bangsa yang katanya beradab menjadi “garang” untuk menaklukkan bangsa lain. Memulai pada hasrat pengakuan atas menguasai bangsa yang ditaklukkan, Belanda telah mengambil “ancang-ancang” dengan menargetkan pelabuhan sebagai lokasi strategis untuk menguasai seluruh daratan. Hasrat yang kian besar akan keakuan bangsa lain atas negerinya telah membalikkan nalar untuk menggunakan “jalan kekerasan” hingga keluar dari tatanan hukum. Tingkat pengakuan yang ingin dibuktikan pada bangsa biru membuat taring mereka semakin tajam di negeri yang telah ditaklukan. Catatan perlawanan tertuang jelas dalam Buku Aceh Sepanjang Abad karya H. Mohammad Said bahwa segalanya telah jelas di mata dunia, pernyataan perang Tahun 1873 bukan karena ada campur tangan asing tapi hanyalah “nafsu” memperluas penaklukan wilayah Hindia Belanda -terkhusus Kerajaan Aceh-. Kegarangan yang memicu perlawanan mempertahankan martabat. George Lodewijk Kepper, menggambarkan perlawanan itu, “Pejuang (Aceh) tidak kecut sedikitpun menghadapi tembakan kilat, bahkan sebaliknya kencang mendekat, makin banyak jatuh, makin mengkilat lagi cepatnya yang lain mendekat, semua berteriak”. Beberapa generasi terbenam dalam “debat” yang dihabiskan untuk menjaga kestabilan “rantai pasok” kolonialisme, seorang makelar kopi dalam buku “Max Havelaar” karya Multatuli, membongkar “benang merah” peran transportasi agar sistem rantai pasok tetap seimbang yaitu, “Belanda membangun pemecah gelombang dengan tujuan untuk mendatangkan perdagangan ke dalam distrik yang terhubung seluruh pusat kegiatan dengan lautan -pusat perdagangan global-sehingga kapal dapat bersandar lama di pelabuhan apabila terjadi cuaca ekstrem” (Edward Douwes Dekker; “Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij”; Belgia 1860). Jalur transportasi laut yang membutuhkan waktu dan biaya juga telah mewarnai perubahan dengan gambaran bahwa “Kapal-kapal Belanda melayari lautan luas dan membawa peradaban”. Jauh sebelum penjelajah merintis perjalanan ke “Timur Jauh”, Bangsa Belanda telah memiliki “peradaban” dan perkembangan teknologi hingga menjadi negara yang terangkat derajat di Bangsa Biru. Sebagai simbol peradaban dari kecerdikan dan ketabahan manusia, kincir angin di Kinderdijk-Elshout menjadi “modal” untuk mampu menjajah. Simbol ini sudah ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO pada tahun 1997. Faktanya, dengan teknologi kincir angin ini mengakui Belanda telah mempersiapkan lanskap buatan manusia yang luar biasa serta memberikan kesaksian yang kuat peradaban manusia. Konstruksi kincir angin menjadi jejak dan bukti yang masih kokoh bagi sejarah perkembangan teknologi Belanda yang dikenal oleh masyarakat dunia. Inovasi pengembangan teknik drainase Belanda disalin dan diadaptasi di banyak bagian dunia. Sistem hidroliknya yang sangat cerdik masih berfungsi sampai sekarang untuk mengolah lahan gambut yang luas serta maha karya arsitektur serta lanskap budaya yang menjadi ciri khas Belanda dan menggambarkan tahap penting dalam sejarah manusia. Kanal-kanal yang dibangun dari energi kincir angin tersebar ke setiap sudut kota sebagai jaringan transportasi utama negara ini merupakan kepingan-kepingan ekonomi yang kian membukit untuk kesejahteraan rakyatnya. Apa “modal” yang kita miliki untuk mensejahterakan negeri kita saat ini? Di sini juga jelas apa hikmah dari penjajahan yang dilakukan oleh Belanda bagi Indonesia, sarana dan prasarana transportasi adalah kunci utama Belanda dapat menguasai daerah-daerah jajahan. Infrastruktur yang ditinggalkan Belanda pun sebagian besar masih berdiri kokoh dan belum menjadi pelajaran. Tanah Air ini bukanlah lagi kanak-kanak, tujuh puluh lima tahun telah lewat. Hikmah yang diberikan Bangsa Belanda untuk negeri harus kita “petik” secara cermat. Teknologi kincir angin yang mereka siarkan hingga rencana induk pengembangan kawasan jajahan harus kita “curi” dan implementasikan ke negeri ini. Lanskap negeri ini telah diciptakan begitu sempurna. Berbeda dengan Belanda yang memaksa kincir angin raksasa mereka untuk memompa air di daratan rendah serta reklamasi agar layak dihuni. Peradaban “kincir angin” yang terus menggerakkan generator di negerinya sendiri dan mempertahankan tanah penjajahan yang mereka lakukan pada bangsa lain hanya demi kesejahteraan, mereka mempersiapkan perencanaan penjajahan begitu matang, dimulai memahami pentingnya peta hingga perbekalan serta semua kebutuhan didetail secara terukur. Hebat bukan, menjajah demi sejahtera? Nah, mengapa kita tidak mempersiapkan kesejahtaraan dengan segala cara? Atau kita sedang mengatur ritme “debat” untuk menjajah negeri sendiri. (Junaidi Ali) Selengkapnya cek di:

Sejarah Willem’s Toren, Monumen Navigasi yang Memberi Arti Keselamatan Pelayaran

ACEH yang berada di pertemuan dua laut, Selat Malaka dan Samudera Hindia, menyimpan beragam destinasi wisata alami yang begitu menenangkan. Hamparan pantai membentang indah nan memukau, matahari terbit dan tenggelam kerap menyuguhkan pemandangan menakjubkan, memacarkan cahaya di atas hamparan pasir putih yang berkilau. Tak hanya wisata alami, Aceh juga tak kalah dari segi sejarahnya. Banyak bangunan di masa para penjajah dahulu yang masih berdiri kokoh di Bumi Serambi Mekkah. Salah satunya terdapat di Pulo Aceh, kecamatan kepulauan di Aceh Besar. Berbicara tentang bangunan bersejarah mungkin hal yang pertama terbayangkan bagi sebagian orang yaitu kesan usang, tua, dan membosankan. Kawasan yang sepi dengan suasana yang menoton yang pasti kurang menarik untuk dijelajahi. Segala anggapan tersebut akan sirna ketika Anda melihat sebuah bangunan bersejarah yang telah dibangun lebih dari satu abad yang lalu. Bangunan tinggi menjulang ini dikelilingi oleh hamparan keindahan alam berjuta pesona. Dari keindahan pesona alam yang membuai mata, berdirilah sebuah mercusuar yang hadir dengan tegaknya diantara panorama alam yang begitu memanjakan. Seolah-olah ia memperlihatkan ketinggian dan kekokohannya di antara kelembutan yang ditawari oleh alam sekitar. Gemulainya tiupan angin pada pepohonan, gemuruhnya ombak di pasir putih, pemandangan pegunungan yang membentang luas, hadirlah ia sebagai penyeimbang keindahan alam. Perpaduan maha karya ciptaan tuhan dan karya arsitektur buatan tangan manusia di masa lampau menjadi sebuah kombinasi yang saling melengkapi satu sama lain. Bangunan bersejarah nan kokoh ini bernama Mercusuar Willem’s Toren III. Letaknya di hutan Kampung Meulingge, Pulau Aceh Kabupaten Aceh Besar. Usianya yang sudah melebihi satu abad. Namun kekokohan dan kekuatannya tetap paripurna. Gaya arsitektur Belanda yang melekat kuat pada bangunan berbentuk silinder ini memperlihatkan bahwa Mercusuar Willem’s Toren berdiri saat Belanda menjajahi Bumi Serambi Mekkah, tepatnya pada tahun 1875. Ia memiliki tinggi 85 meter dengan ketebalan dindingnya mencapai 1 meter. Yang tak kalah menariknya proses pembangunan Mercusuar Willem disinggung dalam Onze Vestiging in Atjeh, sebuah buku tentang perang Aceh yang ditulis Mayor Jenderal G.F.W Borel. Ratusan orang diangkut dari Ambon untuk membangun menara suar ini. Juga ratusan warga lokal yang dipaksa ikut terlibat dalam pembangunannya. Mengacu situs berita Antaranews, Mercusuar mengadopsi nama sang raja yang menguasai Luksemburg (1817-1890), yakni Willem Alexander Paul Frederik Lodewijk. Menara ini terletak di dalam sebuah komplek seluas 20 hektare. Dahulu pemukiman ini diisi oleh perwira-perwira Belanda. Kala memerintah, Willem banyak berperan membangun ekonomi dan infrastruktur di wilayah Hindia Belanda, termasuk Pulo Aceh. Willem membangun mercusuar ini sebagai usaha menyiapkan Sabang sebagai salah satu Pelabuhan transit di Selat Malaka. Kala itu Belanda bercita-cita membuat Pelabuhan transit Sabang yang diharapkan seperti Singapura yang dapat dilihat di masa sekarang. Faktanya Mercusuar Willem’s Toren III merupakan salah satu dari tiga mercusuar yang menjadi warisan Belanda di dunia. Satu mercusuar lainnya berada di Belanda, dan kini sudah dijadikan museum. Sementara satunya lagi berada di kepulauan Karibia. Sekiranya dapat kita sadari, bahwa sejarah tidak dapat direkonstruksi. Bahkan mereka yang dikaruniai ingatan tajam sekalipun. Namun demikian, ada hal yang dapat dilakukan generasi sekarang untuk mengenang. Salah satunya dengan melakukan destinasi wisata kawasan bersejarah. Melihat kembali puing-puing kejayaan di masa lampau, menelaah dan pada akhirnya menjadi media pembelajaran untuk kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. (Rahmi) Selengkapnya sila baca di sini:  

Bercermin pada Kisah Penyeberangan Pulau Weh

