SESUAI dengan namanya “Aceh Hebat”, kapal ini menjadi sejarah pembangunan sektor transportasi di Aceh dan dibangun dengan anggaran Aceh sendiri. Kelancaran mobilitas penumpang, logistik, dan pengembangan pariwisata kepulauan di Aceh, akan tertumpu pada moda transportasi ini. Harapannya, dengan hadirnya kapal ini dapat menyetarakan taraf kehidupan masyarakat di kepulauan, menjadi sama dengan yang di daratan.
“Menurut jadwal, 30 November, kapal (KMP. Aceh Hebat 1 –red) akan di-delivery atau berlayar ke Aceh, selanjutnya akan beroperasi sebagaimana mestinya,” ujar Plt. Gubernur Aceh, Ir. Nova Iriansyah, M.T, saat menyaksikan langsung launching kapal pada galangan PT. Multi Ocean Shipyard di Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau, Sabtu 3 Oktober 2020.
Berita kedatangan kapal motor penyeberangan (KMP) Aceh Hebat 1 menjadi sebuah harapan yang baru bagi mereka. Pengorbanan dan proses yang panjang demi mendapatkan sekantong beras, akan lebih terasa ringan. Jembatan penghubung kepada tanah kelahiran dan keluarga telah nampak lebih nyata sekarang.
“Aceh belum pernah punya kapal yang dibangun sendiri, kapal pertama ini (KMP. Aceh Hebat 1 –red) kita bangun dengan uang Rakyat Aceh, ukurannya yang relatif besar 1300 GT serta desainnya juga yang up to date, nantinya akan melayari Pantai Barat ke Simeulue. Kapal ini bukan hanya kebanggaan Rakyat Aceh, akan tetapi kebanggaan Indonesia juga,” sebuah penggalan kata dari Plt. Gubernur Aceh (Kini Gubernur Aceh) yang akan menjadi catatan sejarah transportasi laut Aceh.
Kapal 1300 Gross Tonnage (GT) berkapasitas 250 orang, 25 unit truk, dan 8 unit kendaraan roda empat ini diharapkan mampu berlayar dengan aman dan selamat dalam gelombang tinggi, disertai angin dan hujan. Jarak tempuh mencapai 120 mil dengan waktu tempuh 10 sampai 11 jam perjalanan, menuntut kapal ini harus benar-benar tangguh berlayar di samudera lepas.
Jika musim penghujan, alam pantai barat agak sedikit berkecamuk dengan gelombang tinggi disertai angin kencang dan hujan lebat menjadi keseharian. Begitu pula kisah dari dermaga pelabuhan yang berada di pantai barat, yaitu Pelabuhan Kuala Bubon di Meulaboh, Pelabuhan Calang, dan Pelabuhan Labuhan Haji di Aceh Selatan. Lambung kapal yang bersandar pun kerap bertabrakan dengan badan dermaga hingga menghancurkan fender.
Cerita ini tak berujung di sini saja, setelah bermalam menanti hingga cuaca kembali bersahabat, tidak semua truk dapat termuat di dalam kapal dan harus mengantri lagi untuk penyeberangan berikutnya jika antrian kendaraan begitu panjang. Tak perlu dipertanyakan lagi, berapa kali lipat biaya yang harus dikeluarkan oleh mereka – yang tetap teguh agar kebutuhan pokok di kepulauan tetap tersedia-.
Sebagai bayangan lagi, proses pengangkutan logistik ini bukan dimulai dari pelabuhan kemudian berlayar di perairan hingga sampai ke wilayah kepulauan. Tidaklah sesimpel itu.
Ada proses transportasi darat yang panjang di balik kisah dermaga tadi. Perjalanan darat ini juga tak semulus jalan tol yang terbentang panjang di garis khatulistiwa. Jalan yang ditempuh sungguh berliku dengan geografi alam Aceh ini diitari oleh perbukitan dan pegunungan –bayangkan saja kelok sembilan yang ada di Padang, begitulah karakteristik jalan di Aceh-.
Belumlah usai ketangguhan sang sopir pengangkut logistik, saat jalan menanjak dan menurun yang terjal serta berkelok-kelok memaksa sang sopir memutar otak agar truk tak masuk jurang yang berada di tepian jalan. Bunyi rem mobil yang berdecit menambah kewaspadaan. Setelah berjam-jam melewati jalan darat tersebut dengan ribuan tantangan barulah sampai di pelabuhan. Dari sinilah kisah dermaga tadi dimulai.
Jika saja cuaca bersahabat, maka tak perlu waktu lama untuk membawa logistik ini ke pulau seberang. Nah, lain cerita jika cuaca ekstrem datang berkunjung, mereka harus mengalah dengan keadaan.
Para penumpang harus mengalah untuk menyambutnya terlebih dulu hingga harus menginap di pelabuhan. Begitu pula dengan truk atau mobil-mobil besar pengangkut logistik kebutuhan pokok masyarakat kepulauan. Dapat dibayangkan, jika mengangkut bahan segar seperti sayur mayur dan buah-buahan, pastinya barang tersebut telah “membusuk” sebelum mencapai tanah kepulauan.
Semoga saja, memorandum of understanding (MoU) perdamaian dengan ombak dan cuaca ekstrem dapat tertandatangani segera dan alam pun kian bersahabat dengan sang kapal. Sehingga, tak perlu lagi masyarakat ini memutar roda perekonomian secara manual. (Syakirah)
Selengkapnya cek di: