Menakar Capaian Pembangunan Transportasi Aceh

Pembangunan Aceh berlangsung sangat dinamis sejak awal k e m e r d e k a a n Indonesia. Nuansa dan paradigma pembangunan diwarnai oleh suasana konflik tanpa jeda yang berkepanjangan dan silih berganti. Kondisi ini menyebabkan struktur pembangunan di Aceh tidak memiliki pondasi yang kokoh dan cenderung menimbulkan kerawanan ekonomi dan sosial. Di sektor transportasi misalnya, program-program peningkatan aksesibilitas dan konektivitas antar wilayah di Aceh terhambat oleh suasana konflik yang mencekam.

Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa konflik Aceh berpengaruh negatif secara keseluruhan terhadap kinerja ekonomi, di mana angka pertumbuhan ekonomi Aceh periode 1990-2005 yaitu -2,5% pertahun dengan laju inflasinya mencapai 17,7% per tahun. Kondisi ini telah memperburuk tingkat kesejahteraan rakyat di mana pelayanan sektor kemiskinan, pendidikan dan kesehatan terus memburuk terutama di wilayah konflik.

Pada masa-masa konflik tersebut, cita-cita pembangunan untuk sampai ke pelosok rimba, kawasan terpencil, dan wilayah kepulauan bak angan semata. Namun, qadarullah musibah besar pada akhir tahun 2004 berupa gempa bumi dan tsunami yang meluluhlantakkan Aceh secara fisik, psikologis, dan kelembagaan ternyata telah menghadirkan hikmah yang besar berupa perdamaian yang dihitam-putihkan dalam sebuah Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang kemudian dikenal sebagai MoU Helsinki.

Saat ini, kesepakatan damai telah menjadi semangat dan inspirasi dalam membangun Aceh. Bahkan secara eksplisit dicantumkan pada poin pertama dalam diktum pertimbangan Qanun Aceh tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) pada periode 2012-2017 dan 2017- 2022.

Sektor perhubungan merupakan salah satu fokus layanan urusan wajib non-dasar yang diamanatkan sebagai satu misi RPJMA periode 2017-2022, yaitu pembangunan dan peningkatan kualitas infrastruktur terintegrasi dan lingkungan yang berkelanjutan. Isu strategis pengembangan infrastruktur dasar dan konektivitas antarwilayah (Aceh Seumeugot) diharapkan dapat menurunkan kesenjangan antar wilayah dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Aceh sesuai dengan RTRW Aceh, yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan kualitas hidup masyarakat Aceh.

Dinas Perhubungan (Dishub) Aceh mengambil peran dalam pencapaian misi ke-10 tersebut sebagai salah satu perangkat daerah yang bertanggung jawab terhadap sektor transportasi Aceh, sehingga Visi Gubernur Aceh Terpilih yaitu “Terwujudnya Aceh yang Damai dan Sejahtera Melalui Pemerintahan yang Bersih, Adil dan Melayani” dapat terwujud.

Dishub Aceh juga merupakan salah satu perangkat daerah terkait pada misi ke-1 “reformasi birokrasi menuju pemerintahan yang adil, bersih, dan melayani”, serta misi ke-8 “membangun dan mengembangkan sentra-sentra produksi, industri dan industri kreatif yang kompetitif” khususnya mendukung Program Pengembangan Destinasi Pariwisata Aceh. Dishub Aceh berupaya meningkatkan konektivitas antarwilayah melalui strategi peningkatan dan pengembangan subsektor perhubungan darat, laut, dan udara.

KMP. Aceh Hebat 1, KMP. Aceh Hebat 2, KMP. Aceh Hebat 3, Angkutan Massal Trans Koetaraja, peningkatan layanan pelabuhan penyeberangan dan terminal tipe B, penataan sistem dan standar pelayanan, serta keterbukaan informasi, merupakan puzzle-puzzle kecil dari cita-cita besar pelayanan transportasi yang berkeadilan untuk memajukan wilayah Aceh secara berimbang.

“Tak Ada yang Tak Mungkin” dan “Tak Ada yang Sempurna” adalah dua kalimat yang sering dihadapkan ketika berbicara tentang suatu harapan dan capaian. Pemahaman pemangku kepentingan dan kebijakan terhadap arti pentingnya peran transportasi akan melahirkan dukungan dalam bentuk regulasi, anggaran dan sumber daya manusia, hingga pada akhirnya semua sasaran menjadi logis dan mungkin untuk diimplementasikan.

Namun sebaik apapun sebuah rencana, upaya dan kesungguhan pelaksanaannya, tetap saja tidak akan sampai pada hasil yang sempurna. Semua capaian maksimal kita hanyalah pada titik optimal, itupun sebuah titik yang masih akan diperdebatkan berdasarkan perspektif dan kepentingan masing-masing.

Lalu bagaimana sikap kita? Menurut kami, suatu capaian yang diraih dengan kesungguhan dan segala keterbatasan harus diapresiasi sebagai sebuah kebanggaan agar setiap orang mendapat reward atas peran dan pengabdiannya. Dan atas keterbatasan dan kegagalan pencapaian titik optimum yang dicita-citakan, maka permohonan maaf adalah upaya terakhir untuk meminta pemakluman atas berbagai kondisi yang perlu dipahami. Wallahuálam (Diana Devi)

Download Tabloid Aceh TRANSit Edisi 8

Selengkapnya cek di:

TRANSit

Skip to content