SEBAGAI negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 2.300 pulau berpenghuni, transportasi penyeberangan antar pulau-pulau di Indonesia menjadi sangat krusial untuk menopang kehidupan masyarakat. Pengangkutan orang menggunakan kapal penyeberangan telah ada sejak dahulu tak terkecuali di Aceh. Kami pun menyambangi kediaman salah satu saksi sejarah penyeberangan di Aceh. Beliau adalah Imam Habinajud, seorang pensiunan PT. ASDP Indonesia Ferry yang telah mengabdi hampir 40 tahun. Menurutnya, salah satu rute penyeberangan paling diminati adalah lintasan Banda Aceh – Sabang. Berawal sekitar awal 1980an. Pemerintah bersama dengan KP4BS (Komando Pelaksana Pembangunan Proyek Pelabuhan Bebas Sabang) membuat sebuah gagasan bernama Proyek ASDP. Awal Proyek ASDP, KP4BS hingga Masa Peralihan Awal mula Proyek ASDP ditandai dengan dibukanya rute penyeberangan perintis yang melayani lintasan Ulee Lheue menuju Sabang yang oleh KMP Tongkol. Berselang setahun, tepatnya tahun 1982 rute Ulee Lheue – Sabang diganti menjadi Malahayati – Sabang. Perubahan lintasan tersebut diiringi dengan penggantian KMP Tongkol yang dialihkan ke lintasan lain dan digantikan KMP Jambal. KMP Jambal ini berlayar sekitar 3 tahun melayani masyarakat. Memasuki tahun 1985 menjadi tahun penting bagi dunia penyeberangan Aceh, KP4BS yang telah berdiri hampir 20 tahun dihentikan operasionalnya oleh pemerintah. Organisasi ini pun dibubarkan dan kemudian mulai berganti pelayanan menjadi komersil melalui PT. ASDP. Proses peralihan pegawai ini membuat vakumnya operasional penyeberangan selama 2 bulan. Era baru penyeberangan Sabang ditandai dengan datangnya 2 kapal baru yaitu KMP Gajah Mada dan KMP Kuala Batee 1. Keberadaan kedua kapal ini tidak berlangsung lama, KMP Gajah Mada yang merupakan kapal jenis Katamaran (kapal dengan 2 lambung) menjadikannya kurang cocok untuk lintasan ini karena tingginya gelombang laut. Di akhir tahun 1988, kedua kapal ini harus dialihkan ke lintasan lain. KMP Gurita dan Memori Kelamnya PT ASDP kemudian mendapat jatah 1 kapal baru di akhir 1988 yaitu KMP Gurita yang dibarengi dengan pemindahan lintasan dari Pelabuhan Sabang beralih ke Balohan. Keberadaan KMP Gurita ini cukup lama sekitar 8 tahun lamanya kapal ini mengarungi samudera. Perlahan penumpangnya terus mengalami peningkatan bahkan beberapa kali kewalahan khususnya pada hari besar tertentu. Puncaknya pada saat “meugang” Ramadan awal 1996, tepat pada Jumat 19 Januari 1996 terjadilah sebuah tragedi kelam yang meninggalkan kesedihan mendalam bagi masyarakat. KMP Gurita tenggelam dalam pelayaranya dari Malahayati menuju Balohan tepatnya di perairan Ujoeng Seuke. Peristiwa kelam ini menimpa 378 penumpang KMP Gurita, hanya sekitar 40 orang yang dapat diselamatkan, sedangkan 54 orang ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa dan 284 lainnya ikut tenggelam ke dasar lautan bersama bangkai kapal kelam ini. Hasil investigasi menyebutkan bahwa kapal ini kelebihan muatan dari kapasitas seharusnya hanya 210 penumpang dan adanya muatan beton bertulang yang berlebihan. Kembali Merajut Asa Peristiwa tenggelamnya kapal sempat membuat pelayanan berhenti selama 1 bulan. Operasional pun kembali dilanjutkan ditandai dengan dikembalikanya lintasan ke Ulee Lheue serta datangnya kapal baru yaitu KMP Tandemand yang kemudian digantikan oleh KMP Cengkeh Apu dan KMP Pulau Rubiah. Hingga pada awal 2002, operasional penyeberangan digantikan oleh KMP Tanjung Burang yang sebelumnya melayani lintasan Maluku. Kemudian paska Tsunami, Pemerintah melalui Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh melakukan pengadaan KMP BRR untuk mendampingi operasional KMP Tanjung Burang. Kedua kapal inilah yang hingga kini terus melayani penyeberangan masyarakat dari dan menuju Sabang. Iman menyampaikan setiap kapal penyeberangan yang ada menurutnya memiliki ceritanya sendiri. “Di tiap kapal itu ada rasa sakit, pedih dan perjuanganya sendiri. Jadikan apa yang ada sebagai pelajaran, semoga apa yang terjadi di masa lampau tidak terulang lagi di kemudian hari” ujarnya. Ia menambahkan harapan agar ke depan lintasan lain yang ada di Aceh segera dapat berkembang dan lebih baik dalam melayani masyarakat. (Reza)

Patiambang, Bandara di Negeri Seribu Bukit

