Leubeung

Oleh Khairurrijal, Juara 3 Lomba Menulis Transportasi Aceh Tahun 2023

Subtema        : Budaya Bersih untuk Transportasi Hijau

Judul              : Leubeung

Leubeung merupakan suatu kosakata dalam Bahasa Aceh yang pada era lampau dimaksudkan sebagai suatu area genangan yang berfungsi sebagai tempat tampungan atau resapan air limbah rumah tangga seperti buangan air dari kamar mandi atau dapur. Leubeung biasanya berada berdekatan dengan sumur, kamar mandi, area dapur, dan memanfaatkan kedalaman alamiah kontur tanah atau digali sedalam 0,5 – 1 m serta tidak berbentuk konstruksi atau struktur bangunan tertentu.

Keindahan leubeung akan dihiasi dengan jejeran pohon pisang, pandan wangi, talas dan jenis tumbuhan lainnya yang dapat hidup berdampingan dengan air comberan atau dalam Bahasa Aceh dikenal sebagai ie adeen. Pada era sebelum tahun 2000-an, leubeung dapat ditemui di banyak rumah masyarakat Aceh di wilayah perdesaan atau setidaknya di bagian tempat asal penulis yaitu wilayah pesisir utara – timur Aceh.

Di era modern saat ini, leubeung menjadi padanan analogi kontradiktif terhadap standar pengelolaan limbah yang semestinya tersedia pada suatu tempat, usaha dan kegiatan. Budaya bersih untuk mewujudkan Transportasi Hijau tentu tidak hanya cukup pada upaya menumbuhkan empati terhadap lingkungan dan aktivitas penanganan kebersihan lingkungan semata, namun setidaknya perlu ditopang juga oleh beberapa aspek seperti sarana, prasarana, norma, pedoman, sumber daya manusia, aparatur, dan kampanye kebersihan.

Dalam hal tema budaya bersih untuk transportasi hijau, penulis memaknai bahwa budaya bersih tidak hanya harus menyasar pada komponen perilaku pengelola, pengguna jasa, mitra dan stakeholder sektor transportasi dalam menjaga prasarana agar bersih dari sampah, namun budaya bersih perlu dikaji lebih luas bahkan pada aspek yang berada di bawah permukaan atau tersembunyi di balik layar operasional sektor transportasi. Contohnya sudah sesuai standarkah pengelolaan sampah dan limbah dari operasional sarana dan prasarana angkutan darat, laut, serta udara.

Segmen tinjauan tulisan ini akan membahas tentang bagaimana penerapan “budaya bersih” di Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue Kota Banda Aceh. Besar harapan sumbangsih tulisan ini dapat dimaknai sebagai kontribusi konstruktif dari masyarakat dalam mendukung upaya Dinas Perhubungan Aceh untuk mewujudkan visi transportasi hijau di wilayah Aceh.

Patut disyukuri bahwa Dinas Perhubungan Aceh selaku pengelola Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue telah menunjukkan secara konkret komitmennya dalam menjaga lingkungan hidup mulai dari memenuhi kewajiban perizinan lingkungan hidup, membangun kolaborasi kegiatan lingkungan hingga membangun kerjasama penanganan sampah terpilah dengan Bank Sampah Universitas Syiah Kuala. Konsistensi komitmen lingkungan tersebut terpampang secara jelas hingga tiga tahun terakhir melalui berbagai aksi dan postingan pada platform-platform media sosial milik Dinas Perhubungan Aceh.

Di tengah kekaguman tersebut penulis tersentak oleh kenangan masa lalu yang bernostalgia ke kampung halaman. Betapa tidak! pada era modern ini masih dapat terciduk sebuah “Leubeung Raya” di halaman belakang Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue, tepatnya di area belakang bangunan toilet dekat mushalla. Tidak dapat diketahui secara pasti apakah leubeung tersebut benar-benar difungsikan sebagai tempat penampungan resapan air kotor atau hanya terbentuk secara alami pada area yang topografi tanahnya relatif lebih rendah dari kawasan di sekitarnya. Apapun fungsi dan alasan terbentuknya, namun area genangan tersebut seperti menghantarkan kita kembali pulang ke rumah-rumah di wilayah perdesaan masa lampau. Sejenak terpikir apakah ini perlu kita lestarikan dengan baik agar kosakata leubeung tersosialisasi pada generasi mendatang atau wisatawan yang berkunjung.

