Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan terus berupaya untuk mengatasi hambatan distribusi logistik semenjak pandemi Covid-19 yang dialami pada sektor transportasi laut dengan terjadinya kelangkaan kontainer, melambungnya ocean freight, serta tidak tersedianya ruang muat di atas kapal.
Hal itu melatarbelakangi Direktorat Jenderal Perhubungan Laut cq Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Laut mengembangkan wacana Indonesian Shipping Enterprises Alliance (Indonesian SEA) untuk mendukung Ekspor Nasional yang diawali dengan digelarnya Focus Group Discussion (FGD) di Jakarta, Senin (27/9).
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam sambutannya saat membuka acara mengatakan hal ini merupakan salah satu langkah konkret dari pemerintah bersama seluruh stakeholder transportasi laut untuk memastikan pelayanan transportasi logistik terus berjalan sehingga ekonomi menjadi bangkit dan mencapai kondisi yang lebih baik.
“Terutama dalam kondisi krisis atau pandemi COVID 19 saat ini. Untuk itu, Kementerian Perhubungan tengah memformulasikan solusi untuk mengatasi hambatan distribusi logistik tersebut melalui pemberdayaan pelayaran nasional dalam program Indonesian SEA (Shipping Enterprises Alliance), suatu aliansi perusahaan pelayaran nasional yang bertujuan agar perusahaan pelayaran nasional turut mengangkut kargo untuk pangsa pasar luar negeri atau ekspor yang selama ini lebih banyak dilakukan oleh armada asing,” ujar Menhub Budi.
Sejalan dengan hal tersebut, Kementerian Perhubungan juga mewacanakan pengembangan media komunikasi digital SEACOMM (Shipping Enterprises Alliance Communication Media) bagi perusahaan pelayaran (penyedia ruang muat kapal) dan eksportir (pemilik barang) yang dapat digunakan untuk bertukar informasi terkait ketersediaan ruang muat, kuantitas dan jenis produk ekspor, asal produk ekspor, dan pengusaha ekspor. Sistem ini akan diintegrasikan di dalam sistem induk yang ada pada Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang dapat diakses melalui aplikasi berbasis web.
“Wacana pembentukan Indonesian SEA dan SEACOMM ini selaras dengan visi dan misi Presiden Joko Widodo melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penataan Ekosistem Logistik Nasional yang bertujuan meningkatkan kinerja logistik nasional, memperbaiki iklim investasi, dan meningkatkan daya saing perekonomian nasional,” lanjut Menhub Budi.
Dengan adanya Indonesian SEA nantinya, diharapkan para pelaku usaha dapat mengurangi ketergantungan terhadap operator internasional (Main Line Operator/MLO), perusahaan nasional dapat turut mengangkut pangsa pasar luar negeri dan meningkatkan peran Indonesia di kancah pelayaran internasional, menjamin ketersediaan pasokan produk Indonesia di luar negeri, dan dapat melancarkan kembali ekspor impor sehingga kegiatan perekonomian, khususnya UMKM dapat kembali bergerak.
Sektor logistik diharapkan bertumbuh sejalan dengan peningkatan produksi nasional dan ekspor. Bagi pemerintah sendiri, keberadaan aliansi pelayaran nasional ini tentunya akan memberikan kontribusi yang sangat besar khususnya terhadap pemberdayaan kapal nasional serta untuk meningkatkan pride kapal berbendera Indonesia di mata dunia maritim internasional. “Dengan demikian, target pemulihan ekonomi dapat dicapai secara bertahap,” tutupnya.
Dalam kesempatan yang sama, Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Arif Toha menyampaikan, sejak WHO menetapkan kondisi Pandemi Covid-19 di awal tahun 2020. Untuk menghentikan penyebaran virus, banyak negara menerapkan pembatasan perjalanan orang. Pembatasan ini mempengaruhi kegiatan ekonomi secara global, khususnya pelayaran internasional untuk memfasilitasi perdagangan internasional.
“Pembatasan yang diterapkan banyak negara tersebut membatasi ketersedian SDM logistik, antara lain pelaut, pekerja di pelabuhan atau TKBM, bahkan supir truk. Berkurangnya SDM logistik tersebut berdampak pada kegiatan bongkar muat di pelabuhan dan port clearance out dan in pun terganggu sehingga terjadi port congestion. Lebih lanjut, untuk menekan biaya operasional pemilik kapal mengurangi jadwal operasional kapalnya (blank sailing) sehingga ruang muat kapal juga berkurang,” ungkap Arif.
