Dishub

Patiambang, Bandara di Negeri Seribu Bukit

PAGI itu, Rabu, 4 November 2020, indahnya pemandangan gunung dan bukit memanjakan setiap mata yang baru terbangun dari lelapnya tidur. Pegunungan dan perbukitan yang menjulang terselimuti awan yang begitu menawan. Itulah tanah Gayo, negeri yang terkenal dengan seribu bukit. Terbentang di antara pegunungan dan perbukitan pada ketinggian 850 MDPL, menuju daerah ini dengan transportasi darat lumayan menguras tenaga. Jalanan menanjak dan berbelok yang curam cukup menyulitkan akses ke daerah ini. Akibat akses melalui jalur darat begitu sulit, maka tak heran pada tahun 2008 Badan Rehabilitasi dan Rekonsiliasi (BRR) NAD-Nias membangun bandara yang saat itu masih berupa airstrip atau landasan pacu. Bandara ini rencananya akan berfungsi sebagai persiapan penanggulangan bencana di wilayah Gayo Lues. Namun, seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat untuk memanfaatkan moda transportasi udara, Pemerintah Kabupaten Gayo Lues melakukan pengembangan dengan membebaskan lahan di sekitar bandara. Pemkab Gayo Lues juga membangun sejumlah fasilitas seperti landasan pacu, apron, dan taxiway pada sisi udara. Sedangkan pada sisi darat, Pemkab Gayo Lues membangun terminal penumpang darurat, gedung PKP-PK, rumah tipe 45 sebanyak 2 Unit, dan peralatan komunikasi Air to Ground AFIS. Bandara ini memiliki runway hanya sepanjang 810 x 23 meter, praktis bandara ini hanya dapat menerima pendaratan pesawat Cessna atau sejenisnya. Pembangunan gedung-gedung operasional lainnya mulai berjalan pada tahun 2018 seperti gedung operasional tipe 36 (RN), gedung genset, kantor, dan gedung terminal melalui berbagai sumber anggaran termasuk Anggaran Pembangunan Belanja Aceh (APBA). Bandara Blangkejeren sempat beberapa kali mengalami pergantian nama, mulai dari bandara Seunubung, Blang Kejeren, hingga yang terakhir menjadi Bandara Patiambang. Penamaan Patiambang merujuk kepada nama kerajaan masa lalu yang ada di Gayo Lues. Sementara itu, menurut Wahyu, Kepala Satuan Pelaksana Bandara Patiambang, bandara tersebut masih terdaftar sebagai Bandara Blangkejeren sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 69 tahun 2013. Pada International Air Transport Association (IATA) atau Asosiasi Transportasi Udara Internasional, bandara ini juga masih terdaftar dengan three code of letter GYO. Saat ini Pemkab Gayo Lues sedang mengurus pergantian three code of letter bandara ini ke Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan RI. Bandara ini diserahkan ke Dirjen Perhubungan Udara pada tahun 2015. Sejak saat itu, bandara ini dikelola oleh Satuan Pelaksana Bandara Patiambang di bawah Unit Pelayanan Bandar Udara (UPBU) Bandara Rembele, Bener Meriah. Terkait layanan penerbangan, Wahyu menjelaskan bahwa bandara ini telah melayani penerbangan perintis sejak tahun 2015. Penerbangan perintis perdana kala itu melayani rute Medan – Gayo Lues dan Gayo Lues – Banda Aceh masing-masing 2 kali seminggu. Hingga saat ini bandara ini masih melayani kedua rute tersebut. Angin dan cuaca menjadi tantangan tersendiri bagi penerbangan di bandara ini. Kondisi cuaca dapat berubah setiap saat bahkan dalam hitungan menit. Oleh karena itu, Wahyu memastikan penerbangan dari dan ke bandara ini selesai sebelum pukul 14.00 WIB setiap harinya. Sebelum pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) melanda Indonesia, target load factor penerbangan perintis di bandara ini mencapai 70 persen dari yang ditetapkan oleh Dirjen Perhubungan Udara. Sejak pandemi load factor-nya turun ke 50 persen. Bahkan pernah menyentuh 12 persen saat Gayo Lues ditetapkan sebagai zona merah penyebaran virus. Selain itu, penerbangan perintis sempat berhenti pada 29-31 Mei 2020. Bandara Mempermudah Aksesibilitas Bandara Blang Kejeren atau dikenal Bandara Patiambang sangat membantu mempermudah akses transportasi masyarakat, baik untuk menuju ke Gayo Lues maupun keluar. Banyak masyarakat menggunakan jasa penerbangan perintis di bandara ini karena aksesnya yang cepat, biaya terjangkau, serta kemudahan interkoneksi dengan maskapai lain untuk penumpang transit, baik di Medan (Bandara Internasional Kualanamu) maupun di Banda Aceh (Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda). Masyarakat memanfaatkan jasa transportasi ini untuk tujuan yang beragam. Di antaranya untuk urusan kepemerintahan bagi para pegawai pada institusi pemerintah, kegiatan pendidikan bagi para mahasiswa maupun tenaga pengajar di kampus Universitas Syiah Kuala Gayo Lues, dan kunjungan pariwisata. Sebagai perbandingan, perjalanan Blangkejeren – Medan melalui jalur darat membutuhkan waktu lebih kurang 8 hingga 9 jam. Sementara itu, Blang Kejeren – Banda Aceh membutuhkan waktu selama 12 jam perjalanan. Sedangkan perjalanan udara Blang Kejeren–Medan hanya memerlukan waktu 60 menit, dan Blangkejeren – Banda Aceh selama 1 jam 15 menit. (Arrad)

Oemar Riskov: Sampai Kapan Pesepeda Jadi Minoritas di Jalan Raya?

PADA Senin (31/8/2020) Tim Aceh TRANSit berkesempatan untuk bertemu dengan seorang pegiat sepeda di Banda Aceh, Oemar Riskov. Pria kelahiran Manggeng, 31 Januari 1990 ini tergabung dalam beberapa komunitas sepeda di Banda Aceh dan Aceh seperti Gari Off Road (GOR), Koetaradja MTB, Road Bike Aceh (RBA) dan Goweser Aceh – Sumut (GAS). Perbincangan santai sambil menyeruput secangkir kopi ditengah suasana hujan lebat yang menguyur kota Banda Aceh ini tentu tak jauh-jauh dari sepeda. Berikut kutipannya Sejak kapan Oemar mulai tertarik bersepeda? Pertama kali mulai bersepeda itu di tahun 2015. Awalnya sebelum menekuni sebuah hobi saya melakukan riset, sebuah hobi yang tidak hanya bermanfaat bagi diri saya sendiri namun juga bagi lingkungan. Akhirnya pilihan saya jatuh kepada bersepeda, dengan pertimbangan sehat, mudah, murah, tanpa pajak, dan tentunya ramah lingkungan. Cerita paling menarik saat bersepeda Oemar? Pernah saat itu saat gowes santai ke daerah Mon Ceunong, Indrapuri, Aceh Besar. Saat itu memang baru saja hujan, kondisi jalan sangat basah dan licin. Ketika diturunan saya kehilangan kendali sepeda dan terjatuh. Syukur saja saat itu hanya cidera ringan, termasuk wajah saya sedikit terluka. Candaan teman-teman bahwa saya berhasil mendapatkan stempel Mon Ceunong. Sejak saat itu saat saya selalu memakai helm full face saat bersepeda off road. Himbauan Oemar ke sesama pesepeda Sebenarnya ini bukan himbauan, tapi kembali mengingatkan saja bahwa saat gowes di jalan raya kita harus mengikuti aturan yang berlaku, seperti berhenti di lampu lalu lintas, tidak menyeberang sembarangan dan tidak mengambil jalur pengguna jalan raya lain. Perlu diingat peseda bukanlah penguasa jalan raya, jalan raya adalah milik Bersama dari pejalan kaki hingga pengguna mobil, jadi mari hargai sesama pengguna jalan. Selanjutnya hindari konvoi ketika bersepeda. Hal ini sangat menggangu pengguna jalan yang lain dan membahayakan si peseda. Jalan raya bukanlah ruang tamu atau keude kupi dimana kita berbincang-bincang sesuka hati, pengguna jalan bukan hanya kita. Beberapa negara bahkan telah menerapkan peraturan untuk bersepeda dijalan raya seperti ruas jalan maksimal yang dapat digunakan iring-iringan peseda adalah 1,5 meter, jika melebihi batas tersebut maka akan dikenakan sanksi ataupun denda. Perlengkapan safety juga harus menjadi prioritas utama bagi para goweser, terutama helm. Beberapa komunitas bahkan sudah membuat peraturan bagi yang tidak mengenakan helm maka tidak boleh bergabung dengan acara-acara gowes rutin mereka. Apabila ingin bersepeda malam hari, selain helm juga harus memperhatikan peralatan safety lainnya seperti lampu belakang dan depan juga harus mengenakan pakaian yang berwarna terang agar dapat terlihat jelas bagi pengguna jalan yang lain. Harapan Oemar kepada para pengambil kebijakan? Mungkin yang menjadi catatan bahwa goweser dan pedestrian adalah minoritas dijalan raya. Hal ini harus mendapat perhatian dari pengambil kebijakan, terutama dalam penyediaan fasilitas yang membuat pesepeda merasa lebih aman dan nyaman saat bersepeda. Jalur-jalur speda yang ada difungsikan kembali selain juga penambahan jalur-jalur sepeda terutama di rute-rute favorit bagi pesepeda. Bagaimana Oemar melihat tren bersepeda yang terus meningkat ini? Saya melihat maraknya pesepeda di Indonesia terutama di Aceh ini sebagai sesuatu yang positif. Selain masyarakat yang mulai sadar akan pentingnya berolahraga juga memberikan dampak positif kepada lingkungan dengan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. Namun yang menjadi perhatian kita sebenarnya adalah bagaimana tren bersepeda ini tetap terjaga bahkan meningkat. Maka seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, perlunya peningkatan fasilitas-fasilitas bersepeda di wilayah Banda Aceh, jangan sampai nanti tren bersepeda ini menurun karena banyak yang merasa tidak aman dan nyaman lagi saat bersepeda. Apakah ada dampak positif dari tren bersepeda ini selain bagi pesepeda dan lingkungan? Tren bersepeda ini sebenarnya juga berpeluang meningkatkan potensi wisata Aceh. Pada tahun 2019 lalu, saya mengikuti acara Tour de Sinabung 2019 bersama 10 teman saya. Acara ini mampu menarik tiga ribu lebih peserta yang tidak hanya datang dari berbagai daerah di Indonesia tapi juga dari beberapa negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Acara yang yang berdurasi dua hari itu juga mempromosikan spot-spot wisata, hasil kerajinan tangan dan kuliner setempat. Melihat potensi alam yang dimiliki Aceh, saya sangat yakin kita bisa mengadakan event-event sepert Tour de Sinabung tersebut. Seperti di wilayah Banda Aceh juga dapat ditambah jalur-jalur sepeda ke spot-spot bersejarah, seperti museum tsunami, kapal PLTD Apung, Kapal di atas rumah dan sebagainya yang nantinya dapat kita promosikan tsunami cycling route atau rute napak tilas tsunami untuk menarik wisatawan. Ini masih merupakan raw idea atau ide mentah saja, semoga bisa menjadi masukan bagi pemangku kepentingan. Pengalaman Oemar yang tidak terlupakan saat bersepeda? Pengalaman yang tidak bisa saya lupakan itu adalah saat pertama kali mengikuti event Kebersamaan Avicenna Goweser Aceh – Sumut (KAGAS) di Bireuen. Pada saat itu di tengah jalan sepeda saya mengalami kerusakan, waktu itu saya sedikit kagok karena ini pengalaman pertama untuk saya. Saat itu semua peserta yang lewat pasti berhenti dan membantu saya, mereka memperbaiki sepeda saya sampai bisa dinaiki kembali. Saya bahkan tidak sedikitpun menyentuh sepeda saya. Saat itu saya sangat terharu ternyata rasa solidaritas sesama begitu besar. Ini pengalaman yang tidak bisa saya lupakan seumur hidup. (Arrad) Simak edisi cetak digital di laman: https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Hidup Tanpa Kemasan Plastik, Mungkinkah?

