Bercermin pada Kisah Penyeberangan Pulau Weh

KMP Gajah Mada Photo by shipspotting/ucok
KMP Gajah Mada Photo by shipspotting/ucok

SEBAGAI negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 2.300 pulau berpenghuni, transportasi penyeberangan antar pulau-pulau di Indonesia menjadi sangat krusial untuk menopang kehidupan masyarakat. Pengangkutan orang menggunakan kapal penyeberangan telah ada sejak dahulu tak terkecuali di Aceh.

Kami pun menyambangi kediaman salah satu saksi sejarah penyeberangan di Aceh. Beliau adalah Imam Habinajud, seorang pensiunan PT. ASDP Indonesia Ferry yang telah mengabdi hampir 40 tahun. Menurutnya, salah satu rute penyeberangan paling diminati adalah lintasan Banda Aceh – Sabang. Berawal sekitar awal 1980an. Pemerintah bersama dengan KP4BS (Komando Pelaksana Pembangunan Proyek Pelabuhan Bebas Sabang) membuat sebuah gagasan bernama Proyek ASDP.

Awal Proyek ASDP, KP4BS hingga Masa Peralihan

Awal mula Proyek ASDP ditandai dengan dibukanya rute penyeberangan perintis yang melayani lintasan Ulee Lheue menuju Sabang yang oleh KMP Tongkol. Berselang setahun, tepatnya tahun 1982 rute Ulee Lheue – Sabang diganti menjadi Malahayati – Sabang. Perubahan lintasan tersebut diiringi dengan penggantian KMP Tongkol yang dialihkan ke lintasan lain dan digantikan KMP Jambal. KMP Jambal ini berlayar sekitar 3 tahun melayani masyarakat.

Memasuki tahun 1985 menjadi tahun penting bagi dunia penyeberangan Aceh, KP4BS yang telah berdiri hampir 20 tahun dihentikan operasionalnya oleh pemerintah. Organisasi ini pun dibubarkan dan kemudian mulai berganti pelayanan menjadi komersil melalui PT. ASDP. Proses peralihan pegawai ini membuat vakumnya operasional penyeberangan selama 2 bulan.
Era baru penyeberangan Sabang ditandai dengan datangnya 2 kapal baru yaitu KMP Gajah Mada dan KMP Kuala Batee 1. Keberadaan kedua kapal ini tidak berlangsung lama, KMP Gajah Mada yang merupakan kapal jenis Katamaran (kapal dengan 2 lambung) menjadikannya kurang cocok untuk lintasan ini karena tingginya gelombang laut. Di akhir tahun 1988, kedua kapal ini harus dialihkan ke lintasan lain.

KMP Gurita dan Memori Kelamnya

PT ASDP kemudian mendapat jatah 1 kapal baru di akhir 1988 yaitu KMP Gurita yang dibarengi dengan pemindahan lintasan dari Pelabuhan Sabang beralih ke Balohan. Keberadaan KMP Gurita ini cukup lama sekitar 8 tahun lamanya kapal ini mengarungi samudera. Perlahan penumpangnya terus mengalami peningkatan bahkan beberapa kali kewalahan khususnya pada hari besar tertentu.

Puncaknya pada saat “meugang” Ramadan awal 1996, tepat pada Jumat 19 Januari 1996 terjadilah sebuah tragedi kelam yang meninggalkan kesedihan mendalam bagi masyarakat. KMP Gurita tenggelam dalam pelayaranya dari Malahayati menuju Balohan tepatnya di perairan Ujoeng Seuke.

Peristiwa kelam ini menimpa 378 penumpang KMP Gurita, hanya sekitar 40 orang yang dapat diselamatkan, sedangkan 54 orang ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa dan 284 lainnya ikut tenggelam ke dasar lautan bersama bangkai kapal kelam ini. Hasil investigasi menyebutkan bahwa kapal ini kelebihan muatan dari kapasitas seharusnya hanya 210 penumpang dan adanya muatan beton bertulang yang berlebihan.

Kembali Merajut Asa

Peristiwa tenggelamnya kapal sempat membuat pelayanan berhenti selama 1 bulan. Operasional pun kembali dilanjutkan ditandai dengan dikembalikanya lintasan ke Ulee Lheue serta datangnya kapal baru yaitu KMP Tandemand yang kemudian digantikan oleh KMP Cengkeh Apu dan KMP Pulau Rubiah. Hingga pada awal 2002, operasional penyeberangan digantikan oleh KMP Tanjung Burang yang sebelumnya melayani lintasan Maluku. Kemudian paska Tsunami, Pemerintah melalui Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh melakukan pengadaan KMP BRR untuk mendampingi operasional KMP Tanjung Burang. Kedua kapal inilah yang hingga kini terus melayani penyeberangan masyarakat dari dan menuju Sabang.
Iman menyampaikan setiap kapal penyeberangan yang ada menurutnya memiliki ceritanya sendiri. “Di tiap kapal itu ada rasa sakit, pedih dan perjuanganya sendiri. Jadikan apa yang ada sebagai pelajaran, semoga apa yang terjadi di masa lampau tidak terulang lagi di kemudian hari” ujarnya. Ia menambahkan harapan agar ke depan lintasan lain yang ada di Aceh segera dapat berkembang dan lebih baik dalam melayani masyarakat. (Reza)

Skip to content