Rumah Kaca

IRAK sebagai daratan yang subur mengukir lahirnya peradaban sejak berabad-abad yang lalu, dijuluki negeri one thousand and one nights termasyhur sebagai salah satu pusat keilmuan dunia, Kota Bagdad telah mencatat banyak ilmuwan ternama dan manuskrip di berbagai disiplin ilmu. “Alkisah” pada Tahun 1927, Irak memberi perubahan paradigma pada peradaban modern, dalam sebuah pengeboran, minyak bumi menyembur ke langit dan dalam seketika mengubah segalanya. sebuah Research Unit for Polotical Economy menyampaikan bahwa Penemuan minyak dengan cadangan terbesar mencapai triliunan barrel, seperti kemudian terjadi di semua negara penghasil minyak bumi, muncul sengketa yang mengarah pada hasrat menguasai sumber energi, karena menguasai energi berarti menguasai dunia.

Dengan keyakinan sebagai sebuah energi baru dan paling menguntungkan, minyak bumi terus dieksplorasi dan menjadi “main power” untuk merajai pelosok belahan bumi. Banyak kalangan menyimpulkan pandangannya, bahwa tanpa minyak akan menghentikan keberlangsungan kehidupan. Bukan tentang materil yang melimpah, namun bagaimana energi ini mampu memenuhi hasrat dan pengakuan akan keakuan manusia.

Setiap tetesan minyak yang dibakar untuk mejalankan mobil, pesawat terbang dan produksi alat transportasi lainnya telah mempermudah pergerakan manusia dalam mempersingkat waktu dan mendekatkan jarak perjalanan, Tentu hal inilah yang mendorong hasrat dunia untuk menjadi ‘penguasa energi’. Tak heran semua cara akan ditempuh untuk merebut energi bahkan dari si-empunya, baik dengan cara halus maupun terang-terangan seperti perang, langkah yang mengubah manusia seharusnya santun menjadi beringas.

Kota Bagdad menjadi porak poranda setelah pernyataan perang oleh Amerika di tahun 2003, dikabarkan ada perusahaan spesialis perminyakan yang kemudian ikut mendukung menyiapkan logistik perang. Wartawan senior Los Angeles Times, Christian Miller, dalam buku Blood Money menggambarkan bagaimana pengorbanan nyawa dan uang dalam mengejar keserakahan dan kita bertanya tentang perebutan lumbung minyak sebegai sumber energi. Investigasi yang dilakukan oleh Miller menguak fakta gamblang betapa semburan minyak Irak telah menghilangkan “perikemanusiaan” para penguasa ambisi. Ribuan barel minyak per hari membuka lebar pupil mata mereka untuk terus bertikai.

Tak dapat dipungkiri ekplorasi minyak bumi telah menyumbang gemerlapnya kehidupan manusia, akan tetapi penggunaan yang berlebihan telah menyebabkan kehidupan terperangkap dengan teknologi yang telah ‘booming’ dan berbondong-bondong untuk menggunakannya. Penggunaan ini tanpa berpikir apa efek yang akan berdampak pada masa mendatang? Seakan mempengaruhi asa pada asas dasar ‘perekonomian’. Penggunaan energi fosil ini sebagai salah satunya.

Hari ini, panas yang ada di dalam bumi layaknya rumah kaca terus terperangkap oleh selimut tebal akibat emisi yang semakin meningkat dalam atmosfir. Panas ini menciptakan pergeseran siklus iklim semakin tak beraturan dan mencairkan es kutub enam kali lebih cepat dari tahun 1990-an. Sekitar 28 Triliun Ton es bumi telah mencair dalam kurun 1994-2017 setara dengan lapisan es setinggi 200 meter menutupi seluruh daratan di Pulau Jawa, Madura dan Bali.

Sumber terbesar emisi gas rumah kaca adalah pembakaran bahan bakar fosil yang berlebihan digunakan pada pengoperasian sarana transportasi saat ini. Berdasarkan data yang dipublikasi oleh United States Environmental Protection Agency (EPA) bahwa transportasi menyumbang dua puluh delapan persen emisi Gas Rumah Kaca dalam kurun tiga dasawarsa terakhir. Apakah angka ini cukup berarti untuk mengubah perilaku kita atau akan membiarkan kerusakan yang semakin besar? Apa yang kita lakukan di kota kita untuk mengurangi emisi ini? Atau kita sedang menunggu waktu hingga kita tidak bisa bernafas lagi secara bebas karena kandungan udara yang semakin berbahaya.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat fenomena alam yang kian memperburuk kondisi bumi khususnya dalam sektor transportasi dalam mengurangi emisi adalah dengan energi terbarukan, mesin penggerak yang berbahan bakar fossil seperti solar, bensin dan sebagainya dapat dialihkan dengan energi terbarukan seperti kendaraan dengan penggerak listrik menjadi sebuah alternatif yang dapat diinisiasikan dalam penurunan emisi gas rumah kaca. Energi Listrik yang disuplai pun dapat dihasilkan dari panas bumi, matahari (energi solar) atau angin yang belum digunakan secara optimal.

Sumber energi panas matahari dan angin di daerah tropis seperti Indonesia merupakan suatu keniscayaan. Faktanya, sumber energi panas matahari dan angin tak akan ada habisnya jika digunakan. Dapat dibayangkan seberapa besar kedua potensi ini terbuang dan diacuhkan begitu saja? Jika saja sumber ini dimanfaatkan secara optimal maka “kemandirian energi” bukan lagi sekedar angan-angan. Dan satu hal yang terpenting, sampai saat ini belum ada gelagat keharusan ‘berperang’ untuk menguasainya.

Saat ini bumi sedang “sesak” dengan pasokan emisi yang terus menerus. Oleh karena itu, mengurangi emisi berarti mengembalikan waktu bagi bumi untuk menjaga harmoni siang dan malam. Memang, selimut emisi di atmosfir susah untuk dihilangkan. Kerusakan yang telah terjadi tentu tak dapat ditarik kembali. Layaknya, minyak penyebab porak porandanya negeri seribu satu malam yang subur tidak membuat negeri manapun menjadi makmur, hanya membekas duka. Instrospeksi dari sebuah kekalahan layaknya berkaca pada syair “Bahkan malam gelap akan berakhir, matahari akan bersinar lagi. Kamu mencari harta selama hidupmu. tetapi, kamulah sebenarnya harta itu” dari Penyair ternama Jalaluddin Rumi yang pernah singgah di kota Bagdad dalam usia mudanya, semoga menjadi sebuah melodi hidup untuk menjaga keselarasan antara bumi dan penghuninya.  (Junaidi Ali)

Simak edisi cetak digital di laman:

Tabloid ACEH TRANSit

Skip to content