ACEH BUTUH PESAWAT YANG SESUAI UNTUK PERCEPATAN KONEKTIVITAS ANTAR WILAYAH

Upaya-upaya Pemerintah Aceh untuk terus mengejar target pada program prioritas terus dilakukan. Pada Senin, 1 Juli 2019 yang lalu, Plt. Gubernur Aceh Ir. Nova Iriansyah, MT., melakukan kunjungan kerja ke PT. Dirgantara Indonesia (PTDI) di Bandung, Jawa Barat. Kunjungan kerja tersebut merupakan tindak lanjut dari penandatanganan Memorandum of Standing (MoU) yang telah dilaksanakan oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf di Singapura pada Tanggal 07 Februari Tahun 2018. MoU tersebut bertujuan untuk mensinergikan dan mengoptimalkan rencana pengadaan pesawat dan pembangunan assembly line pesawat terbang N219 di Provinsi Aceh. Kunjungan Plt. Gubernur Aceh ke PTDI lebih menekankan pada evaluasi terhadap MoU yang sudah ada dan membahas kemungkinan kesepakatan realistis yang bisa dicapai dalam RPJMA 2017 – 2022 sehingga capaian MoU dapat diukur dengan baik.

Pertemuan Pemerintah Aceh dan PTDI juga membahas penyempurnaan studi tentang penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM) dan operasional Pesawat N219 untuk mendukung konektivitas antar wilayah dan pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi kesenjangan wilayah.

Pengembangan transportasi udara Aceh seharusnya berpedoman pada tata ruang Aceh yang mengarahkan Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM) berperan sebagai hub bandara-bandara yang ada di Aceh. Konsep arah pengembangan ini belum terealisasi secara optimal. Kondisi eksisting perintis saat ini juga belum signifikan dengan pengembangan konsep ini. Beberapa penerbangan ini masih mengarah ke hub bandara wilayah barat, Kualanamu, Sumatera Utara. Angkutan udara semestinya mempersingkat waktu dan jarak, akan tetapi saat ini untuk beberapa daerah membutuhkan biaya yang lebih besar dari seharusnya untuk dapat menjangkau Ibukota Provinsi.

Pesawat N219 Nurtanio, PT. Dirgantara Indonesia

Tindak lanjut Pemerintah Aceh dengan PTDI juga mendorong implementasi konsep pengembangan Tata Ruang Aceh dalam meningkatkan peran Bandara SIM sebagai hub bandara Aceh. Dalam hal ini untuk mendorong transportasi udara secara komersial juga butuh waktu yang lama dan jika pihak ketiga yang mengurus juga belum tentu memberikan keuntungan yang banyak. Akan tetapi, masyarakat sangat membutuhkan moda transportasi ini. Sehingga, Pemerintah perlu mengintervensi kebutuhan sarana transportasi udara (pesawat terbang –red) untuk mengungkit peran prasarana (Bandara –red) yang telah ada di Aceh agar kembali terbangun dari “mati suri” selama ini.

Sebagai karya anak bangsa, N219 merupakan pesawat komuter berbasis regulasi CASR/FAR 23 yang memiliki daya angkut sebanyak 19 penumpang dan secara umum memiliki daya angkut, serta flight & field performance yang lebih unggul dikelasnya. Pesawat ini dibangun oleh PT. Dirgantara Indonesia bersama LAPAN (Lembaga Penerbangan & Antariksa Nasional) dan direncanakan dapat menyelesaikan tahap sertifikasi pada akhir tahun 2019.

Sumber : nasional.republika.co.id

Pesawat N219 dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan transportasi udara nasional di wilayah perintis. Memiliki kabin terluas di kelasnya dan dapat dimodifikasi untuk berbagai macam kebutuhan, seperti angkutan penumpang, angkutan barang maupun evakuasi medis saat terjadi bencana.

N219 memiliki kecepatan maksimum mencapai 210 knot dan kecepatan terendahnya mencapai 59 knot, sehingga dapat terbang di wilayah bertebing dan berbukit sesuai karakteristik beberapa Bandara yang ada di Aceh. N219 juga memiliki kemampuan mendarat pada runway yang relatif pendek atau short take off – landing sehingga tidak membutuhkan landasan panjang dan mudah dioperasikan di daerah terpencil. N219 juga dilengkapi dengan Terrain Awareness and Warning System, yaitu alat yang bisa mendeteksi wilayah perbukitan. Sistem pesawat akan memberikan tanda dan visualisasi secara dimensi sehingga pilot tahu secara langsung kondisi perbukitan yang akan dilaluinya.

Sesuai dengan kondisi Aceh saat ini yang memiliki 12 bandara yang belum beroperasi secara maksimal, bahkan beberapa bandara hanya melayani penerbangan perintis seminggu sekali. Pengadaan pesawat N219 merupakan salah satu upaya untuk mengoptimalkan bandara-bandara di Aceh tersebut. Aceh yang terpisah dengan perbukitan dan lautan, akan dapat terkoneksi dengan pesawat udara yang sesuai dengan topografi wilayah Aceh.

