PADA Senin (31/8/2020) Tim Aceh TRANSit berkesempatan untuk bertemu dengan seorang pegiat sepeda di Banda Aceh, Oemar Riskov. Pria kelahiran Manggeng, 31 Januari 1990 ini tergabung dalam beberapa komunitas sepeda di Banda Aceh dan Aceh seperti Gari Off Road (GOR), Koetaradja MTB, Road Bike Aceh (RBA) dan Goweser Aceh – Sumut (GAS). Perbincangan santai sambil menyeruput secangkir kopi ditengah suasana hujan lebat yang menguyur kota Banda Aceh ini tentu tak jauh-jauh dari sepeda. Berikut kutipannya
Sejak kapan Oemar mulai tertarik bersepeda?
Pertama kali mulai bersepeda itu di tahun 2015. Awalnya sebelum menekuni sebuah hobi saya melakukan riset, sebuah hobi yang tidak hanya bermanfaat bagi diri saya sendiri namun juga bagi lingkungan. Akhirnya pilihan saya jatuh kepada bersepeda, dengan pertimbangan sehat, mudah, murah, tanpa pajak, dan tentunya ramah lingkungan.
Cerita paling menarik saat bersepeda Oemar?
Pernah saat itu saat gowes santai ke daerah Mon Ceunong, Indrapuri, Aceh Besar. Saat itu memang baru saja hujan, kondisi jalan sangat basah dan licin. Ketika diturunan saya kehilangan kendali sepeda dan terjatuh. Syukur saja saat itu hanya cidera ringan, termasuk wajah saya sedikit terluka. Candaan teman-teman bahwa saya berhasil mendapatkan stempel Mon Ceunong. Sejak saat itu saat saya selalu memakai helm full face saat bersepeda off road.
Himbauan Oemar ke sesama pesepeda
Sebenarnya ini bukan himbauan, tapi kembali mengingatkan saja bahwa saat gowes di jalan raya kita harus mengikuti aturan yang berlaku, seperti berhenti di lampu lalu lintas, tidak menyeberang sembarangan dan tidak mengambil jalur pengguna jalan raya lain. Perlu diingat peseda bukanlah penguasa jalan raya, jalan raya adalah milik Bersama dari pejalan kaki hingga pengguna mobil, jadi mari hargai sesama pengguna jalan.
Selanjutnya hindari konvoi ketika bersepeda. Hal ini sangat menggangu pengguna jalan yang lain dan membahayakan si peseda. Jalan raya bukanlah ruang tamu atau keude kupi dimana kita berbincang-bincang sesuka hati, pengguna jalan bukan hanya kita. Beberapa negara bahkan telah menerapkan peraturan untuk bersepeda dijalan raya seperti ruas jalan maksimal yang dapat digunakan iring-iringan peseda adalah 1,5 meter, jika melebihi batas tersebut maka akan dikenakan sanksi ataupun denda.
Perlengkapan safety juga harus menjadi prioritas utama bagi para goweser, terutama helm. Beberapa komunitas bahkan sudah membuat peraturan bagi yang tidak mengenakan helm maka tidak boleh bergabung dengan acara-acara gowes rutin mereka. Apabila ingin bersepeda malam hari, selain helm juga harus memperhatikan peralatan safety lainnya seperti lampu belakang dan depan juga harus mengenakan pakaian yang berwarna terang agar dapat terlihat jelas bagi pengguna jalan yang lain.
Harapan Oemar kepada para pengambil kebijakan?
Mungkin yang menjadi catatan bahwa goweser dan pedestrian adalah minoritas dijalan raya. Hal ini harus mendapat perhatian dari pengambil kebijakan, terutama dalam penyediaan fasilitas yang membuat pesepeda merasa lebih aman dan nyaman saat bersepeda. Jalur-jalur speda yang ada difungsikan kembali selain juga penambahan jalur-jalur sepeda terutama di rute-rute favorit bagi pesepeda.
Bagaimana Oemar melihat tren bersepeda yang terus meningkat ini?
Saya melihat maraknya pesepeda di Indonesia terutama di Aceh ini sebagai sesuatu yang positif. Selain masyarakat yang mulai sadar akan pentingnya berolahraga juga memberikan dampak positif kepada lingkungan dengan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. Namun yang menjadi perhatian kita sebenarnya adalah bagaimana tren bersepeda ini tetap terjaga bahkan meningkat. Maka seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, perlunya peningkatan fasilitas-fasilitas bersepeda di wilayah Banda Aceh, jangan sampai nanti tren bersepeda ini menurun karena banyak yang merasa tidak aman dan nyaman lagi saat bersepeda.
Apakah ada dampak positif dari tren bersepeda ini selain bagi pesepeda dan lingkungan?
Tren bersepeda ini sebenarnya juga berpeluang meningkatkan potensi wisata Aceh. Pada tahun 2019 lalu, saya mengikuti acara Tour de Sinabung 2019 bersama 10 teman saya. Acara ini mampu menarik tiga ribu lebih peserta yang tidak hanya datang dari berbagai daerah di Indonesia tapi juga dari beberapa negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Acara yang yang berdurasi dua hari itu juga mempromosikan spot-spot wisata, hasil kerajinan tangan dan kuliner setempat. Melihat potensi alam yang dimiliki Aceh, saya sangat yakin kita bisa mengadakan event-event sepert Tour de Sinabung tersebut.
Seperti di wilayah Banda Aceh juga dapat ditambah jalur-jalur sepeda ke spot-spot bersejarah, seperti museum tsunami, kapal PLTD Apung, Kapal di atas rumah dan sebagainya yang nantinya dapat kita promosikan tsunami cycling route atau rute napak tilas tsunami untuk menarik wisatawan. Ini masih merupakan raw idea atau ide mentah saja, semoga bisa menjadi masukan bagi pemangku kepentingan.
Pengalaman Oemar yang tidak terlupakan saat bersepeda?
Pengalaman yang tidak bisa saya lupakan itu adalah saat pertama kali mengikuti event Kebersamaan Avicenna Goweser Aceh – Sumut (KAGAS) di Bireuen. Pada saat itu di tengah jalan sepeda saya mengalami kerusakan, waktu itu saya sedikit kagok karena ini pengalaman pertama untuk saya. Saat itu semua peserta yang lewat pasti berhenti dan membantu saya, mereka memperbaiki sepeda saya sampai bisa dinaiki kembali. Saya bahkan tidak sedikitpun menyentuh sepeda saya. Saat itu saya sangat terharu ternyata rasa solidaritas sesama begitu besar. Ini pengalaman yang tidak bisa saya lupakan seumur hidup. (Arrad)
Simak edisi cetak digital di laman: