N219, Sepenuhnya Karya Anak Bangsa

Temperatur Bandung saat itu agak terik. Sang Surya juga tak segan-segan m e n a m p a k k a n dirinya dengan gagah. Landasan panjang hitam dengan warna semakin memudar memberikan irama decit ban mesin terbang tersebut. Dari lantai atas gedung yang pernah mencetak sejarah dirgantara itu tampak barisan bukit dan pemukiman di lembahnya. Sesekali dari jauh terdengar suara mesin yang dihidupkan dan hendak mengangkasa di udara bersama cita-cita mereka yang tinggi. Mereka begitu fokus dengan mesin itu. Ada yang sibuk dengan interiornya, ada pula yang sibuk dengan rangka baja bakal pesawat terbang itu sendiri. Ada yang terus mengecek komponen kecil atau bahkan mempersatukan komponen tersebut menjadi burung mesin raksasa.

Ada isu besar yang harus kita pertimbangkan saat pesawat terbang diciptakan oleh anak bangsa. Cita-cita yang digantungkan pada aksesibilitas dan potensi anak bangsa jangan sampai terserap oleh pasar internasional, ada hasrat ingin membangun bangsa namun terjerat jarak dan loyalitas. Hal ini khususnya menjadi penting karena khazanah besar dari apa yang lazim menjadi cita-cita anak bangsa.

Suatu anugerah besar dapat menapaki tanah dimana kejayaan dirgantara Indonesia akan mengepak ke semesta. Seorang lelaki paruh baya berpakaian batik lengan panjang dan celana hitam panjang mulai membawa cita-cita itu kembali ke rangkulan negeri ini. Beliau Palmana Banandhi, pria berzodiak Scorpio berasal dari Tegal merupakan Program Manager Pesawat N219 PT. Dirgantara Indonesia (PTDI).

Vakum dengan program pengembangan membuat Palmana dan rekan-rekannya memutar otak untuk menciptakan sebuah terobosan dengan tantangan keuangan, diakui hal ini sangatlah sulit. “Engineering itu harus punya sesuatu atau karya baru. Karena itu, kami berpikir bagaimana membuat pesawat sederhana tapi tidak memerlukan anggaran yang gede. Di situlah kawan-kawan melakukan kajian, pesawat kecil seperti apa yang bisa dikembangkan. Maka tercetuslah N219 dari pemetaan kondisi dan situasi yang ada,” jelasnya dengan mata berbinar.

Kondisi geografis Indonesia yang dikelilingi perbukitan dan dataran tinggi dan landasan pacu yang relatif pendek juga menjadi gagasan awal menciptakan N219. Di samping itu juga, konektivitas dan peningkatan ekonomi serta mitigasi bencana menjadi esensi penting terwujudnya mesin terbang raksasa ini. Pesawat ini dirancang dengan sistem pendeteksi atau disebut terrain awareness warning system (TAWS) yang dapat digunakan untuk menvisualisasikan perbukitan dalam bentuk 3D sehingga memudahkan pilot bermanuver. TAWS ini dapat difungsikan dengan rentang ketinggian terbang 5000 – 10.000 kaki.

Pesawat N219 ini juga bersifat multifungsi, dapat digunakan untuk angkutan penumpang, barang dan bahkan ambulans udara. Model setting-an dengan perubahan konfigurasi kabin pesawat dapat disetel dan interiornya juga dapat berganti sesuai kebutuhan. Kabin ini juga dilengkapi dengan freezer, peralatan medical evacuation, kargo, pallet-pallet dan peralatan pengikat kargo.

“Saat ini, tenaga kerja yang ada jauh berbeda dari kondisi yang ada dari zaman Pak Habibie mengembangkan N250. Engineer yang ada masih sangat lengkap dan didukung juga dengan tenaga-tenaga asing untuk mem-backup. Namun, ini tidak menjadi kendala bagi kita. Potensi anak bangsa yang sungguh luar biasa tidak menyurutkan keinginan kita sedikit pun,” ungkapnya dengan rona semangat menyeruak. Ini merupakan total hasil pemikiran anak bangsa, tidak ada campur tangan tenaga asing.

Hampir 220 engineer yang terlibat langsung dalam pengembangan pesawat N219 dan bagian production line juga terlibat 400 mekanik dalam perakitan N219. Semuanya merupakan putra putri bangsa Indonesia. Sebagian generasi baru juga diikutsertakan untuk kepentingan masa depan melanjutkan estafet pengembangan N219 berikutnya. Ada sekitar 300 engineer baru yang dididik untuk menjadi ahli pesawat terbang di PTDI.

Saat ini, komponen pesawat masih harus diorder dari perusahaan asing karena Indonesia sendiri belum memiliki industri yang mampu memasok komponen pesawat. Sehingga, banyak komponen ini masih diambil dari perusahaan luar, khususnya dari Amerika. “Namun, ada beberapa komponen yang telah kita ajak dari industri dalam negeri seperti kaca depan dan tutup redeem pesawat. Panel-panel interior juga sudah mulai melibatkan industri-industri dalam negeri. Kedepan, diharapkan semua komponen dapat diproduksi lokal. Dengan program ini bukan hanya PTDI yang tumbuh, namun industri-industri lain juga kita ajak bersama. Nantinya, PTDI tidak berdiri sendiri, betul-betul dari Indonesia untuk Indonesia,” jelasnya lagi. Nantinya, pengembangan N219 juga dapat ditingkatkan menjadi transpotasi amfibi, yang dapat mendarat di perairan. Sehingga, wilayah-wilayah kecil di pinggir laut tidak perlu membangun bandara.

“Kami juga berterima kasih kepada Pemerintah Aceh yang telah memberikan penghargaan kepada kami dan mendukung produk-produk anak bangsa. Mudah-mudahan dapat kita realisasikan menjadi sesuatu yang nyata,” pungkasnya dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. (Syakirah)

Versi cetak digital dapat diakses dilaman :

Tabloid ACEH TRANSit

 

Simak video nya dibawah ini :

Skip to content