TAK ada lompatan besar tanpa lompatan kecil, kalimat inilah yang menjadikan dinas Perhubungan aceh terus menggali dan melakukan perubahan demi perubahan kecil untuk menuju perubahan besar. Meski dalam aktifitasnya Perhubungan yang berkaitan dengan transportasi menjadi penyumbang Co2 (emisi) terbesar selain pabrik – pabrik industri. Slogan menyelamatkan bumi makin hari semakin besar gaungnya, makin banyak aksinya walau dari apa yang telah rusak sulit untuk diperbaiki namun untuk menjaga masih memungkinkan. Selain Co2 mejadi penyumbang besar kerusakan lingkungan, sampah juga tidak bisa dilihat dengan sebelah mata dengan kondisi sampah yang tidak terurai puluhan bahkan ratusan tahun. Sebut saja plastik kemasan yang menjadi kantong primadona untuk penjual atau pembeli makanan dan minuman. Plastik menjadi solusi paling cepat dan mudah untuk membungkus sesuatu barang dengan ketahan panas dan anti basah sebagai pembungkus makanan dan minuman dibandingkan dengan kertas sulit diperolah dan lebih tidak tahan. Plastik menawarkan konsep yang sederhana dalam kebidupan sehari hari, mudah didapat, dapat di simpan Kembali dengan tidak membutuhkan tempat yang besar dan juga ringan serta tidak harus dibawa pulang Ketika sedang dalam melakukan perjalanan karena harganya yang murah dan mudah di dapat. Selain untuk pembungkus, tempat yang menggunakan bahan plastik lebih tahan ketika terjadi benturan dan keindahan warna serta bentuk yang ditawarkan oleh pemproduksi kemasan berbahan plastik. Sisi positif dari kemasan plastik selain kegunaannya juga mampu menciptkan model bisnis baru yakni dengan mendaur ulang Kembali menjadi kerjianan tangan atau dari sisa pakai miniman botol menjadi kebutuhan alat rumah tangga. Untuk dapat didaur ulang jika hasil dari produksi sampah kemasan ini terkelola dengan baik, pengguna yang bijak untuk membuang sampah pada tempatnya dan bahkan telah dapat dikelompokkan jenis sampah yang di hasilkan. Namun yang disyangkan dari total sampah yang dihasilkan tidak semuanya dapat dikelola dengan baik bahkan sebahagiannya berserakan tanpa peduli akibat yang dihasilkan dari sampah kemasan. Sampah selain merusak pandangan, lingkungan juga Kesehatan penggunaan yang berkepanjangan. Bahkan bukan saja lingkungan dan manusia yang dirugikan juga hewan khususunya biota laut yang menjadi korban selanjutnya dengan perinsip semua yang hanyut pasti akan berkahir dilaut belum lagi kita bicarakan smpah yang dihasilkan oleh penikmat laut itu sendiri. Dengan konsep mencoba menyelamatkan lingkungan, dinas Perhubungan yang sebelumnya telah berupaya menekan angka co2 dengan Angkatan massal trans-K untuk melayani publik kini dengan mencoba melakukan hal – hal kecil yang berdampak besar terutama tentang kesadaran dan bijak dalam menyelamatkan lingkungan dari unit terkecil yang langsung dirasakan dampak dari kebiajakan ini yaitu tidak lagi mengguakan kemasan botol yang diganti dengan tumbler dan plastik kemasan untuk makanan diganti dengan tempat makan pribadi selain kemasan plastik. Tak ada gading yang tak retak, tentu tak ada yang terus menjadi sempurna dalam setiap kebijakan terutama untuk menuju kepada hal yang lebih baik. Dari semua kebijakan itu pesan yang ingin disampaikan mulai peduli dengan lingkungan dan ramah dengan lingkungan paling minimal telah cerdas dalam menentukan sampah organnik dan non organic sehingga pelaksana kebersihan bisa malakukan langkah selanjutnya dengan lebih tepat dan efektif. (Fajar Muttaqin) Simak edisi cetak digital di laman: https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Agar Pulo Aceh Semakin Mudah Dijangkau

JARAKNYA lebih dekat dengan Banda Aceh ketimbang pusat ibukota Aceh Besar, Jantho. Itulah Pulo Aceh, kecamatan di Aceh Besar yang memiliki 17 gampong ini, adalah sekumpulan pulau besar dan kecil. Pulau terbesarnya adalah adalah Pulau Nasi dan Pulau Breuh yang menjadi pusat kecamatan. Untuk menuju Pulo Aceh, kita bisa menempuhnya melalui Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue Banda Aceh dengan menumpang KMP.Papuyu. Kapal motor ini mulai berlayar ke Pelabuhan Penyeberangan Lamteng yang terletak di Pulau Nasi sejak tahun 2012. Jarak lintasan 12 mil menghabiskan waktu selama 1,5 jam perjalanan. Jadwal berlayarnya setiap hari kecuali Selasa dan Jumat bergerak pada pukul 08.00 WIB dari Ulee Lheue dan pukul 10.00 dari Lamteng. Sebelumnya, pelayaran ke Pulo Aceh dilayani oleh KMP. Simeuleu yang berlayar perdana pada 30 Oktober 2008. Seperti halnya KMP. Papuyu, KMP. Simeulue juga merapat di Pelabuhan Lamteng Pulau Nasi. Pelabuhan ini dibangun oleh Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias pada tahun 2006 dan 2007. Seiring kebutuhan dan permintaan masyarakat, mulai 3 Juni 2020, KMP. Papuyu juga telah melayani rute Ulee Lheue menuju Seurapong yang terletak di Pulau Breueh. Jarak tempuhnya lebih jauh, yaitu 16 mil dengan masa tempuh 1,5 jam perjalanan. Berbeda dengan Pelabuhan Lamteng, status Pelabuhan Seurapong masih pelabuhan perintis berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 552.3/05/2020 Tentang Penetapan Lintas Penyeberangan Perintis Aceh. Jadwal berlayarnya hanya hari Kamis dan Sabtu bergerak pada pukul 07.00 WIB dari Ulee Lheue dan pukul 10.30 dari Seurapong/Ulee Paya. Tempat bersandarnya di ujung talud/breakwater dermaga perikanan Ulee Paya milik BPKS-Sabang. Maryam, warga Pulo Aceh sekaligus salah satu penumpang KMP. Papuyu yang ditemui Tim Aceh TRANSit di pagi Sabtu (8/8/2020), mengaku gembira dengan kehadiran KMP.Papuyu ke Seurapong/Ulee Paya. Ia mengaku lebih nyaman menggunakan kapal yang dikelola pihak ASDP Ferry Indonesia Cabang Banda Aceh itu. “Biasanya kan pakai boat. Kebetulan pulangnya Sabtu dan ada jadwal kapal. Dari segi harga saya lebih memilih KMP.Papuyu karena lebih murah, juga lebih nyaman,” ujarnya. Selain Maryam, mayoritas penumpang KMP. Papuyu adalah pedagang yang dalam seminggu dapat beberapa kali bolak-balik Ulee Lheue menuju Pulo Aceh, menggunakan mobil maupun sepeda motor. KMP. Papuyu mampu menampung 105 penumpang dan memuat 8 unit kendaraan dengan 2 unit kendaraan kecil dan 6 unit bis/truk ukuran sedang. Hanya saja, karena fasilitas pelabuhan yang berada di kawasan terumbu karang, maka pelayaran KMP. Papuyu ke dua pelabuhan ini sangat tergantung cuaca, pasang surut air laut, serta arah angin di kawasan ini. Terkait pasang surut air laut, ini menjadi masalah utama. Kendangkalan dermaga pelabuhan menjadi penentu mudah tidaknya kapal bersandar. Oleh karena itu, jadwal kapal pun tak ayal bergantung pasangnya air laut. Hal ini seperti yang disebut Nahkoda KMP. Papuyu, Capt. Syaiful Akmal. Ia mengungkapkan bahwa sebenarnya Pulo Breueh ini belum layak untuk didatangi kapal penumpang. Karena kelayakan seperti dermaga dan tempat tambat talinya, semuanya belum tersedia. Jika masuk ke pelabuhan ini sangat riskan, sebab lokasi pelabuhan sekarang sangat tergantung pasang surut air laut. “Kalau air rendah kita gak berani masuk, karena banyak karang di sini,” sebutnya. Keberadaan terumbu karang di dua pelabuhan ini menjadi dilema tersendiri. Di satu sisi, keindahan terumbu karang menjadi nilai destinasi wisata. Di sisi lainnya, terumbu karang ini menghalangi jalur masuk kapal penumpang ketika air surut dangkal. Perihal ini, Kepala Bidang Tata Lingkungan dan Pengendalian Pencemaran Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, Joni, S.T., M.T., mengungkapkan hal menarik. Terkait dengan perizinan lingkungan dapat dilakukan pengerukan bila secara tata ruang laut dapat merekomendasikan rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dapat dilaksanakan. Nanti dokumen