*Oleh Teuku Muhammad Hafidz Ramadhan, Juara 2 Lomba Menulis Transportasi Aceh 2025
Di jam-jam sibuk Banda Aceh, suara klakson dan deru knalpot sering kali jadi musik latar yang tak diinginkan. Jalan-jalan utama seperti Teuku Umar, Cut Meutia, hingga Simpang Lima kerap dipenuhi kendaraan pribadi yang saling berebut ruang. Padahal, di antara riuhnya lalu lintas itu, Trans Koetaradja sudah hadir sebagai pilihan transportasi massal yang nyaman dan terjangkau. Sepanjang tahun 2024, layanan ini mencatat total 956.084 penumpang, dengan rute Masjid Raya Baiturrahman–Darussalam menjadi yang paling ramai (401.056 penumpang), disusul Baiturrahman–Blang Bintang via Lambaro (163.895 penumpang). Angka ini menunjukkan potensi besar, tetapi sekaligus mengisyaratkan masih banyak ruang untuk mengajak masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi massal.
Di Banda Aceh, kendaraan pribadi terutama sepeda motor sudah menjadi bagian dari gaya hidup sehari-hari. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh tahun 2023 menunjukkan jumlah sepeda motor yang terdaftar mencapai lebih dari 650 ribu unit, jumlah yang bahkan melampaui populasi dewasa di wilayah perkotaan. Fenomena ini tidak terjadi tanpa sebab. Pertama, ada faktor kenyamanan dan fleksibilitas yakni warga merasa dengan motor atau mobil, mereka bisa berangkat kapan saja tanpa terikat jadwal. Bagi pelajar dan mahasiswa di kawasan Darussalam, kendaraan pribadi dianggap solusi praktis untuk menyesuaikan jadwal kuliah yang sering berubah. Hal yang sama berlaku bagi pekerja kantoran yang kerap harus menghadiri rapat mendadak di lokasi berbeda.
Kedua, persepsi terhadap transportasi massal masih cenderung negatif. Sebagian masyarakat menganggap menunggu bus sebagai pemborosan waktu, apalagi jika halte tidak nyaman atau fasilitasnya minim. Tidak jarang penumpang memilih berjalan kaki ke tujuan pendek ketimbang menunggu bus, atau langsung mengeluarkan motor untuk perjalanan yang hanya butuh 10 menit. Ketiga, ada aspek sosial yang tidak bisa diabaikan. Bagi sebagian orang, kendaraan pribadi bukan hanya alat transportasi, tetapi juga simbol status. Mobil atau motor tertentu menjadi bagian dari identitas diri, dan kebiasaan ini diperkuat oleh lingkungan sosial di mana hampir setiap keluarga memiliki setidaknya satu sepeda motor, sehingga pilihan untuk “tidak punya kendaraan pribadi” dianggap tidak praktis.
Permasalahannya, jika dominasi kendaraan pribadi ini terus dibiarkan, Banda Aceh akan menghadapi tantangan serius. Ruas-ruas utama seperti Jalan Tgk. Daud Beureueh, Jalan Pocut Baren, dan kawasan Simpang Lima sudah mulai padat pada jam sibuk, membuat waktu tempuh antar titik semakin lama. Volume kendaraan yang tinggi juga memperburuk kualitas udara, terutama dari emisi sepeda motor dan mobil yang menumpuk di persimpangan. Situasi ini bukan hanya mengganggu kenyamanan berkendara, tetapi juga mengancam kesehatan warga, mengingat polusi udara dapat memicu masalah pernapasan dan menurunkan kualitas lingkungan.
