Bidak Keselamatan Demi Pelayanan: Antara Dilema atau Urgensi?

Saat menyusuri sebuah proyek konstruksi maupun kegiatan pembangunan dan pelayanan sering didapati slogan yang ditulis pada spanduk yang terpampang jelas “Safety First, Utamakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)”. Slogan ini bermakna mendalam, menegaskan serta mendesak petugas yang terlibat langsung maupun pemilik perusahaan untuk mengutamakan keselamatan dan kesehatan kerja di lingkungan pekerjaan.

Safety First, sebuah kata sentimental yang sering diabaikan, faktanya kata inilah yang mewakili ungkapan hati keluarga tersayang yang sangat khawatir bagi mereka yang bekerja di luar rumah. Sehingga slogan ini sering dipleseti menjadi “Hati-hati Bekerja Ayah, Bunda Tak Ingin Jadi Janda”. Terdengar frontal, tapi inilah faktanya, akibat seringnya mengabaikan K3 hingga kata-kata yang terdengar lelucon ini menjadi ungkapan kekesalan akibat pekerja sering mengesampingkan keselamatan dalam berkerja.

Risiko yang terjadi dalam kegiatan di sektor perhubungan tekhusus pelayanan transportasi sering berhadapan dengan bahaya yang mengancam. Seperti yang didapati di pelabuhan, petugas timbangan salah satunya, saat kegiatan menimbang truk dengan muatan yang berton-ton sangatlah berisiko tertabrak truk atau terserempet kendaraan dengan postur tinggi, maka blind spot lebih luas serta posisi saat mengemudi truk, sang supir tidak bisa melihat dengan jelas orang yang berada sekitarnya atau terbatas.

“Terkhusus di area timbangan kendaraan, memang sangat berisiko. Kita petugas di lapangan saja terkadang harus sangat berhati-hati saat kendaraan memasuki timbangan, apalagi jika posisi kendaraan yang tidak tepat, kendaraan harus maju dan mundur beberapa kali. Petugas yang mengarahkan truk tersebut berada di posisi sangat berbahaya, salah-salah, bisa terserempet atau tertabrak truk di belakang,” ujar

Fahrul Rizal, salah satu petugas Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue yang sudah lama berkecimpung di bidang ini.

Tambahnya lagi, saat hujan, kita harus segera lari ke pintu rampa atau moveable bridge (MB) saat kapal akan tiba. Pengoperasian MB ini juga butuh ketangguhan dan kecakapan. Belum lagi, kita harus menggerakkan pengait yang sangat berat. Pernah sekali kejadian, ungkap Fahrul, pengait MB jatuh ke laut dan untuk mengambilnya harus dilakukan oleh penyelam profesional agar moveable bridge-nya dapat difungsikan.

“Kita sebagai petugas pelabuhan memang harus tanggap dan sigap, kalau tidak keselamatan penumpang akan jadi taruhan,” ujarnya penuh harap.

Kata keselamatan dan kecelakaan menjadi timpang jika dikaitkan dalam moda transportasi Indonesia. Hampir setiap harinya yang terekam di media sosial tentang kabar kecelakaan moda-moda transportasi serta running text di televisi memberitakan tentang kejadian kecelakaan yang terjadi di jalan raya. Seharusnya ini menjadi sirene peringatan bahwa tingkat keselamatan transportasi harus semakin diperkuat.

 

Petugas Dinas Perhubungan Aceh sedang mengecek kelengkapan administrasi angkutan umum sebagai syarat laik jalan, Kamis, 3 Desember 2020.

Sebaliknya, pemangku kepentingan transportasi juga masih meraba-raba dalam penerapan dan peningkatan keselamatan dan menekan kecelakaan transportasi sebagai upaya korektif. Namun jelas, jika menepuk sebelah tangan takkan berbunyi, masyarakat juga jangan “lepas tangan dan abai” pada keselamatan. Bukankah keselamatan ini tanggung jawab kita bersama?

Perhatian kepada aspek keselamatan dan kesehatan kerja tentu menjadi prioritas. Keberpihakan Pemerintah dalam memberikan kebijakan dan dukungan dalam aspek keselamatan sungguhlah langkah konkrit yang harus ditempuh saat ini. Perlindungan bagi pekerja harus dilaksanakan seoptimalkan mungkin.

Awalul Rizal, Kepala Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Cabang Banda Aceh menjelaskan saat ini bahwa belum mencapai dua belas persen pekerja baik formal maupun non-formal yang dilindungi oleh jaminan sosial ketenagakerjaan. Faktanya, risiko yang dialami pekerja disaat bekerja tidak bisa terprediksi. Seperti halnya, kecelakaan yang terjadi saat supir angkutan umum yang mengalami kecacatan pada fisiknya perlu dukungan baik moral dan materil. Tentunya setiap perusahaan maupun instansi harus menjamin keselamatan dan kesehatan kerja.

“Sangat disayangkan memang, masih banyak pekerja kita yang belum terlindungi jaminan sosial ketenagakerjaan. Jika terjadi sesuatu yang berisiko, para pekerja harus berbuat apa? Dengan jaminan sosial ini, para pekerja dapat tertolong dan dapat diikutsertakan pada program return to work. Artinya, saat pekerja tersebut sembuh akan diberikan pelatihan kerja sehingga ia dapat bekerja dengan posisi yang sesuai dengan keahlian yang telah diajarkan tersebut,” ujar Awal.

Tambahnya, sangat diharapkan setiap perusahaan dan instansi tidak mengabaikan keselamatan dan kesehatan bagi pekerja. Pemangku kepentingan ini mau tidak mau, wajib mendaftarkan pekerjanya dalam jaminan sosial ketenagakerjaan sehingga memberi rasa aman dan nyaman bagi pekerja untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing yang dapat memberikan konstribusi besar dalam pembangunan dan perekonomian terkhusus dalam bidang transportasi.

Seluruh lapisan masyarakat juga berperan aktif membudayakan transportasi yang selamat, aman, nyaman, dan sehat. Peningkatan keselamatan kerja di Indonesia turut berperan dalam mewujudkan transportasi Indonesia yang berkeselamatan. Selain itu, para pemangku kepentingan di sektor transportasi diharapkan agar lebih mengoptimalkan seluruh sumber daya, meningkatkan aksi-aksi keselamatan, dan mendorong lingkungannya meningkatkan keselamatan transportasi. (Misqul Syakirah)

Download Tabloid Aceh TRANSit Edisi 9
Selengkapnya:

TRANSit

Skip to content