lingkungan yang harus disusun berdasarkan Permen LHK No. P.38/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2019 Tentang Jenis dan Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Di antaranya jenis Amdal karena berada pada kawasan lindung dan/atau berbatasan langsung dengan Kawasan Lindung. “Jadi dari aspek rekomendasi atau perizinan lingkungan hidup, kegiatan dapat dilaksanakan sepanjang secara rekomendasi tata ruang terpenuhi,” ungkap Joni. Sementara itu, informasi yang dihimpun dari Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh menyebut Pelabuhan Penyeberangan Lamteng termasuk dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Aceh. Zonasi ini tercantum dalam Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2020. Kawasan ini dapat digunakan sebagai kawasan pemanfaatan umum. Salah satunya adalah pemanfaatan zona pelabuhan. Tak terkecuali memuat Pelabuhan Lamteng sebagai pelabuhan pengumpan lokal. (Muarif) Simak edisi cetak digital di laman: https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Bersedekah Lewat Sampah, Kita Bisa

ALAM telah memberikan semua yang dibutuhkan manusia, sudah selayaknya kita memberikan yang terbaik untuk kelestariannya. Apakah kita telah melakukannya? Data dari World Economic Forum 2017, lebih dari 620 ribu ton sampah plastik mencemari lautan Indonesia yang disebabkan oleh pengelolaan sampah kurang tepat diantaranya dilakukan oleh rumah tangga dan bisnis kecil dimana 78 persen sampah plastik rumahan dibakar dekat rumah, 12 persen dibuang ke aliran air, 10 persen dikubur yang akhirnya sampai ke laut. Fakta itu tentu bukan hal yang baik, bukanlah yang alam inginkan sebagai balas budi kita untuknya. Perlu penanganan yang lebih konkret dalam pengelolaan sampah, kelestarian lingkungan adalah tujuan utamanya. Bagaikan mutiara di lautan lepas, Tim Aceh TRANSit menyadari masih adanya masyarakat yang aware dengan pelestarian lingkungan dan pengelolaan sampah, setelah lama menelusuri kami akhirnya berkesempatan untuk bertemu Abdul Halim, founder Gerakan Sedekah Aceh (instagram: @gerakan_sedekah_aceh). Berawal dari Sedekah Uang Gerakan Sedekah Aceh (GSA) merupakan sebuah komunitas non-profit yang terbentuk di awal tahun 2017, terinspirasi dari gerakan serupa di daerah lain, founder dan beberapa relawan mencoba memulai gerakan sedekah uang yang dikumpulkan setiap bulannya minimal Rp 10.000,-. Setelah berjalan hampir 2 tahun, awal tahun 2019 GSA mencoba membuat program sedekah yang lebih peduli lingkungan dengan cara bersedekah lewat sampah, “Apabila sampah kita buang sah saja. Tetapi, kalau kita simpan dan kita jual akan bernilai, Alhamdulillah responnya luar biasa sampai kewalahan” ujarnya. Menjemput Sampah Kerumah Warga Tiap akhir pekan, sebagian dari 12 orang relawan GSA yang mayoritas merupakan mahasiswa ini berkeliling Banda Aceh dan Aceh Besar menyambangi rumah warga yang telah menghubungi GSA melalui Instagram maupun WhatsApp untuk mengambil sampah menggunakan mobil bak terbuka yang telah disewa. Setelahnya sampah tadi dikumpulkan di gudang yang GSA sewa di daerah Tungkop untuk disortir menurut jenisnya seperti plastik, air minum dalam kemasan, botol plastik, kardus, kertas, alumunium dan besi. Kemudian sampah tadi dijual ke distributor/ pengepul tiap sebulan sekali. Uang dari penjualan sampah lalu disedekahkan kepada masyarakat fakir miskin, anak yatim/ piatu, panti asuhan, pesantren dan lainnya. Secara khusus tidak ada target tertentu yang harus terkumpul, “Daripada sampah itu dibuang, dibakar maupun ditimbun akhirnya merusak lingkungan, lebih baik dimanfaatkan dengan lebih bijak.” imbuhnya. Bersinergi dengan Sekolah dan Pemerintah Sebagai langkah mencapai tujuan mulia, GSA melebarkan sayapnya melalui kerja sama dengan sekolah-sekolah untuk bersedekah lewat sampah dengan cara penyedian tong sampah khusus yang nantinya akan dijemput oleh relawan kemudian dijual dan hasilnya akan disedekahkan dimana 50 persen hasil penjualan diserahkan ke sekolah untuk dikelola sedekahnya secara mandiri dan 50 persen lagi dikelola oleh GSA untuk diberikan kepada mereka yang membutuhkan, sejauh ini sudah ada 1 SD dan 2 SMP di Banda Aceh yang telah bekerja sama. Selain itu, GSA telah berkoordinasi dengan PDAM Tirta Daroy dan Pemkab Aceh Besar dalam pengelolaan sampah untuk ditukar dan menjadi sarana pembayaran air, listrik dan pulsa, namun belum dapat terlaksana. “Semoga kedepan cita-cita itu dapat terealisasikan.” tambahnya. Berhenti Operasional Sementara Akhir 2019, dengan hati yang teramat berat, operasional GSA harus berhenti untuk sementara waktu sampai dengan saat ini, termasuk sedekah sampah, hanya sedekah uang yang masih berjalan namun dilakukan personal melalui transfer. Biaya operasional sedekah sampah yang cukup tinggi membuat GSA harus vakum untuk sementara waktu, terlebih memasuki pertengahan tahun 2020 kondisi perekonomian terus tergerus akibat pandemi Covid-19 walau statistik menunjukkan adanya penambahan jumlah sampah periode Maret – Mei sekitar 70 persen akibat ketergantungan terhadap delivery online sedangkan daur ulang sampah sedang menurun. Keyakinan untuk Berkembang Masih banyak rencana dan inovasi GSA kedepan, ketiadaan operasional dimanfaatkan untuk merumuskan inovasi program baru. Diantaranya membuat wisata sampah, hiasan rumahan dari botol, tabungan emas dan kurban lewat sampah. Harapan GSA untuk dapat berkolaborasi serta support dari pemerintah seperti bantuan operasional, tempat dan kendaraan. Terlebih, prestasi telah ditorehkan Pemkot Banda Aceh yang mendapat predikat sebagai Kota Terbaik Pengelolaan Sampah se-Indonesia versi Lokadata pada Juli 2020 dimana kota ini mampu mengolah 95 persen sampah setiap harinya dari seluruh sampah yang ada (210-225 ton/hari), perlu konsistensi penanganan yang baik dan sinergitas antara pemerintah dan masyarakat khususnya komunitas seperti GSA agar pengelolaanya dapat lebih bermanfaat untuk menuju Banda Aceh Bebas Sampah Tahun 2025. (Reza) Simak edisi cetak digital di laman: https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Upaya Kurangi Emisi Terhalang Tangan Jahil

