Smong, Kearifan Lokal untuk Mitigasi Bencana

Enggel mon sao surito…

Inang maso semonan…

Manoknop sao fano…

Uwi lah da sesewan…

(Dengarlah sebuah cerita)

(Pada zaman dahulu)

(Tenggelam satu desa)

(Begitulah mereka ceritakan)

 

Unen ne alek linon…

Fesang bakat ne mali…

Manoknop sao hampong…

Tibo-tibo mawi…

(Diawali oleh gempa)

(Disusul ombak yang besar sekali)

(Tenggelam seluruh negeri)

(Tiba-tiba saja)

 

Itulah dua bait syair lagu yang bercerita tentang Smong karya Muhammad Riswan dengan nama tenarnya Moris, salah satu tokoh adat dan pemerhati budaya Simeulue.

Kemunculan Smong berawal dari pengalaman pahit pada tahun 1907 silam, kala ombak besar menghantam pesisir-pesisir pulau Simeulue terutama di Kecamatan Teupah Barat. Tsunami dengan magnitude 7,6 tersebut menjadi mimpi buruk sekaligus pelajaran berharga bagi masyarakat Simeulue. Ribuan nyawa melayang, rumah dan surau hancur, serta harta benda pun lenyap. Jejak bencana hebat itu masih terlihat pada sebuah kuburan yang terletak di pelataran masjid Desa Salur, Kecamatan Teupah Barat.

Sejak itu, kata Smong begitu akrab di kalangan masyarakat Simeulue. Smong diartikan sebagai hempasan gelombang air laut yang berasal dari Bahasa Devayan, Bahasa asli Simeulue. Secara historis, Smong merupakan kearifan lokal dari rangkaian pengalaman masyarakat Simeulue pada masa lalu terhadap bencana gempa bumi dan tsunami.

Kisah Smong diceritakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi melalui nafi-nafi. Nafi adalah budaya lokal masyarakat Simeulue berupa adat tutur atau cerita yang berisikan nasihat dan petuah kehidupan, termasuk Smong. Para tetua dan tokoh adat menyampaikan nafi-nafi kepada kaum muda untuk menjadi pelajaran.

Cerita Smong disampaikan kepada generasi muda termasuk anak-anak dalam berbagai kesempatan, seperti saat memanen cengkeh. Dulu Simeulue terkenal dengan cengkehnya, anak-anak sering ikut membantu orang tua mereka saat memanen cengkeh. Maka tidak heran jika setiap memanen cengkeh, kisah-kisah Smong jadi selingan di tengah kesibukan.

Selain itu, nafi-nafi juga disampaikan di surau-surau mengaji setelah shalat magrib. Nasihat-nasihat tentang kehidupan dan kisah Smong disampaikan setelah mengaji. Smong juga menjadi pengantar tidur anak-anak di malam hari. Para orang tua bercerita tentang Smong sembari menunggu buah hati mereka terlelap dalam tidur. Semua orang tua melakukan hal yang sama, hingga akhirnya Smong menjadi kearifan lokal masyarakat Simeulue yang diwariskan melalui berbagai cara. Para tetua meyakini suatu saat Smong akan datang lagi, walaupun mereka sangat berharap agar kejadian itu tidak pernah terulang lagi.

Bencana tsunami dahsyat yang menimpa Aceh pada tahun 2004 lalu, boleh dikatakan sebagai challenge tersendiri bagi masyarakat Simeulue. Tantangan terhadap kearifan lokal dan adat tutur yang telah diwariskan ternyata berhasil dilalui. Gempa hebat dan luapan air laut menyapu ribuan rumah penduduk, namun masyarakat selamat. Hanya terdapat sekitar 3 sampai 6 orang meninggal dunia.

Smong membuat seluruh dunia berdecak kagum. Semua orang mulai bertanya-tanya tentang Smong. Smong mulai didiskusikan, diseminarkan, dan dipelajari. Masyarakat dunia khususnya Indonesia mulai mempelajari Smong sebagai salah satu cara untuk mitigasi bencana tsunami.

Kini media penyampaian Smong pun bertambah. Bila dulu hanya melalui nafi, sekarang Smong juga diceritakan melalui Nanga-nanga dan kesenian Nandong masyarakat Simeulue. Tidak hanya itu, Smong pun disenandungkan melalui lagu dan puisi, seperti karya Pak Moris di awal. Disaat penutur nafi-nafi sudah sedikit, media seni menjadi salah satu solusi agar kisah Smong tetap tersampaikan. Pak Moris berharap kisah Smong dapat tersampaikan dengan mudah kepada para generasi muda melalui lagu dan puisi.

Motivasi Pak Moris menghadirkan Smong dalam lagu dan puisi sangat sederhana, beliau ingin melestarikan cerita-cerita para leluhurnya. Agar kelak generasi selanjutnya paham bagaimana tindakan mitigasi dari bencana yang pernah dialaminya dan leluhurnya. (Amsal)

Versi cetak digital dapat diakses dilaman:

Tabloid ACEH TRANSit

 

Skip to content