Aceh TRANSit – Transportasi di negara maju ibarat sebuah simfoni yang berjalan harmonis—kereta tepat waktu, bus terjadwal, jalur pejalan kaki lebar dan nyaman. Sementara di Indonesia, transportasi lebih mirip permainan takdir: menunggu bus yang tak kunjung tiba, bertaruh nyawa di zebra cross, atau bersaing dengan pedagang kaki lima di trotoar. Teknologi canggih di luar negeri memudahkan pembayaran dan navigasi, sementara di sini, tukang parkir lebih akurat daripada GPS.
Soalan aturan lalu lintas? Di luar negeri dihormati seperti layaknya kitab suci. Sementara di sini, lampu merah sering dianggap sebagai opsi, bukan keharusan. Perbedaan ini bukan sekadar ironi, tapi cerminan bagaimana sistem dibangun—apakah untuk kemudahan publik, atau sekadar ajang survival bagi warganya.
Belum lagi jalan rusak, kemacetan, dan kurangnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan transportasi publik menambah keluhan sehari-hari. Kita semua tahu, ketika hujan turun, beberapa ruas jalan berubah menjadi ‘kolam ikan dadakan’ yang menantang keberanian pengendara motor. Diperparah lagi dengan pengrusakan fasilitas publik seperti halte dan pencurian kabel listrik traffic light oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.Masih banyak yang malas menggunakan transportasi umum, lebih memilih kendaraan pribadi meski tahu akan semakin menambah kemacetan. Kesadaran berlalu lintas? Ah, itu hanya teori di ujian SIM. Masih banyak yang menerobos lampu merah, berhenti sembarangan, dan berkendara seolah jalanan adalah milik pribadi.Setiap hari, kita mengeluh tentang hal tersebut. “Pemerintah harus bertindak!” seru kita di warung kopi atau di jagat maya. Tapi, coba tanya diri sendiri—apa yang sudah kita lakukan untuk memperbaiki keadaan?
Lalu, ketika ada inisiatif perubahan, seperti pembatasan kendaraan atau aturan baru, langsung muncul protes. “Menyusahkan masyarakat!” katanya. Padahal, yang menyusahkan kita selama ini bukan aturan baru—tapi kebiasaan buruk kita sendiri yang terus dipelihara.
Jadi, sampai kapan kita hanya mengeluh tanpa bertindak? Mungkin sampai jalan berlubang itu membesar untuk jadi wisata air dadakan.
Namun, bukan berarti Aceh harus terjebak dalam masalah ini selamanya. Ada berbagai solusi yang bisa diterapkan seperti peningkatan infrastruktur yang lebih modern, transportasi publik yang lebih terjangkau, serta peningkatan kesadaran masyarakat dalam berlalu lintas. Apalagi, dengan kemajuan teknologi, sistem transportasi berbasis digital bisa menjadi jawaban bagi mobilitas masyarakat yang lebih efisien.
Peningkatan kesadaran masyarakat adalah kunci utama dalam menjalankan sistem transportasi dan menciptakan lingkungan jalan yang lebih aman dan tertib. Terutama kita juga perlu menjaga fasilitas publik untuk kepentingan bersama. Ketika kesadaran ini tumbuh secara kolektif, akan tercipta budaya berlalu lintas yang lebih beretika dan saling menghormati.
Aceh memiliki potensi besar untuk memperbaiki sistem transportasinya. Yang dibutuhkan adalah keseriusan pemerintah dan dukungan serta kesadaran masyarakat untuk mewujudkan mobilitas yang lebih nyaman, aman, dan terjangkau. Mari mulai berbenah bersama, jika tidak, mengeluh akan terus membelenggu pikiran yang lahir dan batin.(Abu Joel)