SEBAGAI salah satu instansi pemerintahan yang mengurusi bidang perhubungan atau yang lebih sering disebut ‘transportasi’, Dinas Perhubungan Aceh bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan yang handal, berdaya saing, serta bernilai tambah dan berkelanjutan terhadap sistem transportasi yang ada di Aceh. Pelayanan ini tentu juga harus berjalan beriringan dengan upaya kestabilan lingkungan. Sehingga dampak yang dihasilkan oleh aktivitas perpindahan manusia dapat dikendalikan. Baiklah, kembali lagi pada topik pembahasan kita, pengurangan emisi kendaraan, apa yang bisa dilakukan Dishub Aceh? Sumber energi panas yang melimpah ruah di daerah tropis seperti Indonesia merupakan sebuah keniscayaan yang tiada tara. Pemanfaatan Tata Surya ini dapat memenuhi sebagian kebutuhan listrik sehari-hari dan sebagai sumber penggerak bagi kendaraan bermotor. Di samping itu, Pemerintah Aceh, khususnya Dinas Perhubungan (Dishub) Aceh, juga berinisiasi dalam gerakan pengurangan emisi dengan memanfaatkan sumber energi tata surya. Suplai listrik yang ada di halte Trans Koetaradja, adalah salah satu langkah kecil yang telah Dishub Aceh lakukan. Sehingga, kebutuhan listrik di halte tak memerlukan suplai dari Perusahaan Listrik Negara (PLN), atau dengan kata lain menjadi halte yang mandiri. Namun, ada kegundahan hati lain yang membuat tangan terpaksa menepuk jidat. Faktanya, banyak baterai panel surya yang dicuri dan berpindah ‘entah kemana’ ia menghilang. Akibatnya, halte yang diupayakan dapat mandiri, kini kembali harus mengampu tongkat dan menengadah tangan pada ‘bujet’ daerah. Apakah harus seperti ini cara kita memberi penghargaan bagi Tanoh Rencong ini? Seperti ini pula kita memaksa Tanoh Keunebah Indatu untuk bangkit dan berjuang sendiri menjadi ‘bebas’ dan makmur? Kalau bukan penduduk kita sendiri, siapa lagi? Semestinya, pertanyaan-pertanyaan itu mampu membuat kita berpikir dan memperbaiki perilaku ini. Kita tau bersama bahwa gas buang dari kendaraan bermotor merupakan donatur utama dalam penumpukan emisi di atmosfir, sehingga terjadinya perubahan iklim serta fenomena alam yang kian ‘di luar nalar’. Tak dapat dipungkiri juga, penggunaan kendaraan bermotor ini memang sebuah transportasi yang cepat dan efektif dalam menunjang aktivitas sehari-hari. Sebuah data mencatat, jika satu unit mobil menghasilkan emisi sebesar 0,27 kg Co2 setiap kilometer (km), maka dapat dibayangkan jika delapan belas unit mobil menyumbang 9,45 kg Co2 per km. Nah, hal ini jika disepelekan akan menjadi bumerang bagi penduduk bumi. Angka di atas akan terus meningkat seiiring jumlah pertumbuhan kendaraan. Faktor inilah yang mendorong Dishub untuk melakukan pengujian kendaraan bermotor. Pengecekan ini dilakukan secara keseluruhan baik uji awal maupun uji mekanik kendaraan tersebut. Dalam uji mekanik ini terdapat uji emisi gas buang. Uji ini wajib dilakukan oleh angkutan umum maupun angkutan barang setiap enam bulan sekali. Peralihan dari kendaraan pribadi ke angkutan umum dapat menekan angka penggunaan bahan bakar fosil seperti solar dan bahan bakar minyak (BBM) lainnya. Faktanya, satu bus dengan muatan sebesar 70 orang dapat mengurangi 35 (tiga pulih lima) unit mobil dengan masing-masing penumpang diprediksikan sebanyak 2 orang. Salah satu cara sederhana yang telah digaungkan oleh Dishub Aceh saat ini dengan beralih pada angkutan umum, Trans Koetaradja yang hadir sebagai salah satu solusi mengurangi emisi gas rumah kaca. Ditinjau dari fakta yang ada di jalanan perkotaan Banda Aceh, jumlah kendaraan pribadi baik roda dua maupun roda empat semakin meningkat. Hal ini justru akan mempertebal emisi di atmosfir. Dunia ini tak akan kembali baik-baik saja jika kita selaku penduduk bumi masih menyepelekan kondisi ‘kesehatannya’. Beban yang kian berat ia tampung, tak jua membuka mata hati kita untuk berbuat sedikit penghargaan baginya? Karena sebuah program tidak akan berhasil jika tidak bersama-sama berangkulan tangan untuk menyelesaikan problema tersebut untuk sebuah solusi yang tepat. (Syakirah) Simak edisi cetak digital di laman: https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Berbagi Fasilitas Sesama Pengguna Jalan

PEMBANGUNAN jalur sepeda menjadi simbol dari pembagian ruang jalan, menunjukkan bahwa ada pengguna ruang jalan lain selain mobil dan motor. Pembagian ruang ini sangat penting, terlebih ketika kota mau menjadikan pesepeda yang merupakan pengguna jalan rentan, menjadi prioritas di ruang jalan. Berkendara di ruang jalan dimana terdapat perbedaan kecepatan kendaraan yang signifikan, dapat menjadi ancaman bagi pesepeda. Oleh karena itu, jalur khusus sepeda harus menjadi prioritas pembangunan demi keselamatan pesepeda. Di banyak negara, jalur sepeda selain dapat menurunkan angka kecelakaan pesepeda, juga dapat meningkatkan jumlah pesepeda.  Sebagai contoh, Kota Fortaleza memiliki 257,5 km jalur sepeda pada 2019, meningkat 280% semenjak 2013. Didukung pengadaan bike sharing, Fortaleza kini memiliki 1,242 sepeda dan 2,6 juta perjalanan dengan sepeda dan kenaikan pengguna sepeda hingga 153%, disertai dengan penurunan jumlah kecelakaan lalu lintas hingga 40%. Disamping itu, jalur sepeda yang didesain tepat guna juga berpotensi untuk melayani perjalanan pendek (kurang dari 5 km) yang saat ini didominasi oleh motor. Tentunya, untuk mencapai manfaat maksimal jalur sepeda, harus dibarengi dengan perencanaan jalur sepeda yang mengutamakan keamanan dan kenyamanan bagi para pesepeda rutin dan calon pesepeda. Jalur sepeda yang aman akan meningkatkan kepercayaan diri bersepeda yang berimbas pada kehadiran pesepeda-pesepeda baru, termasuk pesepeda anak-anak.   Seiring dengan bertambahnya pengguna sepeda di Kota Banda Aceh, maka Pemerintah Kota Banda Aceh telah membangun beberapa jalur khusus sepeda di sepanjang jalur protokol dalam Kota Banda Aceh. Ini merupakan salah satu langkah mewujudkan Kota Banda Aceh sebagai green city (kota hijau). Berkaitan dengan sosialisasi Kota Hijau, Pemerintah Kota Banda Aceh terus memacu program-program penghijauan, di samping terus berusaha menambah Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk mencapai 30 persen. Kota hijau adalah metafora dari kota yang berkelanjutan yang meliputi 8 (delapan) atribut yaitu untuk mewujudkan: perencanaan dan pencanangan kota yang ramah lingkungan dan memiliki ketersediaan ruang terbuka hijau, konsumsi energi yang efisien serta pengelolaan air yang efektif. Disamping itu juga memiliki pengelolaan limbah dengan prinsip 3R (Reduce, Recuse dan Recycle). Untuk mewujudkan kota hijau tersebut, salah satu program yang dijalankan oleh Pemko Banda Aceh adalah membuka akses bagi pengguna sepeda di beberapa ruas jalan protokol dalam Kota Banda Aceh. Akan tetapi, pembangunan jalur sepeda di beberapa ruas jalan tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Bahkan ada jalur sepeda yang digunakan sebagai lahan parkir kendaraan dan area perdagangan. Mulai dari Simpang Surabaya di Jalan T. Imum Lueng Bata, selain menjadi tempat berjualan, ruas jalan tersebut juga berubah menjadi tempat parkir bagi pengendara sepeda motor, mobil, bahkan becak. Tak hanya itu, pengendara motor nakal juga menggunakan ruas jalan ini untuk jalur pintas. Selain itu, salah satu hal yang mengkhawatirkan dari kegiatan bersepeda yaitu jaminan keselamatan yang relatif