Peningkatan volume kendaraan yang begitu cepat terlihat dari penyebaran titik-titik kemacetan yang yang semakin banyak di wilayah perkotaan Banda Aceh. Kebutuhan akan angkutan umum pun menjadi prioritas pemerintah dalam mengurai angka kemacetan. Lahirlah Trans Koetaradja yang mulai beroperasi sejak Tahun 2017, mahasiswa dan pelajar menjadi sasaran utama penumpang setia Trans Koetaradja, hal ini juga tentu untuk menurunkan angka kecelakaan bagi pelajar.
Awal beroperasi pada Tahun 2017, Trans Koetaradja melayani tiga koridor, yaitu koridor 1 (Masjid Raya Baiturrahman –Darussalam), koridor 2A (Masjid Raya Baiturrahman – Batoh – Blang Bintang), dan Koridor 2B (Masjid Raya Baiturrahman – Ulee Lheue) dengan 22 armada. Pada tahun berikutnya di Tahun 2018, Kementerian Perhubungan memberikan bantuan 8 unit bus dan pada Tahun 2019 ditambah lagi dengan 10 unit bus.
Pengguna jasa angkutan umum perkotaan Banda Aceh atau Trans Koetaradja pada tahun 2017 mencapai satu juta dua ratus ribu lebih penumpang dan pada tahun 2018 mencapai 4 juta penumpang serta pada Tahun 2019 meningkat menjadi empat juta dua ratus lima puluh ribu lebih penumpang. Namun ada cerita yang berbeda di Tahun 2020, pandemi corona menyerang secara global, penurunan penumpang yang sangat signifikan hingga 72,4 persen dari hari yang normal sebelum pandemi.
Adaptasi pada masa new normal, memaksa Trans Koetaradja memangkas lima puluh persen muatan yang tersedia untuk menjaga protokol kesehatan, hal ini tentu sangat berpengaruh pada jumlah pengguna si Bus Biru ini, enam ratus enam puluh ribu lebih penumpang, berarti turun mencapai 84 persen dari tahun 2020. Ini merupakan angka yang sungguh dramatis.
Sejauh ini, Trans Koetaradja memang belum melayani seluruh kawasan perkotaan Banda Aceh, masih ada kawasan pemukiman warga dan pusat kegiatan seperti sekolah, pasar, perkantoran yang belum dilewati oleh Trans Koetaradja. Dari hasil survey langsung ke lapangan beberapa waktu lalu pun mengutarakan keinginan masyarakat agar Trans Koetaradja melayani hingga ke titik rumah dan tempat kerja yang berjarak dari koridor utama.
Oleh karena itu, Dinas Perhubungan Aceh yang mengurusi bidang transportasi mencanangkan feeder Trans Koetaradja dengan enam rute feeder prioritas yang akan dilayani pada tahun ini. Feeder ini nantinya akan dilayani oleh Bus Listrik sebagai upaya mengurangi emisi yang telah banyak disumbang oleh sarana transportasi selama ini. Adapun rute prioritas feeder yaitu yaitu Kawasan Darussalam dengan panjang rute 4,61 kilometer, Lampineung – Pango dengan panjang rute 9,17 kilometer, Lamdingin dengan panjang rute 7,8 kilometer, Ulee Lheue – Simpang Rima dengan panjang rute 9,90 kilometer, dan Simpang Rima – Simpang Tiga (PU) dengan panjang rute 9,15 kilometer.
Di samping peningkatan pelayanan kebutuhan mobilitas masyarakat, tentu harus sejalan dengan penjagaan lingkungan. Dengan itu, bus listrik menjadi pelopor transportasi yang ramah lingkungan. Menindaklanjuti pemanfaatan bus listrik sebagai feeder nantinya, dilakukan uji coba sejak tanggal 13 Januari sampai dengan 5 Februari 2021 pada rute prioritas yang telah ditetapkan untuk melihat kendala dan kebutuhan titik bus stop.
Dari hasil uji coba bus listrik pada lima rute prioritas tersebut bahwa rata-rata jarak tempuh mencapai 141,6 kilometer menghabiskan daya listrik sebesar 74,16 Kwh, artinya hanya 53 persen baterai yang terpakai. Pengisian daya listrik pada bus rata-rata selama tiga jam dengan kecepatan rata-rata pengisian sebesar 0,43 Kwh/menit untuk satu bus.