Saat ini konektivitas antar wilayah merupakan salah satu tantangan terbesar dalam hal mengembangkan sektor kepariwisataan di Provinsi Aceh. Sejalan dengan hal tersebut, penambahan frekuensi penerbangan dari dan ke bandara-bandara di Aceh diperlukan untuk mendukung pertumbuhan kunjungan wisata. Data kunjungan wisatawan mancanegara dan domestik pada tahun 2014 hingga 2018 menunjukkan tren kunjungan yang terus meningkat. Adanya kerjasama IMT-GT (Sabang-Phuket-Langkawi) dalam bidang pariwisata dan kegiatan kepariwisataan lainnya, mendorong tumbuhnya industri pariwisata di Provinsi Aceh.

Selain faktor pariwisata, Aceh yang dikenal sebagai daerah rawan bencana juga sangat memerlukan konektivitas wilayah melalui angkutan udara. Bencana Tsunami 2004 membuktikan peran bandara-bandara di Aceh sebagai pusat mitigasi bencana saat itu. Maka dukungan angkutan udara yang modern dan sesuai dengan topografi wilayah Aceh patut diwujudkan. Kabin pesawat N219 yang dapat dimodifikasi untuk evakuasi medis, mampu mengangkut sebanyak 9 pasien dalam sekali penerbangan.

Sejalan dengan program prioritas Dinas Perhubungan Aceh untuk menjadikan Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda sebagai “Center of Umroh”, pesawat N219 dapat memudahkan masyarakat Aceh untuk melaksanakan ibadah umrah.

Data yang diperoleh dari PT. Angkasa Pura II Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda menunjukkan, jumlah keberangkatan jama’ah umrah dari bandara tersebut pada tahun 2017 sampai dengan 2019 mencapai 29.550 jama’ah. Keberangkatan umrah dari Bandara SIM pada tahun 2019 mengalami lonjakan yang sangat tinggi yaitu sebesar 15.831 jama’ah. Hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan animo masyarakat Aceh untuk memulai perjalanan ibadah umrah terpusat di bandara SIM dan terhubung dengan bandara-bandara lain dalam wilayah Aceh dan beroperasi secara simultan.

Tentu dengan adanya pesawat N219 yang melayani penerbangan di wilayah Aceh, masyarakat yang saat ini jika ingin melaksanakan umrah harus menempuh perjalanan darat dari daerah ke Banda Aceh atau bahkan melakukan perjalanan ibadah melalui bandara di luar Aceh. Dengan adanya konektivitas angkutan udara, masyarakat dapat lebih “fokus” dalam mempersiapkan ibadah ke tanah suci.

Pesawat N219 juga diharapkan dapat menjadi solusi distribusi logistik yang terintegrasi, efektif dan efisien, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pesawat N219 juga dikembangkan untuk mendukung program jembatan udara seperti regulasi Presiden nomor 70 tahun 2017 mengenai “Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Untuk Angkutan Barang Dari Dan Ke Daerah Tertinggal, Terpencil, Terluar, Dan Perbatasan”.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2017, komoditas perikanan yang dikirim dari pelabuhan Sinabang, Singkil, dan Tapaktuan menuju pelabuhan Belawan mencapai 60.203 Ton. Dengan rincian dari Sinabang sebanyak 14.653 Ton, Singkil sebanyak 11.550 Ton, dan Tapaktuan sebesar 34.000 Ton. Pengiriman ikan melalui perjalanan darat dari pelabuhan-pelabuhan tersebut menuju pelabuhan Belawan membutuhkan waktu minimal 10 jam, bahkan dari Sinabang mencapai 21 jam.

Bila dibandingkan dengan perjalanan udara, komoditas perikanan dari Sinabang, Singkil, dan Tapaktuan masing-masing dapat diangkut dalam waktu kurang dari 1 jam, sehingga kesegaran ikan masih terjaga dan nilai ekspornya menjadi tinggi. Jika dikalkulasi, waktu yang dibutuhkan untuk mengangkut komoditas perikanan dari ketiga wilayah tersebut menuju pelabuhan Belawan dalam sehari hanya 4 jam. Dengan asumsi maksimal loading 2,3 ton dalam sekali keberangkatan dan pesawat terbang dengan kecepatan 180 knot.

Begitu juga dengan pengiriman komoditas perikanan dari Blang Pidie, Nagan Raya, dan Bireuen menuju Banda Aceh. Dalam waktu total 3 jam 40 menit, sebanyak 6,9 ton komoditas perikanan dapat dikrimkan ke Banda Aceh dari ketiga wilayah tersebut, dengan waktu terbang dari masing-masing wilayah menuju Banda Aceh kurang dari 1 jam.

Dengan adanya pelayanan N219, harapan menjadikan bandara SIM sebagai hub wilayah Aceh dapat dipercepat. Sehingga, multiplayer effect bagi pertumbuhan ekonomi kawasan juga berjalan lebih cepat dari pertumbuhan yang terjadi secara alamiah.

Skip to content