PAGI itu, Rabu, 4 November 2020, indahnya pemandangan gunung dan bukit memanjakan setiap mata yang baru terbangun dari lelapnya tidur. Pegunungan dan perbukitan yang menjulang terselimuti awan yang begitu menawan. Itulah tanah Gayo, negeri yang terkenal dengan seribu bukit. Terbentang di antara pegunungan dan perbukitan pada ketinggian 850 MDPL, menuju daerah ini dengan transportasi darat lumayan menguras tenaga. Jalanan menanjak dan berbelok yang curam cukup menyulitkan akses ke daerah ini. Akibat akses melalui jalur darat begitu sulit, maka tak heran pada tahun 2008 Badan Rehabilitasi dan Rekonsiliasi (BRR) NAD-Nias membangun bandara yang saat itu masih berupa airstrip atau landasan pacu. Bandara ini rencananya akan berfungsi sebagai persiapan penanggulangan bencana di wilayah Gayo Lues. Namun, seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat untuk memanfaatkan moda transportasi udara, Pemerintah Kabupaten Gayo Lues melakukan pengembangan dengan membebaskan lahan di sekitar bandara. Pemkab Gayo Lues juga membangun sejumlah fasilitas seperti landasan pacu, apron, dan taxiway pada sisi udara. Sedangkan pada sisi darat, Pemkab Gayo Lues membangun terminal penumpang darurat, gedung PKP-PK, rumah tipe 45 sebanyak 2 Unit, dan peralatan komunikasi Air to Ground AFIS. Bandara ini memiliki runway hanya sepanjang 810 x 23 meter, praktis bandara ini hanya dapat menerima pendaratan pesawat Cessna atau sejenisnya. Pembangunan gedung-gedung operasional lainnya mulai berjalan pada tahun 2018 seperti gedung operasional tipe 36 (RN), gedung genset, kantor, dan gedung terminal melalui berbagai sumber anggaran termasuk Anggaran Pembangunan Belanja Aceh (APBA). Bandara Blangkejeren sempat beberapa kali mengalami pergantian nama, mulai dari bandara Seunubung, Blang Kejeren, hingga yang terakhir menjadi Bandara Patiambang. Penamaan Patiambang merujuk kepada nama kerajaan masa lalu yang ada di Gayo Lues. Sementara itu, menurut Wahyu, Kepala Satuan Pelaksana Bandara Patiambang, bandara tersebut masih terdaftar sebagai Bandara Blangkejeren sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 69 tahun 2013. Pada International Air Transport Association (IATA) atau Asosiasi Transportasi Udara Internasional, bandara ini juga masih terdaftar dengan three code of letter GYO. Saat ini Pemkab Gayo Lues sedang mengurus pergantian three code of letter bandara ini ke Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan RI. Bandara ini diserahkan ke Dirjen Perhubungan Udara pada tahun 2015. Sejak saat itu, bandara ini dikelola oleh Satuan Pelaksana Bandara Patiambang di bawah Unit Pelayanan Bandar Udara (UPBU) Bandara Rembele, Bener Meriah. Terkait layanan penerbangan, Wahyu menjelaskan bahwa bandara ini telah melayani penerbangan perintis sejak tahun 2015. Penerbangan perintis perdana kala itu melayani rute Medan – Gayo Lues dan Gayo Lues – Banda Aceh masing-masing 2 kali seminggu. Hingga saat ini bandara ini masih melayani kedua rute tersebut. Angin dan cuaca menjadi tantangan tersendiri bagi penerbangan di bandara ini. Kondisi cuaca dapat berubah setiap saat bahkan dalam hitungan menit. Oleh karena itu, Wahyu memastikan penerbangan dari dan ke bandara ini selesai sebelum pukul 14.00 WIB setiap harinya. Sebelum pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) melanda Indonesia, target load factor penerbangan perintis di bandara ini mencapai 70 persen dari yang ditetapkan oleh Dirjen Perhubungan Udara. Sejak pandemi load factor-nya turun ke 50 persen. Bahkan pernah menyentuh 12 persen saat Gayo Lues ditetapkan sebagai zona merah penyebaran virus. Selain itu, penerbangan perintis sempat berhenti pada 29-31 Mei 2020. Bandara Mempermudah Aksesibilitas Bandara Blang Kejeren atau dikenal Bandara Patiambang sangat membantu mempermudah akses transportasi masyarakat, baik untuk menuju ke Gayo Lues maupun keluar. Banyak masyarakat menggunakan jasa penerbangan perintis di bandara ini karena aksesnya yang cepat, biaya terjangkau, serta kemudahan interkoneksi dengan maskapai lain untuk penumpang transit, baik di Medan (Bandara Internasional Kualanamu) maupun di Banda Aceh (Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda). Masyarakat memanfaatkan jasa transportasi ini untuk tujuan yang beragam. Di antaranya untuk urusan kepemerintahan bagi para pegawai pada institusi pemerintah, kegiatan pendidikan bagi para mahasiswa maupun tenaga pengajar di kampus Universitas Syiah Kuala Gayo Lues, dan kunjungan pariwisata. Sebagai perbandingan, perjalanan Blangkejeren – Medan melalui jalur darat membutuhkan waktu lebih kurang 8 hingga 9 jam. Sementara itu, Blang Kejeren – Banda Aceh membutuhkan waktu selama 12 jam perjalanan. Sedangkan perjalanan udara Blang Kejeren–Medan hanya memerlukan waktu 60 menit, dan Blangkejeren – Banda Aceh selama 1 jam 15 menit. (Arrad)

Oemar Riskov: Sampai Kapan Pesepeda Jadi Minoritas di Jalan Raya?