lemah. Karena jika terjadi kecelakaan dengan kendaraan bermotor pengguna sepeda lebih berpeluang menerima resiko. Permasalahan tersebut mengakibatkan terganggunya kenyamanan dan keamanan bagi pengguna jalur sepeda dan dikhawatirkan konsep menuju kota hijau tidak akan tercapai. Seperti yang diutarakan oleh salah satu komunitas pesepeda RDC (Roda Dua Cycling), Fautama, bahwa “sebenarnya kondisi jalur yang ada masih cukup baik, hanya markanya saja yang sudah mulai hilang di beberapa ruas jalan, dan ada beberapa jalur sepeda sudah disalahgunakan oleh pedagang kaki lima”. “Untuk ke depannya agar lebih diperioritaskan penambahan pada ruas jalan protokol, sehingga para pesepeda aman dan nyaman dalam bersepeda, termasuk penghijauan dan beberapa fasilitas rest area/parkir khusus dan pendukung lainnya serta diharapkan ada kebijakan khusus sehingga sepeda bisa menjadi alternatif alat transportasi,” imbuhnya. Belum Aman dan Nyaman Jalur sepeda di beberapa ruas jalan protokol dalam Kota Banda Aceh tersebut tergolong masih kurang memberikan rasa nyaman dan aman bagi pesepeda. Hal ini terjadi karena permukaan jalur tersebut masih memberikan getaran bagi pesepeda, marka jalur sepeda yang tertimpa oleh marka lajur lalu lintas, jalur yang tertutup oleh ranting pohon dan sampah serta banyak kendaraan parkir dan pedagang kaki lima. Rencana Pemerintah Kota Banda Aceh terhadap jalur sepeda di masa yang akan datang yaitu masyarakat dapat menggunakan sepeda sebagai transportasi jarak dekat dan melanjutkan perjalanan dengan menggunakan Trans Kutaraja sehingga Kota Banda Aceh dapat terwujud menjadi kota hijau. Dalam rangka memfungsikan kembali jalur sepeda sehingga dapat terwujudnya kota hijau, maka pihak Dinas Perhubungan akan mengambil tidakan terhadap kendaraan bermotor yang parkir pada jalur sepeda. Perlu segera dilakukan penertiban parkir dan pedagang pada jalur sepeda, dengan cara memasang rambu-rambu lalu lintas dengan simbol gambar sepeda yang bertulisan wajib untuk lalu lintas bersepeda serta dengan meberikan sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya. Sanksi yang akan diberikan berdasarkan Peraturan Wali Kota Banda Aceh Nomor 26 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pelaksanaan Penguncian Roda Kendaraan Bermotor yang Melanggar Rambu Lalu Lintas dalam Wilayah Kota Banda Aceh. Selain itu Pemkot Banda Aceh dapat melibatkan komunitas sepeda untuk kegiatan-kegiatan pengelolaan RTH (Ruang Terbuka Hijau) dan penyewaan sepeda (bike sharing). (Dewi) Simak edisi cetak digital di laman: https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Historikal Mobil Listrik

*”Tertinggal di Masa Lalu, Harapan bagi Masa Depan” Oleh Muhajir, S.T., & Imam Prasetyo, S.Si (ASN Dinas Perhubungan Aceh) PEMANFAATAN mobil listrik akhir-akhir ini menjadi pilihan otomotif di beberapa negara dan para profesional. Di kalangan public figure, Bill Gates, membeli mobil listrik pertamanya awal 2020, pendiri Microsoft ini memilih sedan Porsche Taycan seharga USD 185.000. Mobil listrik yang digadang-gadang sebagai moda transportasi ramah lingkungan sebenarnya bukanlah suatu penemuan baru, kendaraan berenergi baterai ini sudah diperkenalkan sejak tahun 1832 oleh Robert Anderson. Berselang tiga tahun, Thomas Davenport juga memperkenalkan konsep mobil listrik pertama di Amerika Serikat yang dilengkapi dua elektromagnet dan poros. Namun energi penggerak kedua mobil listrik tersebut masih berupa baterai sekali pakai (non-rechargeable). Transformasi moda transportasi darat dimulai seiring terjadinya revolusi industri di Eropa, ditandai dengan penemuan mesin uap oleh James Watt pada tahun 1776. Inovasi terus berkembang, seperti penemuan mobil tenaga uap pada tahun 1801 yang dikembangkan oleh seorang ilmuwan berkebangsaan Perancis bernama Cugnot. Perkembangan ilmu pengetahuan dan temuan-temuan ilmiah terus menstimulasi transformasi moda transportasi, seperti penemuan baterai oleh Alessandro Volta pada tahun 1800. Dua puluh tahun kemudian, Hans Christian Oersted menemukan pembangkit medan magnetik dari arus listrik, berlanjut dengan penemuan elektromagnet oleh William Sturgeon. Penemuan-penemuan di atas mendasari penemuan mobil listrik oleh Robert Anderson dan Thomas Davenport. Harapan besar terhadap mobil listrik pada masa lalu dimulai akhir abad ke-19, yaitu saat Gaston Plante seorang fisikawan Perancis, menemukan rechargeable lead-acid battery yang memungkinkan pengisian ulang baterai. Pamor mobil listrik saat itu terekam dari penampilannya pada ajang-ajang international bergengsi. Tahun 1881, insinyur Perancis Gustave Trouve berhasil menampilkan mobil listrik tiga roda miliknya pada International Exposition of Electricity di Paris. Chicago World’s Fair tahun 1890 juga memamerkan mobil listrik William Morrison. Tren positif ini juga ditandai dengan kehadirannya sebagai taksi listrik di kota New York, yang diproduksi oleh perusahaan mobil listrik pertama yaitu Morris & Salom Electric Carriage and Wagon Company. Selanjutnya, mobil listrik turut diproduksi beberapa produsen lainnya, seperti Woods Motor Vehicle Company of Chicago, Elwell-Parker asal Inggris, serta Jeantaud dari Perancis. Mobil listrik pada era tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1912, dimana lebih 30.000 unit beroperasi di Amerika Serikat dan 4.000 unit di Eropa. Namun Tim Swhwanen, Seorang Profesor Transportasi di Universitas Oxford menyebutkan periode 1880-1912 merupakan era keemasan mobil listrik dan sekaligus sebagai awal mula kompetisi dengan mobil konvensional berbahan bakar minyak. Mobil konvensional berkembang pesat sejak awal kemunculannya pada tahun 1886. Meski tertinggal lebih dari 50 tahun, mobil konvensional mampu mengalahkan penjualan mobil listrik sejak awal abad ke-20, hal ini didukung oleh kemudahan sumber energi dan perkembangan teknologi mesin pembakaran dalam (internal combustion engine). Kebalikannya terjadi pada teknologi mobil listrik, sehingga perlahan mobil listrik mulai ditinggalkan. Faktor kalah saingnya mobil listrik sebenarnya terletak pada disparitas harga produk, dimana mobil konvensional dijual dua kali lebih murah. Di lain sisi, perkembangan mobil konvensional didukung juga eksplorasi besar-besaran minyak bumi serta meningkatnya kebutuhan jangkauan transportasi. Infrastruktur jalan yang lebih baik dan penemuan beberapa kilang minyak baru seperti Kilang Minyak Texas mengakibatkan pasar mobil konvensional semakin diminati, sehingga memantik produsen otomotif melakukan produksi massal. Produksi massal pertama dilakukan Oldsmobil dan Ford Motor Company pada tahun 1902. Pada akhirnya, mobil listrik yang sempat berjaya sampai awal abad ke-20 perlahan menghilang sejak tahun 1920 dan berhenti berproduksi sepenuhnya pada tahun 1935. Lebih dari 30 tahun setelahnya mobil listrik benar-benar ditinggalkan, bahkan seakan hanya akan diingat sebagai sejarah saja. Harapan bagi mobil listrik hadir kembali pada tahun 1970, saat diberlakukannya embargo minyak oleh negara-negara teluk yang berakibat melambungnya harga minyak dunia. Seiring krisis energi fosil tersebut, persoalan lingkungan sebagai dampak penggunaan bahan bakar fosil juga mulai dibicarakan pada forum-forum lingkungan hidup, salah satunya Konferensi Stockholm tahun 1972 di Swedia. General Motors, perusahaan multinasional yang bermarkas di Detroit, Amerika Serikat melirik peluang tersebut dengan mengembangkan prototipe mobil listrik dan dipamerkan pada even Low Pollution Power Systems Development Symposium. Disusul produsen mobil Sebring-Vanguard yang memproduksi 2.300 unit mobil listrik bernama Citicars, hal ini membuat mobil listrik kembali populer di Amerika Serikat. Di Era Modern, General Motors memproduksi mobil listrik pertamanya yang diberi nama EV1 pada tahun 1996, namun mobil berjenis sedan yang diproduksi sebanyak 1.117 unit ini hanya bertahan selama 6 tahun. Produksi EV1 dihentikan oleh General Motor tanpa informasi yang jelas, kisah EV1 ini kemudian diabadikan dalam sebuah film dokumenter berjudul “Who Killed the Electric Car?” yang dibintangi oleh Tom Hanks dan Mel Gibson. Ekspektasi akan lompatan teknologi mobil listrik kembali hadir pada tahun 2006, saat sebuah start-up Amerika Serikat bernama Tesla Motors memproduksi mobil listrik mewah bernama Tesla Roadster yang mampu menempuh jarak 200 mil atau 320 Km dalam sekali pengisian. Produsen mobil lainnya seperti Porsche, Chevrolet, Jaguar, dan Volkswagen kemudian mengikuti jejak Tesla Motors. Tumbuhnya minat terhadap mobil listrik tergambar melalui tren peningkatan produksi sejak tahun 2011. EV Sales Database menyebutkan penjualan mobil listik tahun 2019 mencapai 2.264.400 unit atau meningkat tiga kali lipat dari tahun 2015. Peluang mobil listrik saat ini juga didukung oleh besarnya animo global untuk menghadirkan kendaraan berenergi alternatif yang ramah lingkungan sebagai upaya mitigasi dari penggunaan energi fosil yang kian mengkhawatirkan. Dampak lingkungan berupa emisi karbon atau yang kemudian dikenal sebagai emisi Gas Rumah Kaca (GRK) khususnya dari sektor transportasi darat sangat dirasakan dalam dua dekade terakhir, terutama di kota-kota besar dunia seperti Kota Guangzhou, Seoul, dan New York. Peningkatan suhu rata-rata global di bumi sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar secara dominan diakibatkan oleh aktivitas transportasi dan industri yang menghasilkan emisi gas di udara seperti unsur CO2 (Karbon Dioksida), N2O (Dinitrogen Oksida), dan CH4 (Metana). Merespon kekhawatiran global tersebut, tahun 2016 konferensi PBB tentang Perubahan Iklim diadakan di Paris yang kemudian dikenal sebagai The Paris Agreement. Konferensi ini menghasilkan beberapa kesepakatan seperti komitmen menekan kenaikan suhu sampai dibawah 1,5o-2o celcius, melakukan pembatasan emisi karbon dengan melakukan aksi-aksi nyata, serta tujuan jangka panjang untuk mencapai zero emission. Pada tahun 2007, forum serupa juga diselenggarakan di Bali, yang menghasilkan komitmen berbagai negara dalam menurunkan emisi GRK, menghentikan perdagangan karbon yang semakin kuat, serta komitmen untuk mengupayakan alternatif energi ramah lingkungan. Pemerintah Indonesia secara konsisten mengambil peran strategis dalam

Memanfaatkan Dana CSR pada Infrastruktur Transportasi Publik

Di sela aktivitasnya yang begitu padat, siang itu (Rabu, 2 September 2020) Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, MT., menyempatkan diri meninjau halte permanen Trans Koetaradja yang berlokasi di Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar. Mengenakan kemeja putih rapi, Nova melihat langsung halte baru yang dibangun menggunakan dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari PT. Bank Aceh Syariah. Pembangunan halte, sebagai fasilitas publik yang mendukung operasional bus Trans Koetaradja, bukan kali pertama dilakukan oleh Bank Aceh. Sebelumnya, Bank Aceh juga pernah melakukan hal serupa berkontribusi dalam pembangunan halte yang berlokasi di Lamnyong, Banda Aceh. Nova, yang kala itu didampingi oleh Kadishub Aceh, Junaidi, ST., MT., menyampaikan, partisipasi swasta dalam pembangunan daerah sangat membantu pemerintah dan masyarakat. “Pelibatan pihak swasta dalam pembangunan fasilitas publik akan berdampak langsung bagi masyarakat. Namun perlu ada koordinasi agar program yang dijalankan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat banyak,” ujarnya. Harapan orang nomor satu di Aceh ini memang benar adanya. Dengan hadirnya Trans Koetaradja di area Bandara SIM memberikan pilihan moda transportasi alternatif bagi masyarakat ketika berada di bandara. Namun sebelum adanya halte permanen ini, masyarakat yang ingin menaiki bus Trans Koetaradja belum terlayani dengan baik. Kini masyarakat dapat menikmati suasana halte yang nyaman, dan koridor penghubung yang mudah diakses baik bagi yang baru tiba di terminal kedatangan bandara atau yang ingin berangkat. “Pemerintah Aceh mengapresiasi keterlibatan Bank Aceh dalam pembangunan daerah. Semoga halte ini dapat mendukung aktivitas masyarakat baik yang baru tiba di Aceh maupun yang akan berangkat,” harap Nova. Tanggung Jawab Sosial Keterlibatan Bank Aceh dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dan pembangunan daerah merupakan perwujudan tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Kegiatan sosial Bank Aceh merupakan refleksi keterlibatan perusahaan sebagai sebuah lembaga keuangan yang hidup dari dan untuk masyarakat, hubungan antara bank dengan masyarakat, serta lingkungan operasional bank sepatutnya dapat terbangun secara saling menguntungkan. Oleh karenanya, Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan satu kesatuan dalam perwujudan kinerja Bank Aceh yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakatb banyak. CSR Bank Aceh memiliki 2 program yaitu program bina lingkungan yang didalamnya meliputi keagamaan, pendidikan, pariwisata, kesehatan dan lain-lain yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan dan sarana prasarana umum seperti halnya transportasi. Melalui wawancara daring, Sayed Zainal Abidin, Pemimpin Divisi Sekretariat Perusahaan Bank Aceh menyatakan, Bank Aceh selalu mendukung program-program yang tujuannya untuk dapat dinikmati oleh masyarakat banyak seperti sektor transportasi. Karena layanan transportasi memang sangat dibutuhkan oleh seluruh lapisan masyarakat dalam menunjang aktifitasnya sehari-hari. “Kami berharap dengan CSR Bank Aceh, kami bisa terus memberikan yang terbaik bagi masyarakat terutama pada bidang layanan transportasi. Semoga dengan layanan transportasi, khususnya di Aceh, bisa terus lebih baik dan memberikan kemudahan bagi masyarakat yang memanfaatkannya,” ujar Sayed. Dirinya menambahkan, bantuan yang telah disalurkan merupakan salah satu bentuk dukungan Bank Aceh pula kepada Pemerintah Aceh dalam membangun Aceh lebih baik khususnya dibidang transportasi. “Mengingat Bandara SIM sebagai salah satu pintu masuk menuju Aceh dan dalam kondisi normal begitu banyaknya para pendatang, kita berharap agar kedepannya hubungan antara Dishub Aceh dan Bank Aceh dapat semakin erat lagi, sebagai mitra yang saling mendukung di antaranya dalam mempromosikan Aceh,” harap Sayed di akhir wawancara daring. (Amsal) Simak edisi cetak digital di laman: https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Rumah Kaca