Beranjak dari lamunan tersebut, pertanyaan-pertanyaan besar lainnya bergemuruh di pikiran seperti, lantas bagaimana pengelolaan sampah dan limbah dari kapal KMP. Aceh Hebat 2, KMP. BRR, KMP. Papuyu, kapal-kapal cepat Express Bahari, dan kapal-kapal lainnya yang ada di Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue. Hasil searching pada media sosial Dinas Perhubungan Aceh tidak menunjukkan adanya publikasi tentang pengelolaan limbah dari kapal di pelabuhan. Adakah prasarana dan kelembagaan untuk pengelolaan sampah secara terpilah dan penanganan limbah dari kapal di Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue.

Penelitian yang dilakukan oleh Yulianto dan Winarni (2023) menyimpulkan bahwa timbulan sampah harian dari kapal seperti sisa makanan, plastik, kemasan makanan dan minuman, kemasan peralatan, suku cadang, kardus atau palet harus ditangani secara terpilah sesuai dengan kategori sampah. Begitu pula limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) mesti ditangani sesuai prosedur yang tepat karena sampah dan limbah berpotensi merugikan alam sekitar dan akan memerlukan biaya yang sangat besar untuk memulihkan kembali jika menimbulkan dampak seperti pencemaran air laut, kerusakan kehidupan biota laut, kerusakan terumbu karang, penurunan estitika lingkungan atau kerusakan keindahan alam laut.

Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 24 Tahun 2022 tentang Perubahan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 29 Tahun 2014 tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim diantaranya mengatur bahwa dalam hal fasilitas penutuhan kapal (ship recycling facilities) tidak memiliki peralatan pengelolaan limbah dan/atau sampah, maka limbah dan/atau sampah yang ada di atas kapal harus dibuang pada pelabuhan terakhir. Menerapkan peraturan tersebut serta regulasi/ketentuan lainnya secara komprehensif dalam pengelolaan lingkungan pelabuhan adalah jalan menuju terwujudnya visi transportasi hijau atau green port pada Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue.

Mewujudkan visi transportasi hijau melalui budaya bersih setidaknya perlu ditopang secara sinergis oleh 4 (empat) pilar, yaitu fasilitas penunjang lingkungan, norma atau Standar Operasional Prosedur (SOP), sumber daya aparatur, serta edukasi dan kampanye pola hidup bersih.

  • Fasilitas Penunjang Lingkungan

Penyediaan fasilitas penunjang lingkungan seperti tempat penanganan sampah dan instalasi pengelolaan limbah harus mendapat perhatian prioritas jika Dinas Perhubungan Aceh benar-benar serius ingin mewujudkan Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue sebagai suatu green port.

Kenapa sampah dan limbah perlu menjadi prioritas penanganan? Pertama, karena timbulan sampah di pelabuhan penyeberangan bersifat kontinyu dan variatif sepanjang aktivitas mobilitas berlangsung, serta tersebar di seluruh area pelayanan dan jasa lainnya sehingga selayaknya penanganan sampah dilakukan pada suatu unit tertentu seperti Tempat Pengolahan Sampah dengan Prinsip 3R (reduce, reuse dan recycle) atau minimal unit pemilahan sampah seperti Bank Sampah. Kedua, karena Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue berpotensi menghasilkan limbah domestik dan B3 dari aktivitas operasional pelayanan, perkantoran, kegiatan usaha atau bisnis, serta limbah dari kapal yang bersandar di dermaga sehingga sepatutnya disediakan suatu bangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah dan Limbah B3 yang memenuhi standar serta ketentuan teknis.

Pemenuhan infrastruktur penunjang lingkungan yang representatif dan memadai adalah keniscayaan dalam mendukung terwujudnya budaya bersih menuju transportasi hijau.

  • Norma atau Standar Operasional Prosedur (SOP)

Norma atau SOP adalah instrumen penting yang sering terabaikan dalam mencapai sebuah visi adalah bagaimana mendetilkan kebutuhan, peran dan fungsi dari para pihak yang akan terlibat dalam misi-misi yang telah dirumuskan.

Penerapan SOP yang baik dan efektif telah diimplentasikan pada prasarana transportasi seperti di bandar udara dan stasiun kereta api. Dinas Perhubungan Aceh tentu dapat melakukan bencmarking dan duplikasi SOP yang telah dilaksanakan di banyak tempat tersebut untuk melahirkan SOP yang bersesuaian dengan karakteristik terhadap kebutuhan pelayanan kebersihan di lingkungan Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue.

Tersedia norma atau Standar Operasional Prosedur (SOP) yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan pimpinan lembaga, instansi atau unit kerja akan memudahkan setiap unsur yang terlibat dalam mengidentifikasi tugas dan tanggung jawabnya, sehingga setiap orang atau unsur dapat memahami apa yang perlu dipersiapkan, apa dan kapan sesuatu harus dilakukan, bagaimana melakukannya, serta kepada siapa laporan atau pertanggungjawaban hasil pelaksanaan tugas disampaikan.

SOP juga akan memudahkan pimpinan dalam menata kelembagaan, melakukan monitoring serta evaluasi secara menyeluruh dan detil terhadap kualitas pelaksanaan tugas dari setiap orang atau unsur yang terlibat untuk mewujudkan visi lembaga atau institusi.

  • Sumber Daya Aparatur

Tidak dapat dipungkiri bahwa kapasitas sumber daya aparatur meliputi kecukupan jumlah, kesesuaian kompetensi dan karakteristik personil yang dimiliki oleh suatu lembaga atau unit kerja akan sangat menentukan kualitas hasil pekerjaan.

Tidak demikian jika kita berbicara tentang kebersihan suatu tempat aktivitas atau kegiatan seperti di Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue, kualitas hasil pekerjaan berupa lingkungan yang bersih tidak hanya ditentukan oleh kapasitas petugas kebersihan semata. Namun, lingkungan yang bersih hanya akan terwujud apabila semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pelayanan di pelabuhan merasa berkepentingan untuk menghadirkan suasana lingkungan yang bersih, asri dan sehat.

Semua pihak disini maksudnya adalah meliputi aparatur pengelola pelabuhan, aparatur unit kerja instansi lain yang bertugas di pelabuhan, petugas operator dan anak buah kapal, buruh, pelaku usaha, sopir taksi dan pengendara angkutan lanjutan, serta stakeholder lainnya yang melakukan kegiatan di pelabuhan. Semua pihak tersebut harus diberikan penegasan untuk menumbuhkan budaya (pola hidup) bersih dan bersama-sama berupaya mewujudkan lingkungan yang bersih, asri dan sehat.

Lalu petugas kebersihan harus bagaimana dan seperti apa? Petugas kebersihan harus diperlakukan terhormat dan tidak termarginalkan oleh kastanisasi status pekerjaan. Petugas kebersihan adalah bagian dari pelaksana visi dihadirkannya Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalaam (SAW) untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.

Petugas kebersihan harus dilengkapi dengan seragam, atribut, dan peralatan kerja yang memadai serta dibekali dengan SOP dan kemampuan yang diperlukan. Kemudian ringankan petugas kebersihan dengan memperbanyak himbauan menjaga kebersihan, misalnya melalui pengeras suara atau media visual agar pengunjung pelabuhan dan penumpang kapal dapat mengurus sendiri sampahnya dan menggunakan kamar mandi dengan bijak dan bersih.

Pada suatu saat nanti, idealnya petugas kebersihan hanya menangani dan mengelola sampah atau limbah dari tempat-tempat penampungan saja, seperti mengumpulkan sampah secara terpilah, mengontrol pengolahan limbah, membersihkan taman dan ruang-ruang hijau atau dengan kata lain tidak lagi mengurus sampah dan limbah personal.