PADA Senin (31/8/2020) Tim Aceh TRANSit berkesempatan untuk bertemu dengan seorang pegiat sepeda di Banda Aceh, Oemar Riskov. Pria kelahiran Manggeng, 31 Januari 1990 ini tergabung dalam beberapa komunitas sepeda di Banda Aceh dan Aceh seperti Gari Off Road (GOR), Koetaradja MTB, Road Bike Aceh (RBA) dan Goweser Aceh – Sumut (GAS). Perbincangan santai sambil menyeruput secangkir kopi ditengah suasana hujan lebat yang menguyur kota Banda Aceh ini tentu tak jauh-jauh dari sepeda. Berikut kutipannya Sejak kapan Oemar mulai tertarik bersepeda? Pertama kali mulai bersepeda itu di tahun 2015. Awalnya sebelum menekuni sebuah hobi saya melakukan riset, sebuah hobi yang tidak hanya bermanfaat bagi diri saya sendiri namun juga bagi lingkungan. Akhirnya pilihan saya jatuh kepada bersepeda, dengan pertimbangan sehat, mudah, murah, tanpa pajak, dan tentunya ramah lingkungan. Cerita paling menarik saat bersepeda Oemar? Pernah saat itu saat gowes santai ke daerah Mon Ceunong, Indrapuri, Aceh Besar. Saat itu memang baru saja hujan, kondisi jalan sangat basah dan licin. Ketika diturunan saya kehilangan kendali sepeda dan terjatuh. Syukur saja saat itu hanya cidera ringan, termasuk wajah saya sedikit terluka. Candaan teman-teman bahwa saya berhasil mendapatkan stempel Mon Ceunong. Sejak saat itu saat saya selalu memakai helm full face saat bersepeda off road. Himbauan Oemar ke sesama pesepeda Sebenarnya ini bukan himbauan, tapi kembali mengingatkan saja bahwa saat gowes di jalan raya kita harus mengikuti aturan yang berlaku, seperti berhenti di lampu lalu lintas, tidak menyeberang sembarangan dan tidak mengambil jalur pengguna jalan raya lain. Perlu diingat peseda bukanlah penguasa jalan raya, jalan raya adalah milik Bersama dari pejalan kaki hingga pengguna mobil, jadi mari hargai sesama pengguna jalan. Selanjutnya hindari konvoi ketika bersepeda. Hal ini sangat menggangu pengguna jalan yang lain dan membahayakan si peseda. Jalan raya bukanlah ruang tamu atau keude kupi dimana kita berbincang-bincang sesuka hati, pengguna jalan bukan hanya kita. Beberapa negara bahkan telah menerapkan peraturan untuk bersepeda dijalan raya seperti ruas jalan maksimal yang dapat digunakan iring-iringan peseda adalah 1,5 meter, jika melebihi batas tersebut maka akan dikenakan sanksi ataupun denda. Perlengkapan safety juga harus menjadi prioritas utama bagi para goweser, terutama helm. Beberapa komunitas bahkan sudah membuat peraturan bagi yang tidak mengenakan helm maka tidak boleh bergabung dengan acara-acara gowes rutin mereka. Apabila ingin bersepeda malam hari, selain helm juga harus memperhatikan peralatan safety lainnya seperti lampu belakang dan depan juga harus mengenakan pakaian yang berwarna terang agar dapat terlihat jelas bagi pengguna jalan yang lain. Harapan Oemar kepada para pengambil kebijakan? Mungkin yang menjadi catatan bahwa goweser dan pedestrian adalah minoritas dijalan raya. Hal ini harus mendapat perhatian dari pengambil kebijakan, terutama dalam penyediaan fasilitas yang membuat pesepeda merasa lebih aman dan nyaman saat bersepeda. Jalur-jalur speda yang ada difungsikan kembali selain juga penambahan jalur-jalur sepeda terutama di rute-rute favorit bagi pesepeda. Bagaimana Oemar melihat tren bersepeda yang terus meningkat ini? Saya melihat maraknya pesepeda di Indonesia terutama di Aceh ini sebagai sesuatu yang positif. Selain masyarakat yang mulai sadar akan pentingnya berolahraga juga memberikan dampak positif kepada lingkungan dengan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. Namun yang menjadi perhatian kita sebenarnya adalah bagaimana tren bersepeda ini tetap terjaga bahkan meningkat. Maka seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, perlunya peningkatan fasilitas-fasilitas bersepeda di wilayah Banda Aceh, jangan sampai nanti tren bersepeda ini menurun karena banyak yang merasa tidak aman dan nyaman lagi saat bersepeda. Apakah ada dampak positif dari tren bersepeda ini selain bagi pesepeda dan lingkungan? Tren bersepeda ini sebenarnya juga berpeluang meningkatkan potensi wisata Aceh. Pada tahun 2019 lalu, saya mengikuti acara Tour de Sinabung 2019 bersama 10 teman saya. Acara ini mampu menarik tiga ribu lebih peserta yang tidak hanya datang dari berbagai daerah di Indonesia tapi juga dari beberapa negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Acara yang yang berdurasi dua hari itu juga mempromosikan spot-spot wisata, hasil kerajinan tangan dan kuliner setempat. Melihat potensi alam yang dimiliki Aceh, saya sangat yakin kita bisa mengadakan event-event sepert Tour de Sinabung tersebut. Seperti di wilayah Banda Aceh juga dapat ditambah jalur-jalur sepeda ke spot-spot bersejarah, seperti museum tsunami, kapal PLTD Apung, Kapal di atas rumah dan sebagainya yang nantinya dapat kita promosikan tsunami cycling route atau rute napak tilas tsunami untuk menarik wisatawan. Ini masih merupakan raw idea atau ide mentah saja, semoga bisa menjadi masukan bagi pemangku kepentingan. Pengalaman Oemar yang tidak terlupakan saat bersepeda? Pengalaman yang tidak bisa saya lupakan itu adalah saat pertama kali mengikuti event Kebersamaan Avicenna Goweser Aceh – Sumut (KAGAS) di Bireuen. Pada saat itu di tengah jalan sepeda saya mengalami kerusakan, waktu itu saya sedikit kagok karena ini pengalaman pertama untuk saya. Saat itu semua peserta yang lewat pasti berhenti dan membantu saya, mereka memperbaiki sepeda saya sampai bisa dinaiki kembali. Saya bahkan tidak sedikitpun menyentuh sepeda saya. Saat itu saya sangat terharu ternyata rasa solidaritas sesama begitu besar. Ini pengalaman yang tidak bisa saya lupakan seumur hidup. (Arrad) Simak edisi cetak digital di laman: https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Hidup Tanpa Kemasan Plastik, Mungkinkah?