Sederet uji coba yang dilakukan, namun apa pengaruhnya terhadap pengurangan gas buang (Co2) kendaraan bermotor? Operasional bus yang berdaya listrik ini tidak menghasilkan asap knalpot, karena tidak terjadi pembakaran untuk menggerakkan mesin penggerak. Hal ini berbeda dengan kendaraan diesel yang membutuhkan proses pembakaran untuk menjalankan kendaraan. Faktanya hampir seluruh kegiatan manusia berkontribusi terhadap kenaikan emisi gas rumah kaca di atmosfer. Hal ini terjadi karena sebagian besar aktivitas manusia membutuhkan sumber energi yang saat ini sebagian besar masih berasal dari bahan bakar fosil seperti; minyak bumi, gas alam dan batubara serta ekstraksi sumber daya alam lainnya. Pembakaran bahan bakar fossil untuk memenuhi kebutuhan energi manusia dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari berkontribusi terhadap hampir 2/3 emisi gas rumah kaca yang diproduksi secara global.
Dengan asumsi perhitungan jejak karbon oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), apabila mengendarai mobil yang berbahan bakar bensin atau solar (yang merupakan energi yang tidak terbarukan) dari satu tempat ke tempat lain, maka aktivitas ini akan menghasilkan emisi CO2 dalam jumlah tertentu. Perjalanan sejauh 1 km akan menghasilkan emisi sebanyak 0,2 kilogram CO2.
Penggunaan energi listrik untuk keperluaan sehari-hari misalnya penerangan, menggerakan atau menyalakan perangkat pribadi (notebook, HP, PDA, dsb.) dapat memproduksi emisi CO2 yang bersumber dari pembakaran bahan bakar fossil di pembangkit listrik. Untuk setiap penggunaan lampu berdaya 10 Watt yang dinyalakan selama 1 jam, maka CO2 yang dihasilkan adalah 9,51 gram.
Berdasarkan asumsi dan perbandingan terhadap penumpang kendaraan roda empat, maka bus listrik ini diasumsikan dapat mengurangi emisi dengan rata-rata sebesar 28,32 Kg.Co2/Km per hari dari lima rute prioritas yang diuji coba.
Jika dibandingkan dengan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) Bus Trans Koetaradja Konvensional (diesel) dengan penggunaan listrik mencapai Rp. 457,- per kilometer per hari dengan asumsi biaya listrik per Kwh sebesar Rp. 1.400,-. Jika dalam perhitungan kasar, dalam setahun operasional bus ini menghemat sebesar Rp. 166.805,- per kilometer.
Selama masa uji coba, ada kendala-kendala yang masih perlu penyempurnaan. Seperti halnya, rekayasa lalu lintas pada titik U-Turn yang menghalangi proses manuver bus pada jam-jam puncak seperti pada Simpang Jambo Tape. Lain halnya pada Simpang Rima, olah gerak bus pada simpang yang bercabang ini tidak safety akibat dari geometrik jalan yang melengkung dan jarak pandang yang sangat pendek. Begitu juga dengan kebutuhan titik henti (bus stop) yang perlu ditambah akibat jarak antar pemberhentian yang relatif jauh.
Selama 25 hari masa uji coba bus listrik yang dilakukan pada lima rute feeder yang telah direncanakan, UPTD Trans Koetaradja terus memantau perkembangan dan melakukan evaluasi setiap uji coba. Pantauan yang dilakukan pun berlangsung tiap harinya. Dari uji coba ini pun masih banyak kekurangan, sehingga Dinas Perhubungan Aceh terus berusaha melakukan penyempurnaan agar pada saat operasional nantinya pelayanan lebih optimal dan masyarakat mendapatkan transportasi yang aman dan nyaman.
Implikasi yang terjadi dari kenyataan ini adalah “peningkatan kualitas udara” perkotaan Banda Aceh yang kian sarat dengan angka kemacetan. Sehubungan dengan keuntungan sekunder lebih jauh, merinci tiga hal yang akan diperoleh bila ada peningkatan aksesibilitas, yaitu; (1) pengurangan emisi gas buang, (2) pengurangan usaha atau nilai ekonomi pemeliharaan; ukuran pemeliharaan mesin diesel kendaraan secara berkala dan (3) efisiensi pergerakan dan penghematan biaya transportasi.