Oleh M. Hanung Kuncoro*
Perkembangan dan pertumbuhan suatu daerah memang memberikan manfaat peningkatan kesejahteraan. Hal inilah yang menyebabkan perpindahan penduduk ke wilayah perkotaan dengan maksud untuk dapat meningkatkan taraf hidup mereka. Masifnya perpindahan penduduk ini, ditambah perputaran perekonomian yang cenderung berpusat di wilayah perkotaan, menyebabkan satu masalah klasik, yaitu kemacetan, dikarenakan banyaknya orang yang mengakses wilayah tersebut. Kondisi tersebut ditambah dengan maraknya penggunaan kendaraan pribadi. Tentu saja, pemerintah tidak berdiam diri dengan hal tersebut. Berbagai program dilakukan oleh pemerintah seperti pembangunan fly over, underpass, pembangunan jalan tol, maupun pelebaran ruas jalan yang dimaksudkan untuk memecah kemacetan yang terjadi.
Program yang dijalankan dalam prakteknya lebih memang mampu memecah kemacetan sesaat, namun dalam jangka waktu lama akan lebih cenderung menambah kepemilikan kendaraan pribadi. Maka dari itu, solusi untuk mengurai kemacetan dalam jangka waktu lama adalah dengan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, dan memindahkan penggunanya kepada angkutan massal.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah mengamanatkan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, untuk bertanggung jawab menyelenggarakan angkutan umum (Pasal 138 ayat 2) serta menjamin tersedianya angkutan umum untuk orang dan/atau barang dalam wilayah kabupaten/kota (Pasal 139 ayat 3), termasuk angkutan perkotaan. Hal ini kemudian diperkuat dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 serta Rencana Strategis Kementerian Perhubungan (Renstrahub) 2015-2019 yang menetapkan peran penting dari sektor perhubungan sebagai penghubung pemenuhan kebutuhan dari aktivitas masyarakat dengan menargetkan penguatan konektivitas multimoda dan antarmoda di wilayah perkotaan.
Penyelenggaraan angkutan umum selama ini terkendala pilihan masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan dengan angkutan umum. Dibarengi dengan kemudahan kepemilikan kendaraan pribadi, kondisi ini kemudian menyebabkan terjadinya kemacetan di jalan serta meningkatkan polusi udara. Karena itu, perlu adanya usaha ekstra dari pemerintah untuk menggalakkan penggunaan transportasi umum. Penyelenggaraan angkutan massal haruslah terkoneksi dengan pusat aktivitas masyarakat sehingga dapat menjadi pilihan transportasi. Selain konektivitas, tentunya pelayanan dari angkutan umum juga menjadi titik acuan masyarakat untuk memilih menggunakan angkutan umum dibandingkan dengan kendaraan pribadi. Berdasarkan dua poin tersebut, sebagai upaya untuk memindahkan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum, pada tahun 2020 pemerintah melalui Kementerian Perhubungan meluncurkan program “Buy The Service” atau dikenal dengan BTS.
Mengenal Skema BTS
Skema Buy The Service atau BTS untuk angkutan massal perkotaan adalah mekanisme pembelian layanan angkutan massal oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, kepada operator dengan mekanisme lelang berdasarkan Standar Pelayanan Minimum (SPM) atau Quality Licensing yang memenuhi aspek kenyamanan, keamanan, keselamatan, keterjangkauan, kesetaraan serta memenuhi aspek kesehatan. Jadi dalam skema ini, pemerintah hanya memfokuskan diri untuk mengevaluasi kinerja layanan yang dijalankan oleh operator. BTS merupakan pengembangan dari program sebelumnya, yaitu Bus Rapid Transit (BRT), di mana pemerintah membeli bus yang kemudian diserahkan kepada pemerintah daerah untuk dikelola. Skema ini diatur melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pemberian Subsidi Angkutan Penumpang Umum Perkotaan, yang kemudian diubah dengan PM Nomor 2 Tahun 2022. Tahun 2020, skema BTS dijalankan di 5 kota besar, yaitu Palembang, Solo, Medan, Yogyakarta, dan Denpasar. Kemudian menyusul Bandung, Makassar, Banjarmasin, Surabaya, dan Banyumas di tahun 2021.
Dalam skema ini, pemerintah memberikan subsidi 100% terhadap biaya operasional penyelenggaraan angkutan dengan menerapkan pelayanan minimum yang ditetapkan ditambah keuntungan yang ditentukan oleh operator. Dengan skema ini, tarif angkutan umum perkotaan akan menjadi gratis karena telah disubsidi oleh pemerintah. Skema ini juga diharapkan agar pelayanan angkutan massal menjadi lebih baik karena pihak operator tidak harus ugal-ugalan untuk mengejar setoran agar bisa menutupi biaya operasional karena telah disubsidi. Kedua kondisi ini diharapkan dapat menarik minat masyarakat untuk berpindah dari kendaraan pribadi ke angkutan umum.
Untuk memaksimalkan pelaksanaan skema BTS, pemerintah menerapkan pull and push strategy. Strategi pull adalah upaya pemerintah untuk menarik masyarakat untuk memilih menggunakan angkutan umum. Dalam skema BTS, strategi pull dilaksanakan dengan membeli layanan angkutan massal dari operator. Pemerintah mengambil alih risiko pelayanan bus dan menggratiskan layanan angkutan umum kepada masyarakat. Sementara strategi push adalah upaya pemerintah untuk mendorong masyarakat lebih memilih angkutan umum untuk perjalanan mereka. Strategi ini dijalankan dalam skema BTS melalui penetapan SPM yang harus dipenuhi oleh operator apabila terpilih untuk mengoperasikan layanan BTS tersebut.
Selama ini, keengganan masyarakat memilih angkutan massal lebih disebabkan oleh tidak terjangkaunya daerah tujuan dengan angkutan massal, serta pelayanan angkutan massal yang cenderung kurang baik, seperti waktu tunggu bus yang lama, pengemudi yang ugal-ugalan, serta tidak jelasnya waktu keberangkatan. Keluhan diharapkan dapat diatasi dengan penetapan dan pengawasan pelaksanaan SPM pelayanan yang jelas, seperti ketepatan waktu kedatangan bus, waktu tunggu yang terukur dan tidak terlalu lama, pelayanan kepada penumpang, tidak ugal-ugalan saat mengemudi, ataupun pengaturan jalur dan parkir bus agar tidak bersinggungan dengan pengguna jalan lainnya. Karena itu, pemerintah harus menetapkan standar pelayanan minimum yang harus dipenuhi oleh peserta lelang. Dalam proses pelelangan, operator yang dipilih haruslah yang memiliki daya tawar dan komitmen pelaksanaan SPM yang terbaik. Penunjukkan operator ini harus dilakukan audit kinerja dan pelayanan setiap tahunnya. Jika hasilnya memuaskan maka kerjasama dengan operator tersebut dapat diperpanjang. Penetapan SPM juga harus dievaluasi dengan memperhatikan masukan dari masyarakat.
Dengan penerapan sistem BTS, diharapkan terjadi perbaikan pelayanan angkutan massal kepada masyarakat. Dengan pelayanan bus yang baik dan terukur serta tarif angkutan massal yang gratis karena telah disubsidi oleh pemerintah, maka masyarakat dapat memilih untuk menggunakan angkutan massal perkotaan. Dengan begitu, tujuan pemerintah untuk mengurai kemacetan dapat terlaksana, ditambah mengurangi tingkat konsumsi bahan bakar dan polusi udara disebabkan berkurangnya kendaraan yang melaju di jalan raya.
Penyelenggaraan angkutan umum yang baik adalah jembatan untuk menunjang pembangunan daerah, pertumbuhan perekonomian, serta peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat. Penerapan program BTS ini dicanangkan oleh Kementerian Perhubungan untuk dapat diterapkan di seluruh wilayah Indonesia, terutama yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan, yaitu memiliki penduduk yang besar namun belum terlayani oleh angkutan umum atau pelayanan angkutan umum yang sudah ada belum berjalan secara maksimal. Karena itu, diperlukan kesamaan pemahamanan dari pemerintah daerah, operator, dan stakeholder transportasi lainnya untuk penerapan skema BTS ini. (*)
– M. Hanung Kuncoro, Kepala UPTD Angkutan Massal Trans Koetaradja