TAK ada lompatan besar tanpa lompatan kecil, kalimat inilah yang menjadikan dinas Perhubungan aceh terus menggali dan melakukan perubahan demi perubahan kecil untuk menuju perubahan besar. Meski dalam aktifitasnya Perhubungan yang berkaitan dengan transportasi menjadi penyumbang Co2 (emisi) terbesar selain pabrik – pabrik industri. Slogan menyelamatkan bumi makin hari semakin besar gaungnya, makin banyak aksinya walau dari apa yang telah rusak sulit untuk diperbaiki namun untuk menjaga masih memungkinkan. Selain Co2 mejadi penyumbang besar kerusakan lingkungan, sampah juga tidak bisa dilihat dengan sebelah mata dengan kondisi sampah yang tidak terurai puluhan bahkan ratusan tahun. Sebut saja plastik kemasan yang menjadi kantong primadona untuk penjual atau pembeli makanan dan minuman. Plastik menjadi solusi paling cepat dan mudah untuk membungkus sesuatu barang dengan ketahan panas dan anti basah sebagai pembungkus makanan dan minuman dibandingkan dengan kertas sulit diperolah dan lebih tidak tahan. Plastik menawarkan konsep yang sederhana dalam kebidupan sehari hari, mudah didapat, dapat di simpan Kembali dengan tidak membutuhkan tempat yang besar dan juga ringan serta tidak harus dibawa pulang Ketika sedang dalam melakukan perjalanan karena harganya yang murah dan mudah di dapat. Selain untuk pembungkus, tempat yang menggunakan bahan plastik lebih tahan ketika terjadi benturan dan keindahan warna serta bentuk yang ditawarkan oleh pemproduksi kemasan berbahan plastik. Sisi positif dari kemasan plastik selain kegunaannya juga mampu menciptkan model bisnis baru yakni dengan mendaur ulang Kembali menjadi kerjianan tangan atau dari sisa pakai miniman botol menjadi kebutuhan alat rumah tangga. Untuk dapat didaur ulang jika hasil dari produksi sampah kemasan ini terkelola dengan baik, pengguna yang bijak untuk membuang sampah pada tempatnya dan bahkan telah dapat dikelompokkan jenis sampah yang di hasilkan. Namun yang disyangkan dari total sampah yang dihasilkan tidak semuanya dapat dikelola dengan baik bahkan sebahagiannya berserakan tanpa peduli akibat yang dihasilkan dari sampah kemasan. Sampah selain merusak pandangan, lingkungan juga Kesehatan penggunaan yang berkepanjangan. Bahkan bukan saja lingkungan dan manusia yang dirugikan juga hewan khususunya biota laut yang menjadi korban selanjutnya dengan perinsip semua yang hanyut pasti akan berkahir dilaut belum lagi kita bicarakan smpah yang dihasilkan oleh penikmat laut itu sendiri. Dengan konsep mencoba menyelamatkan lingkungan, dinas Perhubungan yang sebelumnya telah berupaya menekan angka co2 dengan Angkatan massal trans-K untuk melayani publik kini dengan mencoba melakukan hal – hal kecil yang berdampak besar terutama tentang kesadaran dan bijak dalam menyelamatkan lingkungan dari unit terkecil yang langsung dirasakan dampak dari kebiajakan ini yaitu tidak lagi mengguakan kemasan botol yang diganti dengan tumbler dan plastik kemasan untuk makanan diganti dengan tempat makan pribadi selain kemasan plastik. Tak ada gading yang tak retak, tentu tak ada yang terus menjadi sempurna dalam setiap kebijakan terutama untuk menuju kepada hal yang lebih baik. Dari semua kebijakan itu pesan yang ingin disampaikan mulai peduli dengan lingkungan dan ramah dengan lingkungan paling minimal telah cerdas dalam menentukan sampah organnik dan non organic sehingga pelaksana kebersihan bisa malakukan langkah selanjutnya dengan lebih tepat dan efektif. (Fajar Muttaqin) Simak edisi cetak digital di laman: https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Agar Pulo Aceh Semakin Mudah Dijangkau

JARAKNYA lebih dekat dengan Banda Aceh ketimbang pusat ibukota Aceh Besar, Jantho. Itulah Pulo Aceh, kecamatan di Aceh Besar yang memiliki 17 gampong ini, adalah sekumpulan pulau besar dan kecil. Pulau terbesarnya adalah adalah Pulau Nasi dan Pulau Breuh yang menjadi pusat kecamatan. Untuk menuju Pulo Aceh, kita bisa menempuhnya melalui Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue Banda Aceh dengan menumpang KMP.Papuyu. Kapal motor ini mulai berlayar ke Pelabuhan Penyeberangan Lamteng yang terletak di Pulau Nasi sejak tahun 2012. Jarak lintasan 12 mil menghabiskan waktu selama 1,5 jam perjalanan. Jadwal berlayarnya setiap hari kecuali Selasa dan Jumat bergerak pada pukul 08.00 WIB dari Ulee Lheue dan pukul 10.00 dari Lamteng. Sebelumnya, pelayaran ke Pulo Aceh dilayani oleh KMP. Simeuleu yang berlayar perdana pada 30 Oktober 2008. Seperti halnya KMP. Papuyu, KMP. Simeulue juga merapat di Pelabuhan Lamteng Pulau Nasi. Pelabuhan