Pulau Banyak merupakan gugusan pulau-pulau kecil di Kabupaten Aceh Singkil dengan luas wilayah secara keseluruhan 27,196 Ha. Kepulauan yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia (sekitar 20 mil laut) tepatnya di ujung sebelah barat Pulau Sumatera ini terbagi dalam dua kecamatan; yaitu Kecamatan Pulau Banyak di Pulau Balai dan Kecamatan Pulau Banyak Barat di Pulau Haloban. Jumlah penduduk mencapai 4.457 jiwa di kecamatan Pulau Banyak dan 3.254 jiwa di kecamatan Pulau Banyak Barat.
Kehidupan masyarakat Pulau Banyak masih sangat bergantung pada laut, terlihat dari sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan. Sedangkan sebagian yang lain berprofesi sebagai wirausaha dan pegawai. Oleh karena itu, masih begitu banyak hal yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat sesuai dengan potensi alam yang dimiliki Pulau Banyak.
Kekayaan alam yang indah, populasi ikan yang beragam, habitat penyu hijau, penghasil kopra dan rotan, daerah destinasi wisata, spot surving dan diving bertaraf internasional merupakan sebagian alasan mengapa Pulau Banyak akan menjadi tujuan wisatawan dalam dan luar negeri. Tentu hal tersebut akan meningkatkan perekonomian di pulau dan membuka lebih banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
Namun minimnya akses transportasi menyebabkan Pulau Banyak masih terisolir. Saat ini transportasi ke Pulau Banyak hanya melalui jalur laut menggunakan kapal ferry (Ro-Ro) dan kapal tradisional. Jadwal penyeberangan dengan kapal ferry hanya melayani dua kali dalam seminggu yaitu pada hari selasa dan hari jum’at sehingga masyarakat terpaksa menggunakan kapal tradisional (kapal rakyat) yang berlayar setiap hari.
Kapal tradisional tersebut pada awalnya adalah kapal yang digunakan untuk mengangkut hasil perkebunan dan ikan dari pulau ke Singkil maupun sebaliknya. Namun karena kurangnya transportasi yang layak, masyarakat terpaksa bertaruh nyawa untuk menyeberangi lautan menggunakan kapal tradisional. “Kapal ini awalnya untuk mengangkut barang dan ikan dari pulau ke Singkil. Cuma karena kapal ferry tidak berlayar ke pulau, masyarakat minta ke kita untuk menumpang kapal. Akhirnya sudah jadi kebiasaan”. Ungkap Taswin salah satu pemilik kapal tradisional.
Tidak ada moda transportasi lainnya yang dapat digunakan untuk menuju ke Pulau Banyak juga menyebabkan kelangkaan barang ketika terjadi badai atau pasang surut air laut.
Ibu Eli seorang penjual gorengan di Pulau Banyak menceritakan bahwa ketika terjadi badai kapal tidak bisa berlayar sehingga menyebabkan harga bahan pokok naik seperti misalnya harga Gas LPJ 3 Kg mencapai Rp. 50.000,-. Tentu harga tersebut akan menambah biaya produksi usahanya.
Masyarakat Pulau Banyak memang sangat bertumpu pada moda transportasi laut. Tidak hanya bagi nelayan dan wirausaha, para siswa dan guru yang berasal dari Pulau Ujung Batu Desa Teluk Nibung Kecamatan Pulau Banyak juga selalu menggunakan transportasi laut berupa perahu kecil untuk pergi ke sekolah. Karena sekolah mereka berada di Pulau Balai maka setiap pagi harinya mereka harus menyeberangi lautan untuk menuju ke sekolah dan kembali ke Pulau Ujung Batu pada siang harinya.
Saat ini penyeberangan ke Pulau Banyak menggunakan kapal ferry dapat diakses melalui Pelabuhan Penyeberangan Singkil di Desa Pulo Saruk. Penyeberangan tersebut memakan waktu selama ± 4 jam. Selain itu, penyeberangan menggunakan kapal tradisional dapat diakses melalui Dermaga Jembatan Tinggi yang menghabiskan waktu selama ± 3 jam. Dermaga ini dikelola oleh masyarakat setempat untuk bersandar kapal-kapal ikan yang masuk melalui kuala Singkil.
Pada tahun 2019 Pemerintah Aceh akan menaruh perhatian lebih pada kondisi ini melalui program prioritas konektivitas antar wilayah. Sehingga transportasi yang berkeadilan dapat diwujudkan dan dirasakan oleh masyarakat di kepulauan ini. (AM)