Mungkin ini hanya dianggap sebuah “legenda”, sebuah kisah dongeng yang diceritakan pada anak-anak di waktu senggang. Alam bergemuruh, angin semilir tapi tidak membawa kesejukan. Burung-burung beterbangan tanpa arah, sesekali hinggap sambil bersiul tanpa irama khasnya, mereka tampak cemas, ingin berteriak tapi tak ada yang paham “bahasa”nya.
Tepat 15 tahun lalu, cerita itu tercetak sejarah. Gempa bumi waktu itu menggertak pagi, ia mengayun seantero Aceh.
“Ie beuna, ie beuna (tsunami, tsunami –red),” teriak mereka dari pinggiran pantai menggelegar hingga ke daratan.
Orang-orang tercengang, “hai, panee na ie laot teuka u darat, bek ta peugah yang hana-hana hai nek (mana ada air laut menyeruak ke daratan, jangan mengada-ngada wahai nenek-red)”.
Tanpa pertanda, gelombang tinggi berdiri tegak di belakang mereka, ia siap mengejar dan menyapu habis apa saja yang berniat menghadangnya tanpa terkecuali. Ia murka dalam diam.
Aceh “butuh” waktu yang cukup panjang untuk membenahi diri, bangkit dari keterpurukan yang hampir dianggap “kota mati” saat itu. Struktur dan infrastruktur kota yang porak-poranda karena bencana tsunami membungkam para relawan yang ikut andil hendak membangun kembali Aceh.
Dalam keputusasaan, terbesit harapan kala relawan dan bantuan menyentuh tanah Aceh. Tak lama berselang, Dunia buncah dengan bencana Aceh saat itu. Dengan cekatan dan sigap, seluruh dunia meminta pintu Aceh dibuka lebar. Pesawat darurat, para relawan, logistik dan seluruh kebutuhan siap dalam hitungan jam, hanya menunggu gerbang itu terbuka saja.
Peluh yang kian deras mengalir di sekujur tubuh tak menyurutkan motivasi mereka untuk mengevakuasi korban bencana. Saat itu, asa kembali mengalir ke pembuluh nadi Rakyat Aceh.
Pemerintah pusat pun kemudian membentuk badan khusus untuk menangani Aceh. Lembaga ini diberi nama Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD – Nias atau yang lebih dikenal dengan nama BRR. Saat itu, BRR memegang peranan penting dalam proses perbaikan Aceh, karena pemerintah daerah di Aceh sudah kolaps, termasuk instansi Dinas Perhubungan Aceh.
“Perencanaan yang dilakukan oleh BRR pada masa itu telah memiliki grand design dan gagasan dalam pembentukan Kota Banda Aceh pasca bencana. Namun berbagai polemik yang muncul dan juga keterbatasan waktu kerja BRR yang hanya lima tahun menyebabkan hal itu tidak dapat terwujud,” ujar Direktur SDM dan Benefit BRR, Irfan Sofni.
“Sedangkan dana yang tersedia saat itu sudah sangat mencukupi untuk membangun Banda Aceh menjadi lebih baik. Seandainya semua komponen mendukung program ini, bukan tidak mungkin sekarang kita tinggal di Kota Banda Aceh yang baru dengan infrastruktur yang lebih bagus termasuk infrastruktur transportasi,” ungkapnya lagi.
Dengan dibenahnya infrastruktur transportasi Aceh, BRR berharap perkembangan nantinya berbasis ekonomi guna membangkitkan perekonomian rakyat Aceh. Berapa banyak pelabuhan dan bandara yang telah dibangun di Aceh yang diperuntukkan untuk sarana perekonomian, pelabuhan yang seharusnya menjadi sarana ekspor impor, namun dalam pelaksanaannya hanya digunakan untuk sarana penyeberangan penumpang. Bertahun-tahun kemudian, pemanfaatan untuk prasarana yang mendukung investasi masih menjadi wacana.
Secara umum, seharusnya semua infrastruktur transportasi yang telah dibangun sedemikian rupa di Aceh dapat menjadi daya ungkit ekonomi masyarakat di Aceh. Pengembangan prasarana dan peningkatan ekonomi tidak berjalan simultan, masih terdapat “gap” di antara mereka sehingga berjalan terpisah.
Setelah berakhirnya tugas BRR, kini Pemerintah Aceh kembali memegang kendali membangun Aceh seperti yang tertuang dalam visi misi Gubernur Aceh sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) dimana Dinas Perhubungan Aceh sebagai perangkat daerah bertanggung jawab “Mewujudkan Transportasi Berkeadilan Untuk Mengurangi Kesenjangan Antar Wilayah”, saat ini termasuk membangun jalur transportasi Aceh dalam program konektivitas.
Sekarang, 15 tahun lalu itu cukup menjadi pembelajaran bagi Aceh, tidak menjadikannya benang hitam ketertinggalan Aceh. Pada masa itu, Ia seakan terkubur dan tenggelam dalam peradaban, mungkin namanyalah yang akan menjadi sejarah dalam sebuah lembaran.
Namun, dunia menyapa dan mengulurkan ribuan tangannya pada Aceh. Rangkulan dunia menjadi selimut hangat Rakyat Aceh. Ia kembali bangkit dan menyembuhkan lukanya yang dalam. Aceh berterimakasih pada masyarakat dunia. (Rizal Syahisa)
Versi cetak digital dapat diakses dilaman :