  • Edukasi dan Kampanye Pola Hidup Bersih

Pilar terakhir dalam mewujudkan budaya bersih menuju transportasi hijau khususnya di Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue adalah dengan menggencarkan kegiatan edukasi dan kampanye pola hidup bersih dan sehat. Hal ini penting dilakukan secara terus menerus untuk menumbuhkan empati masyarakat terhadap lingkungan dan makhluk hidup lainnya di sekitar kita. Upaya yang paling efektif adalah melalui pendidikan karakter dan keteladanan, artinya dimulai dari “semua pihak” yang ada di pelabuhan sebagaimana telah disebutkan di atas.

Syafe’i (2017) mengungkapkan bahwa pembentukan karakter empati harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan yang setidaknya harus melibatkan aspek pengetahuan (knowledge), perasaan (feeling), kecintaan (loving) dan tindakan (action). Dinas Perhubungan Aceh dapat melibatkan berbagai pihak seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) peduli lingkungan atau pihak-pihak lainnya yang berpengalaman untuk melakukan pembinaan karakter aparatur dan menumbuhkan empati terhadap lingkungan hidup.

Lalu bagaimana menghadirkan budaya bersih dari pengunjung, pengguna, atau masyarakat umum di pelabuhan yang notabene silih berganti atau bisa jadi hanya sesekali berkunjung atau menggunakan jasa pelabuhan. Kegiatan edukasi dan kampanye budaya bersih selalu dihadapkan pada tantangan untuk sabar, tekun, inovatif dan komunikatif dalam membangun hubungan (relationship) antara petugas dengan pengguna layanan.

Biasanya perilaku pengguna layanan akan cenderung mengikuti norma yang terlihat sebagai karakteristik tempat tersebut. Misalnya kenapa bandara cenderung lebih bersih dari prasarana transportasi lainnya? Kecenderungan tersebut utamanya disebabkan karena secara nyata karakteristik tempatnya menggambarkan keteraturan dan ketertiban. Contoh lainnya, jika sampah berceceran di samping tong sampah maka seseorang yang hendak membuang sampah akan cenderung terdorong untuk membuang sampah di luar tong sampah yang telah disediakan tersebut. Kampanye budaya bersih yang paling efektif bagi pengguna layanan adalah dengan menunjukkan keteladanan dan karakteristik prasarana pada level terbaik dalam hal kebersihan.

Indikator telah tegaknya empat pilar untuk menopang visi transportasi hijau dapat terlihat dari tumbuhnya kesadaran, sensitifitas, dan minat untuk melakukan suatu aksi perlindungan terhadap lingkungan yang berpotensi terancam atau terdampak oleh suatu kegiatan. Sebagai gambaran untuk mengukur tingkat implementasi budaya bersih, empati atau kepedulian terhadap lingkungan dari aparatur yang bertugas di Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue adalah dengan mengidentifikasi seberapa banyak petugas yang dapat memahami bahwa “leubeung” yang ada di pelabuhan adalah suatu keadaan yang menggambarkan rendahnya level budaya bersih dan prioritas perlindungan lingkungan hidup yang melekat sebagai karakteristik pada salah satu prasarana transportasi utama yang terletak di Ibu Kota Provinsi Aceh.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan suatu pihak atau institusi, namun sebagai bagian dari peran serta kami selaku masyarakat Aceh, sebagai salah satu Duta Ekowisata di Provinsi Aceh, dan sebagai Gubernur Pemuda Peduli Lingkungan Asri dan Bersih (Pepelingasih) Aceh binaan Kementerian Pemuda dan Olahraga, dalam menjaga wajah Aceh dan sebagai wujud kecintaan terhadap lingkungan hidup.

Referensi:

Yulianto, dan Winarni, A.V. 2023. Implementasi Marine Pollution (Marpol) 73/78 Annex V Peraturan tentang Pencegahan Polusi Sampah/Limbah yang Berasal dari KM. Adhiguna Tarahan. Jurnal Saintek Maritim, Volume 23 Nomor 2, Maret 2023.

Syafe’i, I. 2017. Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter. Al-Tadzkiyyah.

Skip to content