ini dibangun oleh Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias pada tahun 2006 dan 2007. Seiring kebutuhan dan permintaan masyarakat, mulai 3 Juni 2020, KMP. Papuyu juga telah melayani rute Ulee Lheue menuju Seurapong yang terletak di Pulau Breueh. Jarak tempuhnya lebih jauh, yaitu 16 mil dengan masa tempuh 1,5 jam perjalanan. Berbeda dengan Pelabuhan Lamteng, status Pelabuhan Seurapong masih pelabuhan perintis berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 552.3/05/2020 Tentang Penetapan Lintas Penyeberangan Perintis Aceh. Jadwal berlayarnya hanya hari Kamis dan Sabtu bergerak pada pukul 07.00 WIB dari Ulee Lheue dan pukul 10.30 dari Seurapong/Ulee Paya. Tempat bersandarnya di ujung talud/breakwater dermaga perikanan Ulee Paya milik BPKS-Sabang. Maryam, warga Pulo Aceh sekaligus salah satu penumpang KMP. Papuyu yang ditemui Tim Aceh TRANSit di pagi Sabtu (8/8/2020), mengaku gembira dengan kehadiran KMP.Papuyu ke Seurapong/Ulee Paya. Ia mengaku lebih nyaman menggunakan kapal yang dikelola pihak ASDP Ferry Indonesia Cabang Banda Aceh itu. “Biasanya kan pakai boat. Kebetulan pulangnya Sabtu dan ada jadwal kapal. Dari segi harga saya lebih memilih KMP.Papuyu karena lebih murah, juga lebih nyaman,” ujarnya. Selain Maryam, mayoritas penumpang KMP. Papuyu adalah pedagang yang dalam seminggu dapat beberapa kali bolak-balik Ulee Lheue menuju Pulo Aceh, menggunakan mobil maupun sepeda motor. KMP. Papuyu mampu menampung 105 penumpang dan memuat 8 unit kendaraan dengan 2 unit kendaraan kecil dan 6 unit bis/truk ukuran sedang. Hanya saja, karena fasilitas pelabuhan yang berada di kawasan terumbu karang, maka pelayaran KMP. Papuyu ke dua pelabuhan ini sangat tergantung cuaca, pasang surut air laut, serta arah angin di kawasan ini. Terkait pasang surut air laut, ini menjadi masalah utama. Kendangkalan dermaga pelabuhan menjadi penentu mudah tidaknya kapal bersandar. Oleh karena itu, jadwal kapal pun tak ayal bergantung pasangnya air laut. Hal ini seperti yang disebut Nahkoda KMP. Papuyu, Capt. Syaiful Akmal. Ia mengungkapkan bahwa sebenarnya Pulo Breueh ini belum layak untuk didatangi kapal penumpang. Karena kelayakan seperti dermaga dan tempat tambat talinya, semuanya belum tersedia. Jika masuk ke pelabuhan ini sangat riskan, sebab lokasi pelabuhan sekarang sangat tergantung pasang surut air laut. “Kalau air rendah kita gak berani masuk, karena banyak karang di sini,” sebutnya. Keberadaan terumbu karang di dua pelabuhan ini menjadi dilema tersendiri. Di satu sisi, keindahan terumbu karang menjadi nilai destinasi wisata. Di sisi lainnya, terumbu karang ini menghalangi jalur masuk kapal penumpang ketika air surut dangkal. Perihal ini, Kepala Bidang Tata Lingkungan dan Pengendalian Pencemaran Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, Joni, S.T., M.T., mengungkapkan hal menarik. Terkait dengan perizinan lingkungan dapat dilakukan pengerukan bila secara tata ruang laut dapat merekomendasikan rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dapat dilaksanakan. Nanti dokumen lingkungan yang harus disusun berdasarkan Permen LHK No. P.38/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2019 Tentang Jenis dan Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Di antaranya jenis Amdal karena berada pada kawasan lindung dan/atau berbatasan langsung dengan Kawasan Lindung. “Jadi dari aspek rekomendasi atau perizinan lingkungan hidup, kegiatan dapat dilaksanakan sepanjang secara rekomendasi tata ruang terpenuhi,” ungkap Joni. Sementara itu, informasi yang dihimpun dari Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh menyebut Pelabuhan Penyeberangan Lamteng termasuk dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Aceh. Zonasi ini tercantum dalam Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2020. Kawasan ini dapat digunakan sebagai kawasan pemanfaatan umum. Salah satunya adalah pemanfaatan zona pelabuhan. Tak terkecuali memuat Pelabuhan Lamteng sebagai pelabuhan pengumpan lokal. (Muarif) Simak edisi cetak digital di laman: https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Bersedekah Lewat Sampah, Kita Bisa

