Dishub

Qin Shi Huang

Lebih dari lima abad sebelum masehi, saat daratan Tiongkok mengalami “pertikaian” antar suku, pengakuan kekuatan dan kekuasaan diukur sejauh mana ia telah memenangkan pertempuran. Jutaan prajurit dihatur dengan taktik “secerdik” mungkin untuk menggelabui hingga melemahkan pertahanan musuh. Segala upaya, taktik dan strategi dilakukan Penuh “obsesi” untuk memenangkan pertempuran. Terkisah dalam sejarah Cina, seorang kaisar yang “takut dengan kekalahan” maka dia mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Ia memutuskan membangun sebuah benteng untuk menghambat gerak musuh-musuhnya. Dialah Qin Shi Huang, penggagas untuk dibangunnya The Great Wall of China. Tembok Besar Cina ini dibangun bertujuan untuk menahan serangan dari bangsa-bangsa di utara tembok yang ingin menguasai Tiongkok. Tujuan lainnya juga untuk pengawasan barang yang melewati jalur sutra serta mengawasi perdagangan dan mengontrol proses imigrasi. Dalam buku Borders and Border Politics in a Globalizing World yang diedit oleh Paul Gangster dan David E. Lorey tercantum sebuah tulisan berjudul “The Great Wall of China” karya Cheng Dalin disebut sejak dimulai pembangunan Tembok Besar Cina sekitar lima ratus tahun sebelum masehi, konstruksi ini baru selesai lebih dari dua puluh kekaisaran setelah kaisar Qin Shi Huang dengan rentang waktu lebih dari dua ribu tahun. Pekerja yang membangun tembok itu sebagian besar terdiri dari para prajurit dan narapidana. Tidak terbayangkan berapa jumlah korban selama pembangunannya. Tak boleh dilupakan, sejarah membuktikan bahwa peperangan dapat dimenangkan dengan memperkuat perbatasan, dengan konsentrasi kekuatan pada wilayah perbatasan akan menutup gerak musuh untuk menyerang dan melumpuhkan kekuatan yang kita miliki. Menguasai perbatasan tentu harus dilakukan dengan perhitungan yang matang dan mengakomodir kebutuhan jangka panjang. Pada zaman moderen saat ini, “garis batas” berfungsi dalam konteks yang fleksibel, bukan seperti benteng pada perang ratusan tahun lalu. Di sini, ia punya andil memutus mata rantai “serangan” yang dibawa dari luar, yang bertujuan menjaga “pola dan struktur” pemanfaatan ruang untuk pertumbuhan ekonomi dalam mengejar kesejahteraan dan tidak memberi celah di perbatasan sehingga menyebabkan terganggunya stabilitas wilayah dari ancaman luar. Regulasi yang mengatur pemanfaatan ruang di perbatasan terdapat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Tahun 2013 – 2033 yang diabsahkan dalam Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 dengan tegas mengarahkan bahwa jalur jalan arteri primer yang melintasi perbatasan Aceh di Aceh Tamiang, Subulussalam, Aceh Tenggara dan Aceh Singkil dilengkapi zona peristirahatan (rest area) dengan konsep terpadu (one stop service). Tata ruang Aceh telah mengatur sedemikian jelas dan tegas. Menyediakan infrastruktur perbatasan belum memenangkan “pertikaian” dengan kepentingan-kepentingan politis lainnya. Seharusnya, titah ini menjadi prioritas yang harus diriset lebih detail dan