Bekerja dari Hati untuk Pulo Nasi

Jika dibandingkan dengan Sabang, kawasan Pulo Aceh mungkin belum terlalu tersohor, tak banyak yang tahu bahwa sebenarnya Pulo Aceh menyimpan banyak potensi yang menjanjikan, termasuk potensi pariwisatanya. Bagi yang sudah pernah melancong ke Pulo Aceh pasti ingin kembali lagi untuk menikmati panorama pantai yang cukup indah dan diapit oleh gugusan pulau-pulau di sekitarnya. Hal inilah yang disampaikan oleh Koordinator Pelabuhan Penyeberangan Lamteng, Pulo Aceh, Safwan, yang ditemui oleh Tim Aceh TRANSit. Bekerja sebagai ASN di Dinas Perhubungan Aceh sejak tahun 2006, pada awal tahun 2023, beliau dipercaya untuk mengemban amanah sebagai Koordinator Pelabuhan Lamteng, yang kemudian membuatnya menjadi semakin dekat dengan geliat aktivitas di Pulo Aceh, terutama di sekitar Pelabuhan Penyeberangan Lamteng.

Secara geografis, Pulo Aceh terbagi dua pulau yaitu Pulo Nasi dan Pulo Breuh. Namun kedua pulau ini lebih dikenal dengan sebutan Pulo Aceh, merupakan salah satu Kecamatan dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Dikisahkan, penamaan Pulo Nasi ini berawal dari kisah nasi bungkus. Karena jaraknya yang menempuh perjalanan setengah hari dari daratan, maka setiap pendatang harus membawa nasi bungkus untuk disantap ketika sandar. Sedangkan, Pulo Breueh yang jaraknya lebih jauh dari Pulo Nasi, nasi bungkus yang dibawa pengunjung dikhawatirkan akan basi. Maka, pendatang membawa beras untuk dimasak di Pulo Breueh (red: Beras).


Pelabuhan Lamteng yang berada di Pulau Nasi telah berada di bawah kewenangan Dishub Aceh sejak selesainya proses pengalihan aset dari Pemerintah Kabupaten Aceh Besar kepada Pemerintah Aceh pada akhir Desember 2021 lalu. Sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 432 Tahun 2017 tentang Rencana Induk Pelabuhan Nasional, pelabuhan Lamteng adalah pelabuhan penyeberangan yang termasuk dalam pelabuhan penyeberangan kelas I dengan kapasitas dermaga 600 GT dan kolam pelabuhan dengan kedalaman 3,6 meter. Sampai saat ini, pelayaran ke Pulo Aceh dilayani oleh KMP Papuyu dengan frekuensi hampir setiap hari dan waktu tempuh sekitar 1,5 jam. Dalam satu trip, KMP Papuyu dapat memuat 105 penumpang dan 8 unit kendaraan campuran yang terdiri dari 2 unit kendaraan kecil serta 6 unit bis/truk berukuran sedang. Tetapi, ada juga warga Pulo Aceh yang menggunakan boat nelayan sebagai alternatif untuk berlayar ke wilayah daratan dan sebaliknya.

Menurut Safwan, hal ini terjadi karena jadwal keberangkatan kapal dari dan menuju Pulo Aceh sangat dipengaruhi oleh faktor cuaca. “Kalau cuaca buruk, angin dan ombak besar, dan kapal Papuyu gak bisa berangkat, tapi masyarakat misalnya tetap butuh untuk ke Banda Aceh hari itu, jadi mau gak mau ya naik boat,” paparnya. Ia menambahkan bahwa mayoritas masyarakat yang menggunakan jasa pelayaran dengan menggunakan KMP Papuyu berprofesi sebagai pedagang, sehingga Pelabuhan Lamteng menjadi pintu utama distribusi logistik sehari-hari.


Selama ini, operasional di Pelabuhan Lamteng dijalankan oleh Safwan bersama dengan empat orang personil pelabuhan lainnya yang merupakan warga asli Pulo Aceh. Sehari-harinya, ia beserta keempat personil lainnya berkoordinasi dengan operator kapal, baik itu terkait dengan jadwal pelayaran, pengoperasian kapal, maupun hal-hal lainnya yang diperlukan. Disamping itu, ia juga harus memastikan kegiatan di pelabuhan berjalan dengan kondusif, terutama saat kapal melakukan kegiatan bongkar muat. Selain itu, sebagai koordinator ia bertanggung jawab untuk melaporkan setiap kejadian dan kendala yang terjadi di lapangan kepada atasan di kantor induk.


Ketika ditanya mengenai suka duka yang dialami selama bertugas, ia mengaku hanya berusaha untuk menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. “Saya bersyukur karena di sini mendapatkan mitra kerja yang sangat kooperatif, baik itu adik-adik petugas kita di pelabuhan ataupun dari operator, alhamdulillah semuanya saling support dan sudah saling menganggap seperti saudara satu sama lain sehingga pekerjaannya tidak terasa berat,” ujar pria kelahiran 19 September 1980 ini.

Untuk kendala pada saat bertugas, ia menyebut bahwa selama ini belum menemui kendala yang berarti, hanya saja ia berharap dapat diupayakannya jaringan telekomunikasi yang lebih kuat dan stabil di kawasan Pulo Aceh, karena jaringan komunikasi amat sangat diperlukan pada zaman ini, apalagi untuk dirinya yang sering bertugas bolak-balik ke Lamteng sehingga perlu untuk memberikan kabar bagi keluarga yang berada di rumah.


Jalur laut masih menjadi satu-satunya penghubung kawasan Pulo Aceh dengan wilayah daratan sampai saat ini. Oleh karena itu, menurut Safwan, penting sekali untuk memastikan sarana dan prasarana di pelabuhan dapat berfungsi secara optimal. Apalagi, menurutnya, masyarakat perlu diberikan haknya untuk mendapatkan jasa transportasi yang aman dan nyaman. “Kita tahu di Pulo Aceh belum banyak fasilitas umum yang memadai, seperti misalnya fasilitas kesehatan dengan peralatan dan tenaga medisnya masih terbatas, jika ada urgensi kayak ada warga yang sakit dan perlu dirujuk ke Banda Aceh, pasti dibawa dengan kapal,” tambahnya.


Potret kehidupan di Pulo Aceh memang relatif sederhana. Sekilas, mungkin tak banyak yang bisa dilakukan di sebuah kecamatan dengan 17 gampong ini. Namun, bagi Safwan, ia mengenggam semangat dan asa bahwa suatu saat kawasan Pulo Aceh akan menjadi salah satu kawasan yang diperhitungkan dan menjadi sentra perekonomian di tanah Serambi Mekkah. “Memang masih banyak PR bagi kita untuk membangun Pulo Aceh ini, tapi bukan tidak mungkin hal itu akan tercapai dengan kerjasama dan semangat kolaborasi kita semua” tutupnya.(*)

Versi cetak digital dapat diakses di laman:

Skip to content