ALAM telah memberikan semua yang dibutuhkan manusia, sudah selayaknya kita memberikan yang terbaik untuk kelestariannya. Apakah kita telah melakukannya? Data dari World Economic Forum 2017, lebih dari 620 ribu ton sampah plastik mencemari lautan Indonesia yang disebabkan oleh pengelolaan sampah kurang tepat diantaranya dilakukan oleh rumah tangga dan bisnis kecil dimana 78 persen sampah plastik rumahan dibakar dekat rumah, 12 persen dibuang ke aliran air, 10 persen dikubur yang akhirnya sampai ke laut. Fakta itu tentu bukan hal yang baik, bukanlah yang alam inginkan sebagai balas budi kita untuknya. Perlu penanganan yang lebih konkret dalam pengelolaan sampah, kelestarian lingkungan adalah tujuan utamanya. Bagaikan mutiara di lautan lepas, Tim Aceh TRANSit menyadari masih adanya masyarakat yang aware dengan pelestarian lingkungan dan pengelolaan sampah, setelah lama menelusuri kami akhirnya berkesempatan untuk bertemu Abdul Halim, founder Gerakan Sedekah Aceh (instagram: @gerakan_sedekah_aceh). Berawal dari Sedekah Uang Gerakan Sedekah Aceh (GSA) merupakan sebuah komunitas non-profit yang terbentuk di awal tahun 2017, terinspirasi dari gerakan serupa di daerah lain, founder dan beberapa relawan mencoba memulai gerakan sedekah uang yang dikumpulkan setiap bulannya minimal Rp 10.000,-. Setelah berjalan hampir 2 tahun, awal tahun 2019 GSA mencoba membuat program sedekah yang lebih peduli lingkungan dengan cara bersedekah lewat sampah, “Apabila sampah kita buang sah saja. Tetapi, kalau kita simpan dan kita jual akan bernilai, Alhamdulillah responnya luar biasa sampai kewalahan” ujarnya. Menjemput Sampah Kerumah Warga Tiap akhir pekan, sebagian dari 12 orang relawan GSA yang mayoritas merupakan mahasiswa ini berkeliling Banda Aceh dan Aceh Besar menyambangi rumah warga yang telah menghubungi GSA melalui Instagram maupun WhatsApp untuk mengambil sampah menggunakan mobil bak terbuka yang telah disewa. Setelahnya sampah tadi dikumpulkan di gudang yang GSA sewa di daerah Tungkop untuk disortir menurut jenisnya seperti plastik, air minum dalam kemasan, botol plastik, kardus, kertas, alumunium dan besi. Kemudian sampah tadi dijual ke distributor/ pengepul tiap sebulan sekali. Uang dari penjualan sampah lalu disedekahkan kepada masyarakat fakir miskin, anak yatim/ piatu, panti asuhan, pesantren dan lainnya. Secara khusus tidak ada target tertentu yang harus terkumpul, “Daripada sampah itu dibuang, dibakar maupun ditimbun akhirnya merusak lingkungan, lebih baik dimanfaatkan dengan lebih bijak.” imbuhnya. Bersinergi dengan Sekolah dan Pemerintah Sebagai langkah mencapai tujuan mulia, GSA melebarkan sayapnya melalui kerja sama dengan sekolah-sekolah untuk bersedekah lewat sampah dengan cara penyedian tong sampah khusus yang nantinya akan dijemput oleh relawan kemudian dijual dan hasilnya akan disedekahkan dimana 50 persen hasil penjualan diserahkan ke sekolah untuk dikelola sedekahnya secara mandiri dan 50 persen lagi dikelola oleh GSA untuk diberikan kepada mereka yang membutuhkan, sejauh ini sudah ada 1 SD dan 2 SMP di Banda Aceh yang telah bekerja sama. Selain itu, GSA telah berkoordinasi dengan PDAM Tirta Daroy dan Pemkab Aceh Besar dalam pengelolaan sampah untuk ditukar dan menjadi sarana pembayaran air, listrik dan pulsa, namun belum dapat terlaksana. “Semoga kedepan cita-cita itu dapat terealisasikan.” tambahnya. Berhenti Operasional Sementara Akhir 2019, dengan hati yang teramat berat, operasional GSA harus berhenti untuk sementara waktu sampai dengan saat ini, termasuk sedekah sampah, hanya sedekah uang yang masih berjalan namun dilakukan personal melalui transfer. Biaya operasional sedekah sampah yang cukup tinggi membuat GSA harus vakum untuk sementara waktu, terlebih memasuki pertengahan tahun 2020 kondisi perekonomian terus tergerus akibat pandemi Covid-19 walau statistik menunjukkan adanya penambahan jumlah sampah periode Maret – Mei sekitar 70 persen akibat ketergantungan terhadap delivery online sedangkan daur ulang sampah sedang menurun. Keyakinan untuk Berkembang Masih banyak rencana dan inovasi GSA kedepan, ketiadaan operasional dimanfaatkan untuk merumuskan inovasi program baru. Diantaranya membuat wisata sampah, hiasan rumahan dari botol, tabungan emas dan kurban lewat sampah. Harapan GSA untuk dapat berkolaborasi serta support dari pemerintah seperti bantuan operasional, tempat dan kendaraan. Terlebih, prestasi telah ditorehkan Pemkot Banda Aceh yang mendapat predikat sebagai Kota Terbaik Pengelolaan Sampah se-Indonesia versi Lokadata pada Juli 2020 dimana kota ini mampu mengolah 95 persen sampah setiap harinya dari seluruh sampah yang ada (210-225 ton/hari), perlu konsistensi penanganan yang baik dan sinergitas antara pemerintah dan masyarakat khususnya komunitas seperti GSA agar pengelolaanya dapat lebih bermanfaat untuk menuju Banda Aceh Bebas Sampah Tahun 2025. (Reza) Simak edisi cetak digital di laman: https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/