dikerjakan lebih awal. Memang, ini adalah kekurangan yang selalu kita ulangi, tanpa prioritas dan terjebak pada “kepentingan sementara”. Sebab argumen untuk membela kepentingan yang dikemukakan dan diberikan keabsahannya berulang kali, dengan cara yang sistematis dan akurat, tak memberi peluang untuk dipertahankan. Realitas jadi tak penting dan diremehkan, Bagaimana kesiapan perbatasan pada saat ancaman musuh sudah di depan mata? Akhirnya, terjebak saling menghatur kata serapah. “Kepentingan bersama” yang diabsahkan dalam lembaran hukum diyakini itu tidak pernah ada, jadi buat apa dijalani? sebuah kata berang namun fakta adanya. Maka, menolak ide tanpa pertimbangan menjadi sebuah “mandat kekaisaran” yang diagungkan. Yang terpegang teguh adalah sebuah ide yang “gampang” diakali dengan dasar kebebasan dan perlindungan yang adil, suatu sistem yang harus dipelihara : sistem yang menadahi semua ide yang “relevansi” dengan maksud yang menerima pergumulan yang terus-menerus antara pelbagai kepentingan. Konflik dan pertikaian abadi adalah kepentingan. Bahkan, ada “usulan” untuk menutupi kebutuhan perbatasan yang dideklarasikan bertahun-tahun. kata mereka pula serempak itu perencanaan yang terlalu “mubazir”, ketika sekarang kita harus berperang di perbatasan dengan segala kekurangan maka si penggagas menggerutu. Jika saja, dulu direalisasikan mungkin sekarang kita tidak “kewalahan” sehingga menghilangkan rasa “takut akan kalah” menghadapi ancaman ini. Dan lihatlah, kita seharusnya telah mempersiapkan perbatasan jauh-jauh hari, seperti kebijakan “keberlanjutan” Kaisar Qin Shi Huang yang masih dianut oleh dinasti setelahnya. Faktanya, pos-pos perbatasan gampang dibobol musuh dan infrastrukturnya tidak mampu menyangga serangan. Namun sekarang peperangan melawan ancaman yang tidak kasat mata atau bencana non alam, lebih licik menembus perbatasan. Dia juga menumbuhkan keresahan pada planet Bumi kita yang satu, yang indah, tapi yang mudah cedera. Akhirnya, prajurit di lapangan “nekad” menjalani tugas dengan fasilitas seadanya. Meringkuk jika dingin, mengibas-ngibas jika kepanasan. Jauh dari “aman” yang seharusnya, apalagi “nyaman” yang didambakan. Jauh sekali dari pengharapan, benak juga tak lagi mampu untuk mengeluh. Apa yang dimulai oleh Qin Shi Huang diteruskan oleh generasi berikutnya dan menjadi sebuah hal yang fenomenal dalam catatan sejarah. Dengan segala kekurangan dan akibat yang ditimbulkan tidak menyurutkan “obsesi” kaisar Qin dalam memproteksi wilayah kekuasaannya. Perbatasan yang ia gagas dan pertahankan dulu telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai situs warisan dunia pada tahun 1987 dan bernilai dalam jangka panjang hingga saat ini. Kontruksi ini juga diakui sebagai salah satu prestasi arsitektur paling mengesankan dalam sejarah manusia, dan ternyata tembok ini adalah satu-satunya struktur buatan manusia yang terliat dari luar angkasa. (Junaidi Ali) Cek tulisan cetak versi digital di laman : https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

