*Oleh Syahrina Magfirah, Juara 3 Lomba Menulis Transportasi Aceh 2025
“Sebuah bangsa yang kehilangan transportasi publiknya, sesungguhnya kehilangan denyut sosialnya”[1]— demikian kutipan dari seorang sosiolog mobilitas, John Urry, yang rasanya sangat relevan dengan situasi Banda Aceh saat ini. Ada sebuah kenangan yang barangkali mulai memudar dari wajah Banda Aceh. Dulu, Terminal Keudah selalu riuh. Suara klakson bersahutan, penumpang bergegas naik, dan sopir labi-labi bersiul memanggil penumpang.
Pada masa itu transportasi umum di Banda Aceh dan Aceh besar kebanyakannya di layani oleh labi-labi. Transportasi massal ini populer digunakan oleh pelajar, mahasiswa, hingga masyarakat biasa. Labi-labi digunakan untuk semua tujuan perjalanan baik sekolah, kuliah, belanja, berpergian ke kota, mengangkut hasil panen, dan sebagainya. waktu itu pendapatan masyarakat belum setinggi sekarang, pengguna motor dan mobil juga belum sebanyak saat ini. Di dalam labi-labi, semua lapisan masyarakat bertemu. Ibu-ibu dari pasar dengan keranjang rotan berisi sayur, mahasiswa dengan ransel penuh buku, hingga anak-anak kecil yang tertawa riang sambil duduk di pangkuan orang tuanya. Tak ada sekat sosial di sana, semua duduk sejajar, saling menyapa, saling berbagi cerita. Labi-labi adalah ruang sosial bergerak, tempat interaksi, dan tempat bersilaturahmi.
Sayangnya, fenomena yang terjadi di Banda Aceh saat ini membawa fakta bahwa labi-labi kerap ditinggalkan dan geliat kendaraan pribadi terus meroket. Kini jalanan kota dipadati lautan kendaraan bermotor dan mobil pribadi bahkan di permukiman kecil sekalipun. Pilihan masyarakat untuk beralih ke kendaraan pribadi sejatinya cukup rasional. Fenomena ini sesungguhnya berangkat dari opini masyarakat dengan alibinya penumpang labi-labi kerap mengeluh karena suasana di dalam labi-labi terasa panas dan sempit, serta penumpang harus menunggu terlalu lama karena perjalanan terasa lambat akibat sering berhenti menunggu penumpang tambahan.
Kenyataan di lapangan memang menunjukkan bahwa labi-labi gagal memperbaiki layanannya. Dari seribu lebih armada yang dulu beroperasi di awal 2000-an, kini hanya tersisa sekitar 352 unit, dan yang benar-benar aktif di jalan bahkan kurang dari 80.[2] Rute yang dulunya menjangkau 17 koridor utama kini menyusut menjadi tujuh atau delapan. Bahkan pada jam sibuk, okupansi rata-rata hanya enam hingga tujuh orang, jauh di bawah kapasitas ideal. Sementara itu, jalan-jalan Banda Aceh kini sesak oleh motor dan mobil pribadi, yang jumlahnya melonjak 10–12 persen setiap tahun.
Kehadiran bus Trans Koetaradja yang gratis sejak beberapa tahun terakhir juga semakin memperparah kondisi labi-labi. Layanan Trans Koetaradja relatif lebih nyaman dan teratur, sehingga banyak diminati masyarakat. Hal ini tentu berdampak sangat signifikan terhadap penghasilan para sopir labi-labi yang kini terpaksa mangkal di sudut-sudut kota karena di terminal tidak ada yang datang. Kehadiran transportasi modern ini memang patut diapresiasi, tetapi di sisi lain kehadirannya membuat labi-labi semakin terpinggirkan.
Dishub Aceh sebenarnya memiliki kesempatan emas untuk menciptakan ekosistem transportasi yang saling melengkapi, bukan saling mematikan. Karena labi-labi adalah bagian dari sejarah transportasi Aceh yang tidak boleh hilang begitu saja. Justru dengan hadirnya Trans Koetaradja, seharusnya ada peluang untuk mengintegrasikan labi-labi sebagai feeder atau penyambung ke area-area yang belum terjangkau oleh bus besar.
Banyak media lokal yang menyebutkan bahwa labi-labi kini hanya tinggal kenangan. Pertanyaannya, apakah kita rela melepas begitu saja ikon yang menjadi memori kolektif bagi kebanyakan orang Aceh? karena di balik kemerosotan itu, sebenarnya ada sesuatu yang tak boleh dilupakan. Labi-labi bukan hanya soal moda transportasi, melainkan bagian dari identitas Aceh. Nama “labi-labi” diambil dari kura-kura, hewan yang berjalan perlahan namun pasti, seakan mencerminkan ritme hidup masyarakat Aceh yang tenang dan bersahaja. Desainnya yang sederhana dengan kursi berhadap-hadapan membentuk ruang interaksi sosial. Penumpang bisa saling mengenal, berbagi informasi, bahkan mempererat silaturahmi. Dalam sudut pandang antropologis, labi-labi adalah ruang sosial bergerak yang mencerminkan nilai gotong royong dan keterbukaan masyarakat Aceh. Jika moda ini benar-benar punah, maka hilang pula salah satu simbol budaya transportasi Aceh.
Sebelum menyerah dengan keadaan ini, mari kita melirik kota-kota lain di Indonesia yang menghadapi persoalan serupa. Jakarta, misalnya yang punya program Jak Lingko yang mengintegrasikan mikrotrans dengan Trans Jakarta, MRT, LRT, hingga KRL. Sistem tarifnya dibuat sederhana: maksimal sepuluh ribu rupiah untuk tiga jam perjalanan. Sopir mikrotrans tidak lagi bergantung pada setoran, melainkan digaji operator. Hasilnya, angkot kembali hidup, lebih tertib, dan menjadi feeder bagi moda besar. Pemerintah pusat juga mengembangkan program Teman Bus di sejumlah kota seperti Palembang, Solo, Denpasar, hingga Medan. Prinsipnya sama: operator dibayar berdasarkan jarak tempuh, bukan jumlah penumpang. Dengan begitu, tidak ada lagi ngetem, dan layanan menjadi lebih baik. Yogyakarta juga punya Trans Jogja, yang meski sederhana, tetap menjaga eksistensi angkutan kota dengan sistem bus dan feeder. Disisi lain Surabaya menghadirkan Suroboyo Bus dengan inovasi sosial: tiket dibayar menggunakan sampah plastik. Konsep ini bukan hanya menyelamatkan transportasi publik, tetapi juga menjadi edukasi lingkungan bagi masyarakat. Semarang juga mereformasi angkot menjadi feeder Trans Semarang, di mana sopirnya menerima gaji tetap. Semua contoh ini menunjukkan bahwa angkutan kota tradisional bisa diselamatkan, asal dikelola dengan manajemen modern, tarif terintegrasi, dan didukung pemerintah.
Aceh juga memiliki peluang emas untuk menghadirkan inovasi transportasi yang tidak kalah menarik dari kota-kota lain di Indonesia. Jika Bandung bangga dengan Bandros dan Solo memiliki Werkudara, mengapa Aceh tidak melahirkan “Labi-Labi Modern” yang menjadi kebanggaan tersendiri? Visi ini bukan sekadar mimpi, tetapi blueprint yang dapat diwujudkan melalui leadership Dishub Aceh. Konsep integrasinya sangat strategis: labi-labi modern beroperasi sebagai feeder system yang memperkuat, bukan mengancam eksistensi Trans Koetaradja. Sistem tarif terintegrasi memungkinkan penumpang menggunakan satu kartu atau aplikasi untuk semua moda transportasi dari Trans Koetaradja ke labi-labi, bahkan ojek online. Revolusi terbesar terletak pada transformasi sistem operasional: sopir tidak lagi bergantung pada setoran harian yang tidak pasti, melainkan menerima gaji tetap melalui skema buy the service yang memberikan kepastian ekonomi dan meningkatkan kualitas pelayanan.
