Pulo Aceh: Meneropong Harapan dari RI-Nol

KALI ini, aku bingung harus memulai dari kata apa. Sejuta kata yang telah aku susun pun tak akan cukup untuk menggambarkan betapa indahnya negeriku ini. Baiklah, aku tak ingin juga berlama-lama membuat kalian tenggelam dalam imajinasi diri pada “Tanoh Rencong” ini.

Lebih khususnya lagi, aku akan membawa kalian ke sebuah pulau nan indah di ujung barat Sumatera. Tentu bukanlah Pulau Weh, Sabang yang hendak aku kisahkan kali ini. Penasaran bukan?

Awal Desember tepat pukul 08.22, Kapal motor penyeberangan (KMP) yang diberi nama Papuyu bertolak dari Pelabuhan Ulee Lhee, Banda Aceh. Syukurnya, setelah beberapa hari dirundung mendung dan hujan, hari itu cuaca berpihak pada kami, matahari kembali garang bersinar sembari menyemai bulir-bulir kristal di atas ombak samudera.

Lebih kurang dua jam perjalanan, KMP. Papuyu berayun bersama ombak mengangkut barang dan penumpang menuju ke Seurapong, Pulau Breueh -Pelabuhan ini berjarak lebih jauh dari Pelabuhan Lamteng yang berada di Pulau Nasi-. Kedatangan ini di sambut oleh dua semenanjung –pemisah pulau Breueh dan Pulau Nasi- yang tersusun dari batu karang dan pepohon hijau yang indah. Ke sinilah langkah kaki akan aku ayunkan, Pulo Aceh –pulau yang berada di Kabupaten Aceh Besar yang terdiri dari Pulau Nasi dan Pulau Breueh-

Dermaga Tanah Untuk Papuyu

Dua semenanjung itu menjadi pertanda bahwa sebentar lagi kapal akan berlabuh. Dari atas dek kapal itu kita dapat menikmati bukit-bukit tinggi mengitari kedua pulau, ombak yang usil pun sengaja menubruk karang yang berdiri gagah di kaki bukit, menciptakan ciprakan buih besar kembali ke laut. Dari belakang kapal, baling-baling menyemburkan pasir dari dasar ke permukaan air. Air yang tadinya biru kini telah menjadi cokelat muda seperti cappucino.

Sebuah gundukan tanah berwarna cokelat yang kekuning-kuningan dengan pinggiran batu besar sebagai dinding penahan agar tanah tak jatuh ke dalam air saat kapal bersandar serta rerumputan hijau begitu subur tumbuh diantara bebatuan tersebut. Di situlah, aktivitas bongkar muat dilakukan dalam waktu yang begitu singkat –karena takut air laut surut dan kapal tidak dapat lagi berlayar-. Lebih kurang sepuluh lima belas menit KMP. Papuyu telah menaikkan penumpang dan kendaraan untuk kembali mengarungi samudera kembali ke Pelabuhan Ulee Lheue.

Dapat dibayangkan dari kondisi kolam pelabuhan (saat ini belum pantas di sebut demikian-red) yang sangatlah dangkal dan dermaga tanah harus menjadi perhatian khusus. Belum lagi, pada alur pelayaran itu tersebar terumbu karang yang dapat menghantam baling-baling dan bagian bawah kapal. Di samping itu masalah lainnya juga menghantui, yaitu pasang surut air laut sangat menghambat sandarnya kapal yang datang ke Pulo Aceh. Hal ini merupakan sebuah hambatan besar yang “wajib” dituntaskan segera –tanpa kompromi lagi-.

“Kamo lakee bak Pemerintah untuk geupeduli kamo yang bak ujong nyoe (Kami berharap pemerintah memberi perhatian bagi kami yang di ujung pulau ini –red),” ujar Mahfud, seorang warga Pulo Aceh yang bekerja sebagai operator boat tradisional.

Katanya lagi, kapal yang hendak bersandar ke dermaga yang ada sekarang memiliki risiko yang sangat besar, hanya sebuah tekad saja mereka mampu menaklukkan alur pelayaran yang penuh karang dan dangkal. Bisa dilihat, dermaga yang ada pun seadanya.

Perhatian Pendidikan untuk Anak Pulo

Kini, 75 tahun berlalu, belumlah berakhir untuk negeri ini berjuang. Dari sebuah bangunan kecil yang disebut sekolah dasar yang berada tepat di pinggir pantai tepatnya di Pasie Janeng, ada empat puluh lima generasi muda yang berjuang untuk memperoleh pendidikan. Seragam sekolah yang mulai menguning dengan tas dan sepatu yang sudah usang tidak menyurutkan semangat mereka untuk menggapai cita-cita.

“Enteuk lon peuget kapal raya nyan untuk ba u Pulo (nanti saya akan membangun kapal besar untuk Pulo Aceh ini-red),” ujar Aqra, salah satu siswa MIN 47 Aceh Besar dengan mata berbinar dan senyumnya yang lebar sambil menunjuk miniatur KMP. Aceh Hebat 1. Kala itu, Tim dari Dinas Perhubungan Aceh berkunjung ke MIN 47 Aceh Besar sekaligus membawa miniatur kapal. Hal ini tentu untuk menumbuhkan cita-cita generasi muda ini dapat menjadi ahli yang akan membangun transportasi Aceh.

Para siswa tersebut begitu antusias saat melihat miniatur kapal yang dibawa. Mereka begitu antusias mengelilingi miniatur kapal untuk mengetahui bagian-bagian kapal yang mereka lihat. Setiap jengkal mereka sentuh saking takjubnya, begitu jelas tergambar dari rona wajah mereka.

Dari sudut ruangan, seorang guru yang berpakaian rapi mengawasi gerak-gerik siswanya. Begitu sigap beliau melerai jika ada siswanya yang beradu pendapat hingga terjadi sedikit kericuhan –namanya saja anak kecil yang perlu eksplorasi yang lebih jauh-.

“Kami sangat bercita-cita jika anak di sini dapat bersaing dan berkembang seperti anak-anak lainnya di daratan (Banda Aceh),” ujar Bakhtiar, Kepala Sekolah MIN 47 Aceh Besar sambil menatap lurus ke arah siswanya yang begitu semangat membahas perihal kapal.

Kondisi bangunan sekolah yang telah mengalami kelapukan akibat pengaruh air pantai ini sudah lama tidak diperbaiki. Dari 2007, bangunan sekolah ini belum tersentuh renovasi, banyak bagian bangunan sekolah ini telah rusak, seperti pintu yang telah copot dari pengakunya.

“Jika diharapkan dari dana operasional sekolah memang tidak akan bisa, untuk kebutuhan administrasi sekolah dan kebutuhan non-teknis lainnya saja kita harus mutar kepala ribuan kali. Beberapa kali kita berusaha untuk mengajukan tetapi belum ada perkembangan sampai saat ini,” kata lelaki paruh baya itu penuh harap.

“Semangat anak-anak di sini memang harus kita perjuangkan, merekalah generasi yang akan membangun pulau ini, siapa lagi kalau bukan putra Pulo Aceh,” tutur Iqbal Saputra, salah satu guru MIN 47 Aceh Besar.

Tim Medis, Kami Menantimu Di Pulo

Sepertinya, angin barat mulai berkunjung lagi ke Pulo Aceh. Barisan boat ikan bergerak lebih lincah dari biasanya, tali pengait sesekali terhentak akibat boat menjauh dari tambatannya. Cuaca kembali memperlihatkan kelabilannya, dari terik matahari yang cerah seketika berubah menjadi redup dan guyuran hujan lebat.

Demam dan flu menjadi penyakit biasa yang tidak dapat dihindari. Bermodal rempah-rempah alam yang dihasilkan tanah ini menjadi obat penawar yang begitu mujarab.

“Miseu na saket, tapajoh ju peu-peu yang jeut. Nyoe mengharap bak puskesmas nyan saban lage tan ju. Han ek ta pike le, ta peubut ju lagee nyang na (jika sakit, minum obat tradisional yang ada dulu. Karena jika berharap sama puskesmas, ya sama juga tidak ada. Nggak sanggup pikir lagi, ambil tindakan seperti yang biasa (pengobatan tradisional) -red),” curhat seorang warga yang akrab disapa Bang Cut Demit.

“Nyoe miseu hana puleh cit kaleuh ta pajoh ubat gampong, kakeuh hana cara laen, payah jak u Aceh. Kamoe beutoi peureulee bidan, hai sekedar miseu luka oh takerije, teu tak ngon parang, jeut lah dibalot le bidan (jika tidak sembuh juga dengan obat tradisional, tidak ada cara lain, harus dilarikan ke rumah sakit di Aceh (Banda Aceh). Kami sangat butuh tenaga medis, sekedar untuk mengobati luka yang terkena golok saat bekerja di ladang, dapat diperban oleh bidan –red),” lanjutnya sambil menggeleng kepala dan menyapu ubun-ubunnya.

Asa dari RI-Nol

Tak jauh dari Mercusuar Willem’s Toren III yang telah dikisah pada tulisan lainnya, ada sebuah desa yang bernama Rinon. Konon katanya yang berkembang di masyarakat bahwa inilah titik awal (RI-Nol) atau Kilometer Nol dari wilayah Indonesia.
Dari sinilah sebenarnya aku memulai liputan akan asa yang akan bangkit dari generasi-generasi muda yang akan menjadi ahli transportasi Aceh serta akan mengepakkan sayapnya berkeliling dunia. Dari atas sebuah bukit Kampung Rinon ini terlihat kapal-kapal mewah yang menghampiri pelayaran bebas Sabang. “kapankah kapal megah itu berlayar ke arahku, membawa harapan dan kemakmuran bagi tanah ini?,” batin para pemimpi cilik yang berdiri di puncak bukit itu. (Syakirah)

Tulisan selengkapnya cek di:

Tabloid ACEH TRANSit

Skip to content