Pelabuhan Ulee Lheue Dari Masa Ke Masa

Pelabuhan memiliki peran yang sangat vital bagi sebuah negara kepulauan seperti Indonesia. Sejauh ini, transportasi penyeberangan dinilai masih sangat efektif untuk menyatukan dan menggerakkan perekonomian negara Indonesia yang memiliki 17.000 pulau. Maka, transportasi laut harus dikembangkan dengan baik dan benar untuk menunjang pertumbuhan perekonomian.

Peran ini lah yang telah dilakoni oleh Pelabuhan Ulee Lheue Banda Aceh, Sejak masa kerajaan Aceh Darussalam, masa penjajahan Belanda dan Jepang, hingga era kemerdekaan.

Pada masa lalu, pelabuhan yang berada di ujung Pulau Sumatera ini memainkan peran strategis sebagai titik pemberangkatan armada dagang ke luar negeri. Karena itu, Pelabuhan Ulee Lheue yang hanya berjarak sekitar 5 kilometer dari pusat Kota Banda Aceh ini menjadi salah satu target utama yang harus direbut ketika Belanda maupun Jepang melancarkan perang terhadap Aceh.

Kini, Pelabuhan Ulee Lheue yang memiliki sejarah panjang ini terus berbenah untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat Aceh, serta wisatawan dari luar Aceh yang ingin berwisata ke Sabang.

Saat ini, Pelabuhan Ulee Lheue menjadi satu-satunya sarana angkutan laut yang melayani penumpang dan barang dari Banda Aceh ke Sabang, juga ke Pulo Aceh, sebuah kecamatan kepulauan yang masuk dalam wilayah Aceh Besar. Di Pelabuhan Ulee Lheue tersedia beberapa sarana kapal feri Ro-Ro (Roll On-Roll Off) serta kapal cepat yang melayani penumpang dan barang ke Sabang, serta satu kapal feri ro-ro ke Pulo Aceh.

Pelabuhan Ulee Lheu saat ini memiliki areal seluas lebih kurang 8 hektare, mencakup fasilitas terminal penumpang sebagai bangunan utama, lahan parkir, dermaga kapal cepat, dermaga kapal lambat, kolam pelabuhan, dan lain-lain.

Pelabuhan Ulee Lheue pada Masa Belanda

Berdasarkan referensi yang tercatat, pelabuhan permanen di kawasan Ulee Lheue ini dibangun oleh pihak militer Belanda pada tahun 1876. Pada awal tahun 1900-an, Belanda menjadikan pelabuhan tersebut sebagai kawasan strategis, menjadi lokasi pendaratan pasukan dan logistik.

Pelabuhan ini sekaligus juga tempat berlabuhnya kapal-kapal dari berbagai negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura selain juga kapal-kapal Belanda. Di sekitar pelabuhan, Belanda membangun kamp militer. Seiring dengan itu, deretan pertokoan para pedagang Cina juga bermunculan di kawasan Ulee Lheue. Tak heran jika pelabuhan Ulee Lheue dan sekitarnya menjadi salah satu kawasan yang cukup sibuk kala itu.

Peran penting Pelabuhan Ulee Lheu ini juga tercatat dalam sejarah perkerataapian Aceh, ketika jalur kereta Ulee Lheue – Koetaradja (Banda Aceh) mulai diaktifkan pada tahun 1876. Kereta api saat itu bahkan memiliki stasiun di dalam area pelabuhan, untuk kepentingan memudahkan kegiatan bongkar muat sarana peralatan militer perang, yang kemudian berubah menjadi sarana pengangkutan orang dan barang perdagangan.

Pelabuhan Ulee Lheu sempat ditutup pada tahun 1980-an dan aktivitasnya dialihkan ke Pelabuhan Malahayati, di Krueng Raya, Aceh Besar.

Sampai pada akhirnya Pelabuhan Ulee Lheue dibangun dan dikelola kembali pada awal tahun 2000-an oleh pihak Pemerintah Kota Banda Aceh, melalui UPTD Pelabuhan Ulee Lheue Dishubkominfo Banda Aceh, dengan gedung perkantoran terdiri atas 3 lantai.