Menguji Hasrat: Kita Tidak Siap dengan “Larangan Mudik”

Mudik, suatu tradisi yang selalu ada tiap tahun terlebih menjelang Idul Fitri. Banyak orang di perantauan memilih dan telah mempersiapkan untuk mudik walau hanya sekedar hajat merayakan lebaran bersama sanak famili di kampung halamannya. Namun ada dilema yang berkata lain kali ini, ada instruksi tegas yang melarang mudik, pasalnya ini menjadi sebuah “malapetaka” bagi yang tercinta. Saat peraturan “dilarang mudik” dikeluarkan oleh pemerintah, disitulah mulai terjadi kelonjakan orang-orang yang mudik, dikarenakan mereka berfikir kalau nanti tidak akan bisa pulang lagi. Tetapi kenyataannya, masih banyak orang yang tidak memperdulikan larangan itu, mereka berpikir tetap harus mudik dan berlebaran di kampung halaman. Realita mengilustrasikan mereka yang mudik lebih banyak berasal dari wilayah terjangkit Covid-19 seperti Jakarta, Surabaya dan wilayah lainnya. Putusan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) juga telah diterapkan pada wilayah tersebut sesuai amanat dalam aturan turunan dari Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25 Tahun 2020. Aturan ini sungguhlah jelas dan tegas, dikatakan lagi, sanksi-sanksi yang diberlakukan jika melanggar aturan tersebut. Aturan ini memuat ketentuan teknis mengenai operasional di semua layanan moda transportasi, baik angkutan darat, laut, kereta api, maupun pesawat terbang. Larangan ini menjadi polemik besar dalam masyarakat, kepanikan dan keresahan memicu “adrenalin” masyarakat untuk berjibaku dengan aturan ini. Ide-ide “kreatif “ muncul menghiasi ranah transportasi dalam mengakali cara untuk pulang kampung. Ada yang menyamar menjadi petugas kesehatan bahkan ada yang bersembunyi di truk-truk logistik agar sampai ke tanah kelahiran. Ironis, Banyak akal “somplak” yang jadi tontonan kali ini.   Larangan tersebut dikecualikan untuk angkutan logistik atau barang kebutuhan pokok dan kendaraan pengangkut obat-obatan, serta kendaraan pengangkut petugas, kendaraan pemadam kebakaran, ambulans dan juga mobil jenazah. Terkait dengan pemberian sanksi bagi pelanggar larangan mudik, pada tahap awal penerapannya pemerintah akan mengedepankan cara-cara persuasif. Tahap pertama yaitu pada tanggal 24 April hingga 07 Mei 2020 yang melanggar akan diarahkan untuk Kembali ke asal perjalanan. Pada tahap ke dua, yaitu 07 Mei sampai dengan 31 Mei 2020 atau sampai berakhirnya peraturan, yang melanggar selain diminta Kembali ke asal perjalanan juga akan dikenai sanksi sesuai perundang-undangan yang berlaku Namun, yang menjadi dilema saat ini adalah masih minimnya rest area di tempat chek point yang diaktifkan sebagai posko penangkalan Covid-19. Sebenarnya di Aceh masih steril terhadap corona, tapi juga tidak dapat disepelekan, karena ada pembawa yang nekad dari wilayah terjangkit. Bahkan, masih ada jalan tikus yang digunakan untuk menerobos agar sampai ke tempat tujuan. Khususnya Aceh, Untuk mengantisipasi dan mencegah masuknya Covid-19 tersebut telah dibangun posko perbatasan Aceh yang berbatasan dengan Sumatera Utara itu berada di empat titik. Keempat lokasi itu, yakni di Aceh Tamiang, Kota Subulussalam, Aceh Singkil, dan Aceh Tenggara. Namun, masih ada masyarakat yang enggan memberi tahu asal tujuan, karena takut dicurigai dan dihadang untuk tidak pulang ke kampung. Prediksi dari kekhawatiran ini, keluar masuk mobil angkutan umum dan kendaraan pribadi antar kedua daerah ini semakin meningkat. Tentu hal ini karena menjelang Idul Fitri 1441 Hijriah. Pemeriksaan itu semakin ketat dalam beberapa hari terakhir ini. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah juga telah jauh-jauh hari sudah melarang warga mudik, apalagi bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang sudah diatur sanksinya. Aceh memang belum memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), namun bisa berupaya dengan memperketat perbatasan dan tidak melakukan mudik terlebih dulu. memang berat, karena kebiasaan sebuah “larangan” adalah pelanggaran dan menguji hasrat untuk terus melawan arus. Tapi, apa salahnya kita membuktikan cinta pada tanah kelahiran dan penghuninya dengan mematuhi larangan mudik pada masa ini. (Dewi) Cek tulisan cetak versi digital di laman :

Bagaimana Aceh Menghadapi Bencana?