IRAK sebagai daratan yang subur mengukir lahirnya peradaban sejak berabad-abad yang lalu, dijuluki negeri one thousand and one nights termasyhur sebagai salah satu pusat keilmuan dunia, Kota Bagdad telah mencatat banyak ilmuwan ternama dan manuskrip di berbagai disiplin ilmu. “Alkisah” pada Tahun 1927, Irak memberi perubahan paradigma pada peradaban modern, dalam sebuah pengeboran, minyak bumi menyembur ke langit dan dalam seketika mengubah segalanya. sebuah Research Unit for Polotical Economy menyampaikan bahwa Penemuan minyak dengan cadangan terbesar mencapai triliunan barrel, seperti kemudian terjadi di semua negara penghasil minyak bumi, muncul sengketa yang mengarah pada hasrat menguasai sumber energi, karena menguasai energi berarti menguasai dunia. Dengan keyakinan sebagai sebuah energi baru dan paling menguntungkan, minyak bumi terus dieksplorasi dan menjadi “main power” untuk merajai pelosok belahan bumi. Banyak kalangan menyimpulkan pandangannya, bahwa tanpa minyak akan menghentikan keberlangsungan kehidupan. Bukan tentang materil yang melimpah, namun bagaimana energi ini mampu memenuhi hasrat dan pengakuan akan keakuan manusia. Setiap tetesan minyak yang dibakar untuk mejalankan mobil, pesawat terbang dan produksi alat transportasi lainnya telah mempermudah pergerakan manusia dalam mempersingkat waktu dan mendekatkan jarak perjalanan, Tentu hal inilah yang mendorong hasrat dunia untuk menjadi ‘penguasa energi’. Tak heran semua cara akan ditempuh untuk merebut energi bahkan dari si-empunya, baik dengan cara halus maupun terang-terangan seperti perang, langkah yang mengubah manusia seharusnya santun menjadi beringas. Kota Bagdad menjadi porak poranda setelah pernyataan perang oleh Amerika di tahun 2003, dikabarkan ada perusahaan spesialis perminyakan yang kemudian ikut mendukung menyiapkan logistik perang. Wartawan senior Los Angeles Times, Christian Miller, dalam buku Blood Money menggambarkan bagaimana pengorbanan nyawa dan uang dalam mengejar keserakahan dan kita bertanya tentang perebutan lumbung minyak sebegai sumber energi. Investigasi yang dilakukan oleh Miller menguak fakta gamblang betapa semburan minyak Irak telah menghilangkan “perikemanusiaan” para penguasa ambisi. Ribuan barel minyak per hari membuka lebar pupil mata mereka untuk terus bertikai. Tak dapat dipungkiri ekplorasi minyak bumi telah menyumbang gemerlapnya kehidupan manusia, akan tetapi penggunaan yang berlebihan telah menyebabkan kehidupan terperangkap dengan teknologi yang telah ‘booming’ dan berbondong-bondong untuk menggunakannya. Penggunaan ini tanpa berpikir apa efek yang akan berdampak pada masa mendatang? Seakan mempengaruhi asa pada asas dasar ‘perekonomian’. Penggunaan energi fosil ini sebagai salah satunya. Hari ini, panas yang ada di dalam bumi layaknya rumah kaca terus terperangkap oleh selimut tebal akibat emisi yang semakin meningkat dalam atmosfir. Panas ini menciptakan pergeseran siklus iklim semakin tak beraturan dan mencairkan es kutub enam kali lebih cepat dari tahun 1990-an. Sekitar 28 Triliun Ton es bumi telah mencair dalam kurun 1994-2017 setara dengan lapisan es setinggi 200 meter menutupi seluruh daratan di Pulau Jawa, Madura dan Bali. Sumber terbesar emisi gas rumah kaca adalah pembakaran bahan bakar fosil yang berlebihan digunakan pada pengoperasian sarana transportasi saat ini. Berdasarkan data yang dipublikasi oleh United States Environmental Protection Agency (EPA) bahwa transportasi menyumbang dua puluh delapan persen emisi Gas Rumah Kaca dalam kurun tiga dasawarsa terakhir. Apakah angka ini cukup berarti untuk mengubah perilaku kita atau akan membiarkan kerusakan yang semakin besar? Apa yang kita lakukan di kota kita untuk mengurangi emisi ini? Atau kita sedang menunggu waktu hingga kita tidak bisa bernafas lagi secara bebas karena kandungan udara yang semakin berbahaya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat fenomena alam yang kian memperburuk kondisi bumi khususnya dalam sektor transportasi dalam mengurangi emisi adalah dengan energi terbarukan, mesin penggerak yang berbahan bakar fossil seperti solar, bensin dan sebagainya dapat dialihkan dengan energi terbarukan seperti kendaraan dengan penggerak listrik menjadi sebuah alternatif yang dapat diinisiasikan dalam penurunan emisi gas rumah kaca. Energi Listrik yang disuplai pun dapat dihasilkan dari panas bumi, matahari (energi solar) atau angin yang belum digunakan secara optimal. Sumber energi panas matahari dan angin di daerah tropis seperti Indonesia merupakan suatu keniscayaan. Faktanya, sumber energi panas matahari dan angin tak akan ada habisnya jika digunakan. Dapat dibayangkan seberapa besar kedua potensi ini terbuang dan diacuhkan begitu saja? Jika saja sumber ini dimanfaatkan secara optimal maka “kemandirian energi” bukan lagi sekedar angan-angan. Dan satu hal yang terpenting, sampai saat ini belum ada gelagat keharusan ‘berperang’ untuk menguasainya. Saat ini bumi sedang “sesak” dengan pasokan emisi yang terus menerus. Oleh karena itu, mengurangi emisi berarti mengembalikan waktu bagi bumi untuk menjaga harmoni siang dan malam. Memang, selimut emisi di atmosfir susah untuk dihilangkan. Kerusakan yang telah terjadi tentu tak dapat ditarik kembali. Layaknya, minyak penyebab porak porandanya negeri seribu satu malam yang subur tidak membuat negeri manapun menjadi makmur, hanya membekas duka. Instrospeksi dari sebuah kekalahan layaknya berkaca pada syair “Bahkan malam gelap akan berakhir, matahari akan bersinar lagi. Kamu mencari harta selama hidupmu. tetapi, kamulah sebenarnya harta itu” dari Penyair ternama Jalaluddin Rumi yang pernah singgah di kota Bagdad dalam usia mudanya, semoga menjadi sebuah melodi hidup untuk menjaga keselarasan antara bumi dan penghuninya.  (Junaidi Ali) Simak edisi cetak digital di laman: