Sense of Crisis: Membangun Benteng Peduli di Garis Batas

*Perilaku Rasa Peka dan Tanggap dalam Krisis Pandemi

Mereka yang telah bersedia mengikrarkan diri untuk mengabdi pada bangsa dan negara akan siap untuk meniti buih di perbatasan. Mengapa harus perbatasan? Jika kau telah menonton film “Batas” yang dirilis 2011 dan “Tanah Surga… Katanya” yang dirilis 2012 tersebut, maka akan mengerti entitas perbatasan dari kata “Semangat, cinta, dan ikhlas”.

Begitu pula, mereka yang memilih menjadi pahlawan meskipun “tanpa tanda jasa” dan kasat mata di muka umum akan siap menerima perintah dan melaksanakan tugas sukarela. Meskipun ada sekelebat kegelisahan dan kekhawatiran di benak. Meninggalkan sanak saudara, rumah yang nyaman tidaklah mudah, naluri akan meronta dan memberontak. Namun semua itu sangatlah wajar dan manusiawi. Secara patriotisme, mereka akan segera bergerak maju saat sense of crisis mengatakan bahwa negeri kita sedang tidak baik-baik saja, Ibu Pertiwi sedang dirundung pilu.

Sense of crisis di sini dapat diartikan sebagai kepekaan, kewaspadaan, dan kesiapsiagaan yang telah direncanakan sebaik mungkin dalam menghadapi krisis yang dilakukan secara tangkas, tepat sasaran, dan tidak bertele-tele pada sebuah keputusan yang dilandaskan prinsip kemanusiaan dan saling menghargai. Dalam hal ini, punggawa dan rakyat berjalan beriringan.

Menjelang siang, matahari dengan gagah menampakkan diri dengan cahaya emasnya. Saat petugas kemanusiaan berjejer rapi menjawab panggilan bangsa yang sedang dilanda krisis pandemi. Suara lantang terdengar ucapan “siap laksanakan!” menggema turut menggetarkan partikel udara, tanda menerima tantangan tugas ke perbatasan Aceh – Sumatera Utara (Sumut). Depo Trans Koetaradja menjadi saksi bisu setiap seremonial pelepasan tim ke posko perbatasan itu dilakukan.

Wilayah kerja tim tersebar ke 4 (empat) posko perbatasan yang berbeda, Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, Subulussalam, dan Singkil. Hal ini tentunya bertujuan untuk memutus mata rantai Covid-19.

Ada dilema besar yang terbeban saat melepas keberangkatan tim saat ini. Di saat instruksi “stay at home, work from home” diumumkan secara tegas, namun tim harus ke luar rumah dan pergi ke tempat yang berpotensi besar terpapar Covid-19. Ditambah lagi, kondisi infrastruktur sebagian posko hanya berupa tenda yang dipasang sekedar terhindar dari panas. Jika hujan disertai angin menerjang, posko akan musnah dalam sekejap.

“Pas waktu bertugas, ada rasa khawatir yang besar saat berpas-pasan warga, apakah warga ini telah terpapar atau tidak? Hal ini justru mengikis mental kami di lapangan. Gelisah juga pas pulang ke rumah, apakah kita membawa virus tersebut? Banyak lagi tekanan yang dialami saat bertugas. Ini tidak semudah yang terlihat oleh mata,” ujar salah seorang petugas melepaskan penat di hatinya.

Seharusnya, perencanaan untuk penanggulangan bencana telah disiapkan sematang mungkin. Standar Operasional Prosedur (SOP) pelaksanaan juga bersifat tegas dan tidak “linglung”. Semua pihak melaksanakan tugas sesuai tupoksi dan tidak lagi celingak-celinguk rekan sebelah.

Selain itu ada infrastruktur yang memadai, SDM yang tersedia, SOP yang jelas, serta adanya dukungan LSM atau media. Semua itu harus direncanakan dan dipersiapkan dengan tepat. Karena perencanaan yang baik dan tepat, menyumbang 50 persen keberhasilan.

Tiga Gelombang

Pertengahan bulan Ramadhan, Dinas Perhubungan Aceh telah memberangkatkan 3 (tiga) gelombang tim ke perbatasan. Seremonial pelepasan gelombang pertama berlangsung pada tanggal 20 April 2020, disusul gelombang kedua selang seminggu setelahnya.

Tim tersebut bertugas untuk mendata seluruh masyarakat yang melintas baik penumpang angkutan umum, angkutan pribadi, maupun pengendara kendaraan roda dua, di pintu masuk Aceh. Data pemudik ini diupload di laman sapamudik.id.

Kepala Dishub Aceh Junaidi, S.T., M.T., dalam arahannya pada acara pelepasan tim, menekankan kewajiban mematuhi seuruh protokol kesehatan. Saat bertugas, harus senantias menggunakan alat pelindung diri (APD), seperti masker, sarung tangan, dan fasilitas pendukung lainnya. “Semoga pekerjaan ini bermanfaat bagi masyarakat, serta dengan ketulusan dan keikhlasan menjadi catatan amal yang diperhitungkan kelak,” tuturnya memberikan semangat bagi petugas yang akan diberangkatkan dengan bus Trans Koetaradja.

Sementara Sekretaris Dishub Aceh, T. Faisal, S.T., M.T., dalam sambutan pelepasan gelombang 2 (dua) mewakili Kadishub Aceh menyampaikan, sepulang dari lapangan, tim ini akan dikarantina selama 14 hari dan dilakukan rapid test. “Sehingga, keluarga dan masyarakat tidak resah dengan kondisi di tengah pandemi ini,” tambahnya.

Begitulah perjuangan para petugas kemanusiaan ini di lapangan. Namun tetap saja mereka yang tak tahu menahu proses ini, melemparkan bahasa tak indah yang membekas kelam di hati sang pionir. Manalah lagi budi pekerti itu tersemat. Entah pada terompahnya yang mahal atau jemari yang lentik.

Di sinilah mengapa sense of crisis sangat penting. Karena krisis tidak selalu berarti sebuah kemunduran dan kelemahan, melainkan bisa menjadi batu loncatan untuk meraih kesuksesan di masa depan. (Syakirah)

Cek tulisan cetak versi digital di laman :

Tabloid ACEH TRANSit

Skip to content