Akhirnya, semua faktor ini membentuk pola pikir yang sulit diubah seperti “kendaraan pribadi adalah pilihan utama, sementara transportasi massal hanyalah alternatif cadangan” telah mengakar kuat di tengah masyarakat, meskipun dampak negatif dari kebiasaan ini sangat pantas untuk dipertimbangkan. Salah satu penyebabnya ada pada hal yang sering kita anggap sepele yaitu halte. Banyak halte Trans Koetaradja hari ini sekadar berdiri sebagai bangunan fungsional yang hanya cukup untuk menunggu bus, tetapi belum cukup untuk mengundang orang datang. Di sinilah letak peluangnya. Bayangkan jika setiap halte bukan hanya tempat menunggu, tetapi juga menjadi ruang singgah yang hangat, memancarkan identitas budaya Aceh, sekaligus memberi rasa nyaman dan bangga bagi siapa pun yang berhenti di sana. Konsep ini, yang saya sebut “Persinggahan Hangat”, bisa menjadi gerakan awal yang mengajak warga Banda Aceh meninggalkan kendaraan pribadi dan mulai menikmati perjalanan bersama Trans Koetaradja.
Mengubah halte menjadi “Persinggahan Hangat” berarti memberi napas baru pada fasilitas publik yang selama ini cenderung fungsional. Banda Aceh memiliki modal budaya yang luar biasa untuk itu. Kearifan lokal dan nilai-nilai adat yang sudah mengakar bisa menjadi ruh dari setiap halte Trans Koetaradja, menjadikannya lebih dari sekadar titik naik-turun penumpang.
Salah satunya adalah filosofi peumulia jamee (memuliakan tamu) yang begitu kental di Aceh. Dalam konteks halte, prinsip ini berarti memastikan setiap orang yang berhenti di sana merasa disambut, aman, dan dimudahkan. Penerapannya bisa sederhana, seperti papan informasi rute yang jelas, penunjuk arah yang ramah wisata, hingga layanan informasi yang bisa diakses oleh pendatang maupun warga lokal. Halte pun tidak lagi terkesan asing, tetapi menjadi pintu masuk yang ramah bagi siapa pun yang hendak bepergian. Identitas budaya Aceh juga dapat tercermin lewat arsitektur halte. Atap limas khas Aceh, ukiran pucuk rebung atau awan meucanek, serta warna-warna bumi yang hangat dapat menjadi bahasa visual yang menguatkan rasa memiliki masyarakat. Desain ini bukan hanya memperindah, tapi juga memberi sinyal bahwa halte adalah bagian dari wajah kota, sama pentingnya dengan bangunan bersejarah atau ruang publik lainnya.
Selain itu, peran sosial meunasah sebagai tempat singgah, belajar, dan berbagi informasi bisa diadaptasi tanpa mengubah fungsi utamanya sebagai rumah ibadah. Halte dapat menyediakan pojok baca mini, layar interaktif berisi kisah dan sejarah kawasan sekitar, atau rak brosur kegiatan budaya. Waktu tunggu yang biasanya terasa membosankan bisa berubah menjadi pengalaman singkat yang bermanfaat. Penerapan konsep budaya ini juga bisa disesuaikan dengan karakter lokasi halte. Misalnya, halte di dekat masjid menampilkan ornamen Islami dan info jadwal shalat, halte dekat kampus memiliki pojok literasi pelajar dan informasi kegiatan akademik, sementara halte dekat objek wisata berfungsi sebagai pusat informasi turis lengkap dengan peta destinasi terdekat.
Semua faktor ini menegaskan bahwa mengubah kebiasaan masyarakat Banda Aceh dari kendaraan pribadi ke transportasi massal tidak cukup hanya dengan menambah armada atau memperluas rute. Perlu ada pendekatan yang menyentuh sisi psikologis dan kultural warga, sehingga mereka merasa terhubung dengan layanan yang digunakan. Di sinilah kearifan lokal Aceh dapat berperan besar, salah satunya melalui penerapan filosofi peumulia jamee (memuliakan tamu). Dalam konteks budaya Aceh, tamu bukan sekadar orang yang datang berkunjung, tetapi sosok yang wajib disambut dengan keramahan, rasa hormat, dan pelayanan terbaik. Nilai ini dapat diadaptasi dalam layanan halte Trans Koetaradja dengan memastikan setiap penumpang, baik warga lokal maupun pendatang, merasa diterima sejak pertama kali menginjakkan kaki di halte. Papan informasi yang jelas, petunjuk rute dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris), serta kehadiran petugas atau relawan informasi di titik strategis dapat menjadi bentuk nyata dari peumulia jamee di ruang publik transportasi. Bayangkan wisatawan yang baru tiba di Banda Aceh dan berhenti di halte dekat Masjid Raya Baiturrahman. Dengan konsep peumulia jamee, halte tersebut tidak hanya menyediakan tempat duduk dan atap pelindung, tetapi juga memberikan informasi tentang sejarah masjid, jadwal ibadah, dan rekomendasi destinasi terdekat. Begitu pula bagi mahasiswa baru yang belum mengenal jalur kota, halte di sekitar Darussalam dapat menyediakan peta rute yang mudah dibaca dan informasi kegiatan kampus.
Selain aspek fungsional dan estetika, arsitektur khas Aceh juga bisa disesuaikan dengan iklim dan kenyamanan lokal. Dinding samping halte dapat dibuat setengah terbuka dengan kisi-kisi kayu ukir untuk menjaga sirkulasi udara sambil memberi perlindungan dari panas. Materialnya pun bisa melibatkan kayu olahan lokal atau bambu dari Aceh Besar dan Pidie, memberi peluang ekonomi bagi pengrajin ukir setempat. Dengan begitu, pembangunan halte tidak hanya memperindah kota, tetapi juga menghidupkan kembali keterampilan tradisional. Jika setiap halte memiliki ciri visual yang berbeda namun konsisten dalam nuansa Aceh, orientasi penumpang akan lebih mudah. Orang tidak lagi hanya menghafal nama halte, tetapi juga mengenalinya dari bentuk dan warna: “halte atap limas dekat Peunayong” atau “halte pucuk rebung di Ulee Lheue”. Dengan desain seperti ini, setiap penumpang akan merasakan bahwa mereka sedang berada di ruang publik yang bukan sekadar transit, tetapi bagian dari cerita kota Banda Aceh itu sendiri.
Misalnya, halte di kawasan Darussalam dapat dilengkapi pojok baca dengan buku-buku ringan, majalah kampus, atau papan informasi akademik. Halte dekat Masjid Raya Baiturrahman bisa memiliki layar interaktif yang menampilkan sejarah masjid, jadwal salat, dan agenda kegiatan keagamaan. Sementara halte di Ulee Lheue dapat memuat peta wisata bahari, info jadwal kapal, dan rekomendasi kuliner khas. Semua informasi ini bisa disajikan melalui panel digital yang juga menampilkan jadwal kedatangan bus secara real-time. Di kawasan pasar tradisional seperti Peunayong, halte bisa menonjolkan informasi harga komoditas harian, jadwal pasar malam, atau peta kios strategis. Hal ini akan memudahkan pembeli dan juga membantu pedagang mempromosikan dagangannya.
Di Indonesia sendiri, kita bisa melihat contoh sukses bagaimana transportasi massal berintegrasi dengan budaya. Halte-halte Trans Jogja di Yogyakarta, misalnya, sering kali mengadaptasi elemen-elemen arsitektur Jawa seperti atap joglo atau ukiran tradisional pada strukturnya. Pendekatan ini berhasil membuat sistem transportasi publik terasa lebih ‘milik’ masyarakat lokal, sekaligus memberikan pengalaman unik bagi wisatawan yang ingin merasakan kekayaan budaya Yogyakarta. Konsep serupa memadukan filosofi peumulia jamee dan arsitektur Rumoh Aceh dapat membuat halte Trans Koetaradja memiliki daya tarik dan kehangatan yang sama, bahkan lebih kuat.
Dengan penyesuaian karakter ini, setiap halte menjadi bagian yang tak terpisahkan dari lingkungannya. Penumpang akan merasakan bahwa halte yang mereka gunakan benar-benar “milik” komunitas setempat, sekaligus menjadi jendela kecil untuk mengenal wajah-wajah berbeda Banda Aceh. Untuk menambah kenyamanan, halte-halte ini dapat dilengkapi fasilitas Wi-Fi gratis dan charging station bagi penumpang. Mahasiswa bisa mengerjakan tugas atau mengunduh materi kuliah, pekerja bisa memeriksa dokumen kerja, dan wisatawan bisa mengunggah foto perjalanan mereka sambil menunggu bus.
Kehadiran fungsi sosial ini juga bisa menjadi titik awal interaksi antarpenumpang. Orang yang tadinya hanya duduk diam bisa terlibat dalam obrolan ringan saat membaca informasi yang sama, atau saling bertukar rekomendasi lokasi. Dalam jangka panjang, halte akan berfungsi ganda yakni sebagai infrastruktur transportasi dan sebagai simpul kecil yang menghubungkan masyarakat. Dengan mengadaptasi semangat meunasah, halte-halte Trans Koetaradja akan memiliki “jiwa” yang membuatnya berbeda dari halte di kota lain. Mereka tidak hanya melayani mobilitas fisik, tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan sosial warga Banda Aceh. Fungsi sosial yang kuat akan membuat halte menjadi ruang publik yang hidup, namun daya tariknya akan lebih maksimal jika setiap halte memiliki karakter yang disesuaikan dengan lingkungannya. Dengan begitu, setiap halte Trans Koetaradja tidak hanya seragam secara desain, tetapi juga punya ciri khas yang relevan bagi penggunanya.
Kebiasaan mobilitas masyarakat Banda Aceh saat ini masih sangat dipengaruhi oleh kenyamanan kendaraan pribadi. Sepeda motor menjadi pilihan dominan karena dianggap cepat, fleksibel, dan bisa langsung berangkat kapan saja tanpa harus menunggu. Namun, di balik itu, ada kebiasaan yang secara tidak langsung memperburuk situasi lalu lintas dimana untuk jarak 2–3 kilometer saja, banyak warga tetap memilih motor dibanding berjalan kaki atau menggunakan bus. Fenomena ini terlihat jelas di kawasan Darussalam, pusat kampus-kampus besar seperti Universitas Syiah Kuala dan UIN Ar-Raniry. Pada jam kuliah pagi, ribuan mahasiswa berangkat dengan motor sendiri-sendiri, memenuhi parkiran kampus hingga meluber ke pinggir jalan.
Perubahan kebiasaan juga bisa menyasar pekerja kantoran di pusat kota. Saat ini, banyak pegawai yang berangkat dari kawasan Aceh Besar ke Banda Aceh dengan mobil atau motor karena beranggapan menunggu bus akan menghabiskan waktu. Namun, jika halte di rute utama seperti Jalan Teuku Umar atau Cut Meutia didesain dengan kenyamanan maksimal dengan atap teduh, informasi real-time kedatangan bus, dan suasana bersih maka persepsi “menunggu itu membuang waktu” bisa tergantikan dengan “menunggu itu nyaman dan bermanfaat”.
Dampak ini bukan hanya soal kelancaran arus lalu lintas, tapi juga tentang udara yang dihirup warga setiap hari. Data dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh menunjukkan bahwa kendaraan bermotor menjadi salah satu kontributor utama emisi CO₂ di Banda Aceh. Jika halte-halte yang nyaman berhasil menarik puluhan bahkan ratusan orang per hari untuk beralih ke bus, maka pengurangan emisi bisa terjadi secara signifikan. Satu unit bus Trans Koetaradja mampu mengangkut penumpang setara dengan 30–40 motor, yang berarti juga mengurangi jumlah knalpot yang menyumbang polusi di udara kota. Selain itu, efisiensi penggunaan ruang jalan juga akan meningkat. Parkiran di pusat kota, yang selama ini penuh sesak oleh kendaraan pribadi, akan lebih longgar jika lebih banyak warga menggunakan bus. Bagi pemerintah kota, hal ini berarti peluang untuk mengubah sebagian lahan parkir menjadi ruang terbuka hijau atau fasilitas publik lainnya.