Kondisi ini akhirnya membuat banyak negara berkomitmen untuk menjaga ketersediaan pasokan kebutuhan pokok, alat kesehatan, hingga China yang mulai meningkatkan produksi ekspornya, membuat distribusi logistik harus tetap jalan dengan tetap menerapkan pembatasan. Hal ini membuat ketersediaan jumlah peti kemas dan muat ruang kapal menjadi terbatas sehingga harga freight naik drastis.
“Dengan 40 % dari perdagangan internasional melewati perairan Indonesia, tentu saja disrupsi perdagangan internasional dan kenaikan tarif freight juga dialami oleh Indonesia khususnya pelayaran rute AS, Eropa, dan China. Tarif ocean freight 40Ft dari Indonesia ke Eropa sebelum pandemi kurang lebih USD 1.500 menjadi sekitar USD 7.000, kemudian ocean freight full container mencapai USD 13.000 untuk tujuan Pantai Timur Amerika Serikat yang sebelumnya hanya 3.000 USD,” ujarnya.
Arif mengungkapkan, di Indonesia, secara umum kesulitan yang dialami adalah waktu tunggu untuk mendapatkan ketersediaan kontainer yang harus dibayar dengan harga yang sangat mahal, bahkan ada juga yang sudah mendapatkan DO (delivery order) dari pengangkut namun tiba-tiba dibatalkan.
Disrupsi ini bukan hanya mempengaruhi eksportir besar tapi juga industri usaha kecil dan menengah serta ekspor hasil perikanan. Industri UMKM yang produksinya tidak teratur dan dalam jumlah sedikit biasanya lebih memilih untuk melakukan kontrak pengangkutan jangka pendek sehingga tidak menjamin ketersediaan peti kemas dengan harga yang lama. Bahkan untuk eksportir yang melakukan kontrak jangka panjang pun belum tentu mendapatkan harga lama, perusahaan pelayaran akan melakukan penyesuaian harga dilapangan.
Indonesia merupakan negara kepulauan dimana 2/3 wilayahnya terdiri dari perairan sehingga sangat bergantung pada angkutan laut. Sejak tahun 2005 telah diterapkan asas cabotage secara konsisten, hal ini membuat angkutan laut domestik 100% dikuasai oleh angkutan laut nasional. Industri pelayaran nasional dapat bermain di perairan sendiri, menjadi tuan rumah di negara sendiri. Kita sangat bangga akan kesuksesan asas cabotage. Namun untuk angkutan laut luar negeri, untuk mengangkut ekspor dan impor kita masih bergantung pada kapal asing di mana lebih dari 80% ekspor Indonesia diangkut oleh kapal asing.
Untuk meningkatkan peran angkutan laut menjadi pemain yang dapat bersaing di pelayaran internasional, Pemerintah mengembangkan asas cabotage menjadi beyond cabotage yaitu kegiatan angkutan ekspor dan impor yang diprioritaskan menggunakan kapal berbendera Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan ekspor Indonesia terhadap kapal asing sehingga tidak harus menunggu kapal asing atau kesediaan ruang muat kapal untuk datang mengangkut ekspor.
“Melihat keadaan yang memperihatinkan seperti ini, pemerintah tidak hanya diam saja. Kementerian Perhubungan bersama dengan Kementerian/Lembaga/Instansi serta stakeholders melakukan koordinasi untuk menemukan solusi dari masalah ini. Banyak yang telah dirumuskan namun tidak mudah diterapkan, butuh persiapan supaya tepat sasaran dan cocok diterapkan dengan kondisi Indonesia,” ujarnya.
Banyak negara yang telah mereposisi peti kemasnya, hal ini dapat menurunkan harga freight namun tidak signifikan dan tidak bertahan lama karena harga freight kembali melambung. Solusi jangka panjang pun sedang dirumuskan, di mana saat ini Kementerian Perhubungan sedang fokus untuk mengembangkan ide pembentukan Indonesian SEA (Shipping Enterprises Alliance). “Aliansi ini diharapkan dapat memprioritaskan pengangkutan ekspor Indonesia dengan menyediakan ruang muat di atas kapal,” tutupnya.
Sebagai informasi, Indonesian SEA ini akan didukung oleh media komunikasi digital SEACOMM (Shipping Enterprises Alliance Communication Media). SEACOMM ini akan menjadi platform interaktif yang terintegrasi untuk bertukar informasi antara pemilik kapal dengan menyediakan informasi ruang muat kapal dan bagi eksportir dengan menyediakan informasi jumlah, jenis barang ekspornya. (Sumber Kemenhub RI)