Dari sisi teknologi, labi-labi modern dapat menjadi showcase smart transportation Aceh. Armada listrik berdesain compact dan aerodinamis, dihiasi motif khas Aceh seperti pucok rebung, rencong, atau songket yang dipadukan dengan material modern. Internet of Things (IoT) memungkinkan real-time monitoring kondisi kendaraan, sementara artificial intelligence mengoptimalkan rute berdasarkan pola lalu lintas dan kepadatan penumpang. Sistem pembayaran blockchain juga dapat memastikan transparansi dan akuntabilitas keuangan yang dapat diaudit publik. Yang tidak kalah revolusioner adalah pengembangan command center transportasi terintegrasi oleh Dishub. Dashboard digital menampilkan real-time data seluruh armada labi-labi, tingkat okupansi, kondisi lalu lintas, dan prediksi demand. Penumpang dapat mengakses semua informasi ini melalui aplikasi mobile yang dilengkapi augmented reality untuk virtual tour sepanjang perjalanan, menampilkan informasi historis tentang bangunan atau lokasi yang dilewati. Dimensi edukasi dan pariwisata juga bisa menjadi nilai tambah yang signifikan. Interior labi-labi sendiri bisa dirancang sebagai mobile heritage center dengan audio system yang menyajikan narasi sejarah Aceh dalam multiple bahasa. Setiap perjalanan terasa seperti journey of discovery, di mana penumpang tidak hanya berpindah secara fisik tetapi juga melakukan perjalanan melintasi sejarah dan budaya Aceh. Inovasi sosial menjadi crown jewel dari konsep ini.
Mengadopsi kesuksesan Suroboyo Bus Surabaya, labi-labi modern dapat menerapkan sistem pembayaran dengan sampah plastik, mengubah setiap perjalanan menjadi aksi nyata pelestarian lingkungan. Kemitraan dengan bank sampah lokal menciptakan circular economy yang menguntungkan semua pihak, penumpang mendapat transportasi murah, lingkungan menjadi lebih bersih, dan pemulung bisa mendapat income tambahan. Kombinasi harmonis antara pelestarian budaya, modernisasi teknologi, dan kepedulian ekologis menjadikan Aceh dapat tampil sebagai pioneer transportasi berkelanjutan yang berakar pada kearifan lokal namun berorientasi global. Ini bukan hanya tentang transportasi, tetapi tentang menciptakan model pembangunan yang menghormati masa lalu sambil merangkul masa depan.
Modal energi hijau di Aceh pun mendukung. Intensitas mataharinya mencapai 4,5–5,1 kWh per meter persegi per hari, ideal untuk energi surya.[3] Transisi dari labi-labi konvensional ke listrik dapat mengurangi emisi CO2 hingga 80%. Dengan 200 unit beroperasi, estimasi pengurangan emisi mencapai 1.200 ton CO2 per tahun, hal ini setara dengan menanam 15.000 pohon. Di Seulawah, Burni Telong, dan Jaboi, potensi panas bumi mencapai ribuan megawatt. Energi ini bisa menjadi sumber utama charging station labi-labi listrik. Dengan demikian, labi-labi bukan hanya ikon budaya, tetapi juga pionir transportasi hijau berbasis energi terbarukan di Sumatra. Lebih jauh, penggunaan energi ramah lingkungan juga selaras dengan misi Aceh yang islami dan berkelanjutan: tidak merusak alam, menjaga keseimbangan, serta menghadirkan kemaslahatan untuk generasi mendatang.
Transportasi publik, sebagaimana dikatakan John Urry, bukan sekadar alat teknis mobilitas, tetapi struktur sosial yang membentuk interaksi. Labi-labi pernah menjadi ruang kebersamaan, tempat orang saling menyapa, tempat cerita berpindah dari satu kursi ke kursi lain. Kini ia bisa lahir kembali dalam wajah baru, sebagai ruang silaturahmi modern yang tetap berpijak pada budaya Aceh. Lebih dari itu, kehadiran Labi-Labi Modern bisa menjadi wahana pembelajaran nilai budaya untuk generasi muda. Bayangkan anak sekolah dasar yang setiap hari naik labi-labi, mendengarkan audio tentang sejarah kerajaan Aceh, atau kisah tsunami yang telah mengubah wajah kota. Transportasi ini tidak hanya mengantar, tapi juga mendidik.
Revitalisasi labi-labi juga sejalan dengan agenda global. Sustainable Development Goals (SDGs) poin 11 yang menekankan kota dan permukiman yang inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan. Jika Aceh mampu menghadirkan Labi-Labi Modern, kita tidak hanya menjaga warisan lokal, tetapi juga menyumbang pada pencapaian tujuan global. Lebih jauh lagi, konsep ini selaras dengan nilai musyawarah (duek pakat) masyarakat Aceh, di mana keputusan besar diambil bersama demi kepentingan kolektif. Integrasi nilai ini ke dalam transportasi berarti setiap kebijakan tidak sekadar top-down, melainkan hasil dialog antara pemerintah, sopir, dan masyarakat.
Selain itu, penguatan transportasi publik Aceh pasca-tsunami harus dipahami sebagai strategi pemulihan sosial. Transportasi bukan hanya memindahkan orang dari satu titik ke titik lain, tetapi juga membangun rasa aman, kebersamaan, dan kebanggaan kolektif. Labi-labi yang dibalut modernisasi dapat menjadi simbol kebangkitan, menegaskan bahwa Aceh mampu berinovasi tanpa kehilangan akar budayanya. Dari sini, dunia bisa belajar bahwa modernisasi tidak harus memutus masa lalu, melainkan menjahit kembali tenun budaya dengan benang inovasi. Jika pemerintah serius, transformasi labi-labi juga dapat mendukung pariwisata Aceh. Bayangkan wisatawan yang datang ke Banda Aceh tidak hanya berkunjung ke Museum Tsunami atau Masjid Raya Baiturrahman, tetapi juga berkeliling kota dengan Labi-Labi Modern berhias motif songket Aceh. Setiap kursi dilengkapi kode QR yang menghubungkan penumpang ke cerita budaya, kuliner, dan destinasi wisata lokal. Dengan begitu, transportasi menjadi pintu masuk promosi pariwisata.
Bandung punya Bandros, Solo punya Werkudara, Surabaya punya Suroboyo Bus. Aceh, dengan sejarah dan budayanya yang kaya, tidak boleh hanya menjadi penonton. Labi-labi adalah memori kolektif kita. Ia adalah denyut sosial yang menyatukan masyarakat. Jika hari ini ia ditinggalkan, mari kita bangkitkan kembali dalam wajah baru. Bukan sekadar nostalgia, tetapi inovasi yang membuat Aceh bangga di mata dunia. Karena kalau bukan kita, orang Aceh sendiri, siapa lagi yang akan menjaga warisan ini? Dishub Aceh memiliki momentum emas untuk membuktikan bahwa pelestarian budaya dan modernisasi transportasi bukan dua hal yang bertentangan. Dengan kemauan yang kuat, perencanaan yang matang, dan pelaksanaan yang konsisten, labi-labi dapat menjadi kisah sukse yang dapat menginspirasi daerah lain. Melalui tulisan ini saya berharap bahwa pemerintah Aceh khususnya Dishub Aceh mampu untuk mentransformasi labi-labi menjadi solusi inovatif transportasi massal yang mengintegrasikan kearifan lokal dengan teknologi yang lebih modern.
[1] Urry, John. Mobilities. Cambridge: Polity Press, 2007.
[2] Cities Development Initiative for Asia (CDIA). (2017). Studi kelayakan pengembangan sistem Bus Rapid Transit (BRT) Kota Banda Aceh (Laporan akhir, dokumen tidak diterbitkan). Asian Development Bank.
[3] BPPT. Out put model MARKAL