Dari sisi pariwisata, halte-halte yang memancarkan identitas Aceh akan menjadi bagian dari pengalaman berkunjung itu sendiri. Wisatawan yang baru tiba di Banda Aceh akan langsung merasakan nuansa lokal begitu mereka menunggu bus di halte dengan ukiran pucuk rebung, papan informasi sejarah, dan sambutan ramah petugas. Pengalaman ini menciptakan kesan pertama yang kuat dan membangun citra Banda Aceh sebagai kota yang modern namun tetap berakar pada budayanya. Dengan kata lain, setiap halte “Persinggahan Hangat” bukan hanya mempermudah perjalanan, tetapi juga menjadi etalase budaya dan pintu promosi ekonomi lokal. Ini adalah simbiosis yang saling menguntungkan: transportasi massal mendapat dukungan publik, ekonomi warga berkembang, dan citra pariwisata Aceh semakin kuat.
Dari sisi budaya, desain halte yang menampilkan ukiran khas, warna tradisional, dan informasi sejarah lokal akan menjadi media edukasi terbuka. Generasi muda yang mungkin jarang berkunjung ke museum tetap bisa belajar tentang tokoh-tokoh Aceh, peristiwa sejarah, atau makna simbol-simbol tradisional setiap kali mereka menunggu bus. Hal ini memastikan bahwa nilai-nilai dan pengetahuan lokal tidak hanya disimpan di buku atau acara seremonial, tetapi hadir dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, identitas visual halte yang konsisten di seluruh jaringan Trans Koetaradja akan membentuk citra kota yang kuat. Sama seperti ikon halte merah di London atau papan metro khas di Paris, Banda Aceh dapat dikenal lewat wajah haltesnya yang unik dan berbudaya. Ini bukan hanya kebanggaan bagi warga, tetapi juga pernyataan bahwa modernisasi di Aceh tidak berarti meninggalkan akar budaya, melainkan merayakannya di tengah arus perubahan. Penyesuaian karakter halte berdasarkan lokasi membuktikan bahwa transportasi massal dapat tumbuh selaras dengan denyut kehidupan kota. Halte bukan lagi bangunan generik yang sekadar melindungi dari panas dan hujan, melainkan ruang publik yang memantulkan identitas lingkungannya.
Inilah yang membedakan konsep “Persinggahan Hangat” dari sekadar proyek pembangunan fisik. Ia bukan hanya tentang membangun atap baru atau menambah kursi di halte, melainkan tentang mengubah cara pandang warga terhadap transportasi massal. Setiap aspek dari desain arsitektur, fasilitas sosial, hingga informasi yang relevan dirancang untuk menumbuhkan rasa memiliki dan kebanggaan. Ketika masyarakat merasa halte adalah bagian dari hidup mereka, keputusan untuk meninggalkan kendaraan pribadi akan lebih mudah diambil.
Dengan kata lain, ini adalah sebuah gerakan sosial. Gerakan yang mendorong kita semua untuk melihat perjalanan bukan hanya sebagai perpindahan dari titik A ke titik B, tetapi sebagai pengalaman yang bermakna dan berbudaya. Banda Aceh punya kesempatan besar untuk menjadi contoh bagaimana transportasi massal bisa tumbuh tanpa meninggalkan akar tradisi, sambil menjawab tantangan modernitas. Dan gerakan ini, jika dimulai sekarang, akan menjadi warisan bagi generasi mendatang dimana sebuah kota yang bergerak maju, namun tetap berpijak pada nilai yang menjadikannya istimewa.(*)
DAFTAR PUSTAKA
Kompas.com. (2025, Januari 2). Masa kontrak kerja berakhir, bus Trans Kutaradja berhenti beroperasi di Banda Aceh. Kompas.
AcehAsia.com. (2025, Januari 3). Bus Trans Koetaraja Berhenti Operasi, Warga diimbau gunakan transportasi alternatif. AcehAsia.com.
