Bagaimana Aceh Menghadapi Bencana?

Awal 2020 dunia dikagetkan dengan penyebaran Covid-19. Setelah World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi, karena telah menyebar ke lebih dari 200 negara di dunia termasuk Indonesia. Hal ini menjadikan Indonesia berada dalam kondisi status keadaan darurat. Aceh sebagai provinsi paling barat Sumatera terus melakukan persiapan untuk melawan penyebaran Covid-19. Juru Bicara Gugus Tugas Covid-19 Aceh, Saifullah Abdul Gani, menyampaikan per Minggu (17/5/2020) pukul 15.00 WIB jumlah kasus positif Covid-19 di Aceh terdapat 17 kasus.

Dibandingkan provinsi-provinsi lain, data ini tidaklah terlalu memprihatinkan. Akan tetapi, Pemerintah Aceh pastinya tidak tinggal diam dalam melaksanakan upaya-upaya untuk meminimalisir penyebaran Covid-19, dimulai dari memperketat pintu masuk ke Aceh seperti bandar udara, pelabuhan dan melalui perbatasan. Perbatasan menjadi gerbang terdepan yang harus di “kawal ketat” dengan penguatan tim percepatan penanganan pandemi ini.

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah bericara tentang langkah yang mesti diambil oleh punggawa dalam mengatasi kondisi saat ini. Dipertegas dalam hirarki dibawahnya, Keputusan Presiden No. 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) memberi komando bagi Pemerintah Daerah dalam wilayah kewenangannya untuk membentuk tim percepatan yang secara tersirat juga menginstruksikan untuk merapatkan barisan di perbatasan.

Barisan yang membentengi pintu masuk pastinya membutuhkan daya dukung yang optimal, baik dari infrastruktur, sumber daya manusia (SDM) maupun fasilitas dukung lainnya, merupakan “kebutuhan mutlak”. Ada kebutuhan yang harus di-cover dengan kolaborasi dan sinergi antar pihak agar tujuan bersama dapat dicapai. Tujuan bersama ini tentulah sebuah “keharusan” dalam melindungi wilayah dan masyarakat dari ancaman manapun.

Melihat kondisi yang terjadi saat ini, koordinasi dengan multisektoral menjadi sebuah pondasi utama dalam menyangga “hajat” dunia untuk memberantas Covid-19 perlu diperluas dan diperkuat. Kesigapan, profesionalitas, dan kerelawanan ‘para prajurit’ kesehatan harus ditopang oleh setiap kalangan, termasuk masyarakat yang memegang “saham” besar dalam konteks ini dalam kesiapsiagaan.

Pemasangan stiker physical distancing (jaga jarak) di halte utama bus Trans Koetaradja

Tentu pelaksanaan kesiapsiagaan ini tak semudah membalikkan telapak tangan, banyak aral terjang yang perlu diterobos terlebih kondisi geografis Aceh yang dikelilingi dengan pegunungan, hutan serta kepulauan menjadi tantangan tersendiri, perlu “usaha lebih” untuk sekedar menjangkau jengkal demi jengkal keseluruhan wilayah Aceh. Selain itu kondisi cuaca yang kadang tak menentu juga menjadi tantangan lainnya.

Kondisi geografis tentu bukanlah satu-satunya “tantangan”, ada rintangan lain yang perlu dikhawatirkan saat berperang melawan pandemi ini seperti kekurangannya “pasokan senjata” dan rencana “strategi jitu” yang harus dijejal setiap inci pergerakan yang akan diambil. dari segi kebutuhan persediaan senjata seperti alat pelindung diri (APD), infrastruktur, dan kesiapsiagaan pelayanan.

Usaha dan ketersediaan “bahan baku” ini tentu memerlukan penyikapan lebih lanjut. Apakah ini hanya sebatas kewenangan saja? tentu tidak. Selain kewenangan, “ada keharusan masyarakat untuk peduli dan ambil bagian” untuk sama-sama menggergaji mata rantai pandemi ini agar dunia kembali “baik-baik” saja.

Selain beberapa dilema tadi, masalah baru timbul akibat pandemi yang tak kunjung berakhir ditengah suasana ramadan dan lebaran ini. Masyarakat dibuat seakan kembali “dipaksa” untuk tetap merayakan di kediamannya masing-masing (#LebaranDiRumahAja). Tentu bukan hal yang berat bagi mereka yang tinggal dengan keluarga tercinta, tetapi menjadi beban tersendiri bagi mereka yang hidupnya merantau jauh dari keluarga.

Realita ini mengharuskan kita untuk tetap mematuhi anjuran pemerintah untuk “memaksa dan membatasi” segala aktivitas dan keseharian kita sebagai warga masyarakat. Kita diharapkan bisa melakukan pertahanan diri dengan menjaga jarak satu sama lain (physical distancing) serta melalui pengurangan aktivitas sosial (social distancing). Ketika ‘social distancing’ apalagi ‘physical distancing’ tak diindahkan, itu sama artinya kita sengaja mengundang Covid-19 untuk datang menyerang.

Bagaimana jika kedepannya kondisi ini semakin parah? Permasalahan penanganan pandemi tak kunjung berakhir? Hal ini tentu semakin menyulitkan Pemerintah Aceh, tinggal bagaimana kita sanggup untuk menaati setiap hal yang menjadi kebijakan dari pemerintah. (Rahmi)

Cek tulisan cetak versi digital di laman :

Tabloid ACEH TRANSit

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Skip to content