Alas Kaki

Pasangan terbaik itu seperti sepatu. Bentuknya tak persis sama, namun serasi. Meski berada di posisi paling bawah dan selalu diinjaki, namun dialah yang membawa banyak orang berkeliling dunia. Bayangkan, sepasang sepatu tentara yang terus disempurnakan untuk “beradaptasi” dengan tugas dan alam yang dihadapi, barangkali warna hitam dengan ikatan tali hingga pangkal betis untuk dapat melakukan “perjalanan” dengan semangat pantang mundur serta sebagai wujud kewibawaan dan kegagahan.

Apakah kita menyadari kebenaran Forrest Gump? Karya Winston Groom yang diangkat dalam sebuah film terbaik garapan Robert Zemeckis dengan penghargaan Academy Awards Tahun 1994.  Berkisah tentang seorang anak yang ber-IQ di bawah rata-rata dengan kelainan “perjalanan” hidup yang harus dibantu dengan sepatu terapi, sehingga dia diolok-olok oleh temannya. Dia menyadari “Mama selalu bilang, kau bisa mengetahui pribadi orang dari sepatu yang dipakainya. Kemana mereka pergi, darimana mereka. Aku merusak banyak sepatu.”

Sepatu atau sebuah alas kaki mengisahkan banyak cerita, karena “semakin jauh berjalan, akan semakin banyak yang dilihat” serta banyak pula kisah yang ada di setiap “perjalanan”. Namun pada realitas kehidupan, berjalan tanpa henti akan membawa pada kelelahan. Ada kala, langkah perlu berbalik untuk beristirahat sementara, meski terkadang hasrat terus saja bergerak, istirahat sebaiknya dimanfaatkan untuk merenung peran yang dapat kita berikan diantara peran-peran orang lain.

Memang, kita terbiasa membiarkan hasrat maju jauh di depan, alih-alih mempertimbangkan kebutuhan yang akan memberikan “manfaat” pada orang lain, malah bersitegang untuk mempertahankan “prinsip” yang hanya terlintas sekilas dalam benak demi sebuah “fatamorgana” keuntungan. Tak ayal, argumen yang diperdebatkan demi sebuah kehormatan yang dianggap bermartabat padahal telah mencoreng “harga diri” dan dengan sukarela melupakan kepentingan bersama yang telah disepakati.

Bertahan pada keinginan semata tentu akan menjerat diri, pada akhirnya hasrat ini menjadi sebuah wujud ketamakan dan keangkuhan yang menganggap rendah pada kepentingan lainnya. Hal ini sama persis dengan transformasi makna “ruang publik” yang awalnya disandingkan dengan tiga elemen, yaitu responsif, demokratis dan bermakna sesuai pemanfaatan ruang. Ruang publik telah dialihkan fungsi untuk meraup keuntungan “keakuan”.

Sebuah ruang yang telah ditetapkan untuk dimanfaatkan bersama, kini telah diberi sekat-sekat “kewenangan” hingga mengekang gerak massa yang berujung konflik tiada henti. Kewenangan ini menjadi “embel-embel” sangat sering didengungkan untuk dasar membangun sebuah kepentingan, pribadi atau kebersamaan.

Pertahanan sebuah kewenangan akan dikalahkan ketika akan terjadi permasalahan secara teknis, semua akan saling “lempar handuk”. Sehingga penyelesaian berujung terhambatnya pelayanan bagi masyarakat. Pada akhirnya, permasalahan tersebut jadi menguap. Tidak ada solusi konkret, ego sektoral menjadi pemenang sesaat.

Kewenangan inilah, biang kerok yang membuat pihak yang merasa diri lebih “diakui” dan enggan untuk mendengar keluh-kesah. Mereka akan menutup kuping rapat-rapat jika perihal tersebut tidak membawa manfaat bagi kepentingannya. Lagi-lagi, sebidang tanah hanya menjadi wahana ilalang, tidak akan berubah menjadi ladang sayur yang penuh manfaat.

Perilaku “keakuan” bagaikan benteng kokoh yang menghadang setiap upaya untuk bersinergi meraih tujuan dan kemajuan. Akibatnya bukan hanya mereduksi efisiensi operasional secara keseluruhan juga akan menggerus moral kebersamaan sehingga tidak mau berkontribusi dan sangat sulit untuk mencapai sinergi. Satu sektor memandang sektor lain tidak lebih penting dari sektornya sendiri, demikian pula sebaliknya. Mentalitas sempit yang lebih mementingkan sektornya masing-masing ini bisa terus menguat manakala perekat antar sektor melemah atau tidak ada. Bahkan, keakuan ini membuat perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya menjadi tidak sehat, tidak adil, dan tidak efisien dari sudut pandang kepentingan kawasan.

Dengan meminimalisir tubrukan peran, kewenangan eksekusi sepenuhnya dipegang kembali oleh masing-masing sektor yang mementingkan kepentingan masyarakat diatas segala-galanya. Tentunya, solusi mengurangi ego sektoral tidak terbatas, tidak hanya pada satu sudut pandang saja. Kesamaan cara pandang dan tujuan serta orkestrasi yang dimainkan menjadi aspek terpenting dalam mengeliminasi keakuan yang muncul.

“Perjalanan” menuju pada pangkal untuk mencari solusi ego sektoral sama seperti alas kaki, antara sepasang kiri dan kanan sepatu tidak pernah memiliki bentuk yang sama. Walaupun begitu, sepatu akan terus bersama ke manapun perginya demi kenyamanan dan bisa memberi manfaat kepada yang membutuhkannya. Bayangkan ketika salah satunya hilang, maka manfaatnya akan hilang. Sepasang sepatu saat berjalan memang tidak pernah kompak, tetapi tujuannya sama, tidak perlu harus ganti posisi, namun saling melengkapi.

Keajaiban datang bagi mereka yang tidak pernah menyerah untuk melengkapi, Forrest merusak banyak sepatu dalam “perjalanannya” mengitari setengah daratan Amerika selama bertahun-tahun, kemampuan yang dimulai saat dia dikejar teman yang meragukan dirinya. Dengan kemampuan berlari ini, Forrest menjadi seorang yang sangat berjasa dalam peletonnya saat peperangan serta menjadi penyelamat banyak tentara yang terluka dan menolong siapa pun yang meragukannya, sehingga dia menerima kehormatan atas kepahlawanannya.

Begitulah perumpamaan manusia, masing-masing dari kita memiliki sudut pandang dan pola pikir yang berbeda, tapi alangkah baiknya jika kita menghargai pendapat dan tujuan orang lain tanpa perlu mengedepankan “keakuan” kita. Karena justru dengan saling melengkapi dan mengapresiasi perbedaan itulah, kita bisa mencapai tujuan secara optimal sesuai dengan yang kita inginkan. (Junaidi Ali)

Selengkapnya baca di

Tabloid ACEH TRANSit

Skip to content