AcehTrend.com. (2024, 24 Juli). Penjualan sepeda motor baru di Aceh tumbuh 24,97 persen. https://www.acehtrend.com/news/penjualan-sepeda-motor-baru-di-aceh-tumbuh-24-97-persen
Diskominfotik Kota Banda Aceh. (n.d.). Data transportasi Kota Banda Aceh. https://bandaacehkota.go.id/data-transportasi
Dishub Provinsi Aceh. (2021). Transportasi Aceh arsip – Diskusi kendaraan pribadi sebagai kebiasaan. https://dishub.acehprov.go.id/tag/transportasi-aceh/page/57
Salman, A. (2024, 1 Mei). Trans Koetaradja sebagai langkah dukung percepatan ekonomi. Lenteranasional.com. https://www.lenteranasional.com/2024/05/trans-koetaradja-sebagai-langkah-dukung.html
Syammaun, T., Rachman, F., & Safriadi, S. (2024). Optimalisasi jumlah bus Trans Koetaradja di Kota Banda Aceh: (Studi kasus Koridor I: Pusat Kota – Darussalam). Tameh, 7(1), 11–20.
Azwarfajri, A. (2022). Perubahan fungsi dan kedudukan meunasah dalam kehidupan generasi muda Aceh: The Changes in Meunasah’s Functions and Roles in the Acehnese Young Generation. Jurnal Sosiologi Agama Indonesia (JSAI), 3(2), 129–141. https://doi.org/10.22373/jsai.v3i2.1889
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah I. (n.d.). Rumah Aceh atau Rumoh Aceh. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpkw1/rumah-aceh-atau-rumoh-aceh/
“Peumulia Jamee, Sepenggal Tradisi yang Kian Tergerus.” (2023, 31 Desember). Suara Pemerintah. https://suarapemerintah.id/2023/12/peumulia-jamee-sepenggal-tradisi-yang-kian-tergerus/
ANTARA News. (2024, 10 September). Syair adat Aceh “Peumulia Jamee” sambut tamu PON XXI. ANTARA. https://www.antaranews.com/berita/4320923/syair-adat-aceh-peumulia-jamee-sambut-tamu-pon-xxi
Media Informasi Warga Aceh. (n.d.). Rumah adat Rumoh Aceh – Sejarah, Arsitektur, dan Pelestariannya. Hai-Aceh.com.
Sudirman Hamid. (2025, 26 April). Arus lalu lintas Banda Aceh padat, volume kendaraan meningkat. Inforakyat.co. https://inforakyat.co/arus-lalu-banda-aceh-padat-volume-kendaraan-meningkat.html
Rahmat Hidayat & Diana Sapha A.H. (n.d.). Dampak kemacetan terhadap sosial ekonomi pengguna jalan di Kota Banda Aceh. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Ekonomi Pembangunan (EKP). https://jim.usk.ac.id/EKP/article/view/2482
Saiful Sidik. (2023). Jejak karbon akibat kendaraan bermotor dan konsumsi listrik di kota Banda Aceh (Tesis master). UIN Ar-Raniry Repository. https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/33827
Mohd. Febrianto. (2023, 21 September). Green Halte Trans Kutaraja: Transformasi halte dalam mewujudkan budaya sadar lingkungan untuk menggapai Green City Initiative Kota Banda Aceh 2034. Dishub Aceh. https://dishub.acehprov.go.id/2023/09/21/green-halte-trans-kutaraja-transformasi-halte-dalam-mewujudkan-budaya-sadar-lingkungan-untuk-menggapai-green-city-initiative-kota-banda-aceh-2034/
Antara. (2020). Atasi kemacetan, Banda Aceh fokus perluasan jalan kota pada 2020. https://aceh.antaranews.com/berita/109516/atasi-kemacetan-banda-aceh-fokus-perluasan-jalan-kota-pada-2020
Dishub Aceh. (2023, 1 November). Hindari kemacetan, pengunjung PKA-8 disarankan naik transportasi umum.