Awal 2020 dunia dikagetkan dengan penyebaran Covid-19. Setelah World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi, karena telah menyebar ke lebih dari 200 negara di dunia termasuk Indonesia. Hal ini menjadikan Indonesia berada dalam kondisi status keadaan darurat. Aceh sebagai provinsi paling barat Sumatera terus melakukan persiapan untuk melawan penyebaran Covid-19. Juru Bicara Gugus Tugas Covid-19 Aceh, Saifullah Abdul Gani, menyampaikan per Minggu (17/5/2020) pukul 15.00 WIB jumlah kasus positif Covid-19 di Aceh terdapat 17 kasus. Dibandingkan provinsi-provinsi lain, data ini tidaklah terlalu memprihatinkan. Akan tetapi, Pemerintah Aceh pastinya tidak tinggal diam dalam melaksanakan upaya-upaya untuk meminimalisir penyebaran Covid-19, dimulai dari memperketat pintu masuk ke Aceh seperti bandar udara, pelabuhan dan melalui perbatasan. Perbatasan menjadi gerbang terdepan yang harus di “kawal ketat” dengan penguatan tim percepatan penanganan pandemi ini. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah bericara tentang langkah yang mesti diambil oleh punggawa dalam mengatasi kondisi saat ini. Dipertegas dalam hirarki dibawahnya, Keputusan Presiden No. 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) memberi komando bagi Pemerintah Daerah dalam wilayah kewenangannya untuk membentuk tim percepatan yang secara tersirat juga menginstruksikan untuk merapatkan barisan di perbatasan. Barisan yang membentengi pintu masuk pastinya membutuhkan daya dukung yang optimal, baik dari infrastruktur, sumber daya manusia (SDM) maupun fasilitas dukung lainnya, merupakan “kebutuhan mutlak”. Ada kebutuhan yang harus di-cover dengan kolaborasi dan sinergi antar pihak agar tujuan bersama dapat dicapai. Tujuan bersama ini tentulah sebuah “keharusan” dalam melindungi wilayah dan masyarakat dari ancaman manapun. Melihat kondisi yang terjadi saat ini, koordinasi dengan multisektoral menjadi sebuah pondasi utama dalam menyangga “hajat” dunia untuk memberantas Covid-19 perlu diperluas dan diperkuat. Kesigapan, profesionalitas, dan kerelawanan ‘para prajurit’ kesehatan harus ditopang oleh setiap kalangan, termasuk masyarakat yang memegang “saham” besar dalam konteks ini dalam kesiapsiagaan. Tentu pelaksanaan kesiapsiagaan ini tak semudah membalikkan telapak tangan, banyak aral terjang yang perlu diterobos terlebih kondisi geografis Aceh yang dikelilingi dengan pegunungan, hutan serta kepulauan menjadi tantangan tersendiri, perlu “usaha lebih” untuk sekedar menjangkau jengkal demi jengkal keseluruhan wilayah Aceh. Selain itu kondisi cuaca yang kadang tak menentu juga menjadi tantangan lainnya. Kondisi geografis tentu bukanlah satu-satunya “tantangan”, ada rintangan lain yang perlu dikhawatirkan saat berperang melawan pandemi ini seperti kekurangannya “pasokan senjata” dan rencana “strategi jitu” yang harus dijejal setiap inci pergerakan yang akan diambil. dari segi kebutuhan persediaan senjata seperti alat pelindung diri (APD), infrastruktur, dan kesiapsiagaan pelayanan. Usaha dan ketersediaan “bahan baku” ini tentu memerlukan penyikapan lebih lanjut. Apakah ini hanya sebatas kewenangan saja? tentu tidak. Selain kewenangan, “ada keharusan masyarakat untuk peduli dan ambil bagian” untuk sama-sama menggergaji mata rantai pandemi ini agar dunia kembali “baik-baik” saja. Selain beberapa dilema tadi, masalah baru timbul akibat pandemi yang tak kunjung berakhir ditengah suasana ramadan dan lebaran ini. Masyarakat dibuat seakan kembali “dipaksa” untuk tetap merayakan di kediamannya masing-masing (#LebaranDiRumahAja). Tentu bukan hal yang berat bagi mereka yang tinggal dengan keluarga tercinta, tetapi menjadi beban tersendiri bagi mereka yang hidupnya merantau jauh dari keluarga. Realita ini mengharuskan kita untuk tetap mematuhi anjuran pemerintah untuk “memaksa dan membatasi” segala aktivitas dan keseharian kita sebagai warga masyarakat. Kita diharapkan bisa melakukan pertahanan diri dengan menjaga jarak satu sama lain (physical distancing) serta melalui pengurangan aktivitas sosial (social distancing). Ketika ‘social distancing’ apalagi ‘physical distancing’ tak diindahkan, itu sama artinya kita sengaja mengundang Covid-19 untuk datang menyerang. Bagaimana jika kedepannya kondisi ini semakin parah? Permasalahan penanganan pandemi tak kunjung berakhir? Hal ini tentu semakin menyulitkan Pemerintah Aceh, tinggal bagaimana kita sanggup untuk menaati setiap hal yang menjadi kebijakan dari pemerintah. (Rahmi) Cek tulisan cetak versi digital di laman : https://dishub.acehprov.go.id/publikasi-data/aceh-transit/tabloid-transit/

