Pertanyaan ini seringkali muncul di permukaan, setali tiga uang dengan semakin berkembangnya aspek perekonomian dan pembangunan infrastruktur saat ini membuat mobilitas masyarakat menuju berbagai tempat tujuannya tak luput dari peningkatan yang semakin tinggi dan padat berimbas semakin macetnya lalu lintas khususnya pada jam padat pagi dan sore hari.
Macet sendiri berarti menurunnya tingkat kelancaran arus lalu lintas jalan, yang sangat mempengaruhi para pelaku perjalanan, hal ini berdampak pada tertundanya gerak atau mobilitas, atau dalam bahasa awamnya adalah terhambatnya pergerakan kendaraan / orang di jalan raya.
Sebagai contoh, jika kita berkendara pada pagi maupun sore di kota besar seperti Banda Aceh hampir pasti akan terjebak pada kemacetan, khususnya di persimpangan utama maupun daerah dekat pusat kegiatan seperti pasar. Kondisi tersebut diperparah dengan etika berkendaran masyarakat kita yang cenderung “grusak-grusuk” berimbas pada tersendatnya arus lalu lintas “tanpa alasan yang jelas”.
Lalu, solusi apa yang dapat kita ambil untuk mengatasi kemacetan jalan tersebut?
Sejatinya, kemacetan terjadi karena tidak seimbangnya supply dan demand mobilitas di jalan, supply dalam hal ini adalah jumlah ruang di jalan yang tersedia untuk mobilitas kendaraan, sedangkan demand adalah jumlah kendaraan yang menggunakan jalan tersebut.
Banyak orang beranggapan bahwa, untuk mengatasi kemacetan ini adalah dengan menambah jumlah ruang di jalan, baik itu dengan melakukan pelebaran jalan yang sudah ada ataupun dengan membuka jalan baru. Namun dewasa ini hal tersebut dianggap sudah tidak relevan lagi. Selain karena semakin terbatasnya jumlah ruang untuk pelebaran jalan maupun pembukaan jalan baru, juga karena biaya investasi yang diperlukan semakin besar.
Khususnya pada kota-kota besar yang ada di Indonesia, makin banyaknya pemukiman, pusat ekonomi, dan pusat kegiatan lain membuat lahan untuk dimanfaatkan sebagai jalan semakin berkurang dan jika ada pun jumlahnya sedikit dan harga pembebasannya pasti sangat mahal.
Mari kita berandai-andai, jika setiap kemacetan solusinya adalah dengan menambah jumlah ruang di jalan berapa banyak jalan yang kita butuhkan untuk mengakomodir itu semua? Dan juga sampai kapan area yang bisa kita sediakan untuk menambah jalan?
Tentu perlu solusi lain untuk mengatasi masalah kemacetan khususnya di kota besar. Salah satu solusi yang dipandang tepat adalah dengan menggalakkan dan meningkatkan penggunaan angkutan umum di masyarakat, baik itu angkutan umum konvensional (angkutan kota / taksi) maupun angkutan umum massal seperti bus rappid transit, kereta commuter, monorail, dan lainnya.
Ada perbandingan ulung yang mengatakan jika 1 bus dalam keadaan penuh bisa disamaratakan dengan 85 kendaraan pribadi baik itu mobil ataupun sepeda motor dengan masing-masing 1 penumpang. Tentu jika korelasinya dengan jumlah ruang untuk bergerak di jalanan perbandingan ini terasa sangat mencolok.
Coba bayangkan saja berapa ruang di jalan yang bisa kita tekan jika orang-orang yang sebelumnya berkendara menggunakan mobil atau sepeda motor kemudian beralih menggunakan angkutan umum, tentu masalah kemacetan akan teratasi atau setidaknya terurai dan berkurang. Ruang di jalan yang sebelumnya digunakan oleh kendaraan pribadi tersebut akan “nganggur” karena penggunanya kini beralih ke moda transportasi lain.
Dari sisi investasi, penggunaan angkutan umum sebenarnya menguntungkan semua pihak, pemerintah selaku regulator dan penyedia jalan tidak perlu menggelontorkan anggaran berlebih untuk pembangunan jalan, sementara pembangunan sistem angkutan umum jauh lebih rendah pembiayaannya.
Lalu akan muncul pengusaha-pengusaha baru di bidang angkutan umum yang tentu menambah lapangan pekerjaan, serta bagi masyarakat biaya transportasi menggunakan angkutan umum tentu jauh lebih murah dibanding ia berkendara dengan kendaraan pribadi.(*)
Versi cetak digital Tabloid Aceh TRANSit Edisi 15 dapat diakses di laman: