Sejarah membuktikan tak satu pun negara maju yang kotanya tidak didukung sistem transportasi publik yang memadai.

Oleh Djoko Setijowarno*
25 Sep 2025 11:00 WIB
Transportasi yang terjangkau dapat menjamin setiap orang bisa menikmati peluang, kebebasan, dan kebahagiaan. Itu kalau pemerintahnya becus dan peduli. (Litman, 2025)
Selama kampanye pilpres, Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming berjanji memberikan subsidi angkutan umum. Namun, janji tersebut hingga kini belum benar-benar terwujud.
Padahal, pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk menyediakan transportasi publik yang aman, nyaman, dan terjangkau sebagaimana diamanatkan Pasal 138 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009. Akibat kurangnya perhatian ini, dampaknya terasa langsung oleh masyarakat. Banyak dari mereka lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Macet parah, polusi udara, dan sederet akibat buruk lain terus mengakrabi publik.
Ketidakberpihakan pemerintah pada pembangunan angkutan umum tampak nyata pada postur APBN 2026 yang menunjukkan turunnya anggaran untuk Kementerian Perhubungan. Penurunan ini akan memengaruhi layanan transportasi publik, terutama di sektor darat. Yang paling terdampak adalah program Buy the Service (BTS) untuk transportasi perkotaan dan Bus Perintis untuk Area 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Penurunan kualitas layanan angkutan publik dapat memicu kenaikan biaya transportasi, yang pada akhirnya akan menambah beban pengeluaran masyarakat. Berdasarkan Survei Biaya Hidup (SBH) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, biaya transportasi di Indonesia memiliki porsi yang signifikan dalam pengeluaran rumah tangga, yaitu rata-rata 12,46 persen dari total biaya hidup. Angka ini lebih tinggi dari standar ideal Bank Dunia yang merekomendasikan porsi pengeluaran transportasi tidak lebih dari 10 persen.
Data tersebut menunjukkan bahwa beban biaya transportasi tetap tinggi, terutama di kota-kota besar di Indonesia. Biaya tersebut mencakup tidak hanya transportasi publik, tetapi juga pengeluaran untuk transportasi pribadi, seperti bahan bakar. Tingginya biaya ini disebabkan berbagai faktor, termasuk belum terintegrasinya sistem transportasi publik secara menyeluruh, serta biaya tambahan, seperti ojek online dan parkir yang signifikan dalam perjalanan sehari-hari, yang dikenal sebagai masalah first mile-last mile .
Pemerintah sebenarnya telah menargetkan pembenahan angkutan umum di 20 kota dalam RPJMN 2025-2029. Namun, pemenuhan program ini diragukan. Setelah mencapai puncaknya di angka Rp 582,98 miliar pada tahun 2023, alokasi anggaran terus menurun hingga direncanakan hanya Rp 82,6 miliar di tahun 2026. Tahun depan, anggaran itu untuk stimulus transportasi umum. Akan tetapi, hanya menyasar lima kota, yakni Kabupaten Banyumas, Kota Manado, Kota Bekasi, Kota Depok, dan Kota Balikpapan.
Komitmen pusat terhadap pemerataan perbaikan transportasi umum di daerah pun dipertanyakan. Indonesia memiliki 514 pemerintah daerah di 38 provinsi, terdiri dari 416 kabupaten dan 98 kota, sudah seharusnya Kementerian Perhubungan menindaklanjuti dengan meningkatkan anggaran pembenahan angkutan umum setiap tahunnya.
Dari sisi pemda, meskipun sering terkendala masalah anggaran, saat ini sudah ada 35 pemda berinisiatif mengalokasikan APBD mereka untuk membiayai operasional layanan angkutan umum. Upaya ini telah dilakukan antara lain oleh 11 pemerintah provinsi, 15 kota, dan 9 kabupaten. Kemudian, ada dua pemda memiliki perda yang mengatur alokasi 5 persen dari APBD untuk subsidi angkutan umum.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 mencanangkan 20 kota sebagai target pengembangan, tetapi hanya empat di antaranya yang merupakan kota baru, yakni Manado, Pontianak, Malang, dan Bandar Lampung. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, mampukah kita mencapai visi Indonesia Maju 2045 jika langkah yang diambil lambat?
Keinginan besar untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 bisa jadi hanya akan menjadi wacana belaka jika kita tidak berani mengambil tindakan nyata dan radikal. Sejarah membuktikan, tak satu pun negara maju yang kotanya tidak didukung sistem transportasi publik yang memadai. Layanan angkutan umum yang layak bukan sekadar fasilitas, melainkan tulang punggung perekonomian dan kualitas hidup masyarakat.
Pembenahan transportasi umum di Jakarta sejak 2004 sudah membuktikan itu. Dalam kurun 20 tahun sudah menampakkan hasilnya. Sistem transportasi umum di Jakarta menempati peringkat ke-17 dari 50 kota dunia berdasarkan survei internasional yang dirilis Time Out, melampaui Kuala Lumpur dan Bangkok (Kompas.id, 9/9/2025).
Tahun 2045 masih 20 tahun lagi. Belajar dari Jakarta, berarti masih tersedia cukup waktu membangun jaringan layanan angkutan umum di daerah secara memadai. Tentunya pembenahannya harus dimulai saat ini juga dan harus gencar didukung anggaran memadai. Bagi daerah yang sudah mandiri dengan APBD, Ditjen Hubdat dapat menganggarkan bantuan sejumlah bus yang dibutuhkan. Bantuan itu sudah mengurangi 9-12 persen perhitungan biaya operasi kendaraan (BOK).
Perlu bantuan pusat
Kemampuan fiskal di sejumlah daerah memang tak sebesar Jakarta. Namun, penyelenggaraan angkutan umum di daerah tergantung dari kemauan politik (political will) kepala daerah. Selain itu, pemerintah pusat juga harus memberikan stimulan awal atau bantuan dana alokasi khusus (DAK) angkutan umum bagi daerah yang sudah secara mandiri menyelenggarakan angkutan umum. DAK harus diberikan agar pemenuhan kebutuhan angkutan umum di daerah tercukup. Lalu, pemerintah pusat dapat mengalihkan sebagian anggaran subsidi BBM untuk penyelenggaraan angkutan umum di daerah.
Insentif kendaraan listrik prioritaskan untuk angkutan umum. Anggaran program angkutan umum harus ditetapkan sebagai mandatory dalam usulan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, seperti halnya pendidikan dan kesehatan.
Saatnya kita mengubah keinginan menjadi kenyataan, wacana menjadi aksi. Mari bersama-sama pastikan, setiap kota di Indonesia memiliki layanan transportasi publik yang prima.(*)
*Djoko Setijowarno , Akademisi Unika Soegijapranata, Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI)