ASN Dishub Aceh Sumbang 128 Kantong Darah

Banda Aceh, Selasa (14/7), Aparatur Sipil Negara (ASN) Dinas Perhubungan (Dishub) Aceh bersama awak bus Trans Koetaradja mengikuti kegiatan donor darah di kantor Dishub Aceh. Asisten III Sekda Aceh, Drs. Bukhari, MM, didampingi pejabat Biro Isra Sekda Aceh, memantau langsung pelaksanaan donor darah. Dalam kegiatan ini Dishub Aceh menargetkan 30 kantong darah terkumpul sebagaimana sesuai dengan arahan dari Sekda Aceh. Kadishub Aceh, Junaidi juga ikut memantau kegiatan ini dan menyampaikan hari ini (14/7) Dishub Aceh dapat melebihi target sebanyak 47 kantong darah. Dari 78 ASN yang mendaftar pada donor darah tahap kedua ini, 47 orang berhasil mendonor dan 31 orang gagal karena alasan kesehatan. Diberitakan sebelumnya, sejak pandemi Covid-19, persediaan darah di PMI kian menipis akibat masyarakat khawatir terpapar wabah saat mendonorkan darahnya. Menyikapi kebutuhan suplai darah di PMI dan himbauan Plt Gubernur Aceh, pegawai di lingkungan Dinas Perhubungan (Dishub) Aceh melakukan donor darah yang dihelat di lobi utama Kantor Dishub Aceh, Jumat (12/06). Dari 179 pendonor hanya 81 orang yang berhasil melakukan donor darah, selebihnya tidak berhasil mendonor dengan alasan kesehatan. Selain pejabat struktural, PNS, dan tenaga kontrak, sopir dan pramugara Trans Koetaradja juga begitu antusias mendonorkan darahnya. Diharapkan kegiatan ini mampu memenuhi kebutuhan darah bagi pasien yang membutuhkan. Donor darah dilaksanakan sesuai protokol kesehatan dengan memperhatikan kebersihan tangan dan melalui seleksi donor yg ketat dan menjaga jarak satu dengan yg lainnya. Dari dua donor darah ini, Dishub Aceh menyumbang 128 kantong darah yang sangat berguna di masa-masa pandemic Covid-19. Kegiatan donor darah juga rutin dilakukan di Dishub Aceh, terkhusus dalam rangka menyambut Hari Perhubungan Nasional (Harhubnas) setiap tahunnya. (AM)

BELAJAR KOMUNIKASI PUBLIK BERSAMA WIRA RISMAN

Digital kini telah menjadi kebutuhan sekaligus kekuatan dalam menyajikan informasi yang kredibel. Penyajian informasi dan publikasi menjadi salah satu kiat agar kinerja pemerintah dapat diketahui oleh masyarakat. Sehingga masyarakat memperoleh informasi yang utuh dan berimbang terkait kebijakan dan program-program pemerintah yang telah dilaksanakan. Untuk menghasilkan kualitas publikasi yang baik dan bermutu, Dishub Aceh selenggarakan coaching clinic sekaligus silaturrahmi bersama Wiratmadinata (Staf khusus Gubernur Aceh) dan Risman Rachman (Penasehat khusus Gubernur Aceh) di Aula Dishub Aceh, Banda Aceh, Selasa, 30 Juni 2020. Wiratmadinata berbagi pengetahuan dan pengalamannya serta pendekatan penggunaan jaringan telekomunikasi yang bersifat konstruktif pada ranah komunikasi publik dan kehumasan. Pada kesempatan yang sama, Wira juga mengajak Aparatur Sipil Negara (ASN) Dishub Aceh untuk ikut berpartisipasi dalam mempublikasikan kebijakan dan program-program Pemerintah Aceh khususnya pada instansi masing-masing. “Jika semua ASN bersatu padu dalam menyajikan informasi yang bersifat transparan dan jelas, sungguh ini akan menjadi sebuah bumerang yang baik dalam memajukan Aceh, cukup lima puluh persen saja, ini akan menjadi gebrakan yang brilian,” ujarnya penuh semangat di tengah diskusi ini. Jubir yang telah malang melintang di dunia jurnalistik ini juga menyampaikan pentingnya meningkatkan kuantitas dan kualitas komunikasi kerja Pemerintah Aceh di tengah serbuan informasi yang berlimpah, termasuk serbuan hoax. “Sekarang jamannya tsunami informasi, semua tersaji luas dengan akses yang begitu mudah, seluruh aktifitas setiap menitnya tercatat secara algoritma di mesin pencari, apalagi yang membuat kita tidak mempergunakannya dengan tepat?,” lanjutnya lagi dengan mata berbinar penuh antusias. Risman Rachman, yang turut berbagi pengetahuan dan pengalamannya dalam coaching clinic, menyampaikan bahwa publikasi yang berkualitas adalah publikasi yang mampu menarik perhatian pembaca. “Orang yang membuat konten dikalahkan oleh orang yang membuat perhatian, perhatian adalah kekuatan, konten adalah kunci,” sebutnya. Sebelum coaching, keduanya menyempatkan diri untuk mengunjungi Innovation Center Room (ICR) yang berada di lantai 2 kantor Dishub Aceh. ICR merupakan ruang dimana ASN Dishub Aceh melahirkan inovasi baru dan menjadi dapur produksi setiap publikasi.

Evaluasi Jembatan Penyeberangan Orang di Banda Aceh

Fasilitas bagi pejalan kaki, termasuk fasilitas penyeberangan, harus memperhatikan keselamatan, keamanan, kemudahan, kelancaran, kenyamanan, keterpaduan sistem, dan daya tarik. Ketujuh indikator tersebut saling berhubungan, sehingga perubahan salah satu indikator akan mempengaruhi faktor yang lain. Di Kota Banda Aceh sejak beberapa tahun yang lalu sudah tersedia fasilitas jembatan penyeberangan di beberapa titik. Mahasiswa Universitas Syiah Kuala melakukan kajian yang bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap fasilitas jembatan penyeberangan orang dari segi kemanfaatan dan rancangan dengan melakukan analisis kondisi fisik jembatan penyeberangan baik konstruksi bangunan dan lokasi, serta mengkaji tingkat keamanan, kenyamanan dan keselamatan pengguna dari jembatan penyeberangan tersebut di beberapa lokasi yang berbeda. Kajian lengkapnya dapat dilihat pada : https://dishub.acehprov.go.id/download/evaluasi-jembatan-penyeberangan-orang-jpo-di-kota-banda-aceh/

Pendaftaran Calon Taruna Dimulai Hari Ini, Berikut Alurnya

Alur Pendaftaran Seleksi Calon Taruna Jalur Reguler Pola Pembibitan 2020 Note : Poktekpel Malahayati mendapat kepercayaan untuk menerima Program Reguler (Pola Pembibitan) Tahun 2020 untuk jurusan : 1. Nautika (24 orang) 2. Permesinan Kapal (TEKNIKA) (24 orang) 3. Kelistrikan Kapal (ETO) (24 orang) *gambar by Poltekpel Malahayati

PENERIMAAN CALON TARUNA/TARUNI JALUR REGULER POLA PEMBIBITAN PADA PERGURUAN TINGGI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERHUBUNGAN TAHUN AKADEMIK 2020/2021

Kementerian Perhubungan mengundang Putra Putri Terbaik Indonesia lulusan SLTA sederajat untuk mengikuti Seleksi Penerimaan Calon Taruna/Taruni Pola Pembibitan Kemenhub dan Pola Pembibitan Pemerintah Daerah. PENGUMUMAN SELENGKAPNYA DAPAT DIUNDUH DI SINI

Terapkan New Normal, Dishub Diapresiasi Asisten II Pemerintah Aceh

Dinas Perhubungan (Dishub) Aceh mendapatkan apresiasi terkait penerapan tatanan baru atau New Normal di lingkungan perkantoran. Hal ini disampaikan Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Pemerintah Aceh, T. Ahmad Dadek, saat kunjungan ke Dishub Aceh Rabu (3/6/2020). Kunjungan ini guna memastikan program BEREH (Bersih-Rapi-Estetik-Hijau) dan penerapan New Normal telah berjalan di kantor ini. Apresiasi ini tentunya dikarenakan Dishub Aceh telah menerapkan protokol kesehatan dan menghadirkan berbagai inovasi. Apresiasi ini meliputi tersedianya wastafel di lobi kantor, pengecekan suhu tubuh kepada semua ASN/tamu dan dilanjutkan pengisian kartu kewaspadaan kesehatan, pengaturan jarak 1 meter di front office maupun di ruang kantor. Selain itu, di pintu masuk kantor Dishub Aceh juga telah memasang stiker himbauan New Normal dan pesan lainnya di baliho, spanduk serta TV Signage yang tersedia. Sementara itu, Dadek juga menyarankan agar di front office Dishub Aceh memasang pembatas shield plastic. Hal ini demi menciptakan kenyamanan bagi tamu maupun staf yang bertugas. (MR)