Saat itu, Pelabuhan Ulee Lheue beroperasi melayani beberapa rute, seperti penyeberangan ke Sabang, Kota Lhokseumawe, Kuala Langsa, bahkan sampai ke Pelabuhan Belawan – Medan.

Era Baru Pasca Tsunami

Seluruh fasilitas pada Pelabuhan Ulee Lheue hancur lebur saat musibah tsunami meluluhlantakkan Aceh pada, 26 Desember 2004. Kondisi Pelabuhan Ulee Lheue sangat memprihatinkan karena tak satupun bangunan fasilitas darat yang tersisa. Padahal saat itu pelabuhan ini sedang dalam tahap pembangunan beberapa gedung baru.

Karena kondisinya yang hancur lebur, maka sekali lagi seluruh aktivitas penyeberangan dialihkan ke pelabuhan terdekat, yaitu Pelabuhan Malahayati yang berlokasi di Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar. Pelabuhan yang berjarak sekitar 35 kilometer dari Kota Banda Aceh ini juga rusak dihantam tsunami, namun masih dapat mengoperasikan dermaganya untuk tempat bersandar kapal.

Pada bulan Juni 2005 atau sekitar 6 bulan setelah bencana tsunami, pemerintah Australia melalui Australia Indonesia Partnership for Reconstruction and Development (AIPRD) memberikan bantuan kepada United Nations Development Programme (UNDP) untuk menjalankan tahap 1 dalam pembangunan kembali Pelabuhan Ulee Lheue. Namun pembangunan pada masa itu hanya difokuskan untuk melayani kebutuhan transportasi logistik via laut guna membantu rekonstruksi Kota Banda Aceh dan daerah lainnya yang terkena dampak bencana tsunami. Dan dilanjutkan kembali dengan pembangunan fasilitas tahap 2 pada tahun 2007-2008.

Meski telah direkontruksi, tapi pelabuhan ini masih belum dapat dioperasikan secara optimal, karena dermaga yang ada hanya dapat menampung kapal feri yang menuju Pulau Weh sebanyak 2 rit per hari.

Dalam Revisi RTRW Kota Banda Aceh 2006 – 2016 dijelaskan, pengembangan pelabuhan di pelabuhan lama kawasan Ulee Lheue adalah untuk pelabuhan skala internasional, sebagai pelabuhan pengumpan primer dan berfungsi untuk pelabuhan umum melayani penumpang antar pulau dan negara, juga menjadi gerbang untuk provinsi, kabupaten dan kota di sekitarnya. Pelabuhan ini akan diperuntukkan terutama untuk kapal-kapal penumpang dari dan ke Pelabuhan Balohan di Sabang, Medan dan provinsi lainnya, serta negara lain seperti Malaysia (Penang).

Tonton Video Memberi Pelayanan Pelabuhan Ulee Lheue Terbaik Dari Hati

https://www.youtube.com/watch?v=DUv5YXP0u9w&t=34s

Meskipun sudah dioperasikan, namun masih ada beberapa penambahan fasilitas yang tersedia di pelabuhan tersebut. Seperti dermaga tempat sandaran kapal cepat dan lambat, ruang tunggu penumpang dan lokasi parkir kendaran roda dan empat. Dan hanya berperan sebagai penghubung utama antara Pulau Sumatera ke Sabang melalui Kota Banda Aceh dengan 3 – 4 trip penyeberangan setiap harinya.

Selain itu, pelabuhan ini juga menyediakan dermaga untuk bersandarnya kapal milik Basarnas, Kapal KM. Peunaso milik Pemkab Aceh Besar, dan Kapal Pengawas Operasional Pelayaran KM. Williem Torrent 1875. Kehadiran sebuah pelabuhan yang lebih representatif dan benar-benar mampu berperan sebagai pintu gerbang membawa hasil-hasil yang telah diolah berupa komoditi unggulan menuju daerah dan negara lain, tentu sangat didambakan semua pihak. (Dewi Suswati)

Download Tabloid Aceh TRANSit Edisi 8

Selengkapnya cek di:

Tabloid ACEH TRANSit

Skip to content