Pengabdian, Kebanggaan, dan Keresahan bersama Barisan Posko Perbatasan

  BAKTI NYATA INSAN PERHUBUNGAN Oleh : Muhajir, ST   Penyambutan tahun baru 2020 sudah dipersiapkan dengan gegap gempita di berbagai belahan dunia, hampir semua penduduk bumi menyusun suatu resolusi sebagai wujud cita-cita dan pengharapan pada tahun yang diprediksi sebagai tahun dengan kemajuan teknologi dan perekonomian yang akan melaju dengan pesat. Namun “in the last day at 2019” dunia dikejutkan dengan munculnya virus corona jenis baru di Wuhan – China yaitu SARS-CoV-2 yang kemudian menyebar begitu cepat dan massif hingga Pemerintah China melakukan total lockdown untuk satu kota tersebut. Hingga akhir April 2020 atau dalam kurun waktu 4 (empat) bulan saja sejak kasus pertama diumumkan, World Health Organization (WHO) telah melaporkan konfirmasi kasus positif Coronavirus disease (Covid-19) lebih dari 3 juta jiwa di lebih dari 200 negara atau wilayah teritori termasuk Indonesia, dengan tingkat kematian secara global mencapai 18%. Begitu cepat dan luasnya cakupan jumlah orang dan wilayah yang terpapar virus ini hingga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tanggal 11 Maret 2020 secara resmi menyatakan virus corona (COVID-19) sebagai Global Pandemic, serta memberi alarm pada otoritas/pemerintah semua negara di dunia untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan mempersiapkan langkah-langkah konkrit dan detail pencegahan maupun penanganan wabah. Secara klinis WHO mengingatkan bahwa proses penyebaran virus ini dapat terjadi dari manusia ke manusia dengan sangat sederhana dan cepat, yaitu melalui droplet/cairan yang keluar terutama ketika seseorang yang sudah terinfeksi mengalami bersin atau batuk. Penyebaran virus Corona ini tidak hanya terjadi lewat kontak jarak dekat yaitu melalui jabatan tangan, berciuman, berpelukan atau aktivitas lain yang melibatkan sentuhan langsung dengan orang yang telah terinfeksi, namun seseorang juga berpeluang terinfeksi jika bersentuhan dengan permukaan benda yang telah terpapar. Terkonfirmasinya kasus Coronavirus disease (Covid-19) pertama di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020 mendorong Pemerintah melakukan berbagai upaya preventif untuk mencegah semakin meluas dan meningkatnya jumlah kasus. Berbagai kebijakan dan tindakan diambil secara cermat dan terukur, dimulai ketika Presiden membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 7 Tahun 2020 yang diterbitkan pada 13 Maret 2020, dengan Kepala BNPB sebagai Ketua. Selanjutnya gugus tugas ini juga dibentuk di tingkat provinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor: 440/2622/SJ tentang Pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Daerah. Semakin meningkatnya jumlah korban jiwa dan kerugian materil, meluasnya cakupan wilayah yang terkena bencana, serta implikasi yang ditimbulkan pada semua aspek kehidupan masyarakat, perekonomian, dan pelayanan pemerintahan, dan sektor lainnya di seluruh wilayah Indonesia mendorong Pemerintah menetapkan wabah virus corona (Covid-19) sebagai bencana nasional sebagaimana tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Covid-19 Sebagai Bencana Nasional. Sampai medio Mei 2020 ini, Pandemi Covid-19 terus meluas dan berdampak secara signifikan sebagai efek domino yang negatif pada berbagai sektor seperti pemerintahan, kesehatan, pendidikan, sosial, industri, perdagangan, jasa dan kegiatan lainnya. Hal ini disebabkan oleh pemberlakuan beberapa keputusan dan kebijakan penting terutama terkait pemberlakuan protokol Kesehatan dan pembatasan pergerakan/mobilitas orang dalam upaya penanganan dan pecegahan terus meluasnya penyebaran pandemic Covid-19 di Indonesia. Dalam hal pengendalian pergerakan, berbagai kebijakan strategis sektor transportasi lahir secara dinamis dan diputuskan dengan prinsip kehati-hatian dengan membertimbangkan berbagai dampak terhadap sektor lain, terutama kestabilan ekonomi, logistik, sosial-keamanan, layanan Kesehatan dan emergency, termasuk kegiatan-kegiatan terkait penanganan pandemic itu sendiri. Kebijakan tersebut antara lain berupa pembatasan jumlah dan pengaturan penumpang dalam angkutan umum, serta kebijakan-kebijakan operasional lainnya. Pemerintah Indonesia menetapkan Status Tanggap Darurat Bencana Covid-19 ini sampai dengan 29 Mei 2020 dan berlaku secara nasional. Keputusan ini juga diikuti dengan penerapan status PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di beberapa wilayah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Pemberlakuan status tersebut berdampak secara nyata dan signifikan dalam banyak aspek kegiatan masyarakat, seperti penutupan pusat-pusat kegiatan perekonomian dan perdagangan, pelarangan aktivitas sosial, pendidikan dan keagamaan, sampai pembatasan aktivitas semua moda transportasi termasuk kendaraan pribadi. Namun di sisi lain, kebijakan-kebijakan tersebut berimplikasi menurunnya aktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK), sehingga memaksa sebahagian masyarakat kembali ke daerah asal atau pindah wilayah lain. Di saat bersamaan, pelaksanaan ibadah puasa dan hari Raya Idul Fitri 1441 H yang bertepatan dengan masa pandemic ini juga ikut mendorong masyarakat untuk melakukan tradisi mudik, khususnya dari Jakarta dan beberapa kota besar lainnya di pulau Jawa yang notabene merupakan daerah-daerah terdampak dengan konsentrasi kasus Covid-19 yang sangat tinggi. Kondisi dilematis ini harus disikapi dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat dan penyebaran kasus tidak semakin meluas ke daerah-daerah lain abikat pergerakan masyarakat yang melakukan perjalanan mudik atau pulang kampung. Pemantauan pergerakan arus mudik menjadi sangat krusial untuk dilaksanakan secara aman dan efektif di tengah situasi pandemi Covid-19 ini. Oleh karenanya dibutuhkan instrumen/sistem berbasis teknologi informasi untuk memudahkan pemantauan dan identifikasi penyebaran orang yang melakukan perjalanan mudik tersebut melalui sebuah aplikasi pemantauan mobilitas masyarakat antar wilayah. Pemerintah Aceh merespon secara cepat kebutuhan instrumen preventif tersebut melalui Dinas Perhubungan Aceh sebagai leading sector pengendalian dan pengawasan arus mudik di Aceh. Meskipun di tahun ini perayaan Hari Raya Idul Fitri harus dilalui bersamaan dengan pandemi Covid-19 dan Pemerintah telah melarang secara tegas aktivitas mudik lebaran untuk tahun ini, namun beberapa kondisi tidak dapat dihindari oleh masyarakat sehingga tetap melakukan perjalanan kembali ke wilayah Aceh. Memanfaatkan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Aceh dan Universitas Syiah Kuala tentang Kerjasama Pendidikan, Penelitian, Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta Pengembangan Sumber Daya Manusia Nomor:  tanggal 29 Maret 2019, maka Dinas Perhubungan Aceh bekerjasama dengan Jurusan Teknik Elektro dan Komputer Unsyiah mengembangkan sebuah aplikasi yang dapat digunakan sebagai sarana deteksi dini pergerakan dan sebaran masyarakat yang masuk/mudik ke Aceh, yang diberi nama aplikasi Siaga Aceh Pantau Mudik (SAPAmudik) Tahun 2020. Aplikasi ini mulai disosialisasikan secara terbuka melalui akun-akun media sosial Dinas Perhubungan Aceh sejak pertengahan April 2020, dan secara resmi pada tanggal 20 April 2020 mulai dilaksanakan di posko perbatasan Aceh – Sumatera Utara yang terdapat di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, Aceh Singkil dan Kota Subulussalam. Untuk menunjang dan efektivitas pemanfaatan aplikasi ini oleh masyarakat, maka Dinas Perhubungan Aceh memberangkatkan tim SAPAmudik ke setiap titik posko perbatasan tersebut. Satu tim terdiri dari 5 (lima) personil dengan masa penugasan 10 (